ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 21.1 Nopember 2017: 37-45

Ritual Neduhin Dalam Sistem Pertanian Masyarakat Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali

Makhrofsi Zarah Afandi1*, Ni Luh Arjani2, I Ketut Kaler3

123Prodi Antroppologi Fakultas Ilmu Budaya Unud

1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]

*Corresponding Author

ABSTRACT

Bunutin village is one of the Bali Aga villages located in Kintamani, Bali which still maintaind traditional ceremony. One of the traditional ceremonies still preserved by the Bunutin community is the Neduhin ceremony. Neduhin ceremony is a routine ritual performed by the people of Bunutin Village once every year. The aims of this research are to know: (1) Why Neduhin Ritual is implemented by the Community in Bunutin Village (2) How is the Implementation Stage of Neduhin Ritual (3) How to Function and Meaning of Neduhin ceremony in Agricultural System of Bunutin Village Community. The theory used in this research is the theory of B. Malinowski on the function of culture, the theory of E. B Tylor about religion, as well as the manifest and latent theory by Robert K. Merton. The concepts used in this research are Neduhin ceremony, Agricultural System, and Bunutin Village Community. The results revealed that the reason for the implementation of the Neduhin ceremony by the community of Bunutin Village was the ritual of apologizing to Ida Betara for causing him to be angry, so that the village of Bunutin experienced catastrophes such as crop failure in their fields. The Neduhin ceremony procession consists of three stages: The phase I (preparation of neduhin) consists of the Neratas and the Ngusaba Toya ritual. The phase II (ritual stage of neduhin) consists of the mendak tirtha by teruna, nuwur Ida Betara Kawitan, nuwur Iratu ring Pura Panti, nuwur Iratu Ida Betara Mulu Mideh, and megibung tradition by krama desa. Ritual phase III (ritual performed after neduhin) is a procession of Ngodog lidi tradition. In Neduhin ceremony there are latent and manifest functions. In addition, as for the meaning contained in the Neduhin is a religion, an education, and a welfare.

Keywords: function, meaning, Neduhin.

  • 1.    Latar Belakang

Di dalam menjalin hubungan dengan alam, manusia mengalami perkembangan budaya yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup secara evolusioner. Berawal dari food gathering kemudian mengenal food producing. Kegiatan pertanian ini menunjukkan berbagai keanekaragaman, baik dalam segi tanaman, pemilikan tanah, motif ekonomi, kebudayaan, teknologi dan lingkungan yang mempengaruhi pertanian (Wolf, 1985:  2). Sejalan

dengan hal tersebut kita tahu bahwa, gaya hidup masyarakat petani tradisional sangatlah menjunjung tinggi tali

persaudaraan, bersifat ramah, senang gotong-royong, dengan kekerabatannya yang erat, kehidupan sederhana, menganut sistem ekonomi tradisional yang bersifat subsisten, serta konsepsi masyarakat mengenai upacara adat yang sakral dan sangat penting untuk dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala yang telah diberikan.

Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang pesat, gaya hidup masyarakat petani desa mulai berubah menjadi sistem ekonomi pasar. Artinya kegiatan ekonomi dimaksudkan

untuk membuat keuntungan sebesar-besarnya. Hasil panen dijual ke pasar luas, memiliki sifat individualis, dengan kekerabatan yang mulai renggang, semakin materialistis, serta memudarnya konsepsi upacara keagamaan. Upacara keagamaan tersebut berarti tidak terlalu penting untuk dilaksanakan, karena keberhasilan panen hanya ditentukan oleh ilmu pengetahuan, bukan ditentukan oleh hal-hal mistis atau gaib.

Salindri (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Perubahan Ritual Undhuh-undhuh Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan Jember”, menunjukkan bahwa dalam jemaat GKW Jember tidak lagi ditemukan ritual undhuh-undhuh seperti awal ritual ini diadakan. Menurunnya peserta yang melakukan ritual ini dikarenakan, jemaat disibukkan dengan kegiatan lain yang dianggap lebih penting dan tidak mau membuang waktu untuk mengikuti ritual tersebut. Serta hal yang sangat disayangkan ialah, bahwa ritual undhuh-undhuh yang seharusnya berkaitan dengan masa panen sekarang tidak ada hubungannya dengan hal tersebut.

Dinamika masyarakat Bali berkembang semakin kompleks dengan adanya berbagai proses pertemuan kebudayaan. Walaupun demikian, di bagian Bali lainnya masih terdapat masyarakat Bali Aga yang memertahankan karakteristik kebudayaan masyarakat Bali sebelum terkena pengaruh kebudayaan Majapahit. Masyarakat Bali Aga merupakan keturunan murni orang Bali asli yang tinggal terdesak di pegunungan sebagai tempat pelarian dari orang asing yang ingin menjajah mereka (Covarrubias, 2013: 18).

Salah satunya ialah Desa Bunutin, masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani dengan sistem persawahan yang menggunakan komoditas tanaman padi gaga (Oryza sativa L.) yang ditanam

di dataran tinggi, yang sebagian besar hasil panennya digunakan untuk konsumsi keluarga dan sisanya dijual atau dibarterkan dengan barang konsumsi lainnya. Sekarang masyarakat Desa Bunutin sebagian besar bermatapencarian sebagai petani dengan sistem perkebunan yang menggunakan komoditas tanaman jeruk siem (Citrus Nobilis). Hasil panennya dijual ke pasar luas, bahkan Desa Bunutin menjadi desa penghasil jeruk terbesar di Kintamani.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi, masyarakat Desa Bunutin masih menggelar upacara keagamaannya, seperti dilaksanakannya upacara pertanian yaitu ritual Neduhin, dalam sejarahnya para tokoh adat Desa Bunutin terdahulu telah melaksanakan ritual neduhin secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Ritual neduhin tersebut sebagai simbol meminta anugerah kepada Ida Betara sebelum dimulainya aktivitas pertanian. Ritual neduhin ini terdiri atas beberapa rangkaian tradisi di dalamnya, yang memiliki keunikan tersendiri dan tentunya berbeda dari ritual neduh yang biasanya bersifat insidental dikarenakan suatu musibah yang datang terus-menerus. Pada hari pertama di sore hari masyarakat melakukan tradisi neratas atau bersih-bersih, dilanjutkan dengan ritual ngusaba toya, kemudian pada keesokan paginya melaksanakan meiring-iringan atau mearak-arakan menuju ritual neduhin yang dilaksanakan di Pura Pingit Malambe. Di dalam ritual neduhin terdapat tradisi nunas tirtha oleh para teruna menggunakan sampian teteg, keesokan harinya harus bertepatan dengan rainan purnama sasih kepitu.

Saat bulan purnama masyarakat Desa Bunutin melaksanakan rerainan purnama seperti biasanya, kemudian keesokan malam harinya melanjutkan rangkaian acara ritual neduhin di Pura

Desa/Pura Bale Agung. Saat itu, para teruna memiliki tugas duduk disekeliling penjor besar dan tinggi untuk membuat daha menjadi panik ketika tradisi ngodog lidi berlangsung.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa upacara keagamaan khususnya dalam sistem pertanian masyarakat Desa Bunutin memiliki peranan yang sangat penting, karena hal tersebutlah maka diteliti lebih lanjut melalui rangkaian ritual Neduhin, yang menghantarkan penulis untuk mengangkat judul “Ritual Neduhin dalam Sistem Pertanian Masyarakat Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali”.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Sesuai dengan latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

  • 1.    Mengapa      Ritual      Neduhin

dilaksanakan oleh Masyarakat di Desa Bunutin?

  • 2.    Bagaimana Tahapan Pelaksanaan Ritual Neduhin?

  • 3.    Bagaimana Fungsi dan Makna Ritual Neduhin dalam Sistem Pertanian Masyarakat Desa Bunutin?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum, sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui tujuan dilaksanakannya ritual Neduhin oleh masyarakat di Desa Bunutin. 2) Untuk mengetahui tahapan pelaksanaan ritual Neduhin di Desa Bunutin. 3) Untuk mengetahui fungsi dan makna ritual Neduhin di Desa Bunutin.

  • 4.    Metode Penelitian

Penelitian ritual Neduhin di Desa Bunutin ini, menggunakan model penelitian etnografi yang termasuk ke dalam penelitian kualitatif. Pada penelitian kualitatif, informan ditentukan melalui teknik purposive. Teknik pengumpulan data yang digunakan di antaranya: teknik observasi partisipasi,

wawancara terbuka dan mendalam, serta studi pustaka.

Data yang diperoleh di lapangan,baik berupa observasi, wawancara, dan sumber kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan. Dideskripsikan, dibandingkan, dan diinterpretasikan secara kualitatif. Tahapan lengkapnya yaitu mulai dari pengumpulan data, pengorganisasian data, pengeditan data, dan penganalisisan data sesuai dengan kerangka pikiran yang dipakai. Dengan demikian diperoleh kesimpulan yang telah dijadikan bahan dalam pembahasan dan rekomendasi penelitian.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1    Alasan Dilaksanakannya Ritual Neduhin Oleh Masyarakat Desa Bunutin

Berdasarkan penjelasan dari krama desa Bunutin, dapat diketahui bahwa, ritual neduhin yang dilaksanakan masyarakat Desa Bunutin ialah merupakan ritual yang bersifat insidental yang memiliki makna pergi ke Pura untuk memohon maaf kepada Dewa. Tujuannya agar terciptanya kehidupan yang tenang kembali, setelah mengalami musibah besar dalam kehidupan mereka. Seperti bencana akibat ulah manusia, yang apabila tidak dilakukan maka akan menimbulkan ketidak harmonisan dalam kehidupan.

Hal ini dapat kita ketahui dari sederetan musibah yang terus-menerus terjadi ketika awal pembentukan Desa Buncir (Bunutin sekarang), yang tentunya membuat krama desa bertanya-tanya mengapa musibah-musibah tersebut tidak henti-hentinya datang ke desa mereka. Untuk menghilangkan rasa khawatir, krama desa pun mulai mencari penyebab musibah-musibah itu, namun ternyata penyebabnya diluar kemampuan manusia dari sanalah akhirnya krama desa mengadakan suatu ritual untuk

memohon ampunan kepada Ida Betara, serta agar beliau mau menolong mereka dari musibah tersebut.

Seiring berjalannya waktu, saat ini masyarakat Desa Bunutin yang dulu menanam padi saat ini sebagian besar telah beralih ke sistem perkebunan yang menggunakan komoditas tanaman jeruk manis (jeruk siam). Hasil panennya dijual ke pasar luas, bahkan Desa Bunutin menjadi desa penghasil jeruk terbesar di Kintamani. Karena hal tersebutlah, ritual Neduhin kemudian mengalami beberapa perubahan mendasar mengenai sifat pelaksanaannya yang dahulu bersifat insidental sekarang menjadi bersifat periodik. Ritual yang dilaksanakan setiap tahun untuk mempersiapkan panen raya (segala jenis tanaman) agar tanaman yang ditanam petani tumbuh dengan subur serta panen melimpah.

Ada pula krama desa yang berpendapat bahwa, ritual neduhin merupakan ritual memohon hujan sebagai simbol meminta anugerah kepada Ida Betara agar memberi binih (isi pada benih padi), binih tersebut akan di taruh di pemuenan, dan pelinggih penghuni ladang yang merupakan manifestasi dari Betara Siwa, setalah itu benih padi yang sudah berisi binih akan dibagikan kepada seluruh krama untuk ditanam di ladangnya masing-masing.

Kebudayaan selain bersifat stabil, juga bersifat dinamis dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinu. Setiap kebudayaan pasti mengalami perkembangan-perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja bersifat statis (Herskovits dalam Soekanto, 1999: 201). Kebudayaan dapat mengalami perubahan, berkaitan dengan hal ini upacara adat merupakan bagian dari kebudayaan juga memiliki sifat yang dinamis yakni dapat berubah. Adapun beberapa prosesi ritual Neduhin yang mengalami perubahan

adalah: Dinamika Ritual Neduhin Tahap 1 terjadi pada tradisi neratas pekarangan atau bersih-bersih areal dilaksanakannya ritual neduhin. Dinamika Ritual Neduhin Tahap 2 terjadi pada tradisi membawa sesuunan saat ke Pura Pingit Melamba. Dinamika Ritual Neduhin Tahap 3 terjadi pada tradisi ngodog lidi di Pura Bale Agung.

  • 5.2    Tahapan Pelaksanaan Ritual Neduhin

Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang tulus, dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Koentjaraningrat (1981: 225) menyatakan bahwa prosesi adalah suatu perbuatan yang amat umum dalam banyak religi di dunia. Pada prosesi seringkali dibawa benda-benda keramat, agar kesaktian yang memancar dari benda-benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar manusia dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui dalam pawai itu.

Adapun komponen penting dalam ritual Neduhin yaitu:

  • 1.    Tempat Upacara:

  • a.     Pura    Pingit    Melamba:

dilaksanakannya ritual neduhin tahap 1 & 2.

  • b.    Pura Bale Agung: dilaksanakannya ritual neduhin tahap 3.

  • 2.    Benda-benda Upacara:

  • a.    Pakaian adat lengkap yang sudah disepakati pemilihan warnanya: kebaya putih, kamen, senteng (untuk perempuan) dan kemeja safari putih, kamen, udeng, dan senteng (untuk pria).

  • b.    Persembahan: Nasi Takep 12 gundukan, Banten piodalan lengkap. c. Sesuunan.

  • d.    Penjor besar.

  • 3.    Orang yang melakukan dan memimpin ritual:

  • a.    Pemimpin ritual: Jero Kebayan Mucuk (lanang istri), Jero Singgukan, Jero Kebau, Jero Pecacar, Jero Pider, Juru Canang.

  • b.    Seluruh krama desa Bunutin, kecuali wanita hamil serta yang sedang sebel/cuntaka

  • 4.    Saat-saat Upacara:

Ritual neduhin terdiri dari tiga tahap yakni:

  • a.    Ritual tahap I (ritual yang dilakukan untuk persiapan neduhin) terdari dari beberapa rangkaian tradisi yaitu:

  • 1)    Prosesi tradisi Neratas

  • 2)    Prosesi ritual Ngusaba Toya (mendak toya) di Kayuan Desa.

  • b.    Ritual tahap II (rangkaian ritual neduhin) yang dilaksanakan di Pura Pingit Melamba, terdiri dari:

  • 1)    Prosesi      tradisi      mearak-

arakan/ngiring Ida Betara Ratu Medua Gama

  • 2)    Prosesi Mendak Tirtha oleh Teruna

  • 3)    Prosesi ritual Nuwur Ida Betara Kawitan

  • 4)    Prosesi ritual Nuwur Iratu ring Pura Panti

  • 5)    Prosesi ritual Nuwur Iratu Ida Betara Mulu Mideh

  • 6)    Prosesi tradisi magibung oleh Krama Banjar (sekaligus pamitan)

  • c.    Ritual tahap III (ritual yang dilakukan setelah neduhin) yang dilaksanakan di Pura Bale Agung, terdiri dari:

  • 1)    Prosesi tradisi Ngodog lidi

Ritual Neduhin merupakan suatu kewajiban bagi seluruh krama desa yang memiliki matapencaharian sebagai petani. Meski ritual neduhin atau upacara pertanian tersebut tidak diatur dalam awig-awig desa, namun masyarakat Desa Bunutin percaya jika ada krama desa

yang bermatapencaharian sebagai petani tidak mengikuti ritual neduhin maka akan mendapat konsekuensi: 1) Konsekuensi bagi keluarga: Akan mengalami musibah pada tanaman di kebun mereka, mulai dari kekeringan, terkena hama, hingga gagal panen. 2) Konsekuensi bagi masyarakat desa: Akan sangat buruk bagi keadaan desa. Tidak hanya sektor pertanian saja namun akan mengancam kesejahteraan dan keharmornisan kehidupan krama desa Bunutin.

  • 5.3 Fungsi Ritual Neduhin

Pada kehidupan masyarakat Desa Bunutin, ritual Neduhin mempunyai sejumlah fungsi baik bagi seluruh krama desa Bunutin. Fungsi dalam bahasa inggris yaitu function yang memiliki arti bahwa sesuatu hal tersebut memiliki kedudukan atau tugas masing-masing.

  • 1)    Fungsi Manifes Ritual Neduhin

Robert K. Merton (Merton, 1968: 105) menyatakan bahwa fungsi manifest adalah konsekuensi obyektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan disadari oleh para partisipan dalam sistem tersebut. Fungsi manifest dari ritual Neduhin yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bunutin adalah fungsi upacara yang disadari atau merupakan tujuan utama masyarakat melaksanakan upacara tersebut. Manusia mempercayai bahwa “Kekuatan Supernatural” itu ada di luar kemampuan dan kekuasaan mereka, sehingga manusia meminta perlindungan dengan cara menjaga hubungan baik yaitu melakukan berbagai upacara keagamaan.

Ritual Neduhin merupakan upacara yang dilakukan setiap satu tahun sekali tepatnya dimulai dari akhir sasih keenam (akhir bulan Desember) dengan ritual utama dilaksanakan pada sasih kepitu bulan Januari yang berentetan pula

dengan rainan purnama. Masyarakat Desa Bunutin melakukan prosesi ritual Neduhin karena dihadapi dengan berbagai macam perasaan seperti cinta, hormat bakti, tetapi juga takut ngeri dan sebagainya. Pelaksanaan ritual neduhin pada sasih kepitu dikarenakan proses sejarah Desa Bunutin yang dahulu merupakan desa bermatapencaharian sebagai petani sawah. Masyarakat percaya bahwa padi merupakan sumber kehidupan yang utama dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Meski saat ini lahan sawah basah semakin berkurang dan digantikan dengan lahan kering untuk perkebunan, namun ritual neduhin tetap dilaksanakan pada sasih kepitu yang berfungsi sebagai penanda dimulainya segala aktivitas pertanian di Desa Bunutin.

  • 2)    Fungsi Laten Ritual Neduhin

Fungsi laten dari ritual Neduhin yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bunutin adalah fungsi yang tidak disadari atau bukan merupakan tujuan utama dilaksanakannya ritual Neduhin. Fungsi laten dalam hal ini adalah fungsi yang lain dari pelaksanaan ritual yang bukan merupakan tujuan utama dilaksanakannya ritual Neduhin, tetapi fungsi ini tampak dalam kehidupan masyarakat setempat. Adapun fungsi laten dari ritual Neduhin yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bunutin, yaitu:

  • a)    Ritual Neduhin sebagai Solidaritas Sosial: Suatu masyarakat yang melaksanakan ritual pada dasarnya bertujuan untuk mempertinggi kesadaran kelompok juga memupuk rasa solidaritas dan kesatuan kelompok, baik dalam suatu kelompok kerabat maupun dalam suatu komunitas, mengingat sebagai pendukung upacara keagamaan berpengaruh besar dalam menentukan

wujud dari upacara keagamaan keseluruhan.

Dalam hal ini, ritual Neduhin berfungsi untuk mempertinggi kesadaran kelompok juga memupuk rasa solidaritas dan kesatuan kelompok. Ritual Neduhin tidak saja memenuhi hasrat akan matapencaharian hidup, tetapi juga mampu memenuhi hasrat untuk berkomunikasi dengan warga masyarakat lainnya. Ritual neduhin memiliki fungsi sebagai pemupuk solidaritas diantara mereka, tidak hanya memenuhi hasrat kepentingan kesejahteraan ekonomi mereka, ritual neduhin juga mampu memenuhi hasrat untuk bersosialisasi dengan krama desa lainnya.

  • b)    Tradisi Ngodog Lidi dalam Ritual Neduhin sebagai Pengendali Sosial bagi Remaja Di Desa Bunutin: Dalam hal ini tradisi Ngodog lidi dalam ritual Neduhin berfungsi sebagai pengendali sosial bagi remaja di Desa Bunutin. Maksudnya ialah tradisi Ngodog lidi tersebut mampu mengendalikan ketegangan sosial yang terjadi karena kaum deviants yang sengaja menentang tata kelakuan, dimana kaum deviants tersebut ialah kaum remaja Desa Bunutin yang sengaja menentang adat istiadat seperti berpacaran yang tidak sehat yakni pergaulan bebas (sex bebas). Karena pada tradisi Ngodog lidi harus dilakukan oleh remaja putri atau daha yang masih perawan atau belum menikah.

Dengan dilestarikannya tradisi Ngodog lidi tersebut, mampu mempertebal keyakinan para warga masyarakat akan kebaikan adat istiadat melalui dongeng-dongeng dan cerita sejarah Desa Bunutin. Sehingga mengembangkan rasa malu dalam jiwa warga masyarakat jika ada daha yang gagal memotong lidi saat tradisi tersebut, kemudian mengembangkan rasa takut dalam jiwa warga masyarakat yang hendak menyeleweng dari adat istiadat

dengan diberikannya sanksi sejumlah 250 pis bolong kepada daha yang gagal, serta memberi ganjaran (hadiah) kepada warga masyarakat yang biasanya taat kepada adat istiadat berupa lingkungan sosial yang baik tanpa takut dicemooh oleh warga lainnya.

  • 5.4 Makna Ritual Neduhin

Makna dalam bahasa inggris yaitu meaning yang memiliki arti bahwa sesuatu hal tersebut memiliki definisi atau pengertian masing-masing. Geertz (1992) berpendapat bahwa, makna dalam kebudayaan bersifat publik dan kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena mereka saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Geertz (dalam Syam, 2007: 91-92) memberikan pengertian kebudayaan sebagai memiliki dua elemen, yaitu kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan kebudayaan sebagai sistem nilai.

Menurut Geertz, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihat sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam Geertz (1992) (dalam Syam, 2007). Melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan (Sriyanti Kamis, 2016: 101).

Jadi, makna ritual Neduhin bagi masyarakat Desa Bunutin ialah suatu upacara pertanian pra-panen yang dapat dilihat dalam ritual tahap 3 pada tradisi Ngodog lidi. Dimana, terdapat sebuah penjor besar yang disekelilingnya ditanami tanaman seperti pohon pisang, pohon enau, daun beringin, daun cemara serta beberapa hasil bumi juga digantungkan di penjor tersebut. Penjor

tersebut sebagai simbol pohon subur, lebat buahnya, yang akan segara dipanen. Selain itu ritual Neduhin memiliki beberapa makna lainnya, yaitu:

  • a)    Makna Religi: Ritual Neduhin merepresentasikan keyakinan masyarakat Desa Bunutin bahwa kehidupan tidak berdiri sendiri, ada kekuatan supernatural yang berada diluar kemampuan manusia, yaitu kekuatan para Dewa seperti Betara Siwa sebagai simbol pelebur, Betara Ganesa sebagai simbol pengetahuan, kebijaksanaan dan pemelihara. Hal tersebut dapat kita lihat melalui setiap tahapan ritual yang dikerjakan krama desa Bunutin yang selalu mementingkan detail dan kesakralan ritual.

  • b)    Makna Pendidikan: Ritual Neduhin yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bunutin merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal. Contohnya pada Tradisi Ngodog lidi yang mewajibkan 6 orang daha (harus perawan) untuk memotong lidi ambu. Serta para teruna yang diajarkan cara bersikap sportif untuk tidak melakukan kecurangan. Menjelaskan bahwa ritual neduhin bagi masyarakat Desa Bunutin mempunyai makna yang sangat penting dan berharga untuk kelangsungan hidup mereka terutama bagi para generasi muda.

  • c)    Makna Kesejahteraan: Ritual Neduhin merupakan ungkapan rasa syukur kepada Ida Betara karena selama ini telah memberikan mereka berkat yang sangat melimpah. Pelaksanaan seluruh tahapan ritual Neduhin membutuhkan dana yang besar. Dana tersebut selain digunakan untuk membeli upakara (alat-alat upacara), juga digunakan untuk pembangunan panggungan yang terletak di depan bale lantang di areal jaba tengah Pura Bale Agung. Meskipun demikian, masyarakat Desa Bunutin

tetap melaksanakan ritual Neduhin dengan meriah. Masyarakat Desa Bunutin percaya bahwa selama ini mereka telah diberikan restu serta berkat yang melimpah oleh Ida Betara, maka sudah seharusnya mereka juga menghaturkan (memberikan) upacara yang layak, besar, meriah, dan tentunya sakral kepada-Nya.

  • 6.    Simpulan

Ritual neduhin merupakan upacara pertanian yang dilaksanakan secara rutin setiap satu tahun sekali yang tepatnya dipersiapkan mulai dari akhir sasih keenam (Bulan Desember) dan dimulai satu hari sebelum purnama sasih kepitu (Bulan Januari). Beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenai ritual Neduhin yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bunutin, antara lain:

Ritual Neduhin merupakan upacara memulai aktivitas pertanian. Ritual Neduhin terdiri dari tiga tahap yakni Tahap I (ritual yang dilakukan untuk persiapan Neduhin) terdiri dari prosesi tradisi Neratas dan ritual Ngusaba toya di Kayuan Desa. Tahap II (rangkaian ritual Neduhin) terdiri dari tradisi Mearak-arakan, prosesi Mendak tirtha oleh teruna, ritual Nuwur Ida Betara Kawitan, Nuwur Iratu ring Pura Panti, Nuwur Iratu Ida Betara Mulu Mideh, tradisi megibung oleh Krama Banjar. Tahap III (ritual yang dilakukan setelah Neduhin) terdiri dari prosesi tradisi ngodog lidi oleh 6 orang daha.

Ada beberapa ritual yang telah mengalami dinamika, yaitu tradisi Neratas, tradisi membawa sesuunan saat tradisi Mearak-arakan, dan tradisi Ngodog Lidi.

Ritual Neduhin memiliki fungsi bagi kehidupan masyarakat Desa Bunutin. Adapun fungsi ritual Neduhin yaitu:

  • 1)    Fungsi Manifes yaitu untuk memohon restu dan berkat kepada

Ida Betara agar hasil bumi melimpah, dilancarkan saat panen raya tiba, serta dihindarkan dari malapetaka seperti bencana alam, wabah penyakit atau hama tanaman. Serta berfungsi sebagai penanda dimulainya     segala     aktivitas

pertanian di Desa Bunutin.

  • 2)    Fungsi Laten yaitu sebagai Solidaritas Sosial serta sebagai Pengendali Sosial bagi Remaja di Desa Bunutin.

Ritual Neduhin memiliki makna bagi kehidupan masyarakat Desa Bunutin. Adapun makna ritual Neduhin yaitu makna religius, makna pendidikan, dan makna kesejahteraan.

  • 7.    Saran

Ritual neduhin merupakan salah satu upacara adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bunutin. Dalam ritual neduhin terkandung fungsi dan makna yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat Desa Bunutin. Untuk itu maka penulis menyampaikan beberapa saran agar ritual neduhin tetap dilestarikan, antara lain:

  • 1.    Bagi masyarakat Desa Bunutin diharapkan agar tetap melestarikan ritual Neduhin, agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang, sehingga nilai-nilai yang terkandung pada ritual neduhin dapat tetap hidup dan tertanam kuat dalam pribadi setiap orang serta dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

  • 2.    Bagi pihak pemerintah diharapkan agar perlu mengkaji proses pelaksanaan ritual Neduhin sebagai bentuk penghargaan dan upaya pelestarian terhadap budaya lokal.

  • 3.    Bagi peneliti-peneliti lanjutan yang ingin melakukan penelitian berkaitan dengan ritual Neduhin diharapkan agar kajian yang dilakukan lebih mendalam lagi.

  • 8.    Daftar Pustaka

Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali Temuan Yang Menakjubkan. Denpasar: Universitas Udayana Press.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Press

Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Merton, Robert K. 1968. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press.

Salindri, Dewi. 2012. TESIS “Perubahan Ritual Undhuh-undhuh Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan Jember Jawa Timur”. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Soekanto, Sarjono. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syam, Nur. 2007. Madzhab-madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.

Sriyanti Kamis, Petronela. 2016. Upacara Pande Mbaru Gendang Di Kampung Tenda Kelurahan Tenda Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai Flores NTT. Denpasar: Skripsi Program Sarjana (S1) Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Wolf, Eric R. 1985. PETANI Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV. Rajawali.

45