ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 21.1 Nopember 2017: 31-36

Aplikasi Motif Hias Tinggalan ArkeologiMasa Hindu-Budha Menjadi Motif Hias Batik di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Trowulan

Kinanti Husnun Anggraini1*, Rochtri Agung Bawono2, Coleta Palupi Titasari3 123Prodi ArkeologiFakultasIlmuBudayaUniversitasUdayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3 3[[email protected]] *

Corresponding Author

Abstract

The archaeological relic in the form of temples, statues, and terracotta have decorative patterns with aesthetic and philosophical value, the decorative patterns can be classified based on media, form, function, and meaning. It is used by the community as an inspiration in making decorative batik patterns. The results obtained in the research on two areasYogyakarta and Trowulan Mojokerto District have found some archaeological ornamental relic patterns applied to decorative batik patterns. The ornamental patterns include: in the Special Region of Yogyakarta there are decorative pattern Kawung or Ceplok, ornamental patterns Kalpataru and Kinara-kinari, while in Trowulan area there are ornamental solar pattern Majapahit, ornamental pattern Padma. There are several factors that become consideration in applying ornamental patterns of archaeological relic into decorative patterns of batik, namely: decorative patterns have aesthetic value, economic value, historical value, and value of science.

Keywords:Application, Archaeological, Batik.

  • 1.    LatarBelakang

Sejarah bangsa Indonesia telah meninggalkan bukti-buktinya, antara lainsejumlah peninggalan arkeologi yang ditemukan tersebar diseluruh tanah air. Peninggalan arkeologi itu dapat dipilah menurut bahannya yaitu berbahan dasar batu, kayu, dan logam (seperti perunggu). Pemilahan warisan budaya dapat juga dilakukan menurut zamannya, yaituberasal dari Zaman Prasejarah atau Zaman Hindu-Budha (Soejono et al, 1984 dalam Sutaba dkk, 2002:1).

Periode Hindu-Budha khususnya di Pulau Jawa dibagi menjadi dua, yaitu Periode Klasik Tua yang berkembang sekitar abad VIII M sampai dengan X M dengan pusat-pusat kerajaan berada di Jawa Tengah dan Periode Klasik Muda pada abad XI sampai dengan XV M dimana kerajaan terpusat di Jawa Timur (Munandar, 2003: 28). Periode tersebut meninggalkan kebudayaan yang beraneka

ragam, seperti bangunan-bangunan candi dan hasil kesenian antaralaiarca dan ragam hias seperti relief.

Peninggalan kebudayaan tesebut mempunyai nilai dan makna simbolik, informatif, estetik, dan ekonomi. Nilai estetika pada tinggalan arkeologi menimbulkan daya tarik tersendiri baik dalam bentuk, jenis, dan teknik pengerjaannya. Nilai estetika dari suatu sumberdaya budaya dapat dinikmati pada masa kini tanpa melihat konteksnya di masa lalu. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai estetika masyarakat masa kini akan berbeda dengan persepsi masyarakat pada masa lalu (Lipe, 1984 dalam Ardika, 2007:9).

Tinggalan arkeologi seperti arca, relief pada bangunan candi, nekara, keramik ataupun tembikar yang memiliki nilai estetika yang tinggi dapat dijadikan sumber inspirasi oleh para seniman masa kini untuk menciptakan karya-karya

(Ardika, 2007 : 11).Perkembangan seni hias di Indonesiapada masa klasik merupakan masa berkembangnya seni hias secara pesat. Terlihat dari banyaknya ragam hias berupa relief yang hampir terdapat pada semua bangunan candi, baik candi bernafaskan agama Hindu maupun agama Budha. Apabila diamati terlihat beberapa bentuk ragam hias yang memiliki pola-pola tertentu. Bukti yang menunjukkan hal tersebut salah satunya tempayan yang ditemukan di Trowulan, yang memiliki pola ragam hias dengan motif berbentuk tepi awan atau meander (Satari, 1987: 290).

Benda lain yang dapat menjadi wadah atau media dari suatu ragam hias, yaitu kain. Kain merupakan suatu bahan, hasil dari tenunan benang. Kain mempunyai beberapa fungsi yang digunakan sebagai pakaian, sebagai sarana kesenian, sebagai sarana upacara adat, dan lain lain. Kain yang diberi hiasan dengan cara dilukis, ditulis, atau digambar dengan sebuah pola dan dibuat dengan cara tertentu disebut dengan kain batik.

Penelitian lain dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta (2011) dengan upaya inventarisasi dan digitalisasi motif hias dan diversifikasi pada pengembangan kerajinan batik Bayat di Yogyakarta. Bawono dan Zuraidah (2014 dan 2015) juga meneliti motif hias pada Benda Cagar Budaya periode Majapahit sebagai desain pengembangan usaha batik.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latarbelakang tersebut terdapat dua permasalahan yang telah dirumuskan yaitu sebagai berikut:

  • a.    Apa saja motif hias tinggalan arkeologi yang diaplikasikan menjadi motif hias batik pada Daerah Istimewa Yogyakarta dan Trowulan?

  • b.    Mengapa motif hias pada tinggalan arkeologi tersebut dipilih menjadi motif hias batik?

  • 3.    TujuanPenelitian

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian lain yang serupa, dengan tujuan mengetahui jenis motif hias tinggalan arkeologi yang di aplikasikan menjadi motif hias batik. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan pembatik dalam memilih motif hias yang akandiaplikasikan.

  • 4.    MetodePenelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan arkeologis dan mengadopsi ilmu lain yaitu sejarah, kesenian, dan agama. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi pustaka. Penerapan Teori Imitasi Modern dan Teori seni menjadi dasar pemikiran bahwa seni atau hasil karya yang diciptakan oleh manusia merupakan symbol dari ekspresi seni yang memiliki makna dan berusaha disampaikan melalui motif hias. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, analisis stilistik, analisis simbolik, dan analisis komparatif. Sehingga dapat diketahui bentuk dan makna dari dua daerah yang menjadi objek penelitian yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan Trowulan yang merupakan dua wilayah yang memiliki peranan penting pada Masa Hindu-Budha. 5. Hasil danPembahasan

  • 5.1    Motif Hias Tinggalan Arkeologi yang Diaplikasikan Menjadi Motif Hias Batik di Daera Istimewa Yogyakarta danTrowulan

Banyaknya tinggalan arkeologi di Indonesia menjadikan Indonesia kaya akan budaya. Candi, arca, dan terakota merupakan beberapa tinggalan arkeologi yang memiliki beragam motif hias, khususnya tinggalan arkeologi pada Masa Kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Motif hias tersebut memberi pengaruh bagi kehidupan sosial masyarakat pada Masa Hindu-Budha hingga sekarang, karena

hampir semua motif hias yang dibuat merupakan simbol yang memiliki makna. Motif hias yang dipahat atau diukir pada benda arkeologi memiliki nilai estetika yang sangat tinggi sehingga menjadi salah satu sumber inspirasi masyarakat pada masa itu hingga sekarang dalam menciptakan suatu hasil karya seni salah satunya adalah seni batik.

  • 5.1.1    Motif Hias Tinggalan Arkeologi yang Diaplikasikan pada Batik di Daerah Istimewa Yogyakarta

  • 1.    Motif hias ceplok bunga, motif initermasuk ragam hias geometris yang berbentuk oval yang berkumpul melingkar sehingga terlihat seperti bentuk kelopak bunga, motif hias ini juga biasa disebut dengan motif kawung dapat dilihat pada gambar 5.1.

Gambar 5.1 Motif hias kawung pada Arca Ganesha di Candi Prambanan

(Dok: www.pressreader.com/kompas) 2.     Motifhias sangkha bersayap

Motif hias sangkha bersayap termasuk ragam hias kombinasi sulur-sulur tumbuhan dan geometris, terdapat di Candi Prambanan. Sangkha bersayap (kerang bersayap) merupakan laksana dari Dewa Wisnu yang melambangkan keluarnya atma dari tubuh, atma di dalam tubuh manusia dalam Hindu adalah jiwa atau roh yang menghidupkan manusia. Selain mempunyai keindahan dan makna simbolik, motif sangkha bersayap merupakan motif yang mewakili simbol salah satu dewa umat Hindu yang sangat diagungkan yaitu Dewa Wisnu dapat dilihat pada gambar 5.2.

Gambar 5.2 Motif sangkha bersayap pada dinding Candi Prambanan (Dok: Kinanti Husnun)

  • 3.    Motif pohon kalpataru dan kinara-kinari

Motif hias kalpataru dan kinara-kinari termasuk dalam ciri ragam hias kombinasi karena terdapat motif hias tumbuhan dan hewan. Motif ini merupakan salah satu ciri khas dari Candi Prambanan. Kalpataru juga biasa disebut dengan pohon surga, sedangkan kinara-kinari dalam mitologi Hindu dan Budha merupakan makhluk kahyangan yang berwujud setengah manusia dan setengah hewan yaitu berkepala manusia dan bertubuh burung. Kinara-kinari terletak di samping kanan dan kiri pohon kalpataru, karena kinara-kinari bertugas menjaga pohon kalpataru dapat dilihat pada gambar 5.3.

Gambar 5.3 Motif hias pohon kalpataru dan kinara kinari di Candi Prambanan

(Dok: Kinanti Husnun)

  • 4.     Motif hias tirai dan burung

Motifhias tirai dan burung merupakan ciri dari ragam hias kombinasi yaitu berupa kombinasi geometris lengkungan tirai dan hewan yang berupa burung nuri. Makna yang mendasari penggambaran burung nuri tersebut kemungkinan karena dalam kesenian Hindu di Indonesia burung ini dianggap sebagai wahana Dewa Asmara yaitu

Dewa Kama (Hoop, 1949: 196) dapat

dilihat pada gambar 5.4.

Gambar 5.4 Motif tirai dan burung di Candi Prambanan

(Dok: Kinanti Husnun) 5.      Motif hias teratai

Motif hias ini termasuk dalam jenis motif hias tumbuhan. Sejak zaman Hindu-Budha bunga teratai mempunyai peranan yang terpenting dalam kesenian karena selalu muncul dalam setiap arca perwujudan dewa dalam agama Hindu dan Budha. Teratai dalam mitologi Hindu-Budha    bermakna    melambangkan

kemurnian dan kesucian dapat dilihat pada gambar 5.5.

Gambar 5.5 Motif teratai pada arca Parwati koleksi Museum CandiPrambanan

(Dok: Balai Arkeologi Yogyakarta)

  • 6.     Ragam hias pola kertas tempel

Motif hias pola kertas tempel termasuk dalam ciri dari ragam hias kombinasigeometris belah ketupat dan bentuk bunga yang disebut sebagai pola kertas tempel oleh Hoop.Motif hias ini merupakan motif hias tanpa makna yang biasanya dijadikan sebagai motif hias pelengkap untuk menambah nilai estetika atau keindahan.

  • 7.     Motif hias lainnya

Motif hias lainnya merupakan motif hias yang digunakan sebagai hiasan pelengkap pada kain, motif hias tersebut adalah motif ceplok kombinasi geometris dan motif hias sulur tumbuhan.

  • 5. 1.2 Motif Hias Tinggalan Arkeologi yang Diaplikasikan pada Batik di Trowulan Mojokerto Jawa Timur

  • 1.    Motif surya majapahit

Surya Majapahit merupakan termasukdalam motif hiasgeometris, Surya Majapahitmerupakanlambang dari Kerajaan Majapahit.Motif ini Mempunyai delapan sudut dengan dewa-dewa Hindu yang membentuk diagram kosmologi di tengahnya. Dewa-dewa utama di bagian tengah diatur dalam posisi delapan arah mata angin dan satu di tengah. Dewa-dewa tersebut diatur dalam posisi sebagai berikut: tengah = Siwa, timur = Iswara, barat = Maha dewa, utara = Wisnu, selatan = Brahma, timur laut = Sambhu, barat laut = Sangkara, tenggara = Mahesora, barat daya = Rudra (wikipedia.org) dapat dilihat pada gambar 5.6.

Gambar 5.6 Artefak Surya Majapahit koleksi Museum Majapahit (Dok: National Geographic Indonesia)

  • 2.    Motif hias lotus (padma)

Motif ini termasuk dalam ciri ragam hias tumbuhan. Lotus (padma) dalam panteon Hindu merupakan simbol kelahiran para dewa, karena dewa lahir dari teratai. Teratai merupakan simbol Triloka yaitu akar digambarkan sebagai dunia bawah, batang sebagai dunia tengah, dan bunga menggambarkan dunia atas dapat dilihat pada gambar 5.7.

Gambar 5.7 Motif hias lotus pada fragmen batu koleksi Museum Majapahit (Dok: Kinanti Husnun)

  • 3.    Motif hias tepian awan (meander)

Motif tepian awan ini mudah ditemukan pada tinggalan arkeologi di Trowulan. Tetapi belum ada penelitian mengenai makna motif hias ini di Kerajaan Majapahit. Motif hias ini termasuk ciri dari ragam hias geometris. Motif hias ini biasanya terletak di bagian bawah atau tepian sebagai motif hias pelengkap motif utama dapat dilihat pada gambar 5.8.

Gambar 5.8 Motif hias meander pada terakota koleksi Museum Majapahit (Dok: Kinanti Husnun)

  • 4.    Motif hias ukel

Motif ukel merupakan motif yang biasa ditemukan pada arca, candi, dan terakota. Berbentuk seperti bulatan yang tidak sempurna dengan ujung yang melengkung.

  • 5.    Motif Suromino

Motif suromino ini termasuk dalam ciri ragam hias hewan. Suromino memiliki arti Suro yaitu raksasa dan Mino yaitu ikan, jadi Suromino dapat diartikan dengan raksasa bertubuh ikan. Suromino menjadi ciri khas dari kerajaan Majapahit karena benda tersebut ditemukan di Trowulan dapat dilihat pada gambar 5.9.

Gambar 5.9 Terakota suromino pada koleksi Museum Majapahit Trowulan (Dok: Kinanti Husnun)

  • 5.2 Pertimbangan yang mendasari pemilihan motif hias tinggalan arkeologi yang di aplikasikan menjadi motif batik di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Trowulan

Pertimbangan   yang   mendasari

pemilihan motif hias tersebut yaitu: motif hias yang di aplikasikan harus memiliki nilai estetika atau keindahan dengan tujuan untuk menarik perhatian konsumen, karena batik merupakan hasil seni yang digunakan sebagai pakaian ataupun hiasan sehingga motif hias yang dibuat harus menunjukkan keindahan. Memiliki makna simbolik atau makna filosofis yang diharapkan dapat membantu melestarikan nilai budaya serta kesadaran masyarakat untuk mencintai dan melestarikan budaya daerahnya.Memiliki ciri khas yang mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta dan Trowulan sehingga dapat menjadi sarana dalam melestarikan motif hias batik khas kedua daerah tersebut dengan motif hias yang terdapat pada tinggalan arkeologi di wilayah tersebut. Memiliki Bentuk yang sederhana sehingga mudah untuk di aplikasikan dalam proses penggambaran motif dan dapat diproduksi secara berkelanjutan oleh pembatik. Perbedaan yang terdapat dalam pengaplikasian motif tersebut yaitu pandangan terhadap nilai ekonomis. Pengrajin batik di daerah Trowulan beranggapan bahwa hal yang paling penting saat ini adalah mengembalikan

kejayaan batik majapahit sehingga nilai ekonomis bukan menjadi faktor utama.

  • 6.    Simpulan

Pemilihan motif hias tinggalan arkeologi menjadi motif hias pada kedua daerah merupakan ekspresi seni yang berbeda dari setiap pengrajin batik. Hal tersebut berdasarkan usia perkembangan batik yang berbeda di setiap daerah. Pengrajin batik di Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat ini lebih banyak membuat batik modern dengan tambahan motif batik klasik yang sudah dimodifikasi, sehingga pertimbangan dalam pemilihan motif yang akan dijadikan motif batik hanya berdasarkan ide pembuat batik dan permintaan konsumen. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang menjadi tonggak kesenian membatik seluruh nusantara, dilihat dari segi waktu yang lebih tua dari daerah lain sehingga motif batik klasik maupun modern sudah banyak mengalami perkembangan. Hal tersebut menyebabkan usaha penggalian dan pencarian motif hias batik yang memiliki filosofi dan makna sejarah sudah mulai pudar atau mulai dilupakan.

Berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, batik Trowulan muncul atas ide masyarakatnya sendiri. Pertimbangan dalam pemilihan motif batik masih memperhatikan motif yang menjadi ciri khas Trowulan. Hal tersebut disebabkan oleh budaya batik yang baru berkembang di Trowulan, sehingga masyarakat di Trowulan berkeinginan untuk membentuk identitasnya melalui batik dan mempunyai ciri khas dan berbeda dengan daerah lain. Masyarakat juga meyakini bahwa motif hias tinggalan arkeologi pada candi atau arca yang ditinggalkan di daerah Trowulan merupakan warisan para leluhurnya, sehingga mereka akan menjaga dan melestarikannya dengan cara mengaplikasi motif hias pada tinggalan arkeologi tersebut menjadi motif hias batik.

DaftarPustaka

Ardika, Wayan. 2007. Pusaka Budaya Pariwisata. Denpasar. Pustaka Larasan. Bawono, Rochtri Agung dan Zuraidah. 2014. Identifikasi dan Modifikasi Motif

Hias pada Benda Cagar Budaya Periode Majapahit Sebagai Desain Pengembangan Usaha Batik. Denpasar. Program Studi Arkeologi. Universitas Udayana. Tidak diterbitkan.

Hoop, A. N. J. Van Der. 1949. Ragam-Ragam Perhiasan Indonesia. Koninklijk       Bataviaasch

Genootschap.

Munandar, AgusAris. 2003. “Dua Keping Panil Relief Kayu Koleksi MuseumKeraton Kasepuhan Cirebon”. Aksamala Bunga Rampai Karya Penelitian. Akademia.       Percetakan

Jaskarindo Padukarya. Hal-28.

Riyanto,Sugeng, Rita, Heri, Gunadi, Novida, M. Chawari, Andreas, Hadi,      Akunnas,      dan

Rachmawati.            2011.

Pengembangan     Dokumen

Digital Interaktif Pada Aspek Dekoratif Candi dan Arca di Prambanan dan Sekitarnya Sebagai Sumber Diversifikasi Pola Batik Bayat. Laporan Penelitian. Yogyakarta. Balai Arkeologi Yogyakarta.

Satari, Sri Soejatmi. 1987. “Seni Hias Ragam     dan     Fungsinya:

Pembahasan

Singkat.

Soejono, R. P. 1997. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Susanto, Nugroho. 1999. Simbolisme Disertasi, Jakarta.

Wikipedia ensiklopedia bebas. “Surya Majapahit”.(https://id.wikipedi a.org). Diunduh 5 Desember 2016.

36