ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 17.3 Desember 2016: 209 – 216

Geguritan Anggastya; Analisis Struktur Dan Fungsi

Ni Made Okta Era Yati1*, Tjok Istri Agung Mulyawati R2, Ni Made Suryati3 123Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]]

3

3[[email protected]]

*

Corresponding Author

Abstract

Research on Anggastya Geguritan is about the analysis of the structure and function. This analysis has the objective to describe the structure and functions contained in the Geguritan Anggastya.

This study uses a structural theory and the theory of functions. Based on the structural theory and Teeuw Luxemburg Ratna theory, the theory of functions used Damono theory and Ratna. The methods and techniques used are divided into three stages, namely (1) the methods and techniques used method of providing data reading and recording techniques, which assisted with translation techniques; (2) the method and the data teknikanalisis used qualitative methods and techniques of descriptive analysis; and (3) the methods and data analysis used teknikhasil informal formal methods aided by deductive and inductive techniques.

Disclosures of the text structure Anggastya Geguritan structure forms including; code language and literature, a style that include a comparison of style, style convergence and stylistic contradictions. Variety of language includes Bali Alus language, Bali Madya language and Bali Kasar language. Narrative structure include: the incident, there were seven incidents, using advanced groove and the groove is divided into five stage; stage situation, stage generating circumstances, stage rising action, stage climax and stage denoument, character and characterization are divided into three; the main character, a character secondary, and figures complementary, the background, in Geguritan Anggastya used backlight time, the background of the place, and background ambience, the theme contained in Geguritan Anggastya is karma phala, and the mandate. Functions contained in the Geguritan Anggastya is function as a medium of teaching religion, as a medium of moral education and intellect plant, and as a medium for social development

Key words: Geguritan, structure, and function

  • 1.    Latar Belakang

Secara umum sastra Bali dibedakan atas dua kelompok, yaitu Sastra Bali Purwa (klasik) dan Sastra Bali Anyar (modern). Sastra Bali Purwa adalah warisan sastra Bali yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pendukungnya. Sedangkan sastra Bali Anyar adalah sastra Bali yang mengandung unsur-unsur masukan yang baru dari 209

suatu kebudayaan (sastra) modern dewasa ini. Dilihat dari segi isi, sastra Bali Purwa mencerminkan kehidupan masyarakat Bali tradisional. Sastra Bali Purwa memiliki bentuk yang khas sebagai ciri kedaerahannya (Granoka,1981: 1). Adapun karya sastra yang termasuk dalam sastra Bali purwa adalah geguritan, satua, tutur, usadha, dan lain sebagainya. Karya sastra Bali tradisional yang berbentuk geguritan sangat dikenal oleh masyarakat Bali dan tetap hidup.

Penelitian ini mengambil salah satu geguritan yang berjudul Geguritan Anggastya. Selanjutnya disingkat GA. Geguritan Anggastya dibangun oleh dua pupuh, yaitu pupuh Sinom (118 bait ) dan pupuh Durma (18 bait). Pada kesempatan ini yang dikaji adalah mengenai Struktur dan Fungsi dari Geguritan Anggastya. Hal yang membuat Geguritan Anggastya ini menarik untuk diteliti adalah karena didalamnya terdapat ajaran-ajaran serta fungsi yang bisa kita dapatkan dalam Geguritan Anggastya ini, seperti kekuasaan kita tidak akan abadi bila kita tidak mempergunakannya sesuai dengan aturannya. Di samping itu bagaimana tahapan-tahapan atma agar mendapat tempat sesuai karmanya juga bisa kita pahami dalam geguritan ini, serta upacara-upacara dan upakara-upakara yang sesuai dengan ajaran Hindu untuk menghantarkan atma menuju tempatnya. Selain itu kita dapat mengetahui tempat-tempat di alam sana setelah kematian dan hukuman-hukuman yang akan kita terima sesuai dengan karma sang roh. Di dalam Geguritan Anggastya juga terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh catur wangsa selama hidup di dunia serta berbagai macam kondisi fisik maupun materi yang akan kita terima dalam kehidupan ini sesuai dengan perbuatan di masa lampau. Hal inilah yang membuat Geguritan Anggastya semakin menarik untuk diteliti mengingat banyak hal yang dapat membuat kita menjadi manusia yang lebih baik setelah mengetahui isi di dalam Geguritan Anggastya.

  • 2.    Pokok Permasalahan

  • 1)    Bagaimanakah struktur Geguritan Anggastya?

  • 2)    Fungsi apa sajakah yang terdapat dalam Geguritan Anggastya?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • (1)    Tujuan Umum

Secara umum penelitian Geguritan Anggastya ini bertujuan untuk membina, melestarikan, dan mengembangkan karya-karya sastra tradisional sebagai warisan budaya bangsa dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional melalui pengembangan kebudayaan daerah. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menambah khazanah penelitian sastra Bali tradisional khususnya geguritan.

  • (2)    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk memecahkan permasalahan yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah, yaitu :

  • 1.    Untuk mendeskripsikan struktur yang membangun Geguritan Anggastya.

  • 2.    Untuk mendeskripsikan fungsi–fungsi yang terdapat dalam Geguritan Anggastya.

  • 4.    Metode Penelitian

Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, antara lain : (1) Metode dan Teknik Penyediaan Data, (2) Metode dan Teknik Analisis Data, (3) Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.

  • 1)    Metode dan Teknik Penyediaan Data

Tahap awal dari penelitian Geguritan Anggastya adalah tahap penyediaan data. Metode yang digunakan adalah metode simak yang dilakukan dengan membaca berulang-ulang. Hal ini dilakukan agar lebih memahami isi teks secara mendalam. Metode menyimak dilakukan dengan membaca isi teks geguritan secara mendalam agar lebih memahami isi dari teks tersebut. Teknik yang digunakan dalam metode membaca ini adalah teknik terjemahan yang dilakukan dengan mengalihbahasakan Geguritan Anggastya dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia. Larson (1991: 16) mengatakan bahwa teknik terjemahan terdiri dari dua macam, yaitu terjemahan harafiah dan terjemahan idiomatis. Terjemahan harafiah digunakan untuk mengetahui bentuk, sedangkan terjemahan idiomatis digunakan agar makna dapat disampaikan dengan baik. Penerjemahan dalam penelitian ini menggunakan terjemahan harafiah dan idiomatis. Pada saat menerjemahkan diperlukan teknik pencatatan. Teknik pencatatan digunakan untuk menghindari tercecernya informasi karena keterbatasan ingatan dalam penelitian.

  • 2)    Metode dan Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, metode yang digunakan adalah metode kualitatif karena penelitian ini bersifat kualitatif. Sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai. Metode kualitatif memberi perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sebagian besar gejala sosial yang relevan (Ratna, 2009: 47). Teknik yang digunakan pada tahap analisis data, yaitu teknik deskriptif analitik. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2009: 53). Selanjutnya analisis data dalam Geguritan Anggastya dideskripsikan sehingga dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji.

  • 3)    Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal. Sudaryanto (1993:145) mengatakan bahwa metode formal adalah cara-cara penyajian dengan memanfaatkan tanda dan lambang, sedangkan metode informal adalah cara penyajian melalui kata-kata biasa. Metode formal dalam penelitian ini digunakan untuk menuliskan lambang bentuk dan lambang bunyi sehingga memudahkan penyajian padalingsa pupuh. Lambang yang digunakan berupa (/) untuk penggalan baris, dan (//) untuk menandai akhir baris sebuah pupuh. Teknik yang digunakan adalah teknik tabulasi, yakni dengan menggunakan tabel untuk pembahasan padalingsa dalam pupuh-pupuh yang membangun Geguritan Anggastya. Tahap penyajian hasil analisis data ini juga didukung dengan teknik deduktif dan teknik induktif. Menurut Sudaryanto (1982:4), teknik deduktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat umum kemudian dikemukakan hal-hal khusus sebagai penjelas, sedangkan teknik induktif adalah penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat khusus kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat umum.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

  • a.    Struktur Forma Geguritan Anggastya

Secara etimologi forma berasal dari bahasa latin yang berarti bentuk atau wujud (Ratna, 2009; 49). Struktur forma merupakan suatu tahapan dalam penelitian yang sangat penting dan sulit dihindari yaitu penelitian struktur. Pembahasan mengenai struktur forma pada Geguritan Anggastya meliputi: kode bahasa dan sastra, ragam bahasa, serta gaya bahasa yang bertujuan untuk memberikan gambaran ciri khusus yang terdapat dalam karya sastra geguritan. Pembahasan mengenai struktur forma pada Geguritan Anggastya meliputi: kode bahasa dan sastra, ragam bahasa, serta gaya bahasa yang bertujuan untuk memberikan gambaran ciri khusus yang terdapat dalam karya sastra geguritan.

  • b.    Struktur Naratif Geguritan Anggastya

    (1)    Insiden

Insiden ialah kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam cerita besar atau kecil. Secara keseluruhan insiden-insiden ini menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur cerita (Sukada, 1987: 58-59). Terdapat tujuh insiden dalam

Geguritan Anggastya. Dimulai dari insiden pertama, cerita bergerak kearah pengenalan tokoh utama yaitu Bhatara Kamajaya. Sampai pada insiden terakhir pada saat keempat roh yaitu roh brahmana, bhujangga, pemangku, dalang, dan roh dukun mendapatkan tempatnya di surga sesuai dengan amal perbuatannya semasa hidup

  • (2)    Alur

Alur merupakan rangkaian peristiwa yang terjalin secara berkesinambungan yang membangun sebuah cerita. Dalam Geguritan Anggastya alur yang digunakan adalah alur lurus peristiwa disusun dari awal, tengah dan akhir. Tahapan plot ini dibagi menjadi lima tahapan yaitu (1) tahap Situation, (2) tahap Generating Circumstances, (3) tahap Rising Action, (4) tahap Climax, dan (5) tahap Denouement (Tasrif dalam Nurgiyantoro, 1995: 149).

  • (3)    Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan pelaku-pelaku yang melahirkan peristiwa atau penyebab terjadinya peristiwa. Tokoh-tokoh dihadirkan dengan maksud menghidupkan cerita. Sedangkan segala cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh 213

disebut penokohan. Pendapat tersebut menyebutkan bahwa antara tokoh dan penokohan sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda (Saad, 1967: 11). Tokoh dan penokohan pada Geguritan Anggastya secara umum dapat dibedakan menjadi tiga yaitu tokoh utama, tokoh sekunder, dan tokoh komplementer atau pelengkap. Pengarang juga menggambarkan tokoh dalam Geguritan Anggastya dalam tiga dimensi pokok, yaitu fisiologis, psikologis, dan sosiologis yang khas.

  • (4)    Latar

Tarigan (1984: 157) mengemukaan bahwa latar atau seting adalah lingkungan fisik tempat kejadiaan berlangsung. Latar pada Geguritan Anggastya mencakup tiga unsur yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar suasana. Latar waktu dalam Geguritan Anggastya tidak digambarkan dengan jelas oleh pengarang. Namun pada bagian lain masih berkaitan dengan unsur waktu yang melatari suatu peristiwa dalam Geguritan Anggastya seperti tampak pada beberapa pemilihan kata dalam Geguritan Anggastya, sekarang, dahulu, seketika, sekarang, menjelang pagi. Latar tempat yang melatari Geguritan Anggastya yaitu di perjalanan menuju surga, di Ganda Medana (surga tengah), di Gunung Wisia, di Kawah Madurgama, di balai timbang, di neraka. Sedangkan latar suasana yang digunakan dalam Geguritan Anggastya yaitu suasana sedih, terharu, kebingungan, mencekam, ketakutan, bahagia.

  • (5)    Tema

Tema merupakan ide pokok sebuah cerita dan merupakan hal yang terpenting dalam cerita sebagai tujuan yang ingin dicapai dan disampaikan pengarang kepada pembaca lewat karyanya. Tema yang digunakan dalam Geguritan Anggastya adalah “Karma Phala”.

  • (6)    Amanat

Dalam kamus istilah sastra (Sudjiman, 1986: 5) amanat adalah pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengarnya lewat karyanya. Amanat merupakan bagian keseluruhan dialog dan pokok cerita. Amanat akan berkaitan, menyentuh hati nurani pembaca, untuk menyadari atau menolaknya. Pada intinya pesan-pesan yang terkandung dalam Geguritan Anggastya adalah pengarang menyampaikan 214

ajakan untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama. Tentunya berbuat yang sesuai dengan ajaran agama, karena setiap perbuatan kita baik itu perbuatan baik ataupun buruk akan mendapatkan karma di kehidupan selanjutnya.

  • (b) Fungsi Geguritan Anggastya

Geguritan sebagai salah satu karya sastra Bali tradisional memiliki fungsi-fungsi dalam lingkungan masyarakat sosial Bali. Damono (1978: 4) menyebutkan bahwa karya sastra berfungsi mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Karya sastra dapat berfungsi sebagai pembaharu dan perombak, dan karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai hiburan belaka. Berpegangan pada pendapat ini, maka karya sastra tidak hanya memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, namun juga memiliki fungsi pendidik. Dalam Geguritan Anggastya terkandung beberapa ajaran Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila/Etika, dan Upacara. Tattwa atau filsafat, erat kaitannya dengan ajaran kepercayaan dalam umat Hindu yang dikenal dengan Panca Sradha.

Fungsi sebagai media pendidikan moral dan pembangkit kecerdasan akal yang terkandung dalam Geguritan Anggastya, ditunjukkan dengan banyaknya ditemukan ajaran moral khususnya dalam bertingkah laku sebagai sang catur wangsa serta adanya kiasan-kiasan yang bertujuan untuk mengasah kemampuan pikiran kita dalam memecahkan suatu permasalahan.

Fungsi sebagai media pembinaan sosial dalam Geguritan Anggastya mengajarkan kita untuk selalu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dengan tidak memandang seseorang dari derajatnya.

  • 6.    Simpulan

Geguritan Anggastya merupakan salah satu karya sastra tradisional yang berbentuk puisi narasi. Geguritan Anggastya memiliki bentuk geguritan tetapi dari segi isi berisikan tentang tutur atau nasehat-nasehat yang baik. Analisis mengenai struktur bentuk difokuskan pada analisis yang meliputi konvensi masing-masing pupuh pembangun GA, gaya bahasa yang ditampilkan serta ragam bahasa yang digunakan dalam GA. Penggunaan bahasa dalam GA meliputi Bahasa Bali Alus, Bahasa Bali Madia, dan Bahasa Bali Kasar. Gaya bahasa yang terdapat dalam GA adalah gaya bahasa perbandingan, pertautan, pertentangan

Struktur naratif yang terdapat dalam GA meliputi insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan amanat. Semua unsur tersebut terjalin dalam satu kesatuan cerita yang bulat dan utuh. Analisis fungsi yang terdapat dalam GA terbagi menjadi tiga bagian yaitu fungsi sebagai media pengajaran agama, fungsi sebagai media pendidikan dan pembangkit kecerdasan akal dan fungsi pembinaan social

  • 7.    Daftar Pustaka

Darmono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra sebagai Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidkan dan Kebudayaan.

Granoka, Ida Wayan Oka. 1981. “Dasar-Dasar Analisis Aspek Bentuk Sastra Paletan Tembang”. Denpasar: Jurusan Sastra Bali, Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. “Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Saad, M. Saleh. 1967. “Catatan Kecil Sekitar Penelitian Kesusastraan”. Dalam Lukman Ali (ed). Bahasa dan Kesusastraan sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.

Sudaryanto. 1982. Metode Penelitian Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode Dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Universiti Press.

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Sukada, I Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Masalah Sistematisasi, Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

216