CITRA WANITA DALAM TEKS GEGURITAN SRI ESWARYADALA
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 16.2 Agustus 2016: 228-234
CITRA WANITA DALAM TEKS GEGURITAN SRI ESWARYADALA
Nyoman Pratiwi Utami1*, I Wayan Suteja2, Ida Bagus Rai Putra3 [123]Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]
*
Corresponding Author
ABSTRACT
The research discusses the text Geguritan Sri Eswaryadala with analysis of images of women. The analysis aims to reavel the structure of the building work of literature and image of women contained in Geguritan Sri Eswaryadala.
Methods and thechniques used there are three stage. (1) phase of the data providers used methods of reading and translation techniques and notes. (2) phase analysis of data using qualitative methods, deskriptive-analytic technique. (3) stage presentation of the result of data analysis using formal and informal methods aided by inductive-deductive technique.
The result obtained from this research is forma structure composed of literature and language codes, style and variety of language. Narative structure consists of insiden, plot, character and characterzation, setting, theme and mandate. The narrative structure of one of the most important elements in revealing images of woman that may be in Geguritan Sri Eswaryadala. Images of womwn in Geguritan Sri Eswaryadala played by Ni Dyah Tantri can be divided into two parts, namely beautiful from inside and beautiful outside ourselve (phisically). Images of women intellectuals. Intellectuals means being able to use intelligence abtained is according to the situation at hand. Image of women who are ethical. Ethical means being able to behave well and good manners with their older, with their own age and those who are smaller than we are. Images of women suputra. Suputra means a child who is able to serve and do good to parents.
Keywords: geguritan, structure and images of women.
Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa. Melalui karya sastra pengarang dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga dalam karya sastra terdapat makna tertentu tentang
kehidupan. Kesusastraan Bali merupakan segala hasil karya cipta yang mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya dan memuat mengenai kehidupan masyarakat Bali.
Geguritan merupakan salah satu hasil dari kesusastraan Bali purwa atau kesusastraan Bali tradisional. Sastra Bali purwa adalah warisan sastra Bali yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pendukungnya (Granoka, 1981:1). Karya sastra tradisonal khususnya geguritan cukup dikenal dan tetap akan hidup dalam kehidupan masyarakat Bali sampai pada saat ini. Hal tersebut ditandai dengan masih adanya kegiatan mabebasan yang berkembang di dalam masyarakat baik dengan cara diadakannya lomba-lomba, pengajaran di sekolah ataupun kegiatan yang lainnya. Geguritan dibentuk oleh beberapa pupuh yang dimana pupuh-pupuh tersebut diikat oleh beberapa syarat yang disebut dengan padalingsa, yaitu banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris, banyaknya baris dalam tiap-tiap bait, dan bunyi akhir tiap-tiap baris menyebabkan pupuh-pupuh itu harus dilagukan (Agastia, 1980: 17).
Pada kesempatan ini, yang akan diteliti adalah salah satu geguritan yang terdapat di Kantor Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Dari berbagai macam geguritan yang ada, penulis menggunakan naskah Geguritan Sri Eswaryadala yang selanjutnya akan disingkat GSE. GSE ini merupakan sebuah karya sastra yang telah disalin ke dalam bahasa Bali latin oleh I Gede Suparna. Di samping itu, GSE ini sudah pernah dikaji dengan judul Geguritan Sri Eswaryadala Sebuah Kajian Penokohan Dan Amanat oleh bapak I Nengah Duija pada tahun 1991.
Salah satu yang menjadi keunikan dari GSE ini adalah dari segi citra wanita yang terdapat didalam GSE yang menjadikan karya ini menarik untuk diteliti. Citra wanita yang dilukiskan tersebut tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat, meskipun tidak semua masyarakat mengalami hal serupa. Kedudukan tokoh wanita dalam GSE sebagai seorang yang memiliki citra baik. Citra wanita yang terdapat didalam GSE ini menggambarkan mengenai seorang wanita yang memiliki paras yang cantik serta ayu, seorang wanita yang intelektual.
Penelitian yang mengkaji citra wanita dan makna dalam GSE tersebut sejauh pengamatan penulis belum pernah ada yang menelitinya. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, maka penulis akan mengkaji citra wanita dalam GSE. Oleh sebab itu,
penelitian ini akan menggunakan teori feminisme untuk mengkaji citra wanita, dan teori semiotika untuk meneliti makna yang terdapat di dalam GSE. Citra wanita yang terdapat dalam GSE memang hampir sebagaian besar dimiliki oleh masyarakat luas meskipun tidak selalu sama persisi seperti yang terdapat dalam GSE. Beberapa bentuk pemaparan di atas tentang GSE menunjukkan bahwa banyak hal yang mendasari ketertarikan peneliti terhadap GSE, oleh sebab itu GSE perlu dikaji lebih mendalam lagi pada aspek citra wanita.
Bertolak dari uraian latar belakang di atas, maka timbul beberapa permasalahan dalam mengkaji suatu karya sastra. Begitu juga dengan GSE ini sebagai bahan kajian yang penuh dengan permasalahan di dalamnya. Karena kajian yang dilaksanakan mengenai citra wanita, maka dapat diangkat beberapa permasalahan, antara lain :
-
1. Apa sajakah struktur yang membangun GSE ?
-
2. Bagaimanakah citra wanita yang terdapat dalam GSE ?
-
3. Apa sajakah makna yang terdapat dalam GSE ?
Setiap analisis suatu karya sastra memiliki suatu tujuan. Tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam sebuah penelitian. Adapun tujuan penelitian ini, antara lain: menambah khazanah di bidang sastra khususnya karya sastra Bali tradisional, untuk mengetahui struktur yang membangun GSE, serta untuk mengetahui citra wanita dan makna yang terdapat didalam GSE.
Metode berasal dari kata methodos, dalam bahasa Latin, sedangkan methodos itu sendiri berasal dari kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, sedangkan hodos berarti jalan atau arah. Selain menggunakan metode, juga digunakan teknik
sebagai alat untuk membelah dan menunjang dari metode-metode yang digunakan. Teknik berasal dari bahasa Yunani, yaitu tekhikos yang berarti alat atau seni menggunakan alat. Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yakni:
-
(1) Tahap penyediaan data digunakan metode membaca. Penelitian ini menggunakan metode membaca untuk memudahkan pembaca memahami isi dari GSE yang ditempuh dengan cara melakukan pembacaan secara berulang-ulang kali. dan teknik terjemahan dan mencatat. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik terjemahan. Yaitu menerjemahkan GSE dari naskah yang menggunakan bahasa Bali dilanjutkan dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Adapun teknik terjemahan yang dilakukan yaitu dibedakan menjadi dua benuk yaitu terjemahan harfiah (kata demi kata) dan terjemahan idiomatis (terjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran yang seolah-olah bukan hasil terjemahan). (2) Tahap analisis data menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Teknik yang digunakan adalah teknik deskriptif-analitik, Secara etimologi desktipsi dan analisis berarti menguraikan. Meksipun demikian, analisis tidaklah semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2009 : 53).
-
(3) Tahap penyajian hasil analaisis data digunakan metode fomal dan informal. Metode formal adalah cara-cara penyajian dengan memanfaatkan tanda dan lambang. Sedangkan metode informal merupakan metode yang menyajikan hasil penelitian dengan kata-kata biasa. Teknik yang digunakan adalah teknik indukif-deduktif. Teknik induktif merupakan suatu proses penalaran yang bergerak dari beberapa ke semua, dari sebagian ke seluruh, (dari khusus ke umum) sedangkan deduktif beranjak dari penerapan suatu prinsip umum menuju suatu kesimpulan khusus (dari umum ke khusus) (Tarigan, 1994: 111-112).
Suatu penelitian strutur akan diawali dengan mengungkapkan struktur bentuk yang terdapat di dalam GSE. Struktur bentuk GSE yang akan dibahas meliputi kode sastra
dan bahasa, ragam bahasa, dan gaya bahasa. Kode sastra dan bahasa yang terdapat di dalam GSE meliputi pupuh yang digunakan. Serta aturan padalingsa yang mengikat pupuh tersebut. Sehingga di dalam GSE jika dibandingkan dengan pendapat Tinggen terdapat beberapa pupuh yang berbeda dengan pendapat beliau. Ragam bahasa yang digunakan dalam GSE, yaitu basa bali alus, basabali madya dan basa bali kasar. Gaya bahasa yang digunakan dalam GSE meliputi: gaya bahasa perbandingan (perumpamaan, personifikasi dan antitesis), gaya bahasa pertentangan (hiperbola dan litotes), dan gaya bahasa pertautan (eponim dan antonomasia).
Struktur naratif yang membentuk GSE terdiri dari: insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan amanat. Insiden yang terdapat di dalam GSE bisa dilihat dari awal cerita sampai akhir cerita. Alur yang digunakan di dalam GSE adalah alur lurus. Terdapat tiga tokoh yang memiliki peran penting didalam GSE, yaitu: Ni Dyah Tantri (tokoh utama pertama), Sri Eswaryadala (tokoh utama kedua), dan Ki Bandeswarya (tokoh tambahan). Latar yang digunakan dalam GSE, yaitu: latar tempat (istana, taman, tempat pertemuan, balai pegat asih, hutan malawa, dan bale bandung) dan latar waktu (wengine “malam” dan lemah “pagi”). Tema yang terdapat di dalam GSE adalah suatu keinginan berlebihan dalam memiliki sesuatu. Sedangkan untuk amanat yang terdapat di dalam GSE sesungguhnya berupa nasihat-nasihat yang penting yang secara khusus diperuntukkan kepada kaum wanita.
Citra wanita dalam Geguritan Sri Eswaryadala yang diperankan oleh Ni Dyah Tantri dapat dibedakan menjadi empat citra wanita, yaitu : citra wanita yang cantik. Dimana cantik ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu cantik dari dalam diri dan cantik dari luar diri (fisik). Citra wanita yang intelektual. Intelektual berarti mampu menggunakan kepintaran yang dimiliki sesuai dengan situasi yang sedang dilihat. Citra wanita yang beretika. Beretika berarti mampu berperilaku baik serta sopan santu baik dengan mereka yang sebaya, dengan mereka yang lebih tua dan dengan mereka yang lebih kecil dari kita. Citra wanita yang suputra. Suputra berarti seorang anak yang mampu berbakti dan berbuat baik kepada orang tuanya.
Makna yang terdapat di dalam GSE dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu mencerahkan ibu, mencerahkan ayah dan mencerahkan raja. Didalam GSE sosok Ni Dyah Tantri digunakan sebagai perantara dalam memecahkan kesulitan yang sedang
dialami oleh orang-orang disekelilingnya. Mencerahkan ibu, mencerahkan ayah dan mencerahkan raga didalam GSE berarti diharapkan mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh ibu, ayah dan raja berdasarkan kepintaran yang dimilikinya dan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi dan mampu menahan emosi untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Sehingga mampu menenangkan siapan saja yang ada disekelilingnya.
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: Kajian struktur GSE menjabarkan struktur GSE yang meliputi struktur bentuk dan naratif. Analisis struktur bentuk meliputi kode sastra dan bahasa, ragam bahasa, dan gaya bahasa. Sedangkan utnuk struktur naratif meliputi insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan amanat.
Citra wanita dalam Geguritan Sri Eswaryadala yang diperankan oleh Ni Dyah Tantri dapat dibedakan menjadi empat citra wanita, yaitu : citra wanita yang cantik. Dimana cantik ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu cantik dari dalam diri dan cantik dari luar diri (fisik). Makna yang terdapat di dalam GSE dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu mencerahkan ibu, mencerahkan ayah dan mencerahkan raja. Mencerahkan ibu, mencerahkan ayah dan mencerahkan raga didalam GSE berarti diharapkan mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh ibu, ayah dan raja berdasarkan kepintaran yang dimilikinya dan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.
Agastia, Ida Bagus Gede. 1980. “Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali.” (Makalah Untuk Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali II di Denpasar)
Duija, I Nengah. 1991. “Geguritan Sri Eswaryadala Sebuah Kajian Penokohan dan Amanat.” (Skripsi Jurusan Satra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana)
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Medpress
Granoka, Ida Wayan Oka. 1981. “Dasar-Dasar Analisis Aspek Bentuk Sastra Paletan Tembang.” (Makalah untuk Lingkungan Kuliah Jurusan Sastra Bahasa dan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana).
Kaelan, M.S. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
Koentjaraningrat. 1974. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Aksara Baru.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Teori Sastra, Metode, Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suardiana, I Wayan. 2011. Crita Manyarita Sajeroning Kasusastraan Bali Purwa. Denpasar: Cakra Press
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana Univerasity Press.
Sutrisnayanti, Putu. 2011. “Citra Wanita dalam Geguritan Dreman.” (Skripsi Jurusan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana)
Tim Peneliti Fakultas Sastra Udayana. 1987/1979. “Unda Usuk Basa Bali”. Jakarta: Depdikbud.
Titib, I Made. 1998. Citra Wanita Dalam Kakawin Ramayana. Surabaya: Paramita
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. (Edisi Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
234
Discussion and feedback