Sindrom Stockholm Tokoh Cerita Dalam Roman Anak Perawan Di Sarang Penyamun: Analisis Psikologi Sastra
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 16.1 Juli 2016: 276 – 282
Sindrom Stockholm Tokoh Cerita
Dalam Roman Anak Perawan Di Sarang Penyamun: Analisis Psikologi Sastra
Taufik Akhsan1*, I Ketut Sudewa2, I G.A.A. Mas Triadnyani3 123Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]
*
Corresponding Author
Abstract
The main presumption that used as basis of this research was the stockholm syndrome on Sayu. Concerning stockholm syndrome was a psychological phenomenon, therefore this research used two theories, which is structural theory and psychology litterature theory. The result of this reasearch concluded that Sayu’s behavior shows the individual dan situational characteristics of stockholm syndrome. The existence of stockholm syndrome in this work extraordinarily harmonize the entire plot element of Anak Perawan di Sarang Penyamun as one solid litterature work.
Keywords: litterature, psychology, syndrome.
Dewasa ini seringkali muncul fenomena hubungan yang diwarnai dengan kekerasan. Di dalam hubungan manusia, kekerasan umumnya dianggap sebagai perilaku menyimpang dan melambangkan perilaku dominatif. Meskipun paradigma umum menganggap kekerasan sebagai perilaku degeneratif, korban penganiayaan cenderung melakukan penerimaan terhadap pelaku kekerasan.
Dalam psikologi dikenal istilah sindrom stockholm atau betrayal bond. Istilah tersebut dinamakan untuk fenomena psikologis ketika korban kekerasan menumbuhkan keterikatan terhadap pelaku kekerasan. Berdasarkan pengamatan, tokoh Sayu dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana menunjukkan karakteristik fenomena sindrom stockholm. Penelitian ini dilaksanakan dengan dasar asumsi keberadaan fenomena tersebut dalam objek kajian.
Paradigma umum cenderung memandang fenomena sindrom stockholm sebagai perilaku negatif karena reaksinya yang tidak wajar terhadap perilaku tercela. Namun tidak dapat dipungkiri terdapat nilai universal yang berbicara posisi kekerasan dalam pembentukan hubungan manusia. Di dalam penelitian ini, keberadaan fenomena sindrom stockholm menjadi penggerak cerita yang menjalin kepaduan unsur roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Masalah yang dipecahkan dalam penelitian ini, yaitu (1) struktur roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana; (2) fenomena sindrom stockholm yang terjadi pada tokoh cerita dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana
Secara umum tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk meningkatkan khazanah penelitian sastra dalam bidang psikologi sastra dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra. Secara khusus penelitian ini bertujuan memahami struktur intrinsik dan fenomena sindrom stockholm dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun.
Metode penelitian dibagi dalam tiga tahapan. Pertama, tahapan pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan. Kedua, tahapan analisis data menggunakan metode formal dan metode deskriptif analitik. Ketiga, tahapan penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif analitik.
Stanton (2012:22) mengemukakan bahwa unsur-unsur intrinsik karya sastra merupakan fakta cerita, yang terdiri atas penokohan, alur cerita, dan latar. Menurut
Wellek dan Warren (dalam Ratna, 2013:22), analisis intrinsik adalah tinjauan terhadap objek dari dalam, tanpa mempertimbangkan relevansi unsur-unsur yang ada di luarnya.
-
(1) Penokohan
Nurgiyantoro (2005:176) menyatakan bahwa tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Dalam penelitian ini tiga tokoh utama, yakni: Sayu, Medasing, dan Samad. Analisis penokohan menggunakan teori block characterization Lajos Egri (dalam Sukada, 1987:135), yakni: fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
Sayu merupakan tokoh utama dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. Secara fisiologis Sayu digambarkan sebagai gadis cantik. Secara sosiologis Sayu merupakan putri saudagar Haji Sahak dari masyarakat etnis melayu dan beragama Islam. Secara psikologis Sayu digambarkan sebagai gadis yang berwatak lembut, riang gembira, berpendirian teguh, dan penyabar.
Medasing merupakan tokoh utama penyamun. Secara fisiologis Medasing digambarkan sebagai perampok bertubuh besar dan berpenampilan ganas. Secara sosiologis Medasing merupakan pemimpin para penyamun yang tinggal di hutan. Secara psikologis Medasing digambarkan berwatak pemarah, sombong, dan agresif. Perilaku Medasing berubah menjadi luhur setelah mengganti nama menjadi Karim.
Samad merupakan tokoh antagonis. Secara fisiologis, Samad digambarkan bertubuh besar dan kuat. Secara sosiologis Samad tinggal di lingkungan masyarakat kota Tanjung Pinang dan bekerja sebagai mata-mata penyamun. Secara psikologis, Samad berwatak gigih dan pandai bermuslihat.
-
(2) Alur
Aristoteles (dalam Butcher, 1902:25) berpendapat bahwa plot adalah arrangement of incidents atau rangkaian peristiwa. Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2005:142) mengemukakan bahwa sebuah cerita terdiri dari tiga tahapan, yakni: tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.
Tahap awal adalah eksposisi cerita yang mengisahkan perampokan Haji Sahak dan penculikan Sayu. Dalam tahap ini penokohan cerita diekspos dengan rinci.
Tahap tengah merupakan tahapan komplikasi cerita. Dalam tahapan ini diceritakan Sayu mulai membiasakan diri tinggal di sarang penyamun. Samad mulai menggunakan segala cara untuk melarikan Sayu dengan menumbalkan penyamun. Penyamun mati satu persatu. Karena terluka dalam perburuan Medasing terpaksa hidup dari belas kasihan Sayu. Medasing mulai membuka diri kepada Sayu dan menceritakan masa laluya. Atas permintaan Sayu Medasing meninggalkan penyamunan untuk mencari keluarganya di Pagar Alam. Klimaks cerita ditandai dengan kesadaran Medasing atas perbuatannya yang menyebabkan penderitaan orang lain.
Tahap akhir merupakan bagian yang menceritakan hasil dari klimaks cerita. Di dalam tahapan ini diceritakan bahwa Medasing telah mengganti nama menjadi Karim. Karim telah menikah dengan Sayu dan telah melaksanakan ziarah haji. Di tengah jalan Karim bertemu Samad dan berpisah dengan tujuan perjalanan yang berseberangan.
-
(3) Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung (Stanton, 2012:35). Latar roman Anak Perawan di Sarang Penyamun diuraikan dalam tiga unsur, (Nurgiyantoro, 2005:227) yakni: latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
Latar tempat adalah Pulau Sumatera. Lokasi yang muncul dalam cerita antara lain: Kota Pagar Alam, Bandar, Gunung Dempo, Lembah Endikat, Lembah Lematang, Palembang, Pulau Pinang, Pasemah, dan Lahat.
Latar waktu waktu terjadi antara tahun 1602 sampai dengan 1942. Informasi ini dideduksikan dari keberadaan perusahaan dagang belanda VOC.
Latar sosial cerita adalah masyarakat Sumatera. Peristiwa sosial yang terjadi dalam cerita adalah budaya migrasi masyarakat Sumatera dan ziarah haji zaman pra-modern.
-
b. Sindrom Stockholm Tokoh Cerita Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun (1) Psikologi Kepribadian
Kepribadian manusia menurut Freud (1980:xxxiii) merupakan hasil pertentangan unsur-unsur kepribadian manusia yang terdiri atas: id, ego, dan superego.
Kepribadian Sayu mempunyai kecenderungan represi pulsi id dengan superego dalam mengaktualisasikan dirinya. Pemilihan terhadap pemenuhan pulsi id hanya dilakukan dalam situasi yang mempertaruhkan ketahanan hidup Sayu.
Kepribadian Medasing cenderung memenuhi pulsi id secara sempurna. Unsur superego cenderung diabaikan dalam aktualisasi kepribadian. Kepribadian Medasing berubah ketika mengganti nama menjadi Karim. Karim menjunjung moral superego dengan kecenderungan merepresi pulsi id dalam mengaktualisasikan ego.
Samad melakukan aktualisasi kepribadian yang memenuhi pulsi id. Samad cenderung mengabaikan nilai-nilai superego. Dalam mengaktualisasikan ego, Samad berperilaku penuh muslihat untuk menjamin keamanan hidupnya.
-
(2) Sindrom Stockholm Tokoh Cerita
Sindrom stockholm adalah fenomena psikologis ketika sandera menumbuhkan simpati kepada penyanderanya. Dalam penelitian ini sindrom stockholm dianalisis berdasarkan peranan tokoh utama, yakni: Sayu, Medasing, dan Samad. Sindrom Stockholm Sayu dianalisis melalui dua jenis karakteristik, yakni karakteristik yang muncul pada individu dan karakteristik situasi.
De Fabrique, dkk.(dalam Ott, 2007:12) mengemukakan individu yang mengalami sindrom stockholm menunjukkan tiga karakteristik. (1) sandera mempunyai perasaan positif kepada penyandera. (2) sandera menunjukkan perasaan negatif kepada pihak penyelamat. (3) penyandera menumbuhkan perasaan positif kepada sanderanya.
Sayu diimplikasikan mempunyai perasaan positif kepada Medasing. Empati Sayu kepada penyamun digambarkan dalam perilaku Sayu yang tidak mampu meninggalkan Medasing yang terluka parah.
Perilaku penolakan Sayu terhadap penyelamat ditunjukkan dalam penolakannya terhadap Samad. Sayu menunjukkan ketidakpercayaan kepada Samad karena berseberangan dengan upayanya berempati kepada penyamun.
Medasing menunjukkan perasaan positif kepada Sayu dengan menceritakan masa lalunya. Medasing yang terluka parah terpaksa menggantungkan hidupnya kepada Sayu. Keterikatan ini akhirnya mendorong Medasing meninggalkan profesinya sebagai penyamun atas pengaruh Sayu.
Sindrom stockholm mempunyai empat karakteristik situasi. (1) Sandera mempercayai terdapat ancaman. (2) Ada “kebaikan kecil” dalam situasi yang terjadi. (3) Isolasi sudut pandang lain selain penyandera. (4) Kepercayaan sandera tidak mampu melarikan diri.
Keberadaan ancaman mengacu pada penyamun. Sayu mempercayai penyamun sebagai ancaman kepada dirinya.
Sayu ternyata diperlakukan dengan tidak acuh. Ketidakacuhan para penyamun tampak sebagai sebuah kebaikan di tengah penderitaan yang sedang dialami Sayu.
Karena seorang korban berada pada situasi penyanderaan, maka kecenderungan untuk menyenangkan penyandera muncul. Korban terpaksa berpikir sebagaimana penyanderanya. Dari perilaku ini Sayu menumbuhkan empati kepada penyanderanya.
Ketidakmampuan Sayu untuk lari dari situasi menyebabkan Sayu terpaksa membiasakan diri tinggal di sarang penyamun. Sayu yang belum mandiri menggantungkan hidupnya kepada penyamun meskipun bertentangan secara moral.
Pembentukan sindrom stockholm pada Sayu dipengaruhi oleh dua tokoh utama yang kedudukannya saling berseberangan. Medasing sebagai penyandera yang pasif dan Samad sebagai penyelamat yang aktif agresif. Pengaruh dua tokoh ini menyimpulkan situasi penyanderaan dalam mendefinisikan perilaku Sayu sebagai sindrom stockholm.
-
(3) Inerpretasi Penelitian yang Relevan
Penelitian ini merupakan sebuah upaya interpretasi yang bertanggungjawab dengan menganalisis roman Anak Perawan di Sarang Penyamun menggunakan teori psikologi sastra. Meskipun mampu menjelaskan fenomena kejiwaan manusia, psikologi seyogyanya tidak dipandang sebagai penjelasan final. Pendekatan terhadap karya sastra secara objektif sebetulnya tidak akan pernah cukup dalam memahami karya sastra. Sebagaimana diungkapkan oleh Teeuw, (1983:41) karya sastra tidak boleh dilepaskan dari rangka sejarah sastra dan rangka sosial-budayanya.
Perilaku Sayu menunjukkan karakteristik fenomena sindrom stockholm. Penyanderaan Sayu menunjukkan karakteristik situasi dalam pembentukan fenomena
sindrom stockholm. Sindrom stokholm Sayu dipengaruhi oleh tokoh Medasing sebagai penyamun dan Samad sebagai penyelamat.
Butcher, S.H. 1902. Poetics of Aristotle Edited with Critical Notes and a Translation Third Edition Revised. New York: The Macmillan Company.
Freud, Sigmund. 1980. Memperkenalkan Psikoanalisa. Cetakan ke-2. Diterjemahkan oleh: K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ott, John E. 2007. FBI Law Enforcement Bulletin, Volume 76, Number 7. Pennsylvania: Federal Bureau of Investigation.
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi. Cetakan ke-2. Diterjemahkan oleh: Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukada, I Made. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Penerbit Kayumas & Yayasan Ilmu dan Seni Lesiba.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 2014. Teori Kesusasteraan. Cetakan ke-5. Diterjemahkan oleh: Melani Budianti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
282
Discussion and feedback