Citra Wanita Penyihir Dalam Novel Ratna Tribanowati Karya I Made Sugianto: Suatu Kajian Kritik Sastra Feminis
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 16.1 Juli 2016: 196 – 203
Citra Wanita Penyihir Dalam Novel Ratna Tribanowati Karya I Made Sugianto: Suatu Kajian Kritik Sastra Feminis
Ni Luh Kadek Richa Dwitasari1*, I Dewa Gede Windhu Sancaya2, Ni Made Suryati3
123Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]] *
Corresponding Author
Abstract
This study discusses about Ratna Tribanowati Novel with the analysis structure, image of the sorceress, and gender ideology. This study uses the structural theory and literary criticism of feminism. Methods and techniques in this study consisted of three steps: (1) stage of providing data used methods of reading and translation techniques, (2) stage of data analysis used descriptive analytic, (3) stage of presentation of data analysis using informal methods, aided by engineering deductive and inductive.
The results obtained in this study are the narrative structure of the novel. Ratna Tribanowati major theme of the novel is love, while the minor theme of this novel is a love story between a man and a woman who finally fused. There are six primary characters important incident in Ratna Tribanowati novel. The character events (major) named Ratna Tribanowati portrayed through the psychological aspect, physical, and sociological. Plot in the Ratna Tribanowati novel follow the usual pattern of tradisional. Setting include the appropriate place and time running storylines. Mandate contained in the Ratna Tribanowati novel is do not be cheap, either not prejudiced, thinking before acting, and the truth will win. Novel image of the sorceress in Ratna Tribanowati is a strong image of religious values is evident. Strong beliefs about religion, Tri Kaya Parisudha appear on this novel. Gender ideology that character novel Ratna Tribanowati about the ideology of feminism is very apparent at the end of the story.
Keywords : novel, structure, feminist approach.
Sastra Bali Modern dari waktu ke waktu menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam bentuk puisi, cerita pendek, maupun novel. Pada saat yang sama juga telah lahir pengarang-pengarang baru dengan karya-karya yang diterbitkan baik di media masa, surat kabar, maupun dalam bentuk buku.
Salah satu novel karya I Made Sugianto yang diteliti adalah novel Ratna Tribanowati. Novel ini menonjolkan peran seorang tokoh wanita yang bernama Men Giro, yang dilukiskan sebagai seorang wanita penyihir. Gambaran tentang adanya tokoh penyihir biasanya ditemukan dalam sastra-sastra Bali tradisional, seperti dalam cerita Calon Arang yang sudah sangat terkenal, geguritan Basur, geguritan Dukuh Suladri, geguritan Wayan Umbaran, dan sebagainya. Tokoh penyihir yang dimaksudkan di sini adalah tokoh yang memiliki kekuatan magis yang sering digunakan untuk mencelakai orang lain. Dalam sastra Bali modern pun gambaran tentang tokoh penyihir juga ditemukan, seperti terlihat di dalam novel Tribanowati karya I Made Sugianto.
Dihadirkannya tokoh wanita yang digambarkan sebagai seorang penyihir dalam Sastra Bali Modern merupakan hal yang menarik untuk diteliti dari kritik sastra feminis, yaitu sejauh manakah ideologi patriarkhi telah mempengaruhi penciptaan karya sastra Bali dan bagaimanakah citra wanita digambarkan dalam novel karya I Made Sugianto ini.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka adapun masalah yang dirumuskan ke dalam sebuah pertanyaan bagaimana citra wanita penyihir digambarkan dalam Novel Ratna Tribanowati?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan serta menambah pengetahuan dan informasi dalam memahami sebuah karya sastra khususnya sastra modern berupa novel. Selain itu juga dapat meningkatkan minat baca serta meningkatkan apresiasi masyarakat Bali terhadap karya-karya sastra Bali modern yang bermanfaat bagi kehidupan di masyarakat. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk memecahkan permasalahan yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah, yakni: mendeskripsikan dan mengetahui struktur yang membangun novel Ratna Tribanowati; mendeskripsikan dan mengkaji citra wanita penyihir yang terdapat dalam novel Ratna Tribanowati; mendeskripsikan dan mengetahui ideologi gender mewarnai penciptaan novel Ratna Tribanowati.
Dalam penelitian ini metode dan teknik yang digunakan, yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap penyediaan data dipergunakan metode yang digunakan yaitu metode simak yaitu menyimak karya sastra dengan membacanya berulang-ulang ( Sudaryanto, 1988:2). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (1) teknik pencatatan, dan (2) teknik terjemahan.
Pada tahap analisis data, metode yang digunakan, yaitu metode kualitatif dan ditunjang dengan deskriptif analitik. Pada tahap penyajian hasil analisis data digunakan metode formal dan informal, yang dibantu dengan teknik deduktif dan induktif
Citra (image) yang ditunjukn oleh wanita dalam Sastra Bali sejak jaman kolonial sampai sekarang belum dianggap mulia. Mereka selalu ditampilkan sebagai budak, korban pemerkosaan, atau munafik karena status kasta. Citra wanita Bali yang hina itu, terungkap kental dalam novel-novel Panji Tisna,
Faisal Baraas, Putu Wijaya, dan Aryantha Soethama (Darma Putra, 2010:129).
Citra wanita yang tertindas dari hasil karya sastra kolonial bisa dilihat dalam dua novel Panji Tisna yang berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang dan Sukreni Gadis Bali. Ni Rawit adalah bekas penari yang ditampilkan sebagai ceti, penjudi, penghisap madat, dan makelar budak. Masa lalu Ni Rawit sebagai penari, citra yang mungkin lebih harum dan mulia, tidak dikisahkan sama sekali oleh Panji Tisna dalam novel ini. Dibandingkan dengan Ni Rawit, penderitaan Sukreni dalam novel Panji Tisna yang kedua tentu tak kalah perihnya. Gadis cantik ini menjadi korban kolusi antara pemilik warung yang rakus (Men Negara) dengan Mantri Polisi amoral (I Gusti Made Tusan). Pak Polisi memperkosa Sukreni di rumah Men Negara, ketika Sukreni bermalam di rumah Men Negara. Pak Polisi memutuskan untuk tidak memproses kasus Men Negara yang memotong babi tanpa izin pengadilan. Men Negara tida mengetahui bahwa Sukreni adalah anak kandungnya sendiri. Hingga akhirnya Sukreni meninggal dunia, anaknya yang lahir dari hasil pemerkosaan menjadi perampok ganas.
Wanita digambarkan sebagai tokoh penyihir dalam Sastra Bali, memang sering kali dikatakan lebih ampuh jika dibandingkan dengan pria. Seperti yang telah diketahui, pada jaman dahulu banyak terjadi perendahan martabat wanita, sehingga banyak wanita yang "dituduh" sebagai tukang sihir jahat. Di Bali ilmu sihir disebut sebagai ilmu pangleakan.
Ilmu pangleakan merupakan suatu ilmu kuno yang diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali. Kata leak sudah mendarah daging di benak masyarakat Hindu di Bali atau asal Bali yang tinggal di perantauan sebab kata-kata ini sangat sering kita dengar dan membuat bulu kuduk merinding atau hanya sekedar tidak berani keluar malam karena “leak” ini. Leak adalah mahluk jadi-jadian yang berwujud berisi jeroan yang melayang mencari korban berupa manusia. Banyak laporan yang jadi saksi mata soal penampakan Leak
ini. Tak heran, setiap bulan mati (malam tanpa bulan) selalu ada ritual khusus di pura-pura guna melindungi umat dari gangguan Leak. Leak dipercaya sebagai jelmaan orang yang menguasai ilmu ‘hitam’. Leak juga dipercaya dapat membunuh manusia secara singkat, atau secara perlahan dengan penderitaan yang berkepanjangan (Made Suastika, 1997: 44).
I Wayan Kardji (1999: 23) menyatakan bahwa, kemunculan wanita penyihir dalam Sastra Bali, diawali dengan cerita Calonarang. Peristiwa berawal ketika Raja Airlangga (1006-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 M sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Prasasti tidak menyebutkan bahwa keraton Airlangga ada di Daha, tetapi naskah Calon Arang ini menyebutkan keraton Airlangga ada di Daha (Kediri).
Sebagai seorang penekun ilmu sihir pangleakan, Men Giro adalah orang yang saleh, tidak sembarangan menggunakan ilmu yang dimiliki, ia mampu menyembuhkan orang sakit hingga sembuh kembali. Namun, di mata masyarakat ia malah dituduh ngiwa, sehingga Men Giro dan anaknyanya kasepekang oleh warga sekitar. Karena ibunya di tuduh ngiwa, Ratna Tribanowati anaknya menjadi sangat sulit menemukan jodohnya. Ratna Tribanowati sedih menerima hal itu. Men Giro juga merasa sedih atas nasib yang menimpa anaknya.
Ilmu sihir pangleakan dalam konteks sosial, budaya masyarakat Bali membayangkan seseorang pada suatu kekuatan magis., yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa. Ada dua jenis ilmu pangleakan yang dipercayai masyarakat Bali, yaitu ilmu hitam dan ilmu putih. Dari alur cerita, Men Giro memang seorang penekun ilmu pangleakan yang sangat dikenal oleh masyarakat Marabaya. Apa yang dilukiskan pengarang dalam karya ini merupakan menyangkut profesi Men Giro sebagai penekun ilmu pangleakan. Dalam kutipan novel Ratna Tribanowati tampak ketika Men Giro berhasil
mengobati orang yang sakit menjadi sembuh seperti sedia kala. Kesembuhan orang tersebut membuat prasangka yang tidak baik terhadap Men Giro, sehingga ia kasepekang oleh warga disekitarnya.
Di Bali istilah anak nyastra artinya orang yang berilmu. Anak nyastra ini dikenal suka membaca ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama dan berkaitan dengan magic. Bagi anak nyastra kesenangan membaca buku-buku maupun kitab-kitab dapat mendorongnya melakukan kebaikan dan kebajikan terhadap sesama, sehingga orang demikian sebenarnya mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat. Men Giro mendapatkan ilmunya dari Bhatari Dhurga juga banyak memiliki kitab-kitab. Kitab-kitab tersebut merupakan bagian dari kepustakaan Bali. Men Giro seperti yang dilukiskan di dalam novel Ratna Tribanowati adalah seorang penekun ilmu sihir. Meskipu memiliki ilmu sihir yang tinggi, Men giro bertindak sesuai ajaran agama. Demikian juga halnya dengan balian dan Bapa Samar Gantang. Seorang yang sakti dalam konteks budaya Bali adalah seseorang yang menguasai ilmu magic, baik yang putih maupun yang hitam.
Berdasarkan konteks citra budaya Bali, seorang penekun ilmu sihir biasanya orang yang mempelajari dan mempraktekan ilmu hitam atau ngiwa, sedangkan seseorang yang mempelajari ilmu putih disebut nengen. Setiap orang di Bali percaya bahwa tubuhnya bagaikan baterai listrik yang menghimpun suatu tenaga magic yang disebut sakti (Covarrubias dalam penelitian Windhu. dkk, 1996:88).
Berdasarkan analisis dan uraian di depan, akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut. Pada analisis semiotik dibahas mengenai citra wanita penyihir dalam novel Ratna Tribanowati yang diulas untuk mendapatkan citra-citra yang terkandung di dalamnya, yaitu:
-
(1) Citra Wanita dalam Sastra Bali yaitu ditunjukan sejak jaman kolonial sampai sekarang belum dianggap mulia. Mereka selalu ditampilkan sebagai budak, korban pemerkosaan, atau munafik karena status kasta. Citra wanita Bali yang hina itu, terungkap kental dalam novel-novel Panji Tisna, Faisal Baraas, Putu Wijaya, dan Aryantha Soethama;
-
(2) Wanita Penyihir dalam Sastra Bali Wanita memang sering kali dikatakan lebih ampuh jika dibandingkan dengan pria. Seperti yang telah diketahui, pada jaman dahulu banyak terjadi perendahan martabat wanita, sehingga banyak wanita yang "dituduh" sebagai tukang sihir jahat;
-
(3) Wanita Penyihir dalam novel Ratna Tribanowati adalah Men Giro. Sebagai sebuah novel yang lahir dari suatu lingkungan budaya yang sangat dipengaruhi oleh sisitem nilai agama yang kuat. Citra yang kuat tentang nilai agama dalam novel ini terlihat sangat jelas. Kuatnya kepercayaan tentang ajaran agama yaitu Tri Kaya Parisudha nampak pada novel ini. dilihat dari latar belakang kebudayaan Bali, praktek magic memang banyak ditemukan di masyarakat. Magic ternyata menduduki tempat-tempat secara dominan dalam kesusastraan Bali., termasuk di dalam novel Ratna Tribanowati. Tokoh yang berprofesi sebagai penekun ilmu sihir seperti tokoh Men Giro, Balian, dan Bapa Samar Gantang dalam novel ini, menunjukan bahwa ilmu sihir mendapat proporsi yang cukup dala karya sastra.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Putra, I Nyoman Darma. 2010. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar: Pustaka Larasan.
Suastika, I Made. 1997. Calon Arang dalam Tradisi Bali. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Kardji, I Wayan. 1999. Ilmu Hitam Dari Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Sancaya, I Dewa GedeWindhu, dkk. 1996. "Citra Wanita dalam Sastra Bali Tradisionaldan Modern Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra Feminis" (laporan penelitian). Denpasar: Universitas Udayana.
203
Discussion and feedback