Tata Ruang Zona Tengah Di Desa Tenganan Pegringsingan : Kajian Arkeologi Keruangan
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 16.1 Juli 2016: 189 – 195
Tata Ruang Zona Tengah Di Desa Tenganan Pegringsingan : Kajian Arkeologi Keruangan
Ni Ketut Miasih1*, I Wayan Srijaya2, I Nyoman Widya Paramadhyaksa3
123Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]] *
Corresponding Author
Abstract
Settlement archaeology investigated of archaeological site or human place for living by all type of their daily activities. Settlement archaeology also explain about spatial that is sub-explanation from the settlement investigation. Spatial archaeology is one of the specific research in archaeology investigation which is focus in concerning investigate of spatial dimension, thing, and shape dimension.Spatial arrangement of Tenganan pegringsingan village has a partitioned pattern, straight from the north to the south or arranged linearly. Tenganan village is one of the old village in Bali which is keep holding a megalitik tradition that is still fungtioned till present. The reseach problem in this research is about building typology in center spatial of Tenganan pegringsingan village and zone image that is formed in the center spatial base on the function.
The theory that is used in this research is structural-functional theory and sacred profane theory. The method that is used to answer the problem that had been formulated in this research concerned about the step to collect the data, there are by observation, interview, book review. The next step is about processing the data by etno-archaeology analysis, quality analysis, spatial analysis, context analysis, and behavior analysis. The analysis of the problems formulated above is as follows. In the building typology, devided into 2 parts, that are sacred building and profane building. From the side of the building pattern, material also architecture, there is applied a traditional architecture by simple pattern without any ornament, decoration, and any other variation of aesthetics. From the zone that is formed in the middle zone, there are three awangan. There are awangan kauh, awangan tengah, and awangan kangin. The daily activities are done in the middle zone, both of the social activity and culture activity. Keywords : spatial arrangement, zone, and typology
Perkembangan ilmu arkeologi mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dalam ilmu arkeologi, kajian permukiman merupakan suatu kajian yang megkhususkan atau memusatkan perhatian pada persebaran kegiatan manusia serta hubungan-hubungan di dalam satuan-satuan ruang dengan tujuan memahami sistem teknologi, sosial, dan ideologi dari masyarakat masa lalu. Arkeologi permukiman mengkaji situs atau tempat tinggal manusia untuk bermukim dengan segala bentuk aktivitasnya sehari-hari.
(Sondang, 2010: 63). Arkeologi ruang merupakan salah satu studi khusus dalam kajian arkeologi yang lebih menitikberatkan perhatian terhadap pengkajian dimensi ruang, benda, dan dimensi bentuk. Arkeologi ruang juga mempelajari sebaran dan hubungan keruangan pada jenis aktivitas manusia, baik dalam skala mikro, skala meso (semi mikro), maupun skala makro.
Tata ruang merupakan pola dari kawasan sebagai wadah berlangsungnya suatu aktivitas yang saling berhubungan dalam suatu sistem tata ruang. Sedangkan aspek tata ruang sangat berkaitan dengan pandangan hidup, sistem kepercayaan yang dianut, nilai-nilai dan norma-norma yang dipegang dan pada akhirnya akan menentukan sistem kegiatan. Tata ruang di Desa Tenganan Pegringsingan memiliki pola permukiman yang berpetak-petak lurus dari utara ke selatan atau tersusun secara linear. Awangan yang berarti halaman luaran dari rumah tinggal, ruang sosial dan sekaligus sebagai jalan. Bentuk dari awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali yang bercirikan tradisi megalitik.
Desa Tenganan merupakan salah satu desa tua di Bali yang masih menunjukkan unsur-unsur tradisi megalitik yang masih difungsikan sampai sekarang. Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, penulis mengambil judul penelitian mengenai salah satu desa adat tertua di Bali yaitu “Tata Ruang Zona Tengah Desa Di Tenganan Pegringsingan”. Dengan mengambil judul tersebut dapat megetahui bagaimana tipe bangunan dan zonasi pada tata ruang zona tengah desa Tenganan Pegringsingan. Permukiman masyarakat di Tenganan Pegringsingan mempunyai susunan permukiman yang terkonsentrasi (berkelompok), bangunan rumah yang terkumpul di satu tempat.
Mengacu pada latar belakang yang diuraikan diatas maka permasalahan yang dapat dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut :
-
a. Bagaimana gambaran zonasi yang terbentuk pada ruang tengah berdasarkan fungsinya?
-
b. Bagaimana tipologi bangunan pada ruang tengah Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem?
Tujuan umum dari penelitian ini ialah merekontruksi kebudayaan manusia masa lampau berdasarkan benda yang ditinggalkan manusia. Sedangkan, tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu untuk menjawab dua pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah secara terperinci guna mengetahui tipologi bangunan pada ruang tengah Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem.
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) pendekatan kualitatif merupakan suatu tahapan kegiatan untuk mengkaji suatu aktivitas atau penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang dalam bentuk kata-kata, tulisan dan bahasa. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Sedangkan data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan pihak lain, di peroleh melalui studi pustaka berupa laporan penelitian, buku, artikel, maupun dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Kemudian Instrumen Penelitian pada penelitian ini, yaitu instrumen utama peneliti sebagai pengumpul dan penganalis data disamping alat-alat ukur lainnya seperti pedoman wawancara. Jadi, semua alat yang bisa mendukung suatu penelitian bisa disebut instrumen penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti bertujuan untuk memperoleh data yang maksimal dan akurat, teknik yang digunakan yaitu observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif, analisis etno-arkeologi, analisis keruangan, analisis kontekstual dan analisis perilaku.
-
a) . Gambaran zonasi yang terbentuk pada ruang tengah berdasarkan fungsinya. Zonasi merupakan pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan, atau zonasi juga merupakan suatu sistem yang digunakan untuk menetapkan lahan situs dengan cara penarikan garis batas pada
setiap lahan yang dibutuhkan untuk tujuan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Wilayah permukiman terdapat tiga awangan di dalamnya yakni awangan kauh, awangan tengah, dan awangan kangin. Awangan (jalan) di Desa Adat Tenganan Pegringsingan bukan hanya sebagai jalur sirkulasi penduduk desa, melainkan juga sebagai ruang terbuka milik masyarakat untuk berinteraksi. Awangan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan dibuat berudak-undak dengan lapisan batu kali yang merupakan ciri dari kebudayaan megalitik (Purwadi, 2014: 7). Awangan kauh (barat) adalah ruang terbuka di tengah desa yang bisa disebut dengan zona tengah zona tempat berkumpul semua masyarakat dari Banjar Kauh, Tengah, maupun Pande, dimana sebagian besar kegiatan dan aktivitas masyarakat dilakukan pada zona tengah, baik itu kegiatan sosial ekonomi maupun budaya.
Mata pencaharian masyarakat di Desa Tenganan Pegringsingan sebagian besar berada di zona tengah. Adapun mata pencaharian masyarakat setempat sebagai pedagang, petani, pengerajin tenun, penulis daun lontar, membuat barang-barang kerajinan anyaman dan membuat lukisan di kulit telur. Pada zona tengah juga terdapat tinggalan zaman megalitik yang berupa tahta batu yang tersebar di dalam Pura Batan Cagi dan Pura Yeh santhi.
-
b) . Tipologi Bangunan pada Ruang Tengah Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem.
Desa Tenganan Pegringsingan termasuk salah satu desa kuna di Bali berada di daerah pedalaman yang dikeliingi deretan bukit di sebelah barat, utara, dan di sebelah timur desa tersebut. Komplek perkampungannya sendiri merupakan suatu pemukiman mengelompok padat dan memusat yang dibatasi tembok-tembok batu di sekeliling desa (Rupa, dkk 2002: 45). Bangunan yang berada pada kawasan terluar dari rumah penduduk pada umumnya merupakan bangunan terbuka yang berada di area publik berderet memanjang dari selatan ke utara tepatnya di awangan Banjar Kauh. Bangunan-bangunan adat yang berada pada awangan kauh merupakan bangunan suci yang bersifat sakral. Adapun tipologi bangunan di Desa Tenganan Pegringsingan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi dua, yaitu, bangunan sakral dan bangunan profan.
-
1. Bangunan Sakral
Pengertian bangunan sakral yang dimaksud adalah bangunan yang segala sesuatunya berhubungan dengan nilai-nilai agama atau adat istiadat yang berlaku di suatu masyarakat dan difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan ritual keagamaan atau berbagai upacara keagamaan. Pada ruang tengah terdapat 3 bangunan sakral yang terdiri dari Pura Ulun Swarga, Pura Petung dan Pura Gaduh yang mempunyai fungsi dan bentuk masing-masing dan masih di fungsikan sampai saat ini.
-
2. Bangunan Profan
Pengertian bangunan adalah struktur buatan manusia yang terdiri atas dinding dan atap yang didirikan secara permanen di suatu tempat. Sedangkan pengertian profan yaitu sesuatu yang bersifat duniawi dijadikan sakral. Bangunan profan yang terdapat pada ruang tengah di Desa Tenganan pegringsingan terdiri dari, Bale Agung yang memiliki berbentuk empat persegi berukuran ± 50 x 5 meter dengan tinggi ± 5 meter yang terdiri atas tumpukan batu-batu kali. Bangunan di atasnya berukuran ± 47 x 3 meter dan tinggi ± 2 meter, terbuat dari kayu ketewel (kayu nangka). Badan bangunan terbuat dari tiang-tiang kayu berjumlah 30 buah . Bale Kencan yang terletak di sebelah timur laut Bale Agung, dengan bangunan dasar berbentuk segi empat berukuran ± 4 x 3 meter dan tinggi ± 4 meter, lebar 3 meter dan panjang 4 meter, terdiri dari tumpukan batu kali. Bale Banjar merupakan bale suci yang hanya boleh digunakan untuk sesuatu hal yang bersifat sakral dan dilarang digunakan untuk pertemuan yang besifat halangan atau kematian. Dengan ukuran bangunan panjang ± 13 meter, lebar ± 3 meter, tinggi ± 4 meter, bahan bangunannya terdiri dari kayu dan bambu, lantai bangunan terbuat dari tumpukan batu kali. Bale Petemu memiliki jumlah tiang (saka) 12 buah, lantai yang terbuat dari bahan batu merah dengan pinggiran lantai terbuat dari bahan batu kali, atap bangunan terbuat dari ijuk, dengan ukuran panjang ± 32,5 meter, lebar ± 4,27 meter, dan tinggi ± 6 meter. Bale petemu ada tiga yaitu Bale petemu kelod, petemu tengah dan petemu kaja. Bale masyarakat merupakan bangunan yang sudah mendapat sentuhan arsitektur modern baru dan dibangun beberapa tahun lalu karena berkaitan dengan kepentingan kepemerintahan desa. Bale Lantang sesuai dengan namanya, bale lantang berarti sebuah bangunan yang dibangun dengan pola memanjang. Fondasinya terbuat
dari batu kali, tiang kayu, serta atap dari genteng, dengan tinggi ± 4 meter, panjang ± 13 meter dan lebar ± 3 meter. Bale Ayung berupa bangunan tradisional bertiang empat menyerupai bentuk Bale Jineng, namun, ukurannya sedikit lebih besar. Ukuran bangunan Bale Ayung yaitu panjang ± 7 meter, lebar ± 5 meter, dan tinggi ± 5 meter, dengan jumlah tiang (saka) 9 buah. Bale Kulkul Badan bangunan berupa tiang kayu sebanyak empat buah dan beratap ilalang, dengan panjang ± 6,56 meter, tinggi ± 4,5 meter, dan lebar ± 4 meter, dan Bale Jineng merupakan bangunan bertiang empat yang dilengkapi sebuah balai di atasnya sebagai tempat penyimpanan hasil bumi seperti padi, atapnya terbuat dari ijuk dengan ukuran panjang ± 3,74 meter, lebar ± 2 meter, dan tinggi ± 5 meter.
Awangan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan dibuat berudak-undak dengan lapisan batu kali yang merupakan ciri dari kebudayaan megalitik. Pada wilayah permukiman terdapat tiga awangan (jalan) di dalamnya yaitu awangan kauh, awangan tengah, dan awangan kangin. Dari ketiga awangan ini hanya awangan kauh (barat) merupakan ruang terbuka yang berada di tengah desa yang bisa disebut dengan zona tengah zona tempat berkumpul semua masyarakat dari Banjar Kauh, Tengah, maupun Pande, dimana sebagian besar kegiatan dan aktivitas masyarakat dilakukan pada zona tengah, baik itu kegiatan sosial ekonomi maupun budaya. Pada zona ini juga difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan berbagai kegiatan upacara seperti Mekare-kare (perang padan) yang dilaksanakan didepan Bale Patemu (balai pertemuan yang ada di halaman desa) yang berada pada zona tengah. Selain sebagai tempat melaksanakan upacara, mata pencaharian masyarakat di Desa Tenganan Pegringsingan juga sebagian besar berada di zona tengah.
Bangunan yang terdapat di Tenganan Pegringsingan terdiri dari Bale Agung, Bale Kencan, Bale banjar, Tiga Bale Petemu (Kelod, Tengah, dan Kaja), Bale Masyarakat, Bale Lantang, Bale Ayung, Bale Kulkul, dan Bale Jineng. Keseluruhan bangunan ini masih difungsingkan hingga sekarang di dalam upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan pada area permukiman, ada dari beberapa bangunan ini yang bersifat sakral. Tipologi pada bangunan adat yang terdapat pada zona tengah yaitu bangunan sakral dan bangunan profane. Bangunan sakral yaitu bangunan yang segala
sesuatunya berhubungan dengan nilai-nilai agama atau adat istiadat yang berlaku di suatu masyarakat dan difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan ritual keagamaan atau berbagai upacara keagamaan. Bangunan sakral yang terdapat pada ruang tengah di Desa Tenganan Pegringsingan terdiri dari Pura Ulun Swarga, Pura Gaduh dan Pura Petung dan bangunan profan yaitu suatu yang bersifat duniawi yang di jadikan sakral.. Bangunan profan yang terdapat pada ruang tengah di Desa Tenganan Pegringsingan terdiri dari bangunan Bale Agung, Bale Kencan, Bale Banjar, Bale Petemu, Bale Masyarakat, Bale Lantang, Bale Kulkul, Bale Jineng dan Bale Ayung. Keseluruhan bangunan tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda, arsitektur pada bangunan menerapkan arsitektur tradisional dengan pola sederhana dan ada beberapa yang memiliki ornament yang sederhana dengan ragam hias, dan variasi estetika lainnya. Bahan-bahan dasar dari bangunan terbuat dari bahan-bahan alam yang mudah diperoleh di lingkungan sekitarnya.
Bogdan & Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, suatu pendekatan fenomenologis terhadap ilmu-ilmu sosial. Diterjemahkan oleh Arief Furchan Surabaya: Usaha Nasional.
Purwadi, dkk. 2014. Pola Pemukiman Masyarakat Tenganan Pegringsingan, Bali. Pustaka Larasan. Denpasar..
Rupa, I Wayan, dkk. 2002. Budaya Masyarakat Suku bangsa Bali Aga Tenganan Pegringsingan. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali.
Sondang, M Siregar. 2010. “Permukiman Masyarakat Di Situs Jepara (Gambaran Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungannya)” (Forum Arkeologi No.3.) Kementerian kebudayaan Dan Pariwisata Balai Arkeologi Denpasar.
195
Discussion and feedback