ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 20.1 Agustus 2017:18-25

Pelabuhan Sangsit Sebagai Pusat Perdagangan pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Kabupaten Buleleng Abad XIX

Ayi Rizki Ramadani 1*, I Gusti Ngurah Tara Wiguna 2, Zuraidah 3 [123]Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya

1[email: [email protected]] 2[email: [email protected]] 3[email: [email protected]]

*

Corresponding Author

Abstract

In the 10th century, Sangsit Harbor had been functioned as a trading harbor. It is based on the research done by archaeology Center in 1998, in the form of ceramic findings dated from Sung Dynasty (10th-13th century) and Ming Dynasty (16th-18th). Sangsit Harbor gave opportunities for both local and foreign trader to seek a better life and made it heterogeneous urban areas. During the Dutch Government, the Harbor Sangsit had ability to do import and export trade that was support by several factors and made it became the center of trading in 19th century in Bali. This study aims to identify development factors and the role of the Harbor Sangsit during the Dutch Colonial Government to the 19th century.

The theories used in this research are port development theory, international trade theory, and the theory of structural-functional. This qualitative research using data collection methods such as literature study, observation, and interviews. The results obtained are factors of development of the Harbor Sangsit that made it as trading center in Bali. In 19th century these factors are factor of geographic, socio economic, culture, and politic. Through these factors, the contributions of Harbor Sangsit for the society could be known. The contribution are in the fields of economic, politic, and socioculture.

Keywords: Development Factor, Dutch Colonial, Trading Center.

  • 1.    Pendahuluan

Buleleng adalah salah satu kabupaten di Bali bagian utara yang kaya dengan tinggalan arkeologi, hampir menyamai Kabupaten Gianyar, melalui tinggalan tersebut membuktikan bahwa Bali Utara menyumbangkan peran yang penting dalam mengukir kebudayaan di masa lalu khsusunya dalam hal perdagangan. Hasil penelitian

prasasti yang telah diteliti terdapat pada Prasasti no 353 Sawan/Bila AI yang berangka tahun 945 Saka (1023 M), Prasasti no 409 Sembiran AIV bertahun 987 Saka (1065 M), isi prasasti tersebut menerangkan bahwa terdapat pelabuhan yang cukup penting dalam perdagangan maritim di Pesisir Buleleng, yaitu Pelabuhan Manasa. Pelabuhan ini tidak saja untuk kepentingan para pedagang

dari seluruh Nusantara, seperti dari Bugis, Jawa, dan Madura namun juga sama pentingnya bagi para pedagang asing seperti dari India dan Cina, hal ini dibuktikan dengan tinggalan-tinggalan arkeologi yang telah ditemukan, yakni berupa keramik yang berasal dari Dinasti Sung (abad X-XIII), dan Dinasti Ming (abad XVI-XVIII). Keberadaan keramik asing ini menunjukkan bahwa salah satu bukti bahwa Bali sudah mengadakan hubungan dengan orang asing memalui perdagangan lalu lintas laut dengan pelabuhan sebagai sarananya (Bagus, 2009:147).

Orang Belanda pertama kali datang ke Bali tahun 1597 dalam rangka menjalin hubungan persahabatan, namun setelah menemukan adanya perdagangan budak dan opium/candu yang dilakukan di Pesisir Pantai Utara Bali mengakibatkan Belanda berusaha untuk memonopoli perdagangan yang sangat menguntungkan ini, sehingga tujuan kedatangan Belanda ke Bali mulai berlanjut pada taraf perdagangan dan akhirnya sampai kepada perbuatan traktat dalam upaya mengikat raja-raja di Bali sebagaimana tercermin dalam perjanjian penghapusan tawan karang (Agung, 1989:5).

Keikutsertaan Raja Buleleng mengadakan kontrak dengan pemerintah Belanda, maka secara yuridis Belanda berhak atas wilayah Buleleng, tetapi secara de facto kerajaan Buleleng tetap tidak mau tunduk terhadap Belanda. Kemudian dari pihak Belanda kembali mengadakan perjanjian, khusus mengenai hukum tawan karang pada tanggal 8 Mei 1843 sebagai penegasan terhadap perjanjian tahun 1841, tetapi Raja Buleleng tetap bersikeras mempertahankan hukum tersebut. Melihat tindakan Raja Buleleng tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan ekspedisi militernya pada tahun 1846 dan 1849, sehingga pada tahun 1849 Buleleng telah berhasil ditaklukkan oleh Belanda (Partama, 1992:9).

Kebijaksanaan politik yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda adalah untuk menguasai dalam bidang ekonomi sehingga berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat Buleleng. Kota pelabuhan dan dagang yang disandang Buleleng sebagai akibat kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda, secara perlahan menjadikan Pelabuhan Sangsit berkontribusi besar pada pola pikir masyarakat Buleleng yang menunjukkan kemajuan seperti

dalam hal perdagangan, serta bersikap dinamis dan terbuka kepada para pendatang. Berdasarkan hal tersebut maka munculah permasalahan yang selanjutnya akan dibahas yaitu: (1) Faktor apa saja yang menyebabkan Pelabuhan Sangsit mampu berkembang sebagai pusat perdagangan pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda abad XIX di Bali? (2) Bagaimana peran dan kontribusi Pelabuhan Sangsit pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda abad XIX?

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pelabuhan Sangsit yang berlokasi di Desa Sangsit Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, melalui teknik pengumpulan data berupa studi pustaka, observasi, dan wawancara yang selanjutnya dirangkum dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif menitikberatkan pada kualitas data dengan cara menjabarkan dan mendeskripsikan tentang data yang diperoleh di lapangan yakni faktor-faktor pendukung perkembangan Pelabuhan Sangsit sebagai pusat perdagangan pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda abad XIX di Bali, serta peran dan kontribusi Pelabuhan Sangsit terhadap kehidupan masyarakat

baik dari segi sosial, ekonomi, dan politik.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Faktor-faktor        Pendukung

Perkembangan Pelabuhan Sangsit menjadi Pusat Perdagangan di Bali Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Abad XIX

Keeksistensian      Pelabuhan

Sangsit yang sudah dikenal sejak abad X dan berlanjut sampai masa Pemerintahan Kolonial Belanda abad XIX tidak bisa terlepas dari faktor-faktor pendukung perkembangannya. Faktor ini ditinjau berdasar pada faktor geografis, faktor ekonomis, faktor politik, dan faktor sosial budaya, dan berikut pemaparannya.

  • 3.1.1    Faktor Geografi

Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta variasi keruangan, baik persamaan dan perbedaan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi, sehingga dapat dikatakan geografi merupakan salah satu dari banyak kunci atas penjelasan tentang peranan masyarakat masa lalu terhadap lingkungannya serta perkembangan budaya diberbagai belahan bumi yang

dapat berubah menjadi sekarang (Suwindiatrini, 2014:29).

Pelabuhan Sangsit memilik kontur yang datar, sehingga daerah di sekitar pelabuhan sangat srategis untuk kegiatan kepelabuhanan, pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Pelabuhan Sangsit diapit oleh dua buah sungai besar yakni Sungai Penarukan di sebelah barat dan Sungai Sangsit di sebelah timur. Dalam pengertian ini dapat dikatakan pelabuhan merupakan tempat pertemuan antara wilayah darat dan wilayah maritim, sehingga mampu memberikan ruang interaksi kepada masyarakat di pedalaman (hinterland) dengan masyarakat di wilayah depan (Pesisir/Foreland). Pelabuhan Sangsit tidak memiliki batu karang (tangkad keramat/reef barrief) sebab jika adanya batu karang yang banyak juga akan menyebabkan kandasnya perahu-perahu maupun kapal yang akan berlabuh di Pelabuhan Sangsit.

Air tawar juga penting dalam menunjang kegiatan perdagangan di Pelabuhan Sangsit, karena selain untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat lokal juga dimanfaatkan oleh para pedagang yang berasal dari luar daerah Pelabuhan Sangsit. Berdasarkan hasil penelitian di

Banjar Pabean Sangsit terdapat tiga mata air yang cukup besar dan konon masyarakat sekitar menganggap tempat tersebut sebagai tempat angker, sehingga di tempat tersebut didirikan sebuah pura yang bernama Pura Cangklong,     sayangnya     tokoh

masyarakat sekitar tidak mengetahui pasti kapan berdirinya Pura Cangklong tersebut, namun yang pasti tiga sumber mata air tersebut sudah ada pada masa Pemerintah Kolonial Belanda.

  • 3.1.2    Faktor Sosial Ekonomi

Kondisi Geografis yang menguntungkan menjadikan Pelabuhan Sangsit berkembang menjadi pusat perdagangan pada abad XIX yang didukung oleh kegiatan perekonomian masyarakat Desa Sangsit yang notabene adalah pertanian yang maju dan produktif sehingga menghasilkan cukup bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Desa Sangsit. Hal ini dikarenakan pada sistem pertanian yang diterapkan sudah menunjukkan kemajuan pada zamannya. Menurut Waanders sebagaimana dikutip oleh Pageh (1998:41) bahwa pada pertengahan abad XIX pertanian masyarakat Buleleng sudah memiliki teknik bertani yang cukup maju, dalam

pembagian air didukung oleh organisasi yang dikenal dengan subak. Subak merupakan suatu perkumpulan dari pemilik-pemilik sawah yang terletak pada satu kompleks, dengan tujuan untuk mengurus kepentingan bersama dibidang pengairan.

  • 3.1.3    Faktor Sosial Budaya

Masyarakat Desa Sangsit yang berada di pesisir memiliki sifat heterogen, hal ini dibuktikan dari adanya perkampungan suku-suku luar Bali seperti Suku Bugis, Suku Madura, Suku Jawa, serta bangsa asing seperti Bangsa Cina yang datang berdagang bahkan sampai menetap di pesisir Desa Sangsit. Interaksi masyarakat yang terjadi antara pedagang lokal dengan pedagang asing tidak hanya sekedar hubungan perniagaan (faktor ekonomi) melainkan juga sebagai hubungan sosial budaya. Sifat terbuka yang dimiliki penduduk Sangsit memberi kesempatan bagi budaya asing untuk bisa berbaur dengan budaya lokal. Adanya interaksi sosial yang terjadi secara tidak langsung menjadi salah satu faktor pendukung perkembangan Pelabuhan Sangsit.

Bukti keterbukaan yang ditunjukkan masyarakat di Pelabuhan Sangsit terwujud pada suatu bentuk

bangunan ibadah yakni Masjid Jami’ Al Munawwarah. Masjid ini telah dibangun jauh sebelum Belanda datang dan menjajah Bali Utara, namun sayangnya     narasumber     tidak

mengetahui pasti tahun berdirinya masjid, dengan tujuan sebagai tempat ibadah para pedagang dari Suku Bugis yang datang ke Pelabuhan Sangsit. Masjid ini juga telah mengalami 2 kali renovasi, renovasi yang pertama dilakukan akibat gempa bumi yang melanda Kecamatan Seririt pada tahun 1976.

  • 3.1.3    Faktor Politik

Faktor      politik      dalam

pembahasan ini, sangat berkaitan dengan faktor geografis, faktor sosial ekonomi, dan faktor sosial budaya. Hubungan politik yang terbangun dari unsur-unsur yang berbeda merupakan sedikit pemahaman dari ilmu geografi politik tradisional. Ilmu ini sangat berpengaruh terhadap pemikiran bangsa-bangsa Eropa untuk melakukan penjajahan di negara lain. Dengan pendekatan inventorial suatu negara

akan dikaji berdasarkan keadaan lingkungan, manusia,  serta kegiatan

perekonomiannya, sehingga   akan

diketahui kelayakan   suatu  negara

sebagai negara yang akan dijajah. Jadi dapat dipahami bahwa Bangsa Belanda melakukan ekspansi ke Bali Utara dengan melihat berbagai faktor yang menguntungkan untuk negaranya.

  • 3.2    Peran dan Kontribusi Pelabuhan Sangsit pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Abad XIX sampai Masa Sekarang

    • 3.2.1    Bidang Ekonomi

Berperannya Pelabuhan Sangsit sebagai pusat perdagangan abad XIX tentu memberikan banyak kontribusi diantaranya dalam bidang ekonomi. Kegiatan ekspor impor yang dilakukan melalui 3 pelabuhan di Bali Utara yakni Pelabuhan Sangsit, Pelabuhan Buleleng, dan Pelabuhan Temukus memberikan pemasukan untuk Pemerintah Kolonial Belanda dalam jumlah yang besar. Demi     menunjang     kelancaran

perekonomian, Belanda mendirikan Bank Perkreditan Rakyat bernama Algemeen Volkscreditbank Werkzaam di Buleleng dan Denpasar, kemudian untuk lebih mudah dijangkau oleh masyarakat yang berada di tempat-tempat terpencil Belanda juga mendirikan Bank Desa yang segala administrasinya ditangani langsung oleh tenaga lokal yang digaji.

Tahun    1925 Pemerintah

Kolonial Belanda mulai merintis jalan-jalan untuk memperlancar roda perekonomian, baik dengan usaha memperlebar jalan-jalan yang telah ada maupun dengan membuka jalan baru sebagai penghubung seluruh wilayah di Bali. Jalur Singaraja-Pengastulan-Bubunan-Busungbiu-Pupuan-Denpasar memiliki panjang 113 km dan selesai pada tahun 1925, jalur darat Singaraja-Sangsit-Kubutambahan-Kintamani-Denpasar dengan panjang 118 km dan selesai tahun 1926, selanjutnya jalur Singaraja-Bratan (Bedugul) memiliki panjang 78 km selesai pada tahun 1936.

  • 3.2.2    Bidang Politik

Peran Pelabuhan Sangsit dalam bidang politik tidak bisa dipisahkan dari kondisi perekonomian di Buleleng, karena dengan adanya kekuasaan dapat melakukan      kontrol      terhadap

perdagangan, begitupun sebaliknya dengan perdagangan kekuasaan dapat diuntungkan dan menjadi kuat. Kemajuan pola perdagangan di Pelabuhan Sangsit membuat Belanda merubah sistem kepemerintahan. Sistem pemerintahan     tradisional     yang

berbentuk kerajaan, yang dimana raja berkuasa penuh dan memiliki hak atas

sesuatu yang ada di wilayahnya. Sampai pada masa Belanda berkuasa dan membangun kepemerintahannya di Buleleng, menjadikan sistem struktur kepemerintahan yang baru sesuai dengan sistem kepemerintahan Bangsa Eropa, namun Pemerintah Belanda masih memfungsikan sistem kepemerintahan tradisional semata-mata untuk mengendalikan perdagangan di Pelabuhan Sangsit, serta berlaku untuk Pelabuhan Buleleng dan Pelabuhan Temukus.

  • 3.2.3    Bidang Sosial Budaya

Dalam perkembangan

Pelabuhan Sangsit, kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Kontak dagang dan persahabatan dengan daerah-daerah dari luar Sangsit melahirkan suatu akulturasi budaya yang memberikan variasi pada kehidupan sosial budaya di Pelabuhan Sangsit, hal ini terwujud dalam bentuk sebuah bangunan yang saat ini masih eksis adalah bangunan rumah mantan pedagang Cina yang dibangun pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Bangunan ini secara arsitektur masuk dalam arsitektur fungsionalisme. Arsitektur Fungsionalisme adalah arsitektur yang mendasar pada rasio

ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 20.1 Agustus 2017:18-25 atau pemikiran logis yang berkembang pada akhir abad XIX pada suatu bangunan yakni menampilkan sebuah keindahan bangunan berdasarkan pada fungsinya di setiap sudut bangunan. Bangunan tersebut memiliki bentuk bangunan bujur sangkar yang menghadap ke arah pantai, sehingga udara yang memasuki rumah akan lebih banyak dan memberikan kesejukan di dalam rumah.

  • 3.3    Pelabuhan Sangsit Pasca Masa Penjajahan

Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada tahun 1950 Republik Indonesia Serikat telah diubah menjadi Negara Kesatuan     Republik     Indonesia.

Mengetahui hal tersebut Bangsa Indonesia,   khususnya   masyarakat

Buleleng kembali menata kehidupan yang sebelumnya menderita akibat peperangan yang disebabkan kegiatan kolonialisme.

Pasca melewati masa penjajahan selama 100 tahun, Pelabuhan Sangsit saat ini masih menunjukkan keeksistensian sebagai pelabuhan dagang, walau sudah tidak sebagai pelabuhan pusat perdagangan di Bali

seperti pada abad XIX. Komoditi perdagangan yang menjadi primadona yakni ikan pindang. Ikan pindang yang dalam proses pembuatannya perlu diasinkan untuk memberi cita rasa gurih, diperlukan bahan dasar garam. Garam yang dihasilkan dan didatangkan langsung dari Kangean Madura, selain garam para pedagang juga membawa ikan asin. Pada masa kini, Desa Sangsit telah dikenal sebagai pemasok ikan pindang dan ikan asin terbanyak di Kabupaten Buleleng. Kegiatan perdagangan dan penangkapan ikan juga masih berlanjut sampai sekarang di Desa Sangsit.

  • 4.    Simpulan dan Saran

Berdasar pemaparan yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa Pelabuhan Sangsit merupakan Pelabuhan yang sudah berperan pada masa Bali Kuno, hal ini diperkuat dengan temuan keramik Dinasti Sung (abad X-XIII) dan Keramik Dinasti Ming (abad XVI-XVIII). Abad XIX Pelabuhan Sangsit dijadikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai pusat perdagangan di Bali guna menunjang haluan politiknya di

Indonesia bagian timur, melalui berbagai faktor dan potensi yang dimiliki Pelabuhan Sangsit. Perannya sebagai pusat perdagangan, Pelabuhan Sangsit mampu berkontribusi besar dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.

  • 5.    Daftar Pustaka

Bagus, Anak Agung Gede,dkk. 1998. “Ekskavasi Situs Sangsit, Kecamatan Sawan,

Kabupaten Buleleng, Bali” dalam     Berita     Penelitian

Arkeologi.

Basri, Faisal,dkk. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi       Internasional.

Jakarta: Kencana.

Daldjoeni, Drs N. 1991. Dasar-dasar Geografi Politik. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

Pageh, I Made. 1998. “Dari Tengkulak Sampai           Subandar:

Perdagangan     Komoditas

Lokal Bali Utara Pada Masa Kolonial Belanda, 18501942” Tesis. Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Sumalyo, Yulianto. 1997. Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

25