ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 20.1 Agustus 2017:26-34

Kakawin Bualu Dreśtha Langö Sebuah Kajian Resepsi Sastra

I Putu Ady Andyka Putra1*, I Made Wijana2, A. A Gede Bawa3

[123]Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Unud 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]

*Corresponding Author

Abstrack

The study of Kakawin Bualu Dreśtha Langö was conducted due to the deviation of the story’s context. This kakawin does not convey the story of Ramayana and Mahabrata anymore, meanwhile it is more focused in describing Dharma Çanthi covered Dreśtha Langö. Besides that, the prominently concept of Dharma Çanthi and Dreśtha Langö could create a lot of reception of I Ketut Sarya as the writer of Dharma Çanthi in Kakawin Bualu Dreśtha Langö.

This study is aimed at analyzing both formal and narrative structures of Kakawin Bualu Dreśtha Langö, and analyzing the form of arts reception from Kakawin Bualu Dreśtha Langö. The data of this study were collected through observation method. The data were analyzed descriptively and analytically, then the data were analyzed based on the structural principle and theory because every work has its own structure. The next analysis was used arts reception as the main theory.

The result of the study show the formal and narrative structure. The formal structure is related with guru-laghu, wrĕta, mātra, gaṇa, canda, composition and connection of line, abode, beat, with alaṃkara. Narrative structure consist of sequences building, such as melasti, tawur kasanga, pangrupukan, nyepi, ngembak geni. Next, it is about the language used in the story, then the analysis of reception form Dharma Çanthi, such as market, exhibition, entertainment, expressing opinion (pararem), and giving the charter certificate.

Keyword: kakawin, dharma çanthi, dreśtha langö.

  • 1.    Latar Belakang

Bali sebagai sebuah pulau kecil, namun mampu menyimpan kebudayaan tata tulis yang teramat banyak. Pulau Bali dapat dikatakan sebagai museum hidup yang terakhir sekaligus sebagai monumen atas bertahannya kebudayaan Jawa Kuno. Salah satu karya sastra Jawa Kuno yang hingga saat ini masih banyak dipelajari

dan diapresiasikan di Bali adalah Kakawin. Kakawin berkembang sampai saat ini karena karya sastra tersebut masih relevan dengan kehidupan masyarakat di Bali. Terlihat dari perkembangan sejarah sastranya banyak kakawin-kakawin baru yang muncul hingga saat ini. Kakawin-kakawin baru tersebut dapat digolongkan ke dalam periode pembaharuan karena

karya sastra periode pembaharuan ialah karya sastra yang di dalamnya terdapat perubahan dan kesinambungan yang didasarkan pada karya sastra sebelumnya. Lebih jelas lagi karya sastra pembaharuan ini memasukkan untur mitologi, kepercayaan, sejarah, asal usul, adat-istiadat dan budaya lingkungan pencipta karya sastra tersebut (Suarka, 2002: 37).

Bentuk-bentuk dari karya sastra kakawin yang diciptakan, selain mengikuti berbagai aturan yang terdapat di dalamnya, namun para kawi juga menciptakan suatu pembaharuan-pembaharuan di bidang tema. Adapun karya sastra kakawin di Bali yang menggunakan tema-tema babad, misalnya; Kakawin Mayadanawantaka, Kakawin Gajahmada, Kakawin Kebo Tarunantaka, ataupun tema-tema yang diangkat berdasarkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Bali atau di Indonesia, misalnya; Kakawin Bali Sabha Langö, Kakawin Bualu Dreśtha Langö, Kakawin Rajapatnimokta, dan lain-lain (Pratama, 2013: 1).

Kakawin Bualu Dreśtha Langö yang menjadi objek penelitian saat ini, merupakan kakawin yang diciptakan oleh I Ketut Sarya dari Desa Bualu Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.

Kakawin ini selesai dikarang pada tahun 2010 dan mengambil ide cerita dari pelaksanaan kegiatan Dharma Ҫanthi. Kegiatan ini merupakan suatu ajang pertemuan bagi masyarakat di Desa Bualu khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Acara Dharma Ҫanthi di Desa Bualu merupakan salah satu program kerja dari Desa Adat Bualu yang diadakan rutin setiap tahunnya.

Kakawin Bualu Dreśtha Langö selanjutnya disingkat menjadi (KBDL), memiliki berbagai keistimewaan yang terdapat di dalamnya, salah satunya yaitu pada pola aturan yang mengikat metrum kakawin seperti wrĕta, mātra dan guru-laghu masih tetap sama dengan konvensi sebelumnya, akan tetapi dari segi naratif terjadi penyimpangan yang signifikan. Struktur naratif dari segi isinya kakawin ini tidak lagi menceritakan cerita Ramayana dan Mahabharata, melainkan menceritakan tentang kegiatan Dharma Çanthi yang dikemas dengan Dreśtha Langö. Berdasarkan hal tersebut struktur naratif di dalam KBDL berupa sekuen-sekuen naratif yang membangunnya, meliputi; melasti, tawur kasanga, pangrupukan, nyepi dan ngembak geni.

Keistimewaan lain yang terdapat di dalam KBDL yaitu di dalam kakawin

ini berisikan sebuah catatan peristiwa penting mengenai berbagai rangkaian kegiatan di Desa Bualu menuju acara Dharma Çanthi yang dikemas dengan Dreśtha Langö. Pengarang menonjolkan konsep Dharma Çanthi dan Dreśtha Langö dalam karyanya, karena konsep ini dianggap sebagai sebuah jembatan untuk menjaga warisan leluhur agar tidak punah oleh perkembangan zaman dan melestarikan adat istiadat maupun tradisi budaya khususnya di Desa Bualu. Konsep inilah yang dapat melahirkan bentuk resepsi dari I Ketut Sarya mengenai Dharma Çanthi yang terdapat di dalam KBDL.

Penelitian terhadap struktur KBDL, baik struktur formal, maupun permasalahan struktur naratif berupa sekuen-sekuen yang membangun. Kemudian mengenai bahasa yang digunakan di dalam teks KBDL, serta permasalahan bentuk resepsi Dharma Çanthi. Hal-hal tersebut akan menjadi pokok persoalan yang perlu dibahas melalui penelitian ini.

  • 2.    Pokok Permasalahan

  • (1)    Bagaimanakah struktur yang membangun KBDL?

  • (2)    Bagaimanakah bentuk resepsi Dharma Ҫanthi yang terdapat di dalam KBDL?

  • 3.     Tujuan Penelitian

  • (1)   Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan serta pembendaharaan penelitian Sastra Jawa Kuno, menambah apresiasi sastra sebagai sarana pembelajaran hidup dan kehidupan, menggali, mengembangkan, menjaga dan melestarikan warisan budaya leluhur. Lebih jauh lagi hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan sumbangan dalam upaya memperkaya khazanah kesusastraan Jawa Kuno.

  • (2)    Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai struktur KBDL baik dari struktur formal maupun struktur naratif, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami bentuk resepsi Dharma Ҫanthi yang terdapat di dalam KBDL.

  • 4.     Metode Penelitian

  • (1)   Metode dan Teknik Pengumpulan

Data

Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data, yakni metode simak. Sebuah teks akan dapat bermakna bila teks tersebut dibaca. Informasi

mengenai teks tersebut hanya dapat diperoleh dari proses membaca. Membaca yang dimaksud adalah membaca secara heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya (Pradopo, 2011: 109). Penelitian ini juga dibantu dengan teknik terjemahan untuk mengungkap isi dari KBDL karya I Ketut Sarya. Teks KBDL sudah di translitrasi dari aksara Bali ke dalam aksara latin oleh I Ketut Sarya (Pengawi). Teks yang sudah ditranslitrasi tersebut, peneliti terjemahkan dari bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan berbahasa Bali yang telah ada dalam teks KBDL, dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menerjemahkan teks KBDL tersebut.

  • (2)    Metode dan Teknik Analisis Data

Metode pengumpulan data, terutama data sekunder dalam penelitian ini adalah metode wawancara dibantu dengan teknik rekaman dan pencatatan yang bertujuan untuk menghindari

kesalahan karena data yang terlupakan. Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik diterapkan pada tahap pengolahan data dibantu dengan pola pikir deduktif dan induktif. Pola pikir deduktif adalah membuat suatu interpretasi yang bersifat khusus dengan dilandasi pada masalah yang bersifat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan cara pola pikir induktif adalah pola pikir yang bersifat nyata dan digunakan menginterpretasi masalah yang bersifat umum (Sutrisnohadi, 1977: 46-49).

  • (3)    Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis

Penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal, yaitu memaparkan hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata (Sudaryanto, 1982: 4). Pada tahap awal Penyajian hasil analisis KBDL diawali dengan analisis struktur formal dan struktur naratif serta bahasa teks KBDL. Kemudian dilanjutkan dengan bentuk resepsi Dharma Ҫanthi yang terkandung di dalam KBDL.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1    Analisis Struktur Kakawin Bualu

Dreśtha Langö

Sebagai sebuah kakawin yang lahir di Bali pada abad ke-21 dan tergolong ke dalam kakawin dalam periode pembaharuan, KBDL pada prinsipnya masih menggunakan dan mengikuti struktur formal kakawin yang berkembang sejak abad ke-9 sampai abad ke-15. Struktur formal berupa Guru Laghu merupakan unsur yang penting di dalam kakawin. Guru-laghu terkomposisi atas tiga-tiga kelompok menjadi satu kesatuan disebut gaṇa. Satuan gaṇa disusun menjadi mātra. Mātra dan jumlah suku kata setiap larik (wrĕta) membentuk canda. Komposisi canda tersebut kemudian diisi dengan kalimat berbahasa Jawa Kuno sehingga berbentuklah KBDL. Larik-larik (carik) dalam KBDL membentuk bait (pada). Hubungan antar larik dalam KBDL ditandai dengan perhubungan nada dasar lagu (purwakanti). Bait-bait (pada) dalam metrum yang sama membentuk pupuh. Berdasarkan hal tersebut, di dalam KBDL terdiri atas 63 bait (pada) dan 15 pupuh.

Alaṃkara juga menambah daya esterika KBDL. Alaṃkara terdiri atas sabdālaṃkara dan arthālaṃkara. Sabdālaṃkara berarti hiasan di dalam bunyi-bunyi bahasa berupa repetisi-repetisi, yaitu repetisi fonemik (pengulangan bunyi bahasa), repetisi

morfemik (pengulangan bentuk kata), frasaik atau ungkapan, dan repetisi kerangka-kerangka gramatikal yang lebih luas (paragraf, bab, dan lain-lain) (Medera, 1997: 16). Pada KBDL, jenis sabdālaṁkara, antara lain berupa repetisi morfemik dan repetisi kombinasi antara repetisi fonemik dengan repetisi morfemik. Sedangkan arthalāṃkara “hiasan permainan arti kata” berupa rupaka dan wyatireka.

Struktur naratif kakawin adalah tata hubungan antara bagian-bagian naratif atau rangkaian pokok masalah dan tertib penyajian karya sastra kakawin. I Ketut Sarya sebagai sang kawi, secara langsung mendeskripsikan sekuen-sekuen naratif dalam KBDL yang dapat digolongkan sebagai struktur naratif. Adapun satuan-satuan naratif KBDL karya I Ketut Sarya, meliputi: melasti, tawur kasanga, pangrupukan, nyepi, dan ngembak geni. Melasti yang terdapat di dalam KBDL difungsikan sebagai suatu acara pembukaan pada kegiatan Dharma Çanthi. Melasti dalam karya tersebut menguraikan prosesi acara yang mengawali kegiatan Dharma Çanthi. Tawur kesanga yang di bahas di dalam KBDL bertujuan untuk menetralisir

kekuatan-kekuatan jahat agar menjadi kekuatan baik yang di sebut nyomia.

Pangerupukan merupakan salah satu unsur naratif berupa sekuen-sekuen (isi) yang terdapat di dalam KBDL. Pangerupukan dilaksanakan sehari sebelum upacara Nyepi. Pangerupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhutakala dan diarak keliling lingkungan atau Desa. Nyepi sebagai sekuen naratif KBDL yang keempat, bermakna untuk penyucian diri dengan melaksanakan tapa yoga semadhi melalui jalan amati geni, amati karya, amati lelunganan, dan amati lelangunan. Sekuen-sekuen naratif yang terakhir di dalam KBDL yaitu Ngembak Geni yang jatuh sehari setelah hari Raya Nyepi, disebut juga hari “labuh brata” atau “lebar puasa”, sebagai hari selesainya melakukan berbagai bentuk brata atau upawasa. Pada saat hari ngembak geni umat Hindu melakukan kunjungan untuk “upaksama” (saling memaafkan) dan Dharma Çanthi (Silahturahmi) baik antara keluarga ataupun masyarakat di sekitar.

KBDL sebagai salah satu objek karya sastra kakawin yang menggunakan bahasa tulis, kakawin juga mempunyai

bahasanya tersendiri yaitu bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno termasuk dan secara khas dikembangkan oleh konvensi sastra kakawin. Ciri-ciri bahasa Jawa Kuno salah satunya adalah adanya serapan dari bahasa Sanskerta. Secara umum KBDL masih tetap menggunakan bahasa Jawa Kuno sebagai medianya. Pengarang juga menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa yang lain, seperti bahasa Bali, bahasa Jawa Tengahan, bahasa Sanskerta maupun bahasa serapan dari bahasa Asing. Hal ini dianggap sebagai variasi atau ragam bahasa yang berguna untuk memenuhi metrum Guru-laghu, wrĕta, mātra, canda, dan gaṇa dalam aturan-aturan struktur kakawin.

  • 5.2    Bentuk Resepsi Kakawin Bualu Dreśtha Langö

Penelitian ini menggunakan pendekatan resepsi sastra dilihat dari fisik teks. Memandang karya sastra resepsi tersebut sebagai suatu fenomena intertekstual, penyalinan, penyaduran dan penerjemahan dengan memperhatikan sejauh mana adanya ekspansi (perluasan atau pengembangan), konversi (pemutarbalikan), modifikasi (penghilangan, pengubahan), dan ekserp

(penyerapan inti sari cerita) (Pradotokusumo, 1986: 63), yang dilakukan oleh penyadur KBDL terhadap sumber aslinya berupa konsep Dharma Çanthi. Acara Dharma Çanthi yang dikemas dengan Dreśtha Langö dilaksanakan pada saat hari raya ngembak geni, kegiatan-kegiatan yang digelar meliputi; pasar rakyat, pameran, hiburan kesenian, penyampaian hasil keputusan peraturan (pararem) di Desa Bualu, dan penyerahan piagam penghargaan. Berdasarkan hal-hal tersebut akan diuraikan kelima kegiatan tersebut dan sekaligus akan dijadikan sebagai bentuk-bentuk mengenai resepsi Dharma Çanthi yang terdapat di dalam KBDL.

Bentuk resepsi sastra yang pertama yaitu Pasar Rakyat, di dalam pasar rakyat terjadi berupa penyerapan inti sari cerita (ekserp) pada bagian awal acara pasar rakyat, ekspansi berupa perluasan atau pengembangan dengan memberikan kesan estetis terhadap kehadiran para pengunjung yang diperluas dengan sambutan para pedagang kepada para pembeli, kemudian berupa modifikasi yaitu penghilangan atau pengubahan yang terjadi ketika pengarang tidak menceritakan pedagang yang berjenis kelamin laki-laki, hanya pedagang-pedagang berjenis kelamin

perempuan saja yang diceritakan. Selanjutnya bentuk resepsi Pameran, pengarang hanya melakukan ekspansi yaitu perluasan atau pengembangan terhadap tempat berlangsungnya acara pameran yang terdapat di dalam KBDL. Bentuk resepsi yang ketiga berupa acara hiburan, pada bagian ini terdapat ekspansi (perluasan atau pengembangan) terhadap awal acara hiburan kesenian yang diperluas dengan dipersembahkannya hiburan kembali pada akhir acara. Modifikasi berupa penghilangan juga menyertai bentuk resepsi ini, pengarang tidak menyebutkan jenis-jenis hiburan yang berlangsung digelar hingga dini hari.

Mengenai bentuk resepsi sastra yang keempat yaitu penyampaian hasil keputusan peraturan Desa (pararem), pengarang melakukan ekspansi berupa perluasan atau pengembangan terhadap tamu undangan yang hadir dideskripsikan hingga komposisi tempat duduk yang ditempatinya dan ekserp, pengarang secara langsung menyerap inti dari penyampaian hasil keputusan Desa (pararem) sesuai dengan ilustrasi kejadian pada sumber aslinya. Bagian bentuk resepsi sastra di dalam KBDL yang terakhir yaitu penyerahan piagam penghargaan, pada bagian ini pengarang

melakukan modifikasi (penghilangan) dan ekspansi (perluasan). Modifikasi atau penghilangan terjadi ketika nama-nama penerima penghargaan tersebut tidak di sebutkan dan ekspansi terjadi ketika perluasan penggambaran isi dari Sambrama Wacana atau Kodbah yang disampaikan oleh Bapak Bupati.

  • 6.    Simpulan

KBDL menggunakan 13 jenis metrum, yaitu: Sardhula Wikridhita, Wangsapatra Patita, Padma Kesara, Çikarini, Sragdhara, Indrawangsa, Girisa, Praharsini, Rajani Manda Malon, Ashwalalita, Kilayu Manedeng, Jagaddhita, dan Pretiwitala. Ke-13 metrum di atas, hanya metrum Girisa dan Sardhula Wikridhita yang digunakan dua kali, sedangkan metrum-metrum yang lainnya digunakan satu kali. Alaṃkara juga menambah daya esterika KBDL. Jenis alaṃkara yang digunakan, antara lain: sabdālaṃkara “hiasan atau permainan kata dan bunyi” berupa repetisi morfemik dan kombinasi repetisi fonemik dan morfemik. Sedangkan arthalāṃkara “hiasan permainan arti kata” berupa rupaka dan wyatireka. Satuan-satuan naratif KBDL karya I Ketut Sarya, meliputi: melasti, tawur kasanga,

pangerupukan, nyepi, dan ngembak geni. Secara umum KBDL masih tetap menggunakan bahasa Jawa Kuno sebagai medianya. Pengarang juga menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa yang lain, seperti bahasa Bali, bahasa Jawa Tengahan, bahasa Sanskerta maupun bahasa serapan dari bahasa Asing. Acara Dharma Ҫanthi dilaksanakan pada saat hari raya ngembak geni.      Kegiatan-kegiatan      yang

dilaksanakan pada saat acara Dharma Ҫanthi yang disertai oleh Dreśtha Langö, diantaranya meliput; pasar rakyat, pameran, hiburan kesenian, penyampaian hasil keputusan peraturan di Desa Bualu, dan penyerahan piagam penghargaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, kelima kegiatan tersebut sekaligus dijadikan sebagai bentuk-bentuk mengenai resepsi Dharma Ҫanthi yang terdapat di dalam KBDL.

  • 7.    Daftar Pustaka

Medera, I Nengah. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2011. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Pradotokusumo, Partini Sarjono. 1986. Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin Abad ke-20). Bandung: Binacipta

Pratama, Putu Ari Suprapta. 2013. “Kakawin Karṇnāntaka: Analisis Semiotik”  (Skripsi). Denpasar:

Universitas Udayana.

Suarka, I Nyoman. 2002. Kakawin dan

Istadewata

Penyair:

Sebuah

Tinjauan

Sejarah

Sastra.

Denpasar:

Kantor

Dinas

Kebudayaan Provinsi Bali.

Sudaryanto. 1982. Metode Penelitian Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sutrisnohadi.     1977.     Metodologi

Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

34