RUWATAN DALAM TEKS TUTUR KUMARATATWA

ANALISIS SEMIOTIKA

Ni Luh Putu Sri Andayani

Jurusan Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra dan Budaya Unud

Abstrak:

Tutur is one of the types of literature that contains the value of philosophy, religion, and the value of life, in every speech story certainly contains in it the values of life which later can be a reflection of the wider community. Research on the text genre is still a little tutr done, because the script said because it becomes interesting material to serve as the object of research, one of which is the Tutur Kumaratatwa.

Research on the text of the Tutur Kumaratatwa studied the structure and semiotics. Structural analysis aims to examine the structure of the script while the semiotic analysis aims to analyze the signs which contain a meaning in the Tutur Kumaratatwa and indirectly this study may provide information to the public about the contents of the Tutur Kumaratatwa.

At the stage of data collection, the method used is the method of reading the text being studied as a research object and translate it, also used literature study methods and methods of interviews with sources who are considered capable in traditional literature, especially in the form of tutur. The third method is assisted by the technique of recording and recording to avoid errors because the data were forgotten.

Structure analysis Tutur Kumaratatwa composed of structural analysis which consists of the language in the text of the Tutur Kumaratatwa, incidents, plot (plot), character, setting, theme, and the mandate. While the semiotic analysis Tutur Kumaratatwa discusses ruwatan that is in the text of the Tutur Kumaratatwa.

Keywords: speech, structure, semiotics.

  • 1.    Pendahuluan

Tutur merupakan salah satu jenis sastra yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan, dalam setiap tutur ceritanya pasti di dalamnya berisikan nilai-nilai kehidupan yang nantinya bisa menjadi cerminan bagi masyarakat luas. Di Bali naskah tutur yang tertulis dalam lontar sampai saat ini masih disimpan di lembaga-lembaga oleh instansi pemerintah ataupun disimpan oleh masyarakat. Salah satunya naskah teks Tutur Kumaratatwa merupakan teks tutur yang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang relevan menjadi objek penelitian bagi saya yang menekuni studi di Prodi Sastra Jawa Kuno. Teks ini berisikan cerita tentang perjalan seorang pengembala sapi yang bernama Sang Kumara yang menggembala di Argakuruksana. Sang Kumara mempunyai sepuluh ternak sapi yang dalam teks ini diumpamakan

dengan dasendria (sepuluh nafsu), itulah yang dimaksud dengan lembu (sapi. Demikianlah dewa memberikan penderitaan melalui sepuluh nafsu karena liarnya dasendria menimbulkan manusia dapat dikotori dasamala (sepuluh kotoran yang ada di dalam tubuh manusia). Sang Kumara ingin melepaskan dirinya dari ikatan dasendria, karena menurut dia itulah sumber dari kepapaan (kekotoran) yang dapat memblenggu dirinya, sehingga Sang Kumara menggaib atau menghilang sampai tak ada satupun yang bisa mengetahui keberadaannya.

Kumaratatwa menyajikan bentuk ruwatan yang dikupas dengan pemaknaan. Dalam Kamus Bahasa Bali ruwat artinya bersih, ngeruwat artinya melaksanakan pembersihan, dan pengruwatan merupakan upacara pembersihan terhadap leluhur yang dianggap perbuatannya penuh dosa (Warna dkk, 1991:598). Sang Kumara menggerakkan cerita sebagai fokus utama dalam menjelaskan sebuah ruwatan. Secara geneologis, Sang Kumara merupakan putra dari Bhatara Siwa dan Bhatari Uma yang kelahirannya sama dengan kelahiran Bhatara Kala, kakak dari Sang Kumara. Kumara dan Kala tidak bisa dipisahkan, karena keduanya terkait untuk menggerakkan cerita yang berujung pada ruwatan Sapuh Leger dan ruwatan Sudamala. Kedua jenis ruwatan ini sangat umum di Bali.

Tutur Kumaratatwa dikaji dengan teori struktural. Unsur-unsur atau satu kesatuan yang membangun teks Kumaratatwa dianalisis menggunakan teori struktural untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendetail mungkin tentang cerita Tutur Kumaratatwa.

  • 2.    Struktur Naratif Tutur Kumaratatwa

Dalam mengkaji struktur naratif Tutur Kumaratatwa akan diawali dengan sinopsis Tutur Kumaratatwa, bahasa teks yang digunakan dalam teks Tutur Kumaratatwa yaitu menggunakan bahasa Jawa Kuna. Selanjutnya membahas tentang insiden kejadian apa saja yang terjadi dalam cerita tersebut, lalu plot (alur) dalam sebuah karya sastra mempunyai kedudukan yang sangat penting. Alur merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga terjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita (Aminuddin, 1991:83), tokoh atau penokohan dalam hal ini yang sebagai tokoh utama dalam teks Tutur

Kumaratatwa adalah Sang Kumara, sedangkan yang berperan sebagai tokoh sekunder adalah Bhatara Guru (Dewa Siwa), Bhatara Kala. Selanjutnya, tokoh-tokoh yang lainnya hanya berperan sebagai tokoh pelengkap (komplementer) yang ditinjau hanya sekilas tetapi memiliki peranan pendukung dalam jalannya cerita ini adalah Bhatara Maheswara, Bhatara Wisnu, Bhatara Iswara, Bhatara Yama, Bhatara Jati Nityasa, Sang Nuryama, Bhagawan Narada, dan Sang Baruna.

Latar ada dua yaitu latar tempat dan waktu dalam Tutur Kumaratatwa ada beberapa latar tempat seperti ladang tempat penggembalaan Sang Kumara yang disebut Argakurusksana, latar tempat selanjutnya adalah di alam baka, latar tempat yang terakhir ada di alam nyata dan tidak nyata, yang dimaksud alam nyata adalah di dunia ini, alamnya para manusia, sedangkan alam yang tidak nyata adalah alamnya para dewa-dewa, tema dalam teks Tutur Kumaratatwa berisikan tema tentang ruwatan, dimana Sang Kumara ini adalah anak Dewa Siwa (Bhatara Guru) dan Dewi Uma, yang juga merupakan adik dari Bhatara Kala. Sang Kumara dan Bhatara Kala tidak bisa dipisahkan, karena keduanya terkait untuk menggerakkan cerita yang berujung pada ruwatan Sapuh leger dan ruwatan Sudamala, dan yang terakhir adalah amanat yaitu pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada seorang pembaca dalam teks Tutur Kumaratatwa mengajak kita untuk merenungi secara terus-menerus dengan pertanyaan “siapakah aku?” “akan kemanakah aku nanti?”. Dengan senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, maka kita akan terlatih ke arah kesadaran diri dan pengendalian diri, supaya kita bisa jauh dari penderitaan (kepapaan). Untuk menghilangkan atau mengendalikan dasendria (sepuluh nafsu) yang disebabkan oleh dasamukha kita perlu melakukan ruwatan supaya penderitaan (kepapaan) dalam diri kita bisa musnah. Akhirnya menuju kemoksaan pada akhir hidupnya.

  • 3.    Pengruwatan dalam teks Tutur Kumaratatwa

Tutur Kumaratatwa mempunyai suatu makna dan arti untuk itu, pada kesempatan ini akan dikaji dengan teori semiotika. Teori ini membahas ruwatan-ruwatan yang ada pada Tutur Kumaratatwa. Penafsiran mengenai simbol-simbol yang ada di dalam Tutur Kumaratatwa dilakukan berdasarkan keobyektivitasan

seorang penafsir. Wawasan akan isi teks dan pemahaman terhadap kebudayaan di samping itu pula terhadap kemampuan berpikir si penafsir. Tutur Kumaratatwa direkontruksikan sebagai teks yang mampu dicerna masyarakat untuk kemudian dijadikan tuntunan dalam suatu sistem religi. Tutur Kumaratatwa tidak hanya diinterpretasikan dengan sekedar tapi dengan cara meluas. Tidak hanya tentang pelepasan, pengendalian diri, tetapi juga tentang pengruwatan yang ada di dalamnya yang dijelaskan dengan sebuah tanda atau simbol.

Dalam teks Tutur Kumaratatwa diceritakan tentang Sang Kumara sebagai seorang pengembala yang mengembalakan sepuluh ternak sapi, sepuluh sapi ini diumpamakan sebagai dasendria. Dasendria inilah yang mengikat Sang Kumara. Suatu ketika Sang Kumara menggaib, dalam sekejap ia telah tiba di perbatasan Tayalawa (wilayah kekosongan), sehingga tak ada satupun yang bisa menemukan Sang Kumara. Pada akhirnya Sang Kumara berhasil mengalami kelepasan, melepaskan diri dari dasendria dengan jalan meruwat dirinya dengan ruwatan Sapuh Leger dan Sudamala seperti yang akan djelaskan dibawah ini.

  • 3.1    Kumaratatwa: Sapuh Leger

Pengruwatan sesuatu yang diyakini mampu membersihkan diri dari kekotoran yang bersifat gaib dalam tubuh manusia. Tubuh manusia merupakan bagian dari alam semesta, berbagi energi didapat pada alam semesta, baik itu energi yang baik untuk tubuh kita ataupun energi yang buruk untuk tubuh kita (energi positif atau energi negatif). Maka dari itulah banyak masyarakat Bali menganggap bahwa suatu energi negatif yang ada pada tubuh atau diri seseorang perlu dihilangkan atau dibersihkan melalui suatu ruwatan, ruwatan yang berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan tubuh dengan alam semesta.

  • 3.2    Kumaratatwa: Sudamala

Sudamala berasal dari dua kata yaitu “suda” dan “mala”. Suda artinya bersih dan mala artinya kotor, dengan demikian Sudamala berarti upacara pembersihan kotoran atau kepapaan secara niskala pada diri manusia atau roh/atma orang yang sudah meninggal. Kematiannya tersebut dianggap membelenggu sang roh/atma karena pada waktu hidupnya seseorang pasti mempunyai dosa, maka untuk

menyucikannya di-sudamala dengan pementasan wayang yang bernama Wayang Sudamala. Upacara atau pementasan Wayang Sudamala diakhiri dengan dengan membuat tirta (air suci) dengan menggunakan mantra sakralisasi. Pementasan wayang sudamala dilakukan pada saat upacara nyekah, ngaben, atau pada saat hari yang dianggap baik (hari lahir) yang di-sudamala. Pentas wayang sudamala layaknya seperti pementasan wayang pada malam hari (memakai lampu Blencong) (Yudabakti dan Waktra, 2007:103).

Maka dari itu dalam Tutur Kumaratatwa dijelaskan untuk mencapai kebebasan sempurna dan tidak lagi terikat dengan keduniawian perlu diadakan suatu ruwatan untuk menghapus segala noda dan dosa atau penderitaan (kepapaan) selama hidup setiap manusia, karena ketika hidup manusia terikat dengan dasendria (sepuluh nafsu). Pembebasan itu didasarkan pada peruwatan atas segala kotoran (dasamala) yang ditimbulkan oleh dasendria. Karena itu, semua hal menjadi sempurna kembali bersih dari noda dan dosa (mala), dan pada akhirnya kembali ke rupa asal, hilang dan tiada. “Hilang” berarti telah mengalami peruwatan sehingga menjadi bersih dari noda dan dosa (śuddhamala). “Hilang” juga berarti telah lenyap, kembali ke rupa asal, yakni kekosongan. Begitulah Sang Kumara “menghilang” karena telah berhasil meruwat dan melepaskan diri-Nya dari ikatan dasendria. Dia kembali ke sumber asalNya, yakni Bhatara Siwa (ayah Sang Kumara) untuk bersatu kembali dengan-Nya. Karena itu, Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, dan Bhatara Kala tidak mampu menemukan Bhatara Kumara. Di agama Hindu ruwatan sudamala masih dipercayai dan dijadikan tradisi oleh umat Hindu untuk meruwat orang yang sudah meninggal untuk meruwat atau membebaskan (pembersihan) dari segala noda dan dosa pada masa hidupnya.

  • 4.    Simpulan

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini, yaitu Ruwatan Sapuh Leger muncul karena kelahiran Sang Kumara yang lahir pada Tumpek Wayang, kelahirannya sama dengan Bhatara Kala yaitu kakaknya sendiri. Kumara dan Kala merupakan anak dari Bhatara Siwa dan Dewi Uma. Pembebasan dari keduniawian dan kepapaan hidup (dasendria), sebelum menuju jalan kemoksaan

setiap orang perlu diruwat baik sewaktu masih hidup maupun pada saat sudah meninggal, karena dalam menuju kemoksaan setiap orang harus bersih terbebas dari kepapaan hidup atau dasendria. Pembebasan yang didasarkan pada peruwatan atas segala kotoran (dasamala) yang ditimbulkan oleh dasendria. Sehingga untuk menuju kesempurnaan kembali, bersih dari noda dan dosa perlu diruwat sehingga menjadi bersih (śuddhamala).

Ruwatan Sapuh Leger dan ruwatan Sudamala di Bali sudah menjadi sebuah tradisi yang disakralkan. Pengruwatan diyakini mampu membersihkan diri dari kekotoran yang bersifat gaib yang ada di dalam tubuh. Tubuh manusia merupakan bagian dari alam semesta. Berbagai energi terdapat pada alam, dan tubuh manusia adalah penerima dari energi baik itu energy positif maupun energi negatif. Maka masyarakat Bali mempercayai bahwa energi negatif yang masuk dalam tubuh perlu dihilangkan atau dibersihkan melalui sebuah pengruwatan. Pengruwatan ini berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan tubuh dengan alam semesta. Karena sesuatu yang berlebihan tidak baik untuk diri manusia.

Daftar Pustaka

Agastya, Ida Bagus Gede. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Darsana, I Made. 1990. “Analisis Struktur dan Fungsi Geguritan Sapuh Leger” Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Dwijayanthi, Ari I Made. 2010. “Kalatattwa: Sebuah Analisis Hermeneutika”. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Eni Laksmi, Ni Luh Gede. 2013. Tutur Ardhasmara Analisis dan Semiotika. Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Udayana

Estin, Mursal. 1984. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra Dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa

Kaelen, M.S. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta : Paradigma.

Koentjaraningrat. 1977. Methode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Balai Buku Ichtiar.

Laksmi, Eni Ni Luh Gede. 2013. “Tutur Ardhasmara Analisis Struktur dan Semiotika”. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Mardiwarsito, L. Dan Harimurti Kridalaksana. 1984. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Flores: Nusa Indah.

Nama, I Ketut. 2001. Geguritan Sudamala : Analisis Bentuk, Isi, dan Makna. Tesis Program Magister S2 Linguistik, Universitas Udayana, Denpasar.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Larasan.

Sastrawan, I Made Anom. 2009. Tutur Panugrahan Dalem: Analisis Struktur dan Fungsi. Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Sukada, I Made. 1983. Unsur Insiden dan Perwatakan dalam Fiksi dalam majalah Widya Pustaka. Tahun I, nomor 2, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Sukada, I Made. 1987. Pendekatan Strukturalisme dalam Sastra Modern. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra ; Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.

Warna, I Wayan dkk. 1991. Kamus Bahasa Bali – Indonesia. Denpasar : Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali Dati I Bali.

Wicaksana, I Dewa Ketut. 2007. Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Zoetmulder, P J dan S.O Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Zoetmulder, P.J 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.