WACANA KELESTARIAN ALAM CERITA LIPI SELAN BUKIT PADA MASYARAKAT ADAT TENGANAN PEGERINGSINGAN
on
WACANA KELESTARIAN ALAM
CERITA LIPI SELAN BUKIT
PADA MASYARAKAT ADAT TENGANAN PEGERINGSINGAN
Ni Putu Coryna Ari Mahayu
Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
This study discusses the Discourse of Nature Conservation Story Lipi Selan Bukit Indigenous In Tenganan Pegeringsingan the study of form, function and meaning. Lipi Selan Bukit story comes from the village of Tenganan Pegeringsingan. The reasons for selecting this title dianataranya is (1) because the studies have not been investigated (2) interesting story (3) because the origin of this story comes from thevillageitself.
Discourse of Nature Conservation Story Lipi Selan Bukit Indigenous In Tenganan Pegeringsingan analyzed using structural theory, the theory of semiotics and discourse theory. Structural theory relating to the structure at the level of literary works (intrinsic), and the level of the system is contained in the Discourse of Nature Conservation Story Lipi Selan Bukit Indigenous In Pegeringsingan Tenganan. The theory uses a combination of some of them Wiyatmi literary expert opinion, Sukada, Luxemburg, Damono. The methods used can be divided into three stages, the first stage of data provision, in this first stage is used idiomatically followed the literal translation method using read something about assisted with recording techniques. Second, the data processing stage, in this stage used analytical descriptive method assisted with recording techniques, and the third is the presentation of the results of the data analysis stage, in this stage is used informal methods.
Disclosure of structure Discourse Nature Lipi Selan Bukit Conservation Story In Tenganan Indigenous Pegeringsingan in units of the form include: prose, language diversity, language style. While the unit structure of narrative disclosures include: character and characterization, plot, incidents, setting, theme, mandate. Discourse Analysis of semiotics in Nature Conservation Story Lipi Selan Bukit Indigenous In Tenganan Pegeringsingan, includes elements of the function and meaning contained in the discourse. Functions include: natural sustainable, prosperous communities. While meanings include: Tri Hita Karana, Social Institution. Keywords: form, function, and meaning.
Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Desa Tenganan Pegeringsingan terkenal dengan tradisi dan kepercayaannya yang masih bertahan sampai sekarang. Tradisi sastra lisan yang masih berkembang sampai sekarang di Desa Tenganan Pegeringsingan adalah kepercayaan terhadap adanya Lipi Selan Bukit (I Tundung). Lipi Selan Bukit diyakini sebagai ular penjelmaan dari I Tundung yang keluar dari sela bukit, namun ada juga yang mengatakan Lipi Selem Bukit karena dilihat dari segi intensitas warnanya hitam (selem). Lipi Selan Bukit (I Tundung) diyakini sebagai penjaga alam Desa Tenganan Pegeringsingan. Lipi Selan Bukit (I Tundung) adalah ular di Bukit Kangin yang diyakini menjaga kelestarian alam Desa Tenganan Pegeringsingan. Konon katanya, kemunculan I Tundung dapat memberikan isyarat kepada masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan akan terjadi suatu bencana, maka masyarakat dapat lebih awal melakukan antisipasi. Masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan sangat percaya akan adanya Lipi Selan Bukit yang diyakini selalu menjaga kelestarian alam Desa Tenganan Pegeringsingan serta melindungi dari mara bahaya atau bencana. Sehingga masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan sampai sekarang tetap memuja Lipi Selan Bukit (I Tundung) di Pura Naga Sulung. Yang menarik dalam wacana ini adalah adanya unsur fungsi dan makna, serta dapat memberikan petuah tentang cara menjaga serta mempertahankan kelestarian lingkungan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka adapun masalah yang dirumuskan ke dalam sebuah pertanyaan bagaimanakah struktur cerita Lipi Selan Bukit pada masyarakat adat Tenganan Pegeringsingan dan apakah fungsi dan makna wacana
kelestarian alam cerita Lipi Selan Bukit pada masyarakat adat Tenganan Pegeringsingan?
Tujuan penelitian ini digolongkan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan umum kepada masyarakat betapa pentingnya tradisi sastra lisan yang berupa wacana. Tujuan lainnya adalah untuk dapat memahami serta meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap tradisi sastra lisan. Secara khusus, penelitian ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan bagaimanakah struktur cerita Lipi Selan Bukit pada masyarakat adat Tenganan Pegeringsingan dan untuk mendeskripsikan fungsi dan makna yang terkandung di dalam wacana kelestarian alam cerita Lipi Selan Bukit pada masyarakat adat Tenganan Pegeringsingan.
Dalam penelitian ini metode dan teknik yang digunakan, yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) tahap pengolahan data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap penyediaan data dipergunakan metode membaca. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (1) teknik pencatatan, dan (2) teknik terjemahan.
Pada tahap penyediaan data metode yang digunakan adalah metode wawancara dan membaca buku yang berkaitan dengan Desa Tenganan Pegeringsingan, agar dapat memahami pustaka-pustaka yang relevan dengan objek analisis. Metode wawancara juga diiringi dengan teknik pencatatan. Pada tahap pengolahan data, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan ditunjang dengan deskriptif analitik. Pada tahap penyajian hasil analisis data digunakan metode informal. Dalam tahap penyajian data, diikuti dengan teknik penerjemahan harfiah dan idiomatis.
Prosa pengertiannya sangat luas. Kata prosa sebenarnya menyaran pada pengertian yang lebih luas, tidak hanya mencakup pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, tapi juga karya non fiksi, seperti artikel, esai, dan sebagainya. Agar tidak terjadi kekeliruan, pengertian prosa ini dibatasi pada prosa sebagai genre sastra. Ragam Bahasa merupakan modal penggunaan bahasa dalam teks, dalam hal ini menyangkut variasi bahasa menurut pemakaian dan pengggunaannya. Dalam WKACLSB memakai bahasa BA. Gaya Bahasa dalam karya satra berfungsi sebagai alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Gaya Bahasa sangat banyak jenisnya. Gaya Bahasa yakni bagaimana bahasa dikonstruksikan dan dimanfaatkan untuk mengekspresikan cerita. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Gaya bahasa yang digunakan dalam WKACLSB adalah gaya bahasa alegori, simbolisme, dan metonimia.
Naratif isinya merupakan suatu kisah sejarah, deretan peristiwa. Bersamaan dengan kisah dan deretan peristiwa itu hadir cerita. Sastra yang koheren minimal dituntut adanya unsur tokoh dan penokohan, alur (plot), insiden, latar, tema, dan amanat. Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian, menghidupkan. Dalam WKACLSB hal itu diungkapkan melalui tokoh I Tundung. Ia diberi nama I Tundung karena diusir dalam bahasa Bali artinya tundung. Ia d iusir ke Bukit Kangin oleh Jero Pasek untuk mengurus ladang tanah miliknya yang ada disana. Alur (plot) yang digunakan dalam WKACLSB adalah alur lurus. Tahap awal berfungsi untuk memberikan informasi
dan penjelasan seperlunya berkaitan dengan latar dan penokohan. Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal (konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh), dan konflik eksternal (konflik antartokoh, antar tokoh protagonis dengan tokoh antagonis, dan dengan kekuatan antagonis atau antagonistic force). Tahap akhir disebut juga tahap penyelesaian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan sebuah cerita. Insiden yang membangun alur cerita WKACLSB diawali ketika suatu hari ladang tanah yang subur dan banyak menghasilkan hasil tiba-tiba saja sering kecurian. I Tundung pun merasa bingung serta heran, kenapa bisa terjari kecurian setiap harinya. Latar merupakan background sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita. Latar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar suasana. Amanat dalam WKACLSB adalah ketika I Tundung berjanji akan selalu menjaga kelestarian alam Tenganan Pegeringsingan, walaupun wujudnya berubah menjadi seekor ular.
Dalam KBBI edisi terbaru fungsi adalah kegunaan, manfaat, peranan atau tugas (Tim Penyusun, 258 : 2011). Fungsi sastra dalam masyarakat sering masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah. Fungsi yang terdapat dalam WKACLSB adalah alam lestari dan masyarakat sejahtera. Dalam WKACLSB yang menunjukkan alam lestari adalah ketika I Tundung bertapa di Pura Naga Sulung, memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Permohonannya dikabulkan dengan syarat I Tundung harus tetap menjaga keasrian alam Desa Tenganan Pegeringsingan supaya tetap lestari. Seperti ketika menjaga ladang milik Jero Pasek. Dalam WKACLSB yang menunjukkan masyarakat sejahtera adalah ketika I Tundung mau
merawat ladang milik Jero Pasek dengan baik sehingga mampu menjadikan kehidupan yang sejahtera. Akan tetapi, ladang tersebut selalu kecurian tanpa sepengetahuan I Tundung. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pencurian itu. Kemudian I Tundung pergi ke pura Naga Sulung untuk bertapa dan disanlah dia berjanji akan selalu menjaga kelestarian alam Tenganan Pegeringsingan demi kesejahteraan masyarakat setempat.
Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Adapun makna yang terkandung dalam WKACLSB adalah THK dan pranata sosial. Istilah THK muncul ke muka umum pada tanggal 11 November 1966, pada waktu diselenggarakan Konfrensi Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Tinggi Dwijendra Denpasar (Wirawan Adi, 2011 : 1). THK berasal dari bahasa Sansekerta. Dari kata Tri yang artinya tiga, Hita artinya sejahtera dan Karana artinya penyebab. Pengertian THK atau Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali.
Menurut Horton dan Hunt (1987 : 38), yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dalam WKACLSB yang menunjukkan pranata sosial adalah ketika I Tundung berjanji akan menjaga alam Tenganan Pegeringsingan dengan baik. I Tundung akan marah jika ada yang orang ingin merusak lingkungan Tenganan Pegeringsingan. Itu semua akan dia lakukan demi menjaga alam dan pranata sosial. Walaupun wujudnya telah berubah menjadi seekor ular, dia akan tetap mengabdi terhadap alam Desa Tenganan Pegeringsingan.
Kajian yang diangkat dalam WKACLSB adalah kajian bentuk, fungsi dan makna. Kajian bentuk meliputi : prosa, ragam bahasa, gaya bahasa. Bentuk satuan naratif terdiri dari alur, insiden, latar, tema, tokoh penokohan, dan amanat. Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Ragam Bahasa merupakan modal penggunaan bahasa dalam teks, dalam hal ini menyangkut variasi bahasa menurut pemakaian dan pengggunaannya. WKACLSB memakai bahasa BA. Gaya bahasa yang digunakan dalam WKACLSB adalah gaya bahasa alegori, simbolisme, dan metonimia.
Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian, menghidupkan. Dalam WKACLSB hal itu diungkapkan melalui tokoh I Tundung. Ia diberi nama I Tundung karena diusir dalam bahasa Bali artinya tundung. Insiden yang membangun alur cerita WKACLSB diawali ketika suatu hari ladang tanah yang subur dan banyak menghasilkan hasil tiba-tiba saja sering kecurian. Secara garis besar alur dibagi dalam tiga bagian, yaitu awal, tengah, akhir. Alur yang digunakan dalam WKACLSB adalah alur lurus. Latar tempat dalam WKACLSB meliputi desa Tenganan Pegerngsingan, Bukit Kangin dan Pura Naga Sulung. Latar waktunya meliputi malam hari. Latar suasana dalam WKACLSB adalah suasana gembira, dimana I Tundung disambut baik dan mau diajak untuk tinggal bersama Jero Pasek. Tema yang terkandung dalam WKACLSB adalah pengabdian seseorang terhadap tuan (majikan) serta pelestarian alam dan lingkungan. Amanat dalam WKACLSB adalah ketika I Tundung berjanji akan selalu menjaga kelestarian alam Tenganan Pegeringsingan, walaupun wujudnya berubah menjadi seekor ular.
Kajian fungsi WKACLSB meliputi (1) alam lestari, (2) masyarakat sejahtera. Alam Lestari bisa terwujud jikalau kita mau menjaga dan peduli terhadap lingkungan di sekitar. Masyarakat sejahtera adalah sehimpunan manusia yang hidup bersama dalam satu tempat dengan ikatan-ikatan tertentu atau individu-individu manusia yang merupakan mahluk biologis dan mahluk sosial di dalam satu lingkungan hidup yang mampu hidup rukun dengan sesama. Kemudian yang terakhir adalah kajian makna, yang meliputi (1) THK dan (2) pranata sosial. THK atau Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan mereka.
Danandjaja, James. 1984. Folklore Indonesia Ilmu gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta : PT Grafiti.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. 2013. Jakarta : PT Media Pustaka Phoenix.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia.
Wirawan Adi, I Made. 2011. Tri Hita Karana Kajian Teologi, Sosiologi dan Ekologi
Menurut Veda. Surabaya : Paramita.
8
Discussion and feedback