HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 28.1. Pebruari 2024: 132-137

Eksplorasi Teks Budaya Hindu di Lereng Gunung Raung Kabupaten Banyuwangi Kajian Antropolinguistik

Putu Sutama, I Wayan Suteja

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Email korespondensi: [email protected], [email protected]

Info Artikel

Masuk:14 Desember 2023

Revisi: 14 Januari 2024

Diterima:3 Pebruari 2024

Terbit: 29 Pebruari 2024

Keywords: exploration; text;

Hindu culture


Kata kunci: eksplorasi; teks; budaya Hindu

Corresponding Author:

Putu Sutama

email: [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

24.v28.i01.p12


Abstract

One of the ethnic groups that has a long cultural history is the Javanese ethnic group that inhabits on a Mountain Slopes -Raung in the Banyuwangi Regency, East Java. The Javanese ethnic group on the slopes of Mountain Raung is considered that have already known yulis reading since Majapahit kingdom, and therefore this Javanese ethnic group has cultural remained in the form of writing which were known as Cultural texts. The analysis used a qualitative descriptive research. Researchers used an anthropolinguistic perspective or theoretical framework which viewed that text was a cultural phenomenon which was an activityof the language use, language is the main focus of study, which was always connected to the cultural context. The results of the research were the text forms that preferred were (1) oral text forms, (2) written text forms, and (3) symbolic text forms. Noun category, namely Attributive Noun Phrases which had the structure Noun (N1) + Noun (N2). Then, written text was text written on a certain media such as signboards and nomenclature. Then, simbolic text was text that stored in cultural artifacts or sites such as temples, padmasana, and statues.

Abstrak

Salah satu suku bangsa yang memiliki sejarah kebudayaan yang panjang adalah suku bangsa jawa yang mendiami wilayah Lereng Gunung – Raung di Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Suku jawa di lereng Gunung Raung diperkirakan telah mengenal baca tulis sejak zaman kerajaan Majapahit, dan oleh sebab itu suku jawa ini memiliki tinggalan budaya berupa tulisan yang disebut sebagai teks Budaya. Penggunaan bahasa sebagai teks menjadi fokus kajian utama yang selalu terkoneksi dengan konteks budaya. Hasil Penelitian dalam bentuk teks yang ditemukan adalah (1) bentuk teks lisan, (2) bentuk teks tertulis, dan (3) bentuk teks simbolik. Bentuk teks tersebut adalah tata nama yang berkategori Nomina yaitu Frase Nomina Atributif yang memiliki struktur Nomina (N1) + Nomina (N2). Kemudian, teks tertulis yaitu teks yang ditulis pada media tertentu seperti papan nama dan tata nama. Lalu, teks simbolik yaitu teks yang tersimpan pada artefak atau situs budaya seperti Candi, Padmasana, dan Arca.

PENDAHULUAN

Salah satu suku bangsa yang memiliki sejarah kebudayaan yang panjang adalah suku bangsa jawa yang mendiami wilayah Lereng Gunung – Raung di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Banyuwangi-Jawa Timur. Suku bangsa Jawa di wilayah tersebut, secara sosial menuturkan bahasa Jawa dialek Banyuwangi. Namun, secara budaya suku jawa di wilayah ini juga mengenal bahasa lain yaitu bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa tengahan (Bungin, 2007). Suku jawa di lereng Gunung Raung diperkirakan telah mengenal baca tulis sejak zaman kerajaan Majapahit, dan oleh sebab itu suku jawa ini memiliki tinggalan budaya berupa tulisan yang disebut sebagai teks budaya.

Teks budaya yang tersebar di wilayah Lereng-Gunung Raung ini berbentuk: 1. Nama tempat atau wilayah, 2. Prasasti dan, 3. Kitab atau manuskrip. Teks budaya tinggalan suku jawa di wilayah ini, secara ideologis, bercorak ideologi Hindu, yaitu Hindu Jawa. Keberadaan budaya Hindu di Jawa wilayah Jawa Timur, khususnya di lereng Gunung Raung, sangat penting untuk dicermati untuk melihat dan memahami alur persebaran kebudayaan Hindu dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara. Keseluruhan teks yang tersebar di wilayah Gunung Raung perlu dikaji secara mendalam untuk menentukan makna, nilai serta idiologi yang terkandung di dalamnya (Halliday, 1973, 1985).

METODE DAN TEORI

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan aspek linguistik dalam teks antropologis secara kualitatif. Teori yang digunakan adalah teori antropolinguistik yaitu teori linguistik yang memandang bahwa teks adalah fenomena kebudayaan yang merupakan aktifitas penggunaan bahasa. Bahasa menjadi fokus kajian utama, yang selalu terkoneksi dengan konteks budaya. Antropolinguistik memandang bahwa nilai – nilai kebudayaan suatu bangsa tersimpan dalam data bahasanya, bahasa dan kebudayaan ibarat dua sisi mata uang. Teori antropolingusitik ini ditopang dengan teori liguistik sistem fungsional (LSF) teori LSF mendasarkan diri pada kajian leksiko – garamatika. Kajian leksiko merupakan kajiam tentang makna dalam berbagai konteks (Halliday, 1985 & Eggins, 1994). Kedua teori tersebut sangat cocok dipadukan untuk dapat mengeksplorasi teks Budaya Hindu yang ada di lereng Gunung Rahung Kabupaten Banyuwangi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  • A.    Bentuk Teks yang Tersebar di Wilayah Lereng Gunung Raung

Bentuk teks yang ada di wilayah Gunung Raung merupakan artefak budaya dalam bentuk bahasa simbolik yang merekam nilai-nilai budaya penuturnya atau masyarakatnya dalam dimensi historis yang cukup panjang. Nilai-nilai budaya tersebut tersimpan pada makna bahasa secara simbolik. Makna bahasa yang merekam nilai-nilai budaya tersebut tersusun secara berlapis-lapis sesuai dengan konteks sosial yang mendukungnya. Oleh sebab itu, makna budaya yang ada tersebut perlu dieksplorasi untuk mengetahui konteks penggunaannya sehingga dapat dipahami dan dimaknai dalam kurun waktu saat ini (Egins, 1994, Halliday and Hasan, 1985).

  • a.    Bentuk Teks Lisan

Teks lisan yang tersimpan pada alam pemikiran penganut ajaran Hindu di lereng Gunung Raung terutama pada generasi tua adalah tentang tata nama wilayah. Wilayah

lereng Raung yang terbentang dari Kecamatan Kalibaru, Glenmore, Genteng dan Banyuwangi dinamakan wilayah “Diwang Wukir Damalung”.

Bentuk teks tersebut adalah tata nama yang berkategori Nomina yaitu Frase Nomina Atributif yang memiliki struktur Nomina (N1) + Nomina (N2). N1 adalah Nomina Akronim yang berasal dari bentuk Hardi (Di) dan rawang (Wang) dan N2 adalah nomina utuh yaitu wukir dan damalung bentuk asli teks tersebut adalah “Hardi Rawang Wukir Damalung”. Teks tersebut termasuk sebagai teks pendek (Egins, 1994, Halliday and Hasan, 1985).

Dilihat dari maknanya, Frasa Nomina tersebut memiliki struktur makna yaitu unsur pusat Hardi Rawang bermakna denotatif yaitu nama Gunung yakni Gunung Raung sedangkan unsur atribut atau modifier Wukir damalung bermakna denotatif Gunung Damalung di Jawa Tengah. Jika dilihat secara utuh, makna frase “Diwang Wukir Damalung” adalah “Gunung Raung Damalung”. (Samsubur, 2021).

  • b.    Bentuk Teks Tulis

Bentuk teks tertulis yang cukup dominan ditemukan di wilayah lereng gunung Raung adalah berupa penggunaan Bahasa pada media tata nama seperti:

  • 1.    Papan Nama Tempat Suci (Pura)

Sebuah pura yang sangat terkenal adalah: “Pura Madu Katiagan Bharu Maha Resi Markandea Kalibaru”. Teks ini ditulis dengan 2 aksara yaitu aksara latin dan aksara Jawa ditulis pada papan nama yang terbuat dari bahan kayu. Teks pada papan nama tersebut merupakan simbol budaya Hindu, karena secara tematik menyebutkan nama tempat suci bagi pemeluk Hinduisme yaitu pura. Demikian pula pada struktur isi teks menyebutkan nama: Madu Katiagan Bharu Frase Nomina Madu Katiagan Bharu memiliki lapisan makna yang bertingkat-tingkat.

Kata Madu, bermakna denotative gula dengan rasa manis, dan secara konotatif bermakna aplikasi ajaran weda yang sangat manis bagaikan madu, manisnya lautan bhakti.

Kata Katiagan, berasal dari bentuk tiaga, siaga, sayaga, bermakna jagra, eling, sadar, kemudian berubah menjadi katiagan yang berarti mencapai kesadaran atau kesadaran Bhakti. (Bhakti Yoga). Kata katiagan juga sinonim dengan kata wairagya bermakna pelayanan Bhakti Kepada Tuhan.

Kata Bharu bermakna rumah/tempat tinggal menjadi nama tempat yaitu wilayah perkebunan atau hamparan lahan yang luas. Tempat berladang dan kini menjadi nama kecamatan Kalibaru.

Keseluruhan makna Frase Madu Katiagan Bharu adalah : Tempat perguruan, pedepokan atau pasraman atau tempat belajar agama yang dimiliki oleh Rsi Markandea untuk menekuni ajaran weda khususnya tentang Bhakti Yoga untuk memahami manisnya Lautan Ilmu Pengetahuan Weda untuk mencapai kesadaran tertinggi Wiragia. Di wilayah Gunung Raun ada 2 bentuk tempat suci ‘pura’ 1) berbentuk padmasana dan 2) berbentuk Candi. Pada candi yang ada, melekat bentuk padma mengikuti arah mata angin: Selatan-Utara-Timur dan Barat, sebagai pemujaan Catur Dewata: Brahma-Wisnu-Iswara-Mahadewa.

  • 2.    Tata Nama Sumber Air pada Beji

Pura Candi Gumuk Kancil yang diberi nama Patirtan Maha Gangga Maheswari Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore”.

Pada teks di atas tertera nama tempat yaitu patirtan maha Gangga Maheswari. Nama tersebut mengacu kepada Budaya Hindu yang secara leksikal dapat dijelaskan sebagai berikut.

Patirtan berasal dari bentuk dasar tirta, air suci, kemudian bentuk dasar tersebut mendapatkan konfiks pa-an menjadi patirtan, tempat air suci yang dalam bahasa Bali, disebut juga beji sumber air yang disucikan.

Maha Gangga adalah tata nama dalam budaya Veda (Hindu) yang megacu kepada Gangga Kayangan yang turun ke planet Bumi manjadi 7 aliran sungai suci India yaitu Sapta Gangga : Gangga, Saraswati, Yamuna, Saraya, Gori, Narmada, Mahitale.

Maheswari adalah tata nama yang mangacu kepada nama lain istri Dewa Siwa yakni Dewi Uma, Parwati atau Durga sebagai sakti dewa Siwa. Dalam mitologi turunnya maha Gangga juga dinamakan sebagai Saraswati.

Nama-nama teks yang tertera pada sejumlah patung dewi-dewi saktinya para dewa sebagai pancoran air suci pada beji atau partitaan di pura Candi Gumuk Kancil mangacu kepada budaya Hindu yakni mitologi Ibu Gangga. Cerita kekuatan suci Ibu Gangga yang turun ke Bumi untuk menyucikan dosa-dosa manusia (Mittal, 2006).

  • c.    Bentuk Teks Simbolik

Teks simbolik adalah teks yang terpateri pada situs benda seperti Arca, Bangunan tempat suci. Padmasana, dan benda-benda budaya lainnya. Situs benda yang utama adalah bangunan suci Padmasana. Padmasana berarti bangunan suci yang berdiri tegak lurus (vertikal) sebagai simbol tempat berdirinya atau tempat duduk atau singgasana untuk Tuhan Yang Maha Esa (Sri Arwati, 2010). Selain itu, terdapat pula situs arca Trimurti (Brahma-Wisnu-Qiwa) pada situs ini, sudah jelas bahwa acuannnya adalah kitab suci weda yang menggambarkan tentang tiga kemahakuasaan Tuhan sebagai awatara yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Faham Hindu Trimurti ini masih tetap eksis di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah pulau Jawa dan Bali. Teks simbolik Arca Trimurti merupakan simbolisasi wujud Tuhan sebagai awatara yaitu Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur. Trimurti merupakan konsepsi Guna Awatara yang sangat diyakini oleh penganut Hindu di Indonesia. Teks simbolik lainnya adalah wujud bangunan suci lain seperti Candi Bentar dan Candi Pura yang masih mengacu kepada bentuk asal ketika Hindu berkembang di Jawa Barat yang berbentuk seperti Sanggar Pemujan (Chodjim, 2020).

  • B.    Nilai Budaya yang Tersimpan dalam Teks

  • a.    Nilai Agama: Berdasarkan kajian bentuk teks yang tersebar di wilayah Gunung Raung Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, secara dominan mengungkapkan adanya nilai-nilai Agama Hindu. Kata pura Katiagan, Maharesi Markandea dan beji adalah kosa kata yang mengacu kepada tempat suci agama Hindu, perilaku bakti dalam aktivitas pemujaan Hindu, tokoh orang suci penyebar Agama Hindu.

  • b.    Nilai Historis: Tata nama teks yang mengandung nilai historis adalah nama peradaban Hindu di Wilayah lereng Gunung Raung yaitu Diwang Wukit Damalung. Tempat ini merupakan titik awal penyebaran Agama Hindu faham waisnawa di Jawa Tengah dan berakhir di lereng Gunung Raung.

  • c.    Nilai Sosial: Secara sosiologis masyarakat penganut Agama Hindu di lerang Gunung Raung mewarisi nilai-nilai sosial dari teks budaya yang ada seperti gotong royong, silaturahmi, tolong menolong, suka-duka. Dalam prasasti disebutkan ‘kerta raharja balania’. Kalimat ini menunjukkan bahwa zaman itu sudah terbentuk komunitas yang sejahtera. Demikian juga pada prasasti yang ada, disebutkan adanya kalimat ‘damel

pasraman’, sebagai bukti adanya komunitas perguruan untuk belajar agama, yang sekaligus menunjukkan sistem sosial yang ada.

  • d.    Nilai Ideologis: Ajaran Hindu yang berkembang di wilayah Lereng Gunung Raung, sesuai dengan sejarah dan tokoh penyebarannya adalah merekam nilai ideologis yaitu faham Waisnawa yakni ajaran yang mengacu kepada tata nama Katiagan dan tokoh Resi Markandea dan Resi Madura yaitu paham waisnawa atau waisnawaisme. Waisnawaisme adalah salah satu faham atau ajaran dalam Agama Hindu. Waisnawaiasme adalah ilmu pengetahuan bhakti yoga, dengan ciri utama yaitu melaksanakan pelayanan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui seluruh potensi badan bhuja-angga. Faham waisnawa secara tekstual memuja Tuhan dalam wujud Guna Awatara dalam nama Wisnu. Dari kata ini terbentuk kata wisnuva kemudian menjadi waisnava atau waisnawa yang berarti titisan Wisnu. (Prabhupada, 2011).

SIMPULAN

Bentuk teks yang ditemukan di wilayah Gunung Raung adalah (1) bentuk teks lisan, (2) bentuk teks tertulis, dan (3) bentuk teks simbolik. Teks lisan adalah teks yang tidak tertuliskan pada suatu media, tetapi teks itu hidup dalam pikiran komunitas umat Hindu di Lereng Gunung Raung. Teks tertulis yaitu teks yang ditulis pada media tertentu seperti papan nama dan teks simbolik yaitu teks yang tersimpan pada artefak budaya seperti Candi, Padmasana, Arca. Pada teks yang tersebar di wilayah lereng Gunung Raung tersimpan nilai-nilai budaya yaitu (a) Nilai Agama, (b) Nilai Historis, (c) Nilai Sosial, dan (d) Nilai Ideologi. Dari hasil penelitian ini, terungkap bahwa faham waisnawa di Indonesia memang benar adanya, dan dapat buktikan dengan adanya data emperik berupa teks Budaya Hindu yang tersebar di wilayah Gunung Raung. Data ini dapat menguatkan kepercayaan dan keyakinan para penganut faham waisnawa yang ada di Bali, bahwa penyebaran faham waisnawa yang berawal dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai berada di Bali merupakan suatu fakta kebenaran dan bukan fiktif. Hasil penelitian ini akan sangat besar konstribusinya sebagai sumber data bagi penelitian selanjutnya terutama penelitian untuk mengungkapkan faham waisnawa di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, HM. Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Mediagroup.

Bungin, HM. Burhan. (2007). Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Chodjim, Achmad. (2020). Wedha Sasangka: Mengenal Jati Diri Pribadi dan Bangsa Jilid II. Jombang: Baca.

Eggins, Suzanne. (1994). An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Pinter Publisher Ltd.

Ginarsa Ketut. (1987). Bhuwana Tatwa Maharesi Maha Rci Markandheya. Singaraja: Suka Jaya.

Halliday, M.A.K. (1985). Language as Social Semiotic. London: Edward Arzerod

Halliday, M.A.K. ( 1973). Exploration in the Functions of Language. London: Edward Arzerod

Halliday, M.A.K. (1977). Exploratios In The Function of Language. London: Edward Arnold.

Halliday, M.A.K dan Rugaiya HAsan. ( 1985). Language, Context and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Dlakin University Press.

Herusatoto, Budiono. (2019). Mitologi Jawa: Pendidikan Moral dan Etika Tradisional. Yogyajarta: Narasi.

Karyasa, I Wayan dan Nengah Bawa Admaja. (2011). Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Singaraja: Program Pascasarjana Undiksha.

Mital, Mahendra. (2006). Ibu Gangga. Surabaya: Paramita.

Prabhupada, Srimad A.C Bhaktivedanta. (2015). Srimad Bhagavatam (Bhagarata Purna). Skanda enam jilid 1,2,3. Jakarta: Hanuman Sakti.

Prasetya. (2021). Jejak Peradaban Kerajaan Hindu Jawa 1042M-1527M. Yogyakarta: Araska.

Rahardi, Kunjana. (2006). Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa: Bahasa Indonesia dalam Dinamika Konteks Ekstra Bahasa. Yogyakarta: Andi.

Samsubur. (2021). Wiracarita Praja Balambangan. Banyuwangi: Lintang.

Sri Arwati, Ni Made. (2010). Berbagai Jenis Palinggih. Denpasar: Aksara.

Tara Wiguna, I Gusti Ngurah Made. (2016). Purana Pura Luhur Rambut Siwi.

Surabaya: Paramita.

Tarigan, Prof. Dr. H.G. (1987). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Tribinuka, Tjahja. (2020). Filsafat Majapahit Buddo Jawi Wisnu Legino Marto Wiyono.

Surabaya: Abiyasa Nusantara Majapahit.

Wikarman, Singgin. (2010). Leluhur Orang Bali: Dari Dunia Babad dan Sejarahnya. Surabaya: Paramita.

Yudiantara, Kadek. (2003). Dasaksara Saiwa Siddhanta dan Kanda Pat. Surabaya: Paramita.