HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 28.1. Pebruari 2024: 79-92

Perilaku Sintaksis Kata Sifat dalam Bahasa Bali

Ni Made Suryati, Tjok Istri Agung Mulyawati R.

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indoneisa email korespondensi: [email protected], [email protected]

Info Artikel

Masuk: 5 Desember 2024

Revisi: 23 Januari 2024

Diterima: 1 Pebruari 2024

Terbit: 29 Pebruari 2024

Keywords: syntactical behavior; phrase; construction; meaning; clause


Kata kunci: perilaku sintaksis; frase; konstruksi; makna; klausa


Corresponding Author: Ni

Made Suryati email: [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

24.v28.i01.p08


Abstract

This article is intended to analyze the syntactical behavior of adjectives in Balinese language at phrases and clauses level. The data were collected using the observation method and notetaking and recording techniques. The data were analyzed using the connecting and comparing techniques, and distributional method with deletion, transformational, and insertion techniques. The results of data analysis were formally and informally presented using both inductive and deductive techniques. The results of the study show that in the endocentric and attributive phrases, the adjectives in Balinese language function as the central and attributive elements, that in the endocentric and coordinative phrases, they function as the central element only, and that in the exocentric phrase, they function as the axis. The meaning of the phrase with an adjective + adjective construction refers to equivalence and opposition. In the clausal level, adjectives in Balinese language function as predicate, complement, and adverb.

Abstrak

Penulisan artikel ini bertujuan untuk menganalisis perilaku sintaksis kata sifat dalam bahasa Bali pada tataran frase dan klausa. Data dikumpulkan dengan metode simak dengan teknik catat dan rekam; data dianalisis menggunakan metode padan dengan teknik hubung banding serta metode distribusional dengan teknik lesap, ubah ujud, dan penyisipan; penyajian analisis data dilakukan dengan metode formal dan informal dengan menggunakan teknik induktif dan deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perilaku sintaksis kata sifat pada tataran frase dilihat dari tipenya: kata sifat berperilaku sebagai unsur pusat dan atribut pada frase tife endosentrik atributif, pada tipe endosentrik koordinatif dapat sebagai unsur pusat, pada frase tipe eksosetrik kata sifat dapat sebagai aksis. Makna frase sifat baik sebagai unsur pusat atau atribut adalah menyatakan keadaan, warna, dan peringai. Jika frase yang berkonstruksi ks + ks bermakna kesepadanan dan oposisi. Simpulannya pada tataran klausa, kata sifat dapat menduduki posisi fungsi: predikat, pelengkap, dan keterangan.

PENDAHULUAN

Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia yang digunakan oleh suku Bali yang ada di Bali maupun di luar Bali untuk berkomunikasi. Suku Bali yang menggunakan bahasa Bali meliputi daerah-daerah yang menjadi tujuan transmigrasi seperti pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia. Di Bali, bahasa Bali memiliki kedudukan dan peran yang penting sebagai bahasa ibu dan identitas orang Bali.

Bahasa Bali adalah bahasa ibu yang patut dilestarikan. Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaaan bahasa Bali semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 45 Bab XV pasal 36, yang mengatur tentang fungsi dan kedudukan bahasa daerah di Indonesia disebutkan bahwa

Sesuai dengan isi Undang-Undang Dasar 45 Bab XV pasal 36, dinyatakan bahwa bahasa daerah adalah aset kekayaan bahasa dan budaya bangsa Indonesia yang perlu dibina, diperhatikan, dan dilestarikan. Hal tersebut memperkuat fungsi bahasa daerah selain sebagai lambang identitas kebanggaan daerah, juga sebagai saranan pengembangan dan mendukung kebudayaan daerah dan sebagai alat komunikasi.

Bahasa Bali sebagai alat komunikasi di wilayah Bali memiliki variasi baik secara geografis maupun variasi sosial. Sama halnya dengan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia, seperti bahasa Jawa Sunda dan Madura, kedua variasi tersebut sangat lazim ditemukan. Variasi yang dimunculkan oleh kedua pengklasifikasian di atas disebut dengan dialek (Linn (ed.), 1998: 5). Perbedaan geografis memunculkan variasi-variasi yang disebut dengan istilah geografi dialek, sedangkan variasi yang muncul karena stratifikasi sosial disebut denga dialek sosial.

Bahasa Bali dapat dikelompokkan menjadi dua, jika dilihat berdasarkan geografisnya, yaitu bahasa Bali Dialek Bali Dataran dan bahasa Bali Dialek Bali Aga. Bahasa Bali Dialek Bali Dataran tersebar di daerah dataran sedangkan Bahasa Bali Dialek Bali Aga (DBA) yang tersebar di daerah-daerah pegunungan pulau Bali, Nusa Penida, Lembongan, dan pulau Serangan (Bawa, 1983). Kedua dialek tersebut baik Dialek Bali Dataran maupun Dialek Bali Aga juga memiliki variasi lainnya yang bisa dilihat dari satu daerah dengan daerah lainnya baik secara fonologis, gramatikal maupun leksikal.

Apabila dilihat dari stratifikasi sosial, variasi dalam Bahasa Bali masih sangat dipengaruhi oleh sistem Wangsa yang masih digunakan oleh Masyarakat Bali hingga kini, Suardiana (2012: 2) Adapun pembagian sistem Wangsa di Bali adalah sebagai berikut, tri Wangsa yang terdiri dari Wangsa brahmana, ksatria dan wesya, sedangkan non-triwangsa yang terdiri dari Wangsa sudra atau jaba. Secara tradisional, sistem Wangsa masih mempengaruhi variasi penggunaan Bahasa Bali. Begitupula secara modern, stratifikasi sosial dipengaruhi oleh jabatan, kedudukan, dan lain-lain. Variasi BB berdasarkan stratifikasi sosial hanya dimiliki masyarakat Dialek Bahasa Bali Dataran.

Penelitian-penelitian mengenai bahasa Bali secara linguistik telah banyak dilakukan. Tetapi, penelitian-penelitian tersebut masih pada tataran linguistik mikro, makrolinguistik dan linguistik terapan. Meskipun demikian, masih banyak fenomena linguistik dalam bahasa Bali yang bisa diteliti karena Bahasa Bali memiliki kekayaan dalam bidang leksikon yang memberikan ruang yang luas bagi peneliti untuk meneliti lebih dalam lagi. Artikelini akan lebih banyak mengupas tentang kata sifat (adjektif) sebagai bagian dari ilmu morfologi dan sintaksi.

Mengenai penelitian kata sifat secara morfologi dalam Bahasa Bali sebelumnya pada tahun 1991 telah ada tulusan yang berjudul Morfologi Kata Sifat bahasa Bali yang ditulis oleh I Made Denes tahun 1991 dengan demikian juga penelitian dalam bidang

sintaksis sudah banyak dilakukan oleh para peneliti Bali maupun peneliti asing. Adapun penelitian tersebut antara lain: Granoka, dkk. pada tahun 1995 melakukan penyusunan Tata Bahasa baku Bahasa Bali. Selanjutnya penelitian “Perilaku Sintaksis Kata Sifat dalam bahasa Bali “sudah diteliti oleh Suryati (2016). Itu baru sebatas hasil penelitian tetapi belum dimuat dalam jurnal. Oleh karena itulah pada kesempatan ini judul penelitian tersebut dibuat dalam bentuk artikel. Ada dua masalah yang dibahas dalam artikel ini diantaranya yaitu (1) Bagaimanakah perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada tatataran frasa?, dan (2) bagaimanakah perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada tataran klausa?

METODE DAN TEORI

Struktural sendiri pertama kali dikembangkan oleh seorang linguist berkebangsaan Swiss yang bernama Ferdinand de Saussure. Pandangan yang dia kemukakan kemudian terkumpul atas dua usaha dua orang muridnya yaitu Charles Bally dan Albert Sechelhaye dengan menyusu sebua buku yang diterbitkan setelah de Saussure meninggal tahun 1916 dengan judul Cours de Linguistque Generole dan (Bawa, 1980: 2).

Pada teori setiap bahasa diangap tersusun atas perangkat- perangkat dari yang terkecil yaitu fonem hingga perangkat yang paling tinggi yaitu kalimat yang disusun dalam suatu wacana. Setiap perangkat tersebut memiliki sistem perangkat dalam tata tingkat yang lebih tinggi. Keterkaitan yang muncul dari hubungan tersebuat kemudian disebut dengan struktur bahasa.

Adapun pandangan-pandangan Saussure itu dapat diketahui dari dikotomi-dikotominya, yaitu (1) bahasa dapat diteliti secara diakronik adalah penelitian bahasa dari masa ke masa (sejarah suatu bahasa)maupun sinkronik adalah penelitian yang sifatnya sejaman; (2) setiap bahasa memiliki dua hal yang tidak dapat dipisahkan yaitu signifiant meruakan bagian bentuk yang dapat ditangkap oleh indra dan signifie adalah bagian arti yang dapat ditangkap oleh akal; (3) adanya hubunga sintagmatik adalah hubungan yang bersifat horizontal dan hubungan paradigmatic adalah hubungan yang bersifat vertical; (4) langue adalah system bunyi yang abstrak dan menjadi objek linguistik serta merupakan produk dari masyarakat dan parole adalah manifestasi yang kongkret dari langue yang diucapkan penutur bahasa sebagai individu.

Sehubungan dengan penelitian ini, dikotomi yang digunakan adalah sinkronik, signifiant, signifie, parole, dan langue.

Sesuai dengan judul artikel ini maka terdapat sebuah konsep yang perlu dijelaskan, yaitu mengenai kata sifat. Konsep kata sifat sangat tergantung pada teori. Secara tradisional, kata sifat dikatakan adalah kata yang menyatakan keadaan, seperti kata sakit, enak, malas, rajin, dan lain sebagainya (Rusyana, Yus dan Samsuri ed., 1976: IX dan Ramlan, 1987: XVIII). Jika dilihat secara struktural, kata sifat didefinisikan tergantung dari perilakunya baik secara morfologis maupun sintaksis. Menurut pendapat Kridalaksana (1982: 1760) yang disebut sebagai kata sifat/adjektif dalam bahasa Indonesia pembentukan ditandai oleh kemungkinan untuk diawali oleh kata tidak, sangat, dan lebih; serta dapat diikuti oleh kata sekali.

Penelitian ini menggunakan metode lapangan berarti data yang diperoleh peneliti didapat dengan cara langsung terjun ke lapangan. Secara lebih lanjut metode ini dapat dijabarkan menjadi metode simak dan metode cakap (khususnya cakap semuka) (Sudaryanto, 1988: 2—9; Mahsun: 2007: 92--96). Istilah lain yang digunakan adalan istilah observasi untuk metode simak serta wawancara untuk istilah metode cakap (cakap semuka) (Bungin, 2008: 1008—115). Tekniknya adalah teknik catat dan teknik

rekam. Dalam tahapan analisis data, penelitian ini menggunakan metode padan dan metode distribusional (Sudaryanto, 1993: 13—30; bandingkan dengan Djajasudarma, 1993: 58; dan Mahsun, 2005: 120—122). Pemilihan penerapan kedua metode tersebut dikarenakan masalah yang dikaji dapat berhubungan dengan alat penentu yang berada di luar bahasa yang bersangkutan dan dalam bahasa yang bersangkutan. Mengenai penerapan kedua metode tersebut diuraikan berikut ini.

Metode padan yang diterapkan adalah metode padan referensial. Dengan teknik lanjutan yaitu teknik hubung banding, baik hubung banding membedakan maupun menyamakan (Sudaryanto, 1993: 13—30; bandingkan dengan Djajasudarma, 1993: 58; dan Mahsun, 2005: 120—122). Metode distribusional (metode agih) menurut Sudaryanto (1993: 15) dan Djajasudarma (2006: 69) merupakan sebuah metude yang mengunakan bagian bahasa yang dikaji sebagai alat penentunya. Dalam tahap analisis data, metode tersebut kemudian dibantu dua tingkatan teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan yang diterapkan pada data yang diteliti (Sudaryanto (1993: 31—100). Teknik dasarnya sangat relevan dengan pembahasan awal mengenai deskripsi suatu klausa atau kalimat berdasarkan unsur-unsurnya untuk menentukan frase, klausa, dan kalimat yang mengandung kata sifat. Teknik lanjutannya terdiri atas teknik lesap, teknik sisip, teknik ubah ujud, dan teknik perluasan. Teknik lesap digunakan untuk mengetahui apakah frase itu termasuk. Sumber data penelitian ini adalah sumber data lisan yang berasal dari penutur bahasa Bali asli

Penelitian kali ini menggunakan teori lingistik modern yaitu teori struktural. Teori struktural sendiri pertama kali dikembangkan oleh seorang linguist berkebangsaan Swiss yang bernama Ferdinand de Saussure. Pandangan yang dia kemukakan kemudian terkumpul atas dua usaha dua orang muridnya yaitu Charles Bally dan Albert Sechelhaye dengan menyusu sebua buku yang diterbitkan setelah de Saussure meninggal tahun 1916 dengan judul Cours de Linguistque Generole dan (Bawa, 1980: 2).

Pada teori setiap bahasa diangap tersusun atas perangkat- perangkat dari yang terkecil yaitu fonem hingga perangkat yang paling tinggi yaitu kalimat yang disusun dalam suatu wacana. Setiap perangkat tersebut memiliki sistem perangkat dalam tata tingkat yang lebih tinggi. Keterkaitan yang muncul dari hubungan tersebuat kemudian disebut dengan struktur bahasa.

Adapun pandangan-pandangan Saussure itu dapat diketahui dari dikotomi-dikotominya, yaitu (1) bahasa dapat diteliti secara diakronik adalah penelitian bahasa dari masa ke masa (sejarah suatu bahasa)maupun sinkronik adalah penelitian yang sifatnya sejaman; (2) setiap bahasa memiliki dua hal yang tidak dapat dipisahkan yaitu signifiant meruakan bagian bentuk yang dapat ditangkap oleh indra dan signifie adalah bagian arti yang dapat ditangkap oleh akal; (3) adanya hubunga sintagmatik adalah hubungan yang bersifat horizontal dan hubungan paradigmatic adalah hubungan yang bersifat vertical; (4) langue adalah system bunyi yang abstrak dan menjadi objek linguistik serta merupakan produk dari masyarakat dan parole adalah manifestasi yang kongkret dari langue yang diucapkan penutur bahasa sebagai individu.

Sehubungan dengan penelitian ini, dikotomi yang digunakan adalah sinkronik, signifiant, signifie, parole, dan langue. Sesuai dengan judul artikel ini maka terdapat sebuah konsep yang perlu dijelaskan, yaitu mengenai kata sifat. Konsep kata sifat sangat tergantung pada teori. Secara tradisional, kata sifat dikatakan adalah kata yang menyatakan keadaan, seperti kata sakit, enak, malas, rajin, dan lain sebagainya (Rusyana, Yus dan Samsuri ed., 1976: IX dan Ramlan, 1987: XVIII). Jika dilihat secara struktural, kata sifat didefinisikan tergantung dari perilakunya baik secara morfologis maupun sintaksis. Menurut pendapat Kridalaksana (1982: 1760) yang disebut sebagai

kata sifat/adjektif dalam bahasa Indonesia pembentukan ditandai oleh kemungkinan untuk diawali oleh kata tidak, sangat, dan lebih; serta dapat diikuti oleh kata sekali.

Penelitian ini menggunakan metode lapangan berarti data yang diperoleh peneliti didapat dengan cara langsung terjun ke lapangan. Secara lebih lanjut metode ini dapat dijabarkan menjadi metode simak dan metode cakap (khususnya cakap semuka) (Sudaryanto, 1988: 2—9; Mahsun: 2007: 92--96). Istilah lain yang digunakan adalan istilah observasi untuk metode simak serta wawancara untuk istilah metode cakap (cakap semuka) (Bungin, 2008: 1008—115). Tekniknya adalah teknik catat dan teknik rekam. Dalam tahapan analisis data, penelitian ini menggunakan metode padan dan metode distribusional (Sudaryanto, 1993: 13—30; bandingkan dengan Djajasudarma, 1993: 58; dan Mahsun, 2005: 120—122). Pemilihan penerapan kedua metode tersebut dikarenakan masalah yang dikaji dapat berhubungan dengan alat penentu yang berada di luar bahasa yang bersangkutan dan dalam bahasa yang bersangkutan. Mengenai penerapan kedua metode tersebut diuraikan berikut ini.

Metode padan yang diterapkan adalah metode padan referensial. Dengan teknik lanjutan yaitu teknik hubung banding, baik hubung banding membedakan maupun menyamakan (Sudaryanto, 1993: 13—30; bandingkan dengan Djajasudarma, 1993: 58; dan Mahsun, 2005: 120—122). Metode distribusional (metode agih) menurut Sudaryanto (1993: 15) dan Djajasudarma (2006: 69) merupakan sebuah metude yang mengunakan bagian bahasa yang dikaji sebagai alat penentunya. Dalam tahap analisis data, metode tersebut kemudian dibantu dua tingkatan teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan yang diterapkan pada data yang diteliti (Sudaryanto (1993: 31—100). Teknik dasarnya sangat relevan dengan pembahasan awal mengenai deskripsi suatu klausa atau kalimat berdasarkan unsur-unsurnya untuk menentukan frase, klausa, dan kalimat yang mengandung kata sifat. Teknik lanjutannya terdiri atas teknik lesap, teknik sisip, teknik ubah ujud, dan teknik perluasan. Teknik lesap digunakan untuk mengetahui apakah frase itu termasuk. Sumber data penelitian ini adalah sumber data lisan yang berasal dari penutur bahasa Bali asli.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan ruang lingkup sintaksis, yaitu frasa, klausa, dan kalimat; maka perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali dibahas pada ketiga tataran tersebut dan masing-masing diuraikan di bawah ini.

Perilaku Sintaksis Kata Sifal Bahasa Bali pada Tataran Frasa

Elson dan Pickett (1967: 73) mengemukakan, frase merupakan komposisi unit yang secara potensial terdiri atas dua kata atau lebih, tetapi tidak memiliki ciri-ciri suatu klausa dan konstrukti ini dapat mengisi slot-slot pada tataran klausa. Hal Senada juga dikemukakan Ramlan (1987: 121) yang menyatakan bahwa frase adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Selanjutnya Parera (1988: 32) menyatakan bahwa frase adalah suatu konstruksi yang dapat dibentuk oleh dua kata atau lebih, tetapi tidak memiliki konstruksi sebuah klausa; dan sering pula mengisi slot atau gatra dalam tingkat klausa. Dengan demikian, frase bisa menduduki fungsi subjek, predikat objek, pelenglap, dan keterangan.

Seacara teoritis ada dua tipe frase, yaitu frase endosentrik dan frase eksosentrik. Berdasarkan data kedua tipe frase tersebut ditemukan dalam bahasa Bali. Frase tipe endosentrik adalah tipe yang salah satu atau kedua unsur dari frase dapat menggantikan fungsi fraseitu sendiri, sedangkan frase tipe eksosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya sebagai aksisnya dan unsur satunya sebagai preposisi atau boleh dikatakan

frase yang salah satu atau kedua unsrunya tidak bisa menggantikan fungsi frase Ramlan, 1987: 155—157; Keraf dalam Yus Rusyana dan Samsuri, 1976: 78; dan Parera, 1988: 33. Kedua tipe frase tersebut dianalisis berikut ini.

Perilaku Sintaksis Kata Sifat pada Tipe-Tipe Frase Endosentrik dalam bahasa Bali

Frase tipe endosentrik masih bisa dikelompokkan dalam dua yaitu tipe frase endosentrik yang atributif dan tipe prase endosentrik yang koordinatif.

Tipe frase endosentrik atributif adalah tipe frase yang salah satu unsurnya dapat menggantikan fungsi frase atau salah satu unsurnya merupakan unsur pusat, sedangkan unsure yang satunya sebagai atribut. Berikut disajikan data yang mengandung perilaku sintaksis frase tipe endosentrik atributif dalam bahasa Bali.

Data: (1) Bapan tiange jdmdtpesan magarapan.

#bapan tiaQe rajin pdsan mdgaraan#

‘Bapak saya rajin sekali bekerja’

  • (2) Genahepuniki dahat ngulangunin. #gdnahepuniki dahat QulaQuninn# ‘Tempat ini sangat mempesona’

Data (1—3) merupakan kalimat yang dibentuk oleh kata, frase maupun klausa. Pada ketiga data terdapat frase endosentrik. Data (1) terdiri atas bapan tiange / bapan tiaηe / ‘bapak saya’ sebagai subjek; rajin pesan / rajin pθsan/ ‘rajin sekali sebagai predikat; dan magarapan /m9garaan’bekerja’ sebagai pelengkap (komplemen). Frase endosentrik atributif kata sifat pada data (1) adalah rajin pesan ‘rajin pdsan’ rajin sekali’ karena terdiri atas dua kata, menduduki salah satu fungsi klausa yaitu predikat, dan salah satu unsurnya merupakan unsur pusat. Untuk membuktikan pernyataan tersebut berikut diuji dengan pelesapan salah satu unsurnya dalam kalimat (1a dan 1b). Data: (1a) Bapan tiange rajin ......... magarapan #bapan tiaQe jdmdt...... mdgaraan#

‘Bapak saya rajin ……. bekerja’.

(1b)*Bapan tiange ......... pesan magarapan #bapan tiaQe ........ pdsan

mdgaraan#        ‘Bapak saya.....sekali bekerja’

Kalau diperhatikan data (1a), ternyata kalimat tersebut berterima, walaupun tanpa kehadiran kata pesan /pdsan/ ‘sekaii’; sedangkan kalimat pada data (1b) tanpa kehadiran kata jemet /jdmdt/ ‘rajin’ yang merupakan kata sifat tidak berterima. Itu membuktikan bahwa tipe frase kata sifat pada data (1) menyatakan perilaku sintaksisnya pada tataran frase tipe endosetrik atributif adalah sebagai unsur pusat. Begitu pula dengan data (2) terdiri atas genahe puniki /gdnahe puniki/ ‘tempat ini’ sebagai subjek; dahat ngulangunin /dahat IjulaQunin/ ‘sangat mempersona’ sebagai predikat. Yang termasuk frase tipe endosenrik adalah dahat ngulangunin /dahat Qulajunin/ ‘sangat mempersona’, dimana dahat ‘sangat’ sebagai atribut dan ngulangunin /QulaQunin/ ‘mempersona sebagai unsure pusat. Untuk pembuktiannya, berikut diujikan dalam kalimat dengan melesapkan salah satu unsurnya.

Data: (2a) Genahe puniki dahat...........#gdnahepuniki dahat.......#

‘Tempat ini sangat………’

  • (2b) Genahepuniki.........ngulangunin. #gdnahepuniki..........QulaQunin #

‘Tempat ini ………..pempesona ’

Kalau diperhatikan data (2a) tanpa kehadiran kata /QulaQunin/ ‘mempersona ternyata tidak berterima, sedangkan data (2b) tanpa kata dahat /dahat/ ‘sangat’ ternyata berterima. Itu berarti kata /QulaQunin/ ‘mempersona’ yang merupakan kata sifat pada frase endosentrik pada data (2) merupakan unsur pusat, sedangkan kata dahat /dahat/ ‘sangat’ merupakan atributif. Dengan demikian, perilaku sintaksis kata sifat pada tkipe frase endosentrik atibutif juga sebagai unsure pusat.

Contoh lainnya:

  • - Presiden Joko Widodo dahat kasub mangkin ring Dura Negara.

#presiden joko widodo dahat kasub maQkin riQ durd n Sgar d# ‘Presiden Joko Widodo sangat terkenal sekarang di Luar Negeti’.

Selain Perilaku sintaksis kata sifat pada tipe vrase endosentrik sebagai unsure pusat, tentu masih memiliki perilaku sintaksis yang lainnya. Untuk itu, berikut disajikan data dan utaiannya.

Data: (3) IBapa mamula apel barak di abian. #i bapd m Smul d apdl barak di abian# ‘Ayah menanam apel merah di kebun’.

  • (4)    Yen muspa kaping kalih, musti nganggon bunga putih.

  • #yen muspa kapiŋ kalih musti ŋaŋgon buŋə putih#

‘Kalau sembahyang kedua kali musti memakai bunga putih’

Data (3) terdiri atas I Bapa/I bapd/ ‘Bapak’ sebagai subjek; mamula /mamuld/’menanam’ sebagai predikat; apel barak /apdl barak/ ‘apel merah’ sebagai Objek; dan di abian / di abian/ ‘di kebun’ sebagai keterangan. Yang termasuk frase tipe endosentrik kata sifat adalah frase apel barak /apdl barak/ ‘apel merah’. Untuk membuktikannya, berikut disajikan data (3) dengan melesapkan salah satu unsurnya.

  • (3a) IBapa mamula apel.......di abian. #i bapdmmulapdl........di abian# ‘Ayah menanam apel ….. di kebun’.

  • (3b)* I Bapa mamula.......barak di abian. #i bapd m Smuld........barak di abian# ‘Ayah menanam …… merah di kebun’.

Kalimat pada data (3a) berterima, walaupun tanpa kehadiran kata barak /barak/ ‘merah’ sedangkan pada kalimat pada data (3b) tidak berterima tampa kehadiran kata apel /apdl/ ‘apel’. Dengan demikian, maka unsur pusat dari frase endosntrik atributif pada data (3) adalah /apdl/ ‘apel’ yang berkategori sebagai nomina, sedangkan kata barak /barak/ ‘merah’ sebagai kata sifat berfungsi sebagai atribut atau penjelas. Jadi perilaku sintaksis kata sifat pada frase tipe endosentrik atributif adalah sebagai atribut/penjelas. Demikian juga pada data (4) tedapat frase endosentrik atributif kata sifat bunga putih / buya putih/ ‘bunga putih’, terdiri atas bunga /buQd/ ‘bunga’ berkategori nomina sebagai unsur pusat dan putih /putih/ ‘putih’ merupakan kata sifat berfunfsi sebagai atribut. Hal itu dapat dijelaskan melalui pelesapan salah satu unsure frase tersebut di dalam kalimat pada data (4) seperti berikut ini.

(4a) Yen muspa kaping kalih, musti nganggon bunga ………..

#yen muspa kapiŋ kalih musti ŋaŋgon buŋə …………#

‘Kalau sembahyang kedua kali musti memakai bunga ……..’

(4b) *Yen muspa kaping kalih, musti nganggon ……….putih.

  • #yen muspa kapiŋ kalih musti ŋaŋgon ………. putih#

‘Kalau sembahyang kedua kali, musti memakai …….. putih’.

Kalimat pada data (4a) juga berterima tanpa kehadiran kata putih /putih/ ‘putih’ yang berkategori sebagai kata sifat, sedangkan kalimat pada data (4b) tidak berterima tanpa kehadiran kara bunga /buŋə/ ‘bunga’ sebagai kata benda. Itu berarti, unsur pusat dari frase tipe endosentrik pada data (4) adalah bunga /buQd/ ‘bunga’ dan putih /putih/ ‘putih’ sebagai atribut. Dengan demikian perilaku sintaksis dari kata sifat pada tipe frase endosentrik atributif adalah sebagai atribut.

Berdasarkan data (1—4) dapat diketahui bahwa perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa bali pada frase tipe endosentrik atributif adalah sebagai unsur pusat dan sebagai atribut.

Frase tipe endosentrik koordinatif adalah tipe frase terdiri atas dua kata atau lebih yang salah satu atau kedua unsurnya dapat menggantikan fungsi frase. Perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada tipe frase endosentrik koordinatif akan diuraikan berdasarkan data berikut ini.

Data: (5) Pianak Pan Kalere bagus tur dueg #pianakpan kalere bagus tur du9g# ‘Anak pak Kaler cakep dan pintar’

  • (6) Punyan-punyanane endep kelawan tegeh, patuh ajinne.

  • # pu nan-pu nanane endep kelawan tgh patuh ajinne# ‘Pohon-pohonan pendek dan tinggi sama harganya’.

Data (5) terdiri atas pianak Pan Kalere / pianak pan kalere/’ anak Pan Kaler’ sebagai subjek dan bagus tur dueg / bagus tur dudg/ ‘cakep dan pintar’ sebagai predikat’. Yang termasuk frase endosentrik koordinatif yang unsurnya kata sifat adalah bagus tur dueg / bagus tur dudg/ ‘cakep dan pintar’ karena terdiri atas dua unsur atau lebih. Untuk lebih jelasnya, berikut diuji dengan melesapkan salah satu unsrur frase pada data (5) ke dalam kalimat pada data (5a dan b).

Data: (5a) Pianak Pan Kalere bagus ……. #pianak pan kalere bagus ……..#

‘Anak pak Kaler cakep ……….’.

(5b) Pianak Pan Kalere............dueg #pianak pan kalere.........du 9g#

‘Anak pak Kaler ……… pintar’

Kalau diperhatikan kalimat pada data (5 dan b), keduanya berterima atau boleh dikatakan kedua unsurnya dapat menggantikan fungsi frase, kedua unsurnya juga dibentuk oleh kata sifat dengan disela oleh kata hubung tut /tur/ ‘dan’. Itu berarti frase pada kaimat (5) adalah frase kata sifat tipe atributif koordinatif. Demikian juga halnya dengan kalimat pada data (6) terdiri atas punyan-punyanane /pu nan-pu nanane/ ‘pepohonan’ sebagai subjek dan endep kelawan tegeh /endep kdlawan tθgθh/ ‘pendek dan tinggi’, serta patuh ajinne / patuh ajinne/’‘sama harganya’ sebagai pelengkap. Yang termasuk frase sifat tipe endosentrik koordinatif adalah endep kelawan tegeh /endep klawan tdgdh/ ‘pendek dan tinggi’. Frase tersebut terdiri atas dua kata atau lebih, dibentuk oleh dua kata sifat dan diantaranya kata konjungsi. Untuk mengetahui perilaku sintaksis kata sifat pada frase tipe endosontrik yang koordinatif dapat dibuktikan melalui data (6) dengan melesapkan salah satu unsrnya menjadi data (6a dan 6b) sebagai berikut.

Data: (6a) Punyan-punyanane endep ……. patuh ajinne.

  • #.pu nan-pu nanane endep...... patuh ajinne# ‘Pohon-pohonan pendek ……. sama harganya’.

(6b) (6) Punyan-punyanane …….. tegeh, patuh ajinne.

  • #.punan-punanane............tgh patuh ajinne#

‘Pohon-pohonan ……….. tinggi sama harganya’.

Kalau diperhatikan kalimat pada data (6a dan 6b) keduanya berterima walaupun salah satu unsure frase dilesapkan. Itu berarti kedua unsure frase dapat menggantikan fungsi dari frase. Dengan demikian, perilaku sintaksis dari kata sifat pada tipe frase endosentrik koordinatif adalah sebagai unsure pusat.

Perilaku Sintaksis Kata Sifat pada Tipe-Tipe Frase Eksosentrikdalam bahasa Bali

Sesuai dengan konsep frase eksosentrik di atas bahwa frase eksosentrik merupakan tipe frase yang salah satu atau kedua unsur langsungnya tidak dapat menggantikan fungsi frase. Frase tipe eksosentrik hanya terdapat satu yakni frase eksosentrik yang direktif. Frase direktif umum dicirikan oleh kehadiran preposisi sebagai direktornya dan kata benda, kata kerja, kata sifat sebagai aksisnya. Untuk mengetahui perilaku sintaksis kata sifat pada tataran frase tipe eksosentrik yang direktif, berikut disajikan data.

Data: (7) Ia magedi saking bendu. #iyə məgədi sakiŋ bəndu#

‘Ia pergi dengan marah’.

  • (8)    Ida lunga saking rahayu. #idə luŋə sakiŋ rahayu#

‘Beliau pergi dengan baik’.

  • (9)    Alit-alite maplalian ulian rena. #alit alite məplalian ulian rənə# ‘Anak-anak bermain dengan senang’.

Frase eksosentrik yang unsur-unsurnya terdiari atas dua kata dengan salah satu unsurnya kata sifat pada data (7) adalah / sakiŋ bəndu/ ‘dengan marah’ terdiri atas kata saking /sakiŋ/ ‘dengan’ sebagai preposisi dan kata bendu / bəndu// ‘marah’ sebagai aksisnya yang merupakan kata sifat. Untuk mengetahui apakah bener merupakan frase eksosentrik, maka akan dicoba dengan melesapkan salah satu unsur frase tersebut dalam data (7a dan 7b) sebagai berikut.

Data: (7a*) Ia məgədi saking…… . # iyə məgədi sakiŋ ……..#

‘Ia pergi dengan ………’.

  • (7b*) Ia məgədi ……. bendu. # iyə məgədi sakiŋ bəndu#

‘Ia pergi ………. marah’.

Kalau diperhatikan kalimat pada data (7a dan 7b) itu jelas keduanya tidak berterima. Ituberarti salah satu atau kedua unsurnya tidak bisa menggantikan fungsi frase. Begitu pula frase pada data (8) terdiri atas kata Ida /idə / ‘beliau’; lunga /luŋə/ ‘prgi’; dan saking rahayu /sakiŋ rahayu/ dengan baik’ sebagai keterangan yang merupakan frase eksosentrik. Untuk lebih jelasnya berikut disajikan dalam bentuk data dengan melesapkan masing-masing salah satu unsurnya, seperti yang tampak pada data (8a dan 8b) sebagai berikut.

Data: (8a) *Ida lunga saking ……. #idə luŋə sakiŋ ……..#

‘Beliau pergi dengan ……….’.

(8b) * Ida lunga ……… rahayu. #idə luŋə …….. rahayu#

‘Beliau pergi ……… baik’.

Kalimat pada data (8a dan 8b) menunjukan jika salah satu unsure frase dilesapkan maka kedua buah kalimat tidak berterima., sehingga dapat dikatakan salah satu atau kedua unsurnya tidak dapat ,enggantikan fungsi frase. Frase eksosentrik pada data (8) dibentuk oleh lata saking /sakiŋ/ ‘dengan’ sebagai preposisi dan rahayu /rahayu/ ‘baik’ sebagai aksisnya. Dengan demikian, berdasarkan data (7 dan 8) dapat dikatakan bahwa perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada frase eksosentrik adalah sebagai aksis

dari frase preposisi. Frase eksosentrik yang direktif juga terdapat pada data (9) yaitu ulian rena / ulian rn∂/ dengan senang’ terdiri atas kata ulian /ulian/ ‘dengan’ sebagai preposisi atau direktornya pada frase eksosentrik direktif dan kata rena /rənə/’senang’ berkategori sifat sebagai aksisnya. Untuk membuktikan kedua kata itu frase eksosentrik yang direktif, berikut disajikan data (9) dngan melesapkan masing-masing unsure pada data (9a dan 9b) berikut ini.

Data: (9a) *Alit-alite maplalian ulian ………. #alit alite məplalian ulian ……..# ‘Anak-anak bermain dengan ………’.

(9b)* Alit-alite maplalian ……… rena. #alit alite məplalian …….. rənə# ‘Anak-anak bermain ………. senang’.

Berdasarkan kalimat pada data (9a dan 9b) ternyata keduanya tidak berterima. Selanjutnya dapat diartikan salah satu maupun kedua unsurnya tidak dapat menggantikan fungsi frase. Yang satu sebagai director dan yang satunya sebagai aksisnya.

Jadi berdasarkan data (7—9) maka perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada frase tipe eksosentrik direktif adalah sebagai aksis dari frase direktif.

Konstruksi Frase Kata sifat dalam Bahasa Bali

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, maka frase yang mengandung perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali dapat dirumuskan dalam sebuah konsriksi. Konstruksi tersebut dapat disajikan bersadarkan data berikut.

Konstruksi penjelas + kata sifat

Data: (10) dahat kasub /dahat kasub/ ‘sangat terkenal’

  • (11)    dahat pawikan /dahat pawikan/ ‘sangat pandai’

  • (12)    dahat tresna /dahat trsn∂/ ‘sangat cinta’

Data (10—12) menunjukkan bahwa frase kata sifat dibentuk oleh kata penjelas sebagai kata awal dan kata sifat sebagai unsure kedua.

Konsruksi kata sifat + penjelas

Data: (13) jemet pesan /jəmə pəsan/ ‘rajin sekali’

  • (14)    bet sajan /bət sajan/ ‘rimbun sekali’

  • (15)    galang gati /galaŋ gati/ ‘terang sekali’.

Berdasarkan data (13—15) dapat diketahui struktur frase kata sifat terdiri atas kata sifat sebagai unsure pertama dan kata penjelas sebagai unsure kedua.

Konstruksi kata sifat+kata sifat

Data: (16) jegeg bagus/jəgeg bagus/ ‘cantik ganteng’

  • (17)    selem malengis /sələm mələŋis/ ’hitam berminyak’

  • (18)    putih gading /putih gadiŋ/ ‘putih kuning langsat

Selanjutnya, data (16—18) frase kata sifat dibentuk oleh kata sifat baik sebagai unsure pertama mau[un unsure kedua.

Konstruksi kata sifat+ konjungsi kata sifat

Data: (19) bocok tur selem /bocok tur sələm/ ‘tidak cantik dan hitam

  • (20)    gede tur tegeh /gəde tur təgəh/ ‘besar dan tinggi

  • (21)    dueg kala bongol /duwəg kalə boŋol/ ‘pintar tapi tuli’

Berdasarkan data (19—21) struktur frase sifat bahasa Bali terdiri atas kata sifat dan kata sifat , serta konjungsi diantara keduanya.

Konstrusi kata benda + kata sifat

Data: (22) juuk manis /juuk manis/ ‘jeruk manis’

  • (23)    biyu sepet /biyu spt/ ‘pisang sepat’

  • (24)    buku tebel /buku tbl/ ‘buku tebal’

Data (22—24) menunjukkan struktur frase sifat bahasa Bali yang terdisi atas kata benda dan kata sifat.

Konstrkti kata sifat kata +kata benda

Data: (25) kuning kunyit /kuniη kunit/ ‘kuning kunyit/

  • (26)    putih tulang /putih tula^/ ‘putih tulang’

  • (27)    manis madu /manis madu/ ‘manis madu’

Data (25—27) juga menunjukkan struktur frase kata sifat yang terdiri atas kata sifat sebagai unsure pertama dan kata benda sebagai unsure kedua.

Konstruksi kata benda+ konjungsi+ kata sifat

Data: (28) poh ane masem /poh ane masm/ ‘mangga yang asam’

  • (29)    siap ane berag /siyap ane b drag/ ‘ayam yang kurus’

  • (30)    bok ane aas /bok ane aas/ ;rambut yang kurus.

Data (28—30) frase kata sifat bahasa Bali dibentuk oleh kata benda ditambah konjungsi dan terakhir kata sifat.

Konstruksi Preposisi+kata sifat

Data: (31)

(32)

(33)

Makna Frase Kata Sifat dalam Bahasa Bali

Maksud dari pernyataan makna perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada tataran frase adalah makna gramatikal yang ditimbukan akibat pertemuan kata sifat dengan kata lainnya dalam konstruksi frase. Makna-makna gramatikal perilaku sintaksis dari kata sifat pada tataran frase dapat diketahui berdasarkan data berikut ini.

Data: (34) abian ebet /abiyan dbdt/ ‘kebun rimbun’

  • (35)    baju tangi /baju ta^i/ ‘baju ungu’

  • (36)    malespisan /maldspesan/ ‘malas sekali’

  • (37)    dahatpakeh /dahatpakh/ ‘sangat asin’

Data (34—37) adalah frase yang mengandung kata sifat. Pada data frase (34 dan 35) kata sifatnya sebagai atribut mengandung makna menyatakan sifat/keadaan/warna unsure pusatnya. Data frase (36—37) kata sifatnya sebagai unsur pusat. Sebagai unsure pusat makna kata sifatnya juga menyatakan keadaan/warna/sifat tetapi yang ada di luar frase, sedangkan atributnya sifatnya mengeraskan unsure pusat atau membatasi. Selain makna yang sudah disebutkan, pasti masih ada makna lain yang dapat diketahui berdasarkan data yang disajikan berikut ini.

Data: (38) jegeg bagus /jdgeg bagus/ ‘cantik ganteng’

  • (39)    putih tur leh /putih ldh/ ‘putih dan mulus’

  • (40)    gede cenik/gθde cdnik/ ‘besar kecil’

  • (41)    putih selem /putih slm/ ‘putih hitam’

Kalau diperhatikan data (38—41) semua unsur pusatnya adalah kata sifat namun maknanya tentu ada perbedaan. Pada data (38 dan 39) makna unsur yang satu dengan yang lainnya menyatakan makna kesederajatan. Misalnya frase jegeg bagus /jəgeg bagus’ cantik ganteng’. Antara kata /jəgeg/ ‘cantik’ dan /bagus/ ‘ganteng’ memiliki makna yang sepadan, begitu pula frase pada data (39) antara putih/ ‘putih’ dan /ləh/ ‘mulus’ juga memiliki makna kesepadanan. Unsur pembentuk frase pada data (40 dan 41), memiliki makna yang berbeda dengan makna pada data (38 dan 39). Frase pada data (40) sama-sama kata sifat yaitu /gəde/ ‘besar’ dan /cənik/ ‘kecil’ namun hubungan makna kedua buah kata sifat itu menyatakan makna berlawanan. Begitu juga halnya dengan frase pada data (41) yang kedua unsurnya adalah kata sifat, yaitu /putih/ ‘putih’ dan /sələm/ ‘hitam’. Makna yang didukung oleh kedua unsur frase tersebut adalah makna oposisi.

Perilaku Sintaksis dari Kata Sifat Bahasa Bali pada Tataran Klausa

Pada tataran klausa, perilaku sintaksis kata sifat bahasa Bali bisa ditinjau dari fungsi, kategori, dan peran. Karena pembicaraan kategori sudah ada pada konstruksi frase dan itu sudah jelas maka pada bagian klausa tidak dibahas. Begitu juga masalah makna pasti akan mirip. Dengan demikian, pada tataran klausa, kata sifat akan ditinau dari fungsi saja.

Sebelum sampai pembahasan, terlebih dahulu disampaikan tentang konsep klausa. Klausa merupakan bentuk linguistik yang disusun atas dua kata atau lebih yang unsur-unsurnya tidak melampaui subjek dan predikat boleh diikuti oleh objek, pelengkap, dan keterangan. Unsur-unsur klausa yang terdiri atas subjek, predikat, objek, pelengkapan, dan keterangan. Untuk mengetahui perilaku sintaksi dari kata sifat bahasa Bali pada tataran klausa, disajikan dalam data berikut.

Data: (42) Raja Dasarata kasub pisan ring jagate…

//rajə dasaratə kasub pisan riŋ jagate…..// ‘Raja Dasarata sangat terkenal di dunia…..’ (43) Jero magku sadina-dina mawastra putih…

//jəro maŋku sədinə-dinə mawastrə putih …..// ‘Jero Mangku sehari-hari berpakaian putih ……’

  • (44)    Ida Bagus Gede marabian saking tresna…..

//idə bagus gəde mərabian sakinŋ trəsnə….//

‘Ida Bagus Gede menikah dengan cinta…’

Data (42) terdiri atas frase nomina endosentrik atributif Raja Dasarata /rajə dasarat∂/ ‘Raja Dasarata' berfungsi sebagai subjek; frase kata sifat endosentrik atributif kasub pisan /kasub pisan/ ‘terkenas sekali’ berfungsi sebagai predikat; dan frase eksosentrik direktif ring jagate / riŋ jagate/ ‘di dunia’ berfungsi sebagai keterangan. Iru berarti, kata sifat pada data (42) berperilaku sintaksis pada tataran klausa sebagai predikat.

Contoh lainnya:

  • -    pianakne dueg pisan ngigel ….//pianakne duəg pisan ŋigəl….// ‘anaknya pintar sekali menari….’

  • -    di Purnamane bulane galang gati …..//di purnamane bulane galaŋ gati..// ‘pada Purnama bulannya terang sekali…’

  • -    yeh pasihe aad di tileme……//yeh pasihe aad di tileme……// ‘air laut surut pada bulan mati….’

Data (43) terdiri atas kata nomina Jero magku /jəro maŋku/ ‘Jero mangku’ berfungsi sebagai subjek; kata sadina-dina /sədinə-dinə/ ‘sehari-hariberfungsi sebagai keterangan; kata kerja mawastra /mawastrə /´berbaju’ sebagai predikat; dan kata sifat putih// putih/ ‘putih’ berfungsi sebagai pelengkap. Dengan demikian, perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada tataran klausa berdasarkan data (43) adalah sebagai pelengkap.

Contoh lainnya:

  • -    ibu guru setata malaksana melah…..//ibu guru sətatə məlaksana məlah…// ‘ibu guru selalu berbuat baik……’

  • -    yen dadi jelema, sing dadi malaksana corah

//yen dadi jələmə siŋ dadi məlaksanə corah….//

‘kalau menjadi manusia, tidak boleh berlaku curang…’

  • -    dadongne I Wayan sesai ngeduuh sakit…..

//dadoŋne i wayan səsai ŋəduuh sakit…….//

‘neneknya I Wayan setiap hari mengeluh sakit….’

Berdasarkan data (44) juga dapat diketahui perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada tataran klausa yang lain. Data (44) terdiri atas Ida Bagus Gede/idə bagus gəde/ ‘Ida Bagus Gede’ berkategori kata benda berfungsi sebagai subjek; marabian /mərabian/ ‘menikah’ sebagai kata kerja yang berfungsi sebagai predikat; dan saking tresna/ sakinŋ trəsnə/ ‘dengan cinta’ yang merupakan frase esosentrik direktuf yang dibangun oleh kata sifat /trəsnə/ ‘cinta’sebagai agsisnya dan /sakiŋ/ ‘dari’. Dalam hal ini, perilaku sintaksis kata dari sifat pada tataran klausa sebagai keterangan. Hal itu dapat dibuktikan karena frase eksosentrik direktif itu bisa dipindah tempatnya di depan klausa (data 41a) dan di antara subjek dan predikat (data 41b), seperti bentuk klausa berikut ini.

Data: (41a) saking tresna Ida Bagus Gede marabian …..

/ sakinŋ trəsnə idə bagus gəde mərabian ….//

‘dengan cinta Ida Bagus Gede menikah …’

  • ( 41b) Ida Bagus Gede saking tresna marabian …..

//idə bagus gəde sakinŋ trəsnə mərabian ….// ‘Ida Bagus Gede dengan cinta menikah …’

SIMPULAN

Berdasarkan uraian sebelumya, serta terkait juga dengan permasalahan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Perilaku sintaksis dari kata sifat bahasa Bali pada tataran frase termasuk ke dalam tipe endosentrik yang atributif serta kordinatif. Bisa sebagai atribut maupun unsure pusat pada tipe endosentrik atributif. Pada frase eksosentrik kata sifat juga dapat berprilaku sintaksis akan tetapi hanya bertindak sebagai aksisnya. Jika ilihat dari strukturnya, frase kata sifat dapat berupa: (1) ks + atribut, (2) atribut +ks, (3) ks + kb, (4) ks + ks, (5) ks + konj + ks, (6) ks + konj . + ks. Dari segi maknanya, kata sifat dapat menyatakan warna, keadaan, peringai unsure yang ada di luar frasa jika bertindak sebagai unsure pusat, tetapi kata sifat dapat mengatakan keadaan/peringai/warna unsur pusat jika bertindak sebagai atribut.

Pada tataran klausa perilaku sintaksis kata sifat, dapat menduduki fungsi predikat dan pelengkap ketika bertindak sebagai unsur pusat, dapat menduduki fungsi subjek, pelengkap, objek ketika bertindak sebagai atribut dapat, kemudian dapat menduduki keterangan ketika bertindak sebagai aksis. Peran pengisi fungsi sebagai unsur pusat hanya menyatakan keadaan, peringai, dan warna.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar A. 2003. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan

Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Bawa dkk. 1977/1978. “Sintaksis Bahasa Bali”. Denpasar: Tim Peneliti Fakltas sastra, Universitas Udayana.

Bawa, I Wayan. 1980. “Sedikit Tentang Aliran-Aliran Linguistik Moderen”. Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,Universitas Udayana

Bawa, I Wayan.1983. “Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek”. Disertasi. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Bungin, S. Sos., M. Si., Prof. Dr. H. M. Burham. 2008. Penelitian Kualitatif.

Jakarta: Prenada Media Group.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993.         Metode Linguistik: Ancangan Metode

Penelitian dan Teknik.

Denes, I Made, dkk. 1991. Morfologi Kata Benda Bahasa Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Elson and Pickett.1983. The Bigining of Morphology and Sintax. Dallas, Texas: Summer Institute of Linguistics.

Halim, Amran., ed. 1976. Politik Bahasa Nasional i. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa.

Granoka, Ida Wayan Oka dkk.. 1995. Tata bahasa Baku bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia.

Linn Michael Ed.. dan Allen, Harold B 1998.. Dialect and Language Variation. Academic Press, INC: Orlando, San Diego, New York, Austin, London, Montreal, Sydney, Tokyo, Toronto.

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Muhajir, Noeng H. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. RemajaRosda Karya.

Parera, Jos Daniel. 1988. Sintaksis. Jakarta: PT Gramedia

Sudaryanto.1988. Metode Linguistik. Bagian Kedua. Metode dan Aneka Teknik

Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Ramlan, M. 1981. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintakis. Yogyakarta: C.P. Karyono.

Saussure, Ferdinand        de. 1988. Pengantar Lingustik Umum. Gajah Mada:

Universitar Press.

Suardiana, I Wayan. 2012. “Bahasa Bali dan Pemertahanan Kearifan Lokal. E-Jurnal Linguistika, Fakultas Sastra dan Budaya Unud”, Vol 19 No 1