HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 28.1. Pebruari 2024: 93-109

Kajian Ikonografi Arca Berserban pada Beberapa Pura di Kabupaten Karangasem, Bali

Coleta Palupi Titasari, I Wayan Srijaya

Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

Email korespondensi: [email protected], [email protected]

Info Artikel

Masuk: 4 Januari 2024

Revisi: 11 Januari 2024

Diterima: 23 Januari 2024

Terbit: 29 Pebruari 2024

Keywords: iconographic; statues with turban;

Karangasem


Kata kunci: Ikonografi; arca berserban; Karangasem

Corresponding Author:

Coleta Palupi Titasari, email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

24.v28.i01.p09


Abstract

Identification of types and forms of archaeological statues can be found by the iconographic characteristics that define the identity of the figures being portrayed. Karangasem, Bali is one area that has remains of statues with intriguing iconographic characteristics, that is, the portrayal of figures using turban as a head covering. This kind of statue portrayal is rarely found in Bali and in Indonesia. The existence of several statues with turban indicates a certain concept regarding the characterization of the turbaned figure. This research was aimed to analyze the statues distributed in several temples in Karangasem, Bali. The method used consists of collecting data and analyzing data. The statues are iconographically analyzed. Analysis is conducted in two ways, which are morphology and technology. The results showed that the statues are the embodiment of religious figures that prove the existence of religious figures in ancient Balinese society.

Abstrak

Pengetahuan mengenai jenis dan bentuk arca dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri ikonografi yang menjadi pembeda identitas berbagai tokoh yang diarcakan. Kabupaten Karangasem, Bali merupakan salah satu wilayah memiliki tinggalan arca dengan ciri ikonografi yang menarik yaitu, pengarcaan tokoh yang memakai serban sebagai penutup kepala. Penggambaran arca demikian cukup langka di Bali dan di Indonesia. Adanya temuan arca berserban, mengindikasikan suatu konsepsi khusus terhadap pengarcaan tokoh berserban. Penelitian ini dilakukan dengan memilih objek berupa arca-arca berserban yang tersebar di beberapa Pura yang ada di Kabupaten Karangasem, Bali. Metode yang digunakan terdiri dari pengumpulan data dan analisis data. Temuan arca dianalisis secara ikonografis. Analisis dilakukan dengan dua cara yaitu morfologi dan teknologi. Berdasarkan hasil analisis temuan arca berserban, diketahui bahwa arca tersebut merupakan perwujudan tokoh agamawan yang membuktikan adanya eksistensi tokoh agamawan pada masyarakat masa Bali Kuno

PENDAHULUAN

Pura merupakan tempat suci keagamaan masyarakat Hindu di Bali.Pura memiliki peran penting sebagai tempat penyimpanan tinggalan arkeologi, selain juga menjadi tempat keagamaan.Berbagai tinggalan arkeologi tersebut masih difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai media pemujaan.Penggunaan tinggalan arkeologi tersebut sebagai media pemujaan tampaknya telah mengalami peralihan fungsi.Salah satu contohnya adalah penggunaan unsur bangunan (kemuncak candi) yang diletakkan di balai arca dan dianggap bagian dari arca.

Arca pada dasarnya adalah bentuk berupa patung yang disucikan dan dijadikan media pemujaan oleh masyarakat Hindu, Buddha, Jainisme, dan agama lainnya.Arca dalam bahasa Sanskerta disebut bera, vigraha, atau vimbha yang berarti perwujudan dewa. Orang-orang India memiliki istilah lain terhadap arca, yaitu tanu dan rupa sebagai bentuk mendekatkan rasa Ketuhanan (Maulana, 1984:1). Wujud arca beragam, antara lain arca berwujud manusia (antropomorfik), arca berwujud binatang (zoomorfik), dan arca berwujud paduan manusia dan binatang (teriantrofik) (Atmosudiro, 2008:76).

Arca memiliki berbagai ciri khusus yang dalam ilmu ikonografi menjadi pembeda identitas berbagai tokoh yang diarcakan.Ciri-ciri tersebut membedakan fungsi dan peran pemujaan kekuatan adikodrati melalui media arca.Sebagai contoh, arca Durga Mahisasuramardhini berasosiasi dengan kemenangan dewi dalam melawan raksasa jahat siluman kerbau bernama Raktawija. Penggambarannya sebagai wanita heroik yang berdiri di atas kerbau dengan banyak tangan membawa senjata serta sedang menarik ekor kerbau dan rambut Raktawija menandakan ikonografinya sebagai pemenang dalam peperangan dan pemenang dalam melawan kebathilan. Arca semacam itu kemudian melahirkan konsepsi adanya pemujaan Durga Mahisasuramardhini untuk mendapatkan anugerah kemenangan melawan musuh (Maulana, 1997).

Terdapat fenomena pengarcaan yang penting di Kabupaten Karangasem Bali, yaitu pengarcaan tokoh yang memakai serban sebagai penutup kepala. Penggambaran arca demikian cukup langka di Bali dan di Indonesia.Adanya temuan sejumlah arca berserban di Kabupaten Karangasem menjadi hal yang cukup penting sebagai indikasi adanya suatu konsepsi khusus terhadap pengarcaan tokoh berserban.

Kajian Arkeologi, khususnya yang berfokus pada arca di Kabupaten Karangasem masih cukup jarang. I Nyoman Rema (2016) melakukan penelitian terhadap transformasi ideologi pemujaan Hariti di Bali.Ia mengemukakan, konsepsi Hariti India ditransformasikan/diinternalisasikan oleh masyarakat Bali dalam wujud arca, cerita rakyat, legenda, dan karya sastra puisi.

Penelitian lainnya dilakukan oleh I Wayan Srijaya dan tim pada tahun 2021. Srijaya dan tim mengkaji ikonografi arca-arca Hindu di Kabupaten Karangasem Bali. Ia mengemukakan data bahwa arca-arca di wilayah tersebut didominasi oleh arca Batara-batari yang merupakan perwujudan leluhur Bali pada masa Hindu-Buddha.

Ashar Murdihastomo (2021) melakukan penelitian terhadap arca tokoh berserban di Museum Nasional Jakarta.Ia mengemukakan bahwa arca tersebut menggambarkan tokoh Dewa Wisnu dan Dewa Siwa dalam satu tubuh atau yang dikenal sebagai Hariharamurtti. Penggambaran serban pada arca tersebut mengindikasikan adanya kebebasan seni yang diekspresikan seniman terhadap karyanya.Seniman tampaknya berasal dari lingkungan keagamaan di luar kerajaan, lazim disebut karesian.

Penelitian-penelitian tersebut mengulas tentang pengarcaan di Karangasem secara umum serta penelitian terhadap arca berserban dalam konteks khusus di Museum Nasional Jakarta.Konteks khusus pada penelitian arca berserban tersebut adalah

keberadaan laksana dewata yang menjadi ikon dari dewata tertentu.Hal itu cukup berbeda dengan arca-arca berserban yang ditemukan di Kabupaten Karangasem yang digambarkan ber laksana teratai kuncup (utpala) atau teratai mekar (padma).Atas dasar inilah penelitian ini merumuskan dua permasalahan penelitian, yakni (1) bagaimana penggambaran arca berserban yang ditemukan di sejumlah pura, di Karangasem, Bali. (2) tokoh siapa yang digambarkan dalam bentuk arca berserban tersebut ?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan ketokohan dari arca-arca berserban yang ada di beberapa pura di Kabupaten Karangasem Bali.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini dilakukan dengan memilih objek berupa arca-arca berserban di beberapa pura di Kabupaten Karangasem Bali.Lokasi pura tersebut antara lain di Pura Puseh Desa Adat Muncan, Pura Embang Panyatur Kangin Pura Puseh Desa Adat Tabola, dan Pura Puseh Desa Adat Tabola.Pertimbangan pemilihan pura-pura tersebut didasarkan atas eksistensi arca-arca berserban di Kabupaten Karangasem sebagai bentuk karya seni-religi dari masa Hindu-Buddha.Hal ini mengilhami penulis untuk mengungkap tentang bentuk dan ketokohan dari pengarcaan tokoh-tokoh berserban tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas pengumpulan data dan analisis data.Teknik pengumpulan data meliputi observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung arca-arca berserban di beberapa pura di Kabupaten Karangasem Bali, yang diikuti dengan pencatatan dan pengambilan gambar. Sementara itu studi pustaka dilakukan dengan cara mencari atau memahami konsep dan teori dari berbagai sumber. Sumber-sumber itu berupa buku, majalah, laporan ilmiah, skripsi, tesis, artikel, makalah, laporan penelitian maupun bentuk publikasi lainnya, sehingga dapat menunjang dalam penyelesaian penelitian ini.

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah analisis data.Arca-arca tersebut lebih lanjut dianalisis secara ikonografis. Analisis ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu morfologi dan teknologi. Analisis morfologi mendeskripsi arca dari ciriciri atribut (laksana), bahan, dan ukuran.Pemerincian ciri-ciri tersebut (atribut atau laksana) yang melekat pada sebuah arca dapat digunakan sebagai dasar identifikasi tokoh yang diwujudkan.Analisis teknologi mendeskripsikan mengenai bahan serta teknik yang digunakan untuk membuat sebuah arca (Maulana 1984; Sukendar 1999, 101-102).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Ikonografi Arca Berserban

Peradaban pada masa Hindu-Buddha di Kabupaten Karangasem menyisakan tinggalan arkeologi yang tersebar di beberapa pura di Kecamatan Karangasem, Selat, Sidemen, dan Kubu.Tinggalan tersebut berupa arca, prasasti, dan komponen bangunan.Terdapat 57 arca yang tersebar di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem tersebut.Arca-arca tersebut sebagian besar menggambarkan perwujudan bangsawan dan dewa, sedangkan sebagian lagi digambarkan sebagai pendeta.Arca yang menggambarkan perwujudan bangsawan ditandai dengan arca berjenis kelamin pria/wanita, bertangan dua dan memegang kuntum bunga teratai (utpala) atau teratai mekar (padma), dan memiliki perhiasan yang raya.Adapun mengenai periodisasinya,

diperkirakan arca-arca di Kabupaten Karangasem berasal dari abad XIII-XVI (Srijaya, dkk, 2021: 41-01; 124-132).

Mayoritas arca-arca di Karangasem memiliki corak yang serupa dengan arca-arca yang ditemukan di Kabupaten Bangli, Gianyar, dan Buleleng.Corak tersebut berupa mahktota berhias susunan bunga teratai, berdiri kaku sejajar, membawa kuntum teratai atau teratai mekar, dan memiliki perhiasan mewah. Prototipe terbaik arca-arca semacam itu ditemukan pada Pura Puncak Penulisan.Oleh karenanya arca-arca tersebut lazim disebut arca tipe Penulisan.

Terdapat beberapa arca berwujud manusia di Kabupaten Karangasem yang memiliki penggambaran cukup berbeda dengan temuan arca lazimnya.Arca-arca tersebut memiliki penciri khas berupa penutup kepala berbentuk lilitan kain serupa dengan serban.Beberapa arca tersebut disimpan di Pura Puseh Muncan Desa Adat Muncan Kecamatan Karangasem, Pura Puseh Tabola dan Pura Embang Panyatur Kangin Pura Puseh Tabola Desa Adat Tabola Kecamatan Sidemen.Uraian mengenai arca-arca yang memakai penutup kepala berbentuk serban tersebut sebagai berikut.

  • A.    Fragmen 1 Arca di Pura Puseh Muncan

Fragmen arca terbuat dari batu tufa, berwarna abu-abu, dan ditumbuhi lychen berwarna hijau dan putih. Arca tersisa bagian kepala hingga dada, memiliki panjang 15 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 17 cm (lihat gambar. 1). Fragmen tersebut menggambarkan pria bertubuh padat (tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus).Pria digambarkan dengan kepala tegak.Mukanya aus, namun masih dapat diidentifikasi mata, hidung, dan mulutnya.Mata arca digambarkan setengah terpejam dengan bibir tersenyum tipis.Arca digambarkan dengan busana berupa baju lengan panjang dan penutup kepala (serban).Perhiasan berupa anting-anting (kundala) bermotif bunga dengan putik yang menjuntai hingga bahu.Terdapat pula tali kasta (upawita) berwujud kain tipis yang dilipat, diselempangkan pada bahu kiri fragmen arca.Arca ini diletakkan di Gedong Kehen Pura Puseh Muncan, Desa Adat Muncan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem.

Gambar 1. Fragmen Arca di Pura Puseh Muncan

  • B.    Fragmen 1 Arca di Pura Puseh Muncan

Fragmen arca terbuat dari batu tufa berwarna abu-abu. Arca tersisa bagian kepala hingga paha, memiliki panjang 16 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 31 cm (lihat gambar. 2). Fragmen tersebut menggambarkan pria bertubuh padat (tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus).Pria digambarkan berdiri tegak (samabanga) dengan sandaran arca berbentuk bidang persegi panjang tanpa hiasan.Muka mengalami kerusakan pada bagian mulut.Raut arca digambarkan teduh dengan mata setengah terpejam. Kedua tangan arca

ditekuk di pinggang menghadap ke depan dan membawa kuntum bunga teratai setengah mekar (padma).

Gambar 2.Fragmen Arca 1 di Pura Puseh Tabola

Arca digambarkan dengan busana berupa penutup kepala (serban), baju lengan panjang, tali kasta (upawita) berupa kain tipis yang dilipat dan diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan, kain (jenis kamen) yang menutupi kaki dengan wiru tegak lurus di bagian tengah, dan selendang yang menjuntai di kanan-kiri kaki arca. Perhiasan yang dikenakan arca, antara lain jamang bermotif simba, anting-anting (kundala) berbentuk kelopak bunga mekar dengan putik yang menjuntai ke bawah hingga ke bahu, kelat bahu (keyura) bermotif garis-garis horisontal, gelang tangan (kankana) susun tiga. Arca diletakkan di Gedong Meru Tumpang Pitu Pura Puseh Tabola, Desa Adat Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.

  • C.    Fragmen 2 Arca di Pura Puseh Muncan

Fragmen arca terbuat dari batu tufa berwarna abu-abu. Arca tersisa bagian kepala hingga perut, serta tangan kanan, memiliki panjang 15 cm, lebar 14 cm, dan tinggi 34 cm (lihat gambar. 3). Fragmen tersebut menggambarkan pria bertubuh kurus.Pria digambarkan berdiri tegak (samabanga).Muka berbentuk lonjong dan ditumbuhi jambang serta jenggot yang panjang.Raut arca digambarkan teduh dengan mata setengah terpejam. Tangan kanan arca ditekuk di pinggang menghadap ke depan dan membawa kuntum bunga teratai setengah mekar (padma).

Gambar 3.Fragmen Arca 2 di Pura Puseh Tabola

Arca digambarkan dengan busana berupa penutup kepala (serban), baju lengan panjang, serta tali kasta (upawita) berupa kain tipis yang dilipat dan diselempangkan dari bahu kanan ke pinggang kiri. Perhiasan yang dikenakan arca, antara lain jamang bermotif simbar, anting-anting (kundala) berbentuk kelopak bunga mekar dengan putik

yang menjuntai ke bawah hingga ke bahu, kelat bahu (keyura), dan gelang tangan (kankana) susun tiga. Arca diletakkan di Gedong Meru Tumpang Pitu Pura Puseh Tabola, Desa Adat Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.

  • D.    Arca di Pura Puseh Tabola

Arca terbuat dari batu tufa berwarna abu-abu, memiliki panjang 17 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 45 cm (lihat gambar. 4). Arca menggambarkan pria bertubuh padat (tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus).Pria digambarkan berdiri tegak (samabanga) di atas lapik (asana) berbentuk bidang persegi dan sandaran tanpa hiasan.Raut arca digambarkan teduh dengan mata setengah terpejam dan bibir tebal yang digambarkan datar (tanpa ekspresi). Kedua tangan arca ditekuk di pinggang menghadap ke depan dan membawa kuntum bunga teratai setengah mekar (padma).

Arca digambarkan dengan busana berupa penutup kepala (serban), baju lengan panjang, tali kasta (upawita) berupa kain tipis yang dilipat dan diselempangkan dari bahu kanan ke pinggang kiri, kain (jenis kamen) yang menutupi kaki dengan wiru tegak lurus di bagian tengah, dan selendang yang menjuntai di kanan-kiri kaki arca. Perhiasan yang dikenakan arca, antara lainjamang bermotif simbar, anting-anting (kundala) berbentuk kelopak bunga mekar dengan putik yang menjuntai ke bawah hingga ke bahu, kelat bahu (keyura), dan gelang tangan (kankana) susun tiga. Arca diletakkan di Gedong Meru Tumpang Pitu Pura Puseh Tabola, Desa Adat Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.

Gambar 4.Arca di Pura Puseh Tabola

  • E.    Arca di Pura Embang Panyatur Kangin Pura Puseh Tabole

Arca terbuat dari batu tufa berwarna abu-abu, memiliki panjang 19 cm, lebar 17 cm, dan tinggi 52 cm (lihat gambar. 5). Kondisi arca mengalami patah pada pergelangan kaki dan ditumbuhi lychen berwarna hijau dan putih.Arca menggambarkan pria bertubuh padat (tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus).Pria digambarkan berdiri tegak (samabanga) di atas lapik (asana) berbentuk bidang persegi bermotif kelopak bunga teratai (padma) dalam susunan horizontal, dan sandaran arca berbentuk bidang persegi tanpa hiasan.Raut arca digambarkan teduh dengan mata setengah terpejam dan bibir tebal tersenyum tipis. Kedua tangan arca ditekuk di pinggang menghadap ke depan dan membawa kuntum bunga teratai setengah mekar (padma).

Gambar 5.Arca di Pura Embang Panyatur Kangin Pura Puseh Tabola

Arca digambarkan dengan busana berupa penutup kepala (serban), baju lengan panjang, tali kasta (upawita) berupa kain tipis yang dilipat dan diselempangkan dari bahu kanan ke pinggang kiri, kain (jenis kamen) yang menutupi kaki dengan wiru tegak lurus di bagian tengah, dan selendang yang menjuntai di kanan-kiri kaki arca. Perhiasan yang dikenakan arca, antara lainjamang bermotif simbar, anting-anting (kundala) berbentuk kelopak bunga mekar dengan putik yang menjuntai ke bawah hingga ke bahu, kelat bahu (keyura), dan gelang tangan (kankana) susun tiga. Arca diletakkan di Gedong Arca Pura Embang Panyatur Kangin Pura Puseh Tabola, Desa Adat Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.

Uraian lima arca tersebut, baik arca utuh maupun fragmen, menunjukkan pola penggambaran arca yang sama. Arca sama-sama digambarkan sebagai pria yang berdiri tegak (samabanga) dengan kedua tangan ditekuk di pinggang menghadap ke depan dan membawa kuntum teratai (padma). Raut arca digambarkan tenang dengan mata setengah terpejam. Adapun pakaian dan perhiasan arca digambarkan dengan pola yang sama, yaitu penutup kepala (serban), baju lengan panjang, tali kasta (upawita) berupa kain tipis yang dilipat dan diselempangkan dari bahu kanan ke pinggang kiri, kain (jenis kamen) yang menutupi kaki dengan wiru tegak lurus di bagian tengah, selendang yang menjuntai di kanan-kiri kaki arca, jamang bermotif simbar, anting-anting (kundala) berbentuk kelopak bunga mekar dengan putik yang menjuntai ke bawah hingga ke bahu, kelat bahu (keyura), dan gelang tangan (kankana) susun tiga. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat pola yang telah dipakemkan dalam penggambaran arca pria yang memakai serban di Kabupaten Karangasem.

Kesamaan pola penggambaran arca tersebut diduga kuat menunjukkan kesamaan periode pembuatan arca.Adapun di Pura Puseh Muncan terdapat arca perwujudan bangsawan pria yang memiliki inskripsi angka tahun 1291 Saka (1368 Masehi) pada lapiknya.Hal itu dapat dijadikan dasar justifikasi arca-arca yang memakai serban berasal dari periode tersebut (abad XIV).Justifikasi tersebut ditentukan melalui konteks arca yang ditemukan dalam kelompok.Arca-arca yang memakai serban tersebut ditemukan bersama arca perwujudan bangsawan pria dan wanita pada Pura Puseh Muncan, Pura Puseh Tabola, dan Pura Embang Panyatur Kangin Pura Puseh Tabola. Untuk menguatkan justifikasi tersebut, maka dilakukan perbandingan penggambaran arca yang memakai serban dari Pura Puseh Tabola dengan arca perwujudan bangsawan pria dari Pura Puseh Tabola dan Muncan yang memiliki inskripsi 1291 Saka, menunjukkan bahwa terdapat pola yang serupa berupa material arca, gaya penggambaran, pose tangan, raut muka, dan pola pemakaian busana dan perhiasan. Terdapat perbedaan pada arca berserban dengan arca perwujudan bangsawan berupa penutup kepala yang dikenakan dan pakaian atasan (baju yang dikenakan arca berserban).Perbedaan pakaian

tersebut menjadi identitas dari arca berserban. Dengan demikian, maka jelas bahwa arca-arca tersebut dibuat pada periode yang bersama atau hampir bersamaan, sekitar abad XIV Masehi

Identifikasi Tokoh Arca Berserban

Para peneliti terdahulu sering menghubungkan figur berserban yang berupa arca atau relief sebagai tokoh pendeta. I Wayan Srijaya dan tim (2021: 129-130) dalam penelitiannya tentang ikonografi arca-arca Hindu di Kabupaten Karangasem menyebutkan bahwa arca-arca yang mengenakan serban di Kabupaten Karangasem merupakan perwujudan dari pendeta. Dasarnya karena serban tidak mungkin dikenakan oleh bangsawan, sebab para bangsawan biasanya mengenakan mahkota sebagai penutup kepala.

Peneliti lainnya adalah I Wayan Sumerata dan Dewa Gede Yadhu Basudewa.Sumerata dan Basudewa (2016: 102) dalam penelitiannya tentang arca bercorak Siwaistis di Kota Denpasar mendapati bahwa arca berserban di Pura Manik Aji merupakan perwujudan dari pendeta.Arca pendeta sering dikaitkan dengan Siwa Mahaguru yang merupakan perwujudan Siwa sebagai seorang rsi atau guru untuk mengajarkan dharma di dunia.Ia menekankan bahwa pemujaan rsi di Bali berhubungan dengan pemujaan Siwa sebagai Mahaguru yang telah dianggapsebagai tokoh penyebar kebudayaan dan ajaran-ajaran suci agama Hindu di Bali.

Ashar Murdihastomo (2021: 1-14) dalam penelitiannya tentang arca berserban di Museum Nasional menyatakan bahwa serban yang dikenakan pada arca pada dasarnya hanya menjadi variasi dari mahkota arca. Arca yang ia teliti merupakan perwujudan Harihara (arca separuh Wisnu dan separuh Siwa). Ikonografi arca Harihara lazimnya mengenakan dua bentuk mahkota yang beririsan, separuh mahkota berbentuk jata (pilinan rambut) dan separuhnya berbentuk karanda (tabung).Walau demikian, penggambaran arca Harihara di Majapahit tampaknya mengabaikan bentuk mahkota separuh jata dan karanda, karena arca Harihara yang dianggap para ahli sebagai perwujudan Raden Wijaya mengenakan mahkota karanda.

Pendapat berbeda lainnya diajukan oleh Nancy Dowling dalam artikelnya tentang Penjawaan Seni India (Javanization of Indian Art).Dowling (1992: 126- 127) menyatakan bahwa bentuk serban memang identik dengan tokoh rsi.Hal itu dapat ditelusuri melalui penggambaran arca Rsi Agastya yang masih dapat dijumpai pada relung selatan Candi Singosari (Malang, Jawa Timur). Arca yang berasal dari periode Singhasari tersebut digambarkan dengan penutup kepala yang menyimpang dari ikonografi Agastya pada umumnya, yaitu penutup kepala berupa lilitan kain yang lazim disebut serban oleh masyarakat pada masa kini. Penggambaran penutup kepala berupa serban tersebut menurutnya sebagai upaya untuk membuat tokoh Agastya semakin ‘dekat’ dengan budaya Jawa. Arca Sang Guru tidak digambarkan sebagai tokoh dari India yang menyebarkan ajaran keagamaan di Jawa, melainkan sebagai tokoh yang telah menjadi ‘orang Jawa’ dan mengajarkan ajaran keagamaan di Jawa (Singhasari).

Pendapat keempat ahli tersebut memberikan simpulan yang sama yaitu mengenai perwujudan tokoh menggunakan serban merupakan perwujudan dari pendeta yang merupakan pengembangan dari Rsi Agastya. Untuk membuktikan bahwa tokoh berserban merupakan perwujudan pendeta dan/atau Rsi Agastya maka diperlukan data pembanding dari kesusastraan maupun artefak yang masih dapat dijumpai, baik di Bali dan Jawa.

Serban menjadi ikon yang khas pada pengarcaan di Bali dan Jawa. Atribut tersebut tidak dijumpai pada arca-arca perwujudan dewa atau tokoh lain dalam Ikonografi Hindu

yang dibukukan oleh Gopinatha Rao (1916) maupun Ratnaesih Maulana (1984). Hal itu menunjukkan bahwa penggunaan serban pada masa Hindu-Buddha tidak lazim dikenakan oleh masyarakat India, walau pada masa kini serban menjadi identitas umum dari masyarakat Muslim, Jain, maupun masyarakat Persia hingga Arab yang menganut agama lain.

Terdapat Kakawin Arjunawiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga menggambarkan tentang pakaian para pertapa. Uraiannya sebagai berikut.

Canto 2 Wirat tebu sol

  • 1    ikang wukir apaksa pajaran abhasma limut adaluwang kukap magong petungnya tumakul mareng lwah anawuk banu pareng atekes macamana kayunya pada kayikan pasaji arwaphala tinemu ning macangkrama atangkil adawa mure titir anganjali sulur ika ring hanar dateng

Terjemahan dalam bahasa Inggris:

Canto 2

  • 1 The hill followed the way of life of a hermit: it wore as ash-mark the mistand as bark-cloth a big kukap tree;Its bamboos bent low to the river to scoop up water, each wearing its headdress, as they rinsed their mouths.The trees practised hospitality by serving the various fruits the wanderers found there,And sprouting long and hanging loose their aerial roots made repeatedsalutes to the new arrivals (Robson, 2008: 42-43).

Berdasarkan petikan naskah Arjunawiwaha tersebut didapatkan gambaran pakaian seorang pertapa (wiku) berupa tanda abu di kepala (bhasma), baju dari kulit kayu kukap (adaluwang kukap), dan memakai penutup kepala jenis tekes.

Arca dan relief dari masa Majapahit. Lydia Kieven (2017: 69-78) menuturkan bahwa tokoh Panji identik dengan penutup kepala jenis tekes. Ia dalam penelitiannya yang mendalam memaparkan bahwa bentuk tekes yang dikenakan Panji, baik dalam wujud arca maupun relief berupa topi tudung yang meruncing pada sisi depan dan belakang seperti bulan sabit terbalik Penggunaan tekes tidak hanya oleh Panji, sebab terdapat beberapa tokoh yang diidentifikasi bukan Panji yang menggunakan topi serupa. Walau demikian, identitas tekes sudah melekat erat dengan tokoh Panji.

Penelitian yang dilakukan oleh Lydia Kieven menitiberatkan terhadap penutup kepala yang diidentikan dengan seorang tokoh Panji. Tokoh ini banyak dijumpai pada pahatan relief-relief candi yang tersebar di pulau Jawa bagian timur. Bahkan dijumpai pula tokoh panji yang diwujudkan dalam bentuk arca. Penelitian tersebut menggali makna peranan tokoh panji dalam menuntun seorang pembaca (peziarah) candi untuk memasuki ruang-ruang sakral. Hal ini nampak berbeda dalam penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini. Penelitian ini lebih menekankan kepada identifikasi tokoh yang menggenakan penutup kepala pada arca-arca yang ditemukan di sejumlah pura di Bali. Persamaan kajian yang dilakukan oleh Lydia Kieven dengan kajian ini, adalah samasama meneliti tentang tokoh yang mengenakan hiasan kepala. Akan tetapi arah interpretasinya jauh berbeda, lebih lanjut dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

Istilah tekes dalam Kamus Jawa Kuna karangan P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson (1995: 1233-1234) rupanya memiliki definisi yang cukup luas. Tekes bermakna (1)

model tertentu hiasan kepala atau tutup kepala (khusus bagi rohaniawan, sejenis rambut palsu atau tudung yang tinggi dari bulu domba (sebagai hiasan kepala pada pertunjukan topeng), atau dari serabut kulit kayu aren berbentuk tudung bersegi tiga yang dikenakan oleh pelawak; (2) pemeran khusus dalam pertunjukan topeng.

Berdasarkan uraian tersebut dan konteks penelitian ini adalah tokoh berserban, maka tampaknya definisi tekes lebih tepat sesuai definisi pertama, yaitu model tertentu hiasan kepala atau tutup kepala khusus bagi rohaniawan.Walau demikian, perlu adanya perbandingan bentuk penutup rohaniawan untuk menguatkan definisi tekes tersebut.

Di persawahan di depan kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali terdapat satu arca yang digambarkan memakai penutup kepala. Arca pria digambarkan berpakaian penutup kepala jenis serban dengan kancut yang menutupi kemaluan Adapun kedua relief digambarkan dengan penutup kepala berbentuk serupa dengan serban, namun tampaknya terbuat dari satu lembar kain (bentuk penutup kepala serupa dengan serban namun tidak ada garis-garis lilitan kain) dan mengenakan kancut yang menutupi kemaluannya.Ketiga arca tersebut menurutColeta P. Titasari dan Rochtri A. Bawono (2015: 101-104) merupakan perwujudan Arjuna yang didampingi dua abdinya.

Penggambaran tokoh Arjuna yang memakai serban banyak dijumpai pada relief candi dan bangunan suci di Jawa.Relief-relief tersebut digambarkan pada dinding Candi Surowono (Kediri), Kedaton (Probolinggo), salah satu candi berbentuk punden berundak di Gunung Penanggungan, dan Goa Pasir (Tulungagung).Penggambaran Arjuna mengenakan serban tersebut sangat khas dan merupakan bagian dari narasi Arjunawiwaha saat bertapa di Gunung Indrakila.Fragmen terkenal dari relief Arjunawiwaha di Jawa Timur adalah ketika Arjuna bertapa dan digoda dua bidadari (Supraba dan Tilottama) utusan Dewa Indra. Arjuna digambarkan memakai penutup kepala berupa serban dan kain yang menutupi kemaluannya, duduk bersila dengan mata setengah terpejam yang menandakan ia sedang berkonsentrasi dalam tapa. Di kanan-kiri Arjuna digambarkan dua wanita cantik yang memamerkan kemolekan tubuhnya dan berusaha menggoda tapa Arjuna.

Sayangnya naskah Arjunawiwaha tidak menggambarkan pakaian yang dikenakan Arjuna saat bertapa.Walau demikian, penggambaran pohon bambu yang berpakaian seperti pertapa dalam pupuh kedua naskah Arjunawiwaha sangat berarti untuk mendapatkan gambaran pakaian seorang pertapa di Jawa Kuno dengan penutup kepala berupa tekes .Penggambaran tersebut semakin diperkuat dengan adanya arca dan relief Arjuna sebagai pertapa yang ditemukan di Bali dan Jawa, berupa pria yang mengenakan penutup kepala berupa lilitan kain membentuk serban.Dengan demikian, serban dalam bahasa Jawa Kuno dapat disebut sebagai tekes, walau variasi bentuk tekes pada masa tersebut cukup bervariasi.

Penggunaan tekes dalam konteks serban pada masa Hindu-Buddha di Bali dan Jawa berdasarkan temuan arca dan relief Arjunawiwaha tampaknya berhubungan dengan aktivitas keagamaan. Arca Arjuna di Situs Arjuna Metapa (Gianyar), relief Arjuna sedang bertapa dan digoda Bidadari Supraba dan Tilottama pada relief Candi Surowono (Kediri), Kedaton (Probolinggo), salah satu candi berbentuk punden berundak di Gunung Penanggungan, dan Goa Pasir (Tulungagung) menunjukkan bahwa pakaian serban identik dengan pertapa. Hal itu juga dikuatkan dengan uraian pupuh 2 Kakawin Arjunawiwaha tentang pakaian seorang pertapa yang mengenakan penutup kepala jenis tekes.

Selain pakaian pertapa, serban juga digunakan pada tokoh rsi.Rsi dalam Kamus Jawa Kuno berarti resi, guru, orang bijaksana, golongan makhluk yang khas berbeda dengan dewa, manusia, demon, dan lain-lainnya (Zoetmulder & Robson, 1995: 945).Rsi

menjadi penyebar ajaran keagamaan dan pemimpin keagamaan.Terdapat seorang rsi yang diarcakan dalam candi Hindu yaitu Rsi Agastya.Ikonografi Rsi Agastya secara umum berupa tokoh pria tua berperut besar. Ia mengenakan atribut berupa aksamala (tasbih), camara (pengusir lalat), kamandalu (kendi), dan trisula. Gaya rambut Rsi Agastya berupa jatamakuta (mahkota pilinan rambut) (Rao, 1916: 276-277).

Terdapat penggambaran Rsi Agastya yang cukup berbeda daripada biasanya yaitu arca Rsi Agastya yang ditemukan di relung selatan Candi Singosari.Sang Rsi digambarkan dengan penutup kepala bukan jatamakuta, melainkan lilitan kain serban (tekes).Penggambaran penutup kepala rsi tersebut menjadi prototipe penggambaran penutup kepala serban (tekes) pada arca tertua di Indonesia.Dowling (1992: 126-127) menyatakan bahwa penggambaran tekes sebagai penutup kepala Rsi Agastya tersebut merupakan bentuk akulturasi budaya India dengan Jawa pada masa Singhasari.

Penggambaran tekes selanjutnya lazim ditemukan pada relief tokoh rohaniawan pada masa Majapahit. Tokoh pertama adalah Begawan Tambapetra, pemimpin Pertapaan Prangalas pada relief Sri Tanjung Pendopo Teras Candi Panataran (Blitar, Jawa Timur) dan Candi Tegowangi (Kediri, Jawa Timur). Tokoh kedua adalah Pendeta Cilimurti yang menjadi guru Raja Yayati dan permaisurinya pada relief Sang Satyawan di Pendopo Teras Candi Panataran (Blitar) (Sedyawati, dalam Kieven, 2017: 208). Tokoh ketiga adalah dua bersaudara Bubuksah dan Gagangaking yang digambarkan sebagai pertapa pada relief Bubuksah-Gagangaking di Pendopo Teras Candi Panataran (Blitar). Tokoh keempat adalah seorang guru yang memberikan ajaran keagaaman melalui lontar di suatu pertapaan dekat dengan petirtaan pada relief Kresnayana Candi Induk Panataran.

Penggambaran tokoh berserban rupanya juga dijumpai pada dua arca koleksi Museum Penataran (Blitar). Keterangan label museum menunjukkan bahwa kedua tokoh tersebut merupakan pertapa. Kedua tokoh tersebut digambarkan serupa dengan arca tokoh berserban di Kabupaten Karangasem.Pakaian dan perhiasan tokoh digambarkan persis, berupa tekes (serban), jamang, baju lengan panjang, upawita lilitan kain, kelat bahu, gelang tangan, dan kain sepanjang betis. Perbedaan antara tokoh berserban pada Museum Penataran dengan arca berserban di Kabupaten Karangasem adalah pose tokoh dan atributnya. Tokoh berserban di Museum Penataran digambarkan duduk bersila dengan atribut berupa tasbih (aksamala), sedangkan tokoh berserban di Kabupaten Karangasem digambarkan berdiri kaku (samabanga) dengan atribut bunga teratai kuncup (utpala) atau mekar (padma).

Berdasarkan uraian di atas didapatkan sintesis bahwa serban (tekes) telah digambarkan pada arca sejak masa Kerajaan Singhasari. Serban pertama kali digambarkan pada arca Rsi Agastya dari Candi Singosari. Bentuk serban kemudian digambarkan pada tokoh rohaniawan masa Majapahit, seperti Begawan Tambapetra, Cilimurti, Bubuksah-Gagangaking, dan guru serta murid di sebuah pertapaan. Mengenai uraian penutup kepala pertapa berupa serban (tekes) telah ada sejak masa pemerintahan Raja Airlangga berdasarkan deskripsi Kakawin Arjunawiwaha.Dengan demikian, serban memang menjadi penanda khas dari golongan agamawan, baik sebagai pertapa, pemimpin pertapaan, pemimpin keagamaan, hingga guru.

Penggunaan serban pada arca-arca di Kabupaten Karangasem tampaknya menunjukkan penggambaran yang serupa dengan penggambaran serban pada tokoh agamawan di Jawa.Tokoh-tokoh berserban di Kabupaten Karangasem memiliki ciri busana dan perhiasan yang identik dengan arca dan relief agamawan di Jawa.Dengan demikian arca-arca tokoh berserban yang ditemukan di Kabupaten Karangasem dapat diklasifikasikan sebagai perwujudan tokoh agamawan.

Terdapat satu hal mendasar yang membedakan perwujudan tokoh agamawan di Jawa dan Bali berdasarkan arca-arca tokoh berserban. Arca tokoh berserban di Kabupaten Karangasem digambarkan dengan atribut utpala (kuntum bunga teratai) atau padma (bunga teratai mekar), sedangkan arca tokoh berserban di Jawa digambarkan dengan atribut berupa aksamala (tasbih). Perbedaan tersebut tentu mengandung makna yang berbeda pula, bahkan dapat menunjukkan identitasnya secara lebih detail, apakah arca tokoh agamawan di Kabupaten Karangasem merupakan pertapa, pemimpin pertapaan, guru, atau tokoh agamawan lainnya.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, diuraikan pendapat Gustaman (dalam Adwina, 2016: 20-21) yang membagi tokoh berserban sebagai kaum agamawan menjadi empat golongan, keempat golongan tersebut sebagai berikut.

  • 1.    Tokoh berserban, sebagai resi atau begawan dicirikan dengan serban dari jalinan tali yang dililitkan mengitari dan menutupi rambut dan sebagian besar kepala termasuk rambut di atas dahi, tubuh yang gemuk dengan perut yang buncit, berkumis, dan berjanggut, dan mengenakan pakaian baju lengan panjang dengan kerah rendah dan kancing yang dibiarkan terbuka di bagian perut dengan bawahan berupa kain panjang hingga mata kaki. Tokoh ini sudah tinggi dan sempurna ilmunya.

  • 2.    Tokoh berserban sebagai pertapa laki-laki yang tinggal di sebuah pertapaan dicirikan dengan serban dari jalinan tali yang dililitkan mengitari dan menutupi rambut dan sebagian besar kepala termasuk rambut di atas dahi, tubuh yang gemuk dengan perut buncit atau yang langsing, tidak berkumis atau berjanggut, dan bertelanjang dada dengan hanya mengenakan kain panjang hingga mata kaki. Tokoh dapat muncul sebagai tokoh utama atau pengiring dari tokoh utama.

  • 3.    Tokoh berserban sebagai pertapa perempuan yang tinggal di sebuah pertapaan dicirikan denagn serban yang tidak menutupi dahi, dipakai agak ke belakang sehingga menyerupai sanggul, memiliki tubuh yang langsing, tidak berkumis dan berjanggut, mengenakan kain kemben yang disampir dengan selendang dan dipadu dengan kain panjang hingga batas mata kaki. Tokoh muncul sebagai pengiring tokoh kesatria.

  • 4.    Tokoh berserban sebagai pertapa laki-laki yang tinggal di luar pertapaan dicirikan dengan serban yang terbuat dari rambut dan diikat dengan jalinan tali yang tidak begitu rapat, tubuh yang langsing, tidak berkumis atau berjanggut, dan mengenakan pakaian kulit kayu dengan jalinan tali atau kain yang disandangkan ke bahu kiri dengan kain bawahan sebatas lutut. Tokoh biasanya muncul sebagai tokoh utama yang menjadi pertapa.

Berdasarkan uraian keempat golongan tokoh agamawan di atas, maka kelima arca berserban yang menjadi objek penelitian ini sangat mungkin menggambarkan tokoh berserban pada poin 2, yaitu tokoh berserban sebagai pertapa laki-laki yang tinggal di sebuah pertapaan.Hal ini didasarkan atas kemiripan keterangan di atas dengan perwujudan arca berserban dalam penelitian ini.

Di Bali sendiri, bukti keberadaan tokoh berserban sebagai seorang pertapa dapat dilihat pada deretan relief Yeh Pulu. Sebagaimana diketahui relief Yeh Pulu, menurut beberapa ahli dibangun pada abad XIV-XV Masehi, ketika Bali berada di bawah pengaruh Majapahit (Kempers dalam Munandar, 1996: 10; Astawa, 2000: 73; Susanti dkk, 2013: 135). Salah satu yang mendasarinya adalah bentuk pahatan dan sulur-suluran yang menghiasinya. Tokoh berserban tersebut sedang duduk bersila digambarkan menghadap ke samping mengarah ke tokoh laki-laki berdiri.Sikunya diletakkan di atas paha dengan telapan tangan menopang kepala.Kepala mengenakan kain yang digulung

(serban) dengan baju yang nampaknya kelonggaran.Berdasarkan penutup kepalanya (serban), dapat diidentifikasi bahwa tokoh ini adalah seroang rsi atau pertapa.Atas dasar ini, memperkuat dugaan bahwa kelima arca berserban yang ditemukan di sejumlah pura, di Karangasem sangat mungkin menggambarkan seorang pertapa.

Arca Berserban: Bukti Eksistensi Tokoh Agamawan Pada Masa Bali Kuno

J.G. de Casparis pernah menyatakan bahwa keempat kasta yang berkembang dalam kebudayaan India memang dikenal dalam masyarakat Jawa Kuno, namun hanya sebatas konsepsi keagamaan.Kenyataanya tidak dijalankan secara ketat dalam masyarakat. Dalam masyarakat Jawa Kuno sejatinya hanya tiga golongan saja yang dikenal, yaitu;

  • 1)    Golongan keraton, yakni mereka yang tinggal di lingkungan istana. Tentunya adalah raja, pejabat tinggi dan kaum keluarganya yang hidup tergantung kepada kebijakan raja istana.

  • 2)    Golongan agamawan yaitu para pendeta, brahmana, atau bhiksu yang tinggal di lingkungan bangunan suci, wihara-wihara, serta pegawai rendahan lain yang menyokong aktivitas bangunan suci, wihara, atau tempat pendidikan agama.

  • 3)    Golongan penduduk desa pada umumnya yang merupakan bagian terbesar masyarakat. Mereka dapat dikatakan sebagai penyokong utama sistem kerajaan (de Casparis, 1985: 58; Munandar, 2013: 5).

Ketiga golongan masyarakat Jawa Kuno di atas sangat mungkin ditemukan pula dalam masyarakat Bali Kuno. Apabila sistem kasta (Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra) yang terjadi di India tidak begitu ketat dijalankan dalam masyarakat Jawa Kuno, justru dalam masyarakat Bali Kuno nampaknya dijalankan terutama dalam hal perkawinan. Bahkan ada gejala pada saat itu pemerintah menerapkan aturan adanya larangan golongan masyarakat lapisan bawah (terutama laki-laki) melakukan perkawinan dengan golongan lapisan masyarakat atas. Bagi yang melanggar ketentuan itu disebut salah marga dan dikenakan denda pamucuk sebagaimana terekam dalam prasasti Pandak Bandung pada saat Anak Wungsu berkuasa dan dalam prasasti lainnya.Lapisan sosial yang diperoleh karena keturunan (ascribed status) sudah muncul pada Zaman Bali Kuno, dan hingga dewasa ini tetap berlangsung pada komunitas sosial di Bali dengan segala perubahannya sesuai dengan perkembangan zaman (Ardika dkk, 2013: 158).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astra (2008) terdapat beberapa petunjuk melalui prasasti mengenai sebutan sebagai tokoh agama. (1) mpungku Sewasogata, yang dapat diartikan sebagai pendeta yang menganut agama Siwa dan Buddha. Sebutan ini digunakan untuk mengantar rincian penyebutan para tokoh masing-masing agama itu. (2) Bhiksu, seorang pendeta, misalnya Bhiksu Siwakangsita dan Bhiksu Siwanirmala. (3) Pitamaha, seorang pendeta agung, misalnya pitamaha di songan (Pendeta Agung di Songan). (4) Dang Acarya (D.A) dan Dang Upadhyaya (D.U) yang keduanya berarti guru yang (berkedudukan) terhormat’. (5) Mpu/Mpungku, yang berarti pendetaku dan mpu da hyang, yang berarti pendeta yang (berkedudukan) terhormat. Sudah barang tentu arca berserban yang menjadi penelitian ini memiliki sebutan dari salah satu kelima tokoh agama tersebut.

Keberadaan tokoh agamawan pada masa Bali Kuno tentu memiliki peranan dan kedudukan yang cukup penting dalam tatanan kemasyarakatan saat itu.Tokoh agamawan mempunyai hubungan yang erat dengan kerajaan Bali Kuno.Sebagaimana yang disampaikan oleh Bleeker (dalam Astra, 2008: 17) bahwa keagamaan merupakan

faktor yang menentukan dalam kehidupan jutaan manusia, sering menjadi motif bagi keputusan-keputusan politik, peraturan-peraturan ekonomi, dan pernyataan-pernyataan kebudayaan. Untuk memberikan gambaran mengenai peranan kaum agamawan pada masa Bali Kuno, dapat meminjam model asosiasi (keterkaitan) yang dirumuskan oleh Munandar (2013: 6), model-model itu adalah:

  • a.    Istana merespon kaum agamawan

  • b.    Kaum agamawan merespon kaum agamawan

  • c.    Kaum agamawan merespon istana d. Istana merespon istana lain.

Keempat model tersebut tidak semua ditelusuri, melainkan hanya yang bersinggungan dengan tokoh agamawan, serta tergantung dengan data yang tersedia.Model pertama menjelaskan adanya respon istana terhadap kaum agamawan.model 1 inilah yang relatif banyak datanya dalam sejarah kuno Indonesia. Istana sesuai kapasitasnya dapat memberi dukungan kepada kehidupan keagamaan.model 3 juga merupakan bentuk asosiasi antara istana dan kaum agamawan yang juga mempunyai banyak contohnya, artinya data yang tersedia cukup memadai. Adapun model lainnya (ke-2 dan ke-4) agak langka dijumpai data untuk membincangkan.

Uraian tentang model pertama, misalnya disebutkan dalam kisah Ramayana bahwa pendeta Visvamitra datang ke istana Ayodhya untuk meminta bantuan kepada raja Dasarata sebab pertapaannya kerapkali diganggu oleh para raksasa. Kemudian sang Raja memerintahkan Rama, Laksmana dan putra-putra raja lain untuk pergi membantu mengeyahkan para raksasa yang seringkali menganggu para pertapa (Munandar, 2016:154). Hal ini juga ditemui dalam masyarakat Bali Kuno saat itu.Misalnya dalam prasasati Batuan (1022 Masehi) seorang tokoh agama yang bernama Pendeta Dangacaryya Tiksena ditemani oleh samngatNayakan Asba bernama Pu Gupit menghadap Raja Sri Dharmmawangsa Wardhana Marakata Pangkajasthanottunggadewa, untuk menyampaikan keberatan mengenai gotong-royong menjaga hutan. Kemudian sang raja memberikan keringanan agar penduduk Baturan tidak dikenakan beberapa pajak, diantaranya pajak tali, pemeliharaan kuda, iuran perburuan, dan lainnya lagi (Laksmi, 2017: 110).

Terdapat pula petugas yang mengatur bidang keagamaan di suatu bangunan suci.Jabatan ini dijabat oleh para pemuka agama Siwa dan agama Buddha.Dang acaryya sebutan untuk pemukan agama Siwa, sedangkan dang upadhyaya sebutan untuk pemuka agama Buddha.Kedua jabatan ini bertugas untuk mengurusi berbagai keperluan keagamaan yang diperlukan di sebuah bangunan suci (Tim Penyusun, 2008: 27-28). Apabila membandingkan pada masa Majapahit, terdapat rincian pejabat bidang keagaaman yang terbagi atas tiga golongan, yakni (1) Dharmmadyaksa ring Kasaivan, adalah pejabat yang mengurusi pengembangan agama Hindu-saiva. (2) Dharmmadyaksa ting Kasogatan, pejabat untuk mengurusi keperluan yang berkenaan dengan agama Buddha. (3) Mantri her Haji, pejabat yang secara khusus mengawasi dan mengurus kaum pertapa, para resi yang tinggalnya di tempat-tempat yang sunyi (Munandar, 2013: 10). Adanya pembagian tugas mengenai bidang keagamaan dalam sebuah bangunan suci merupakan contoh model pertama, ketika pihak istana memberikan perhatian dan bantuannya kepada dunia kaum agamawan. Penunjukkan dua pejabat tinggi keagamaan pada masa Bali Kuno, jelas merupakan titah raja untuk “menertibkan” dunia kehidupan keagamaan dan kaum agamawan dalam masa Bali Kuno saat itu.

Model kedua mungkin agak sukar dijelaskan karena memang data masih belum memadai. Menurut Munandar (2013), hubungan antara sesama para agamawan dalam masa Majapahit dibina dalam perkampung khusus untuk kaum agamawan. Perkambungan seperti itu terletak tidak di tengah masyarakat, melainkan jauh dari keramaian dan dinamakan dengan mandala, yang diartikan sebagai tempat kediaman komunitas keagamaan yang jauh dari keramaian.Berbicara mengenai mandala sebagai sebuah tempat kegiatan kaum resi pada masa Bali Kuno, maka dapat merujuk banguna suci Gunung Kawi.Hal ini sebagiamana hasil penelitian yang dilakukan oleh Prawijaya R, dkk.(2020) bahwa komunitas yang berkentingan di Candi Gunung Kawi adalam kaum agawaman.Mereka ini terdiri atas para pendeta, ṛṣi, dan pertapa yang sangat mungkin sengaja mengundurkan diri ke arah yang lebih sepi untuk melakukan segala kegiatan keagamaan.

Berdasarkan unsur-unsur penanda yang ada bahwa Candi Gunung Kawi merupakan sebuah mandala kadewaguruan, yang digunakan sebagai aktivitas kaum resi untuk belajar-mengajar. Kehidupan yang dilakukan oleh kaum ṛṣidan pertapa di lingkungan mandala Gunung Kawi menunjukkan aktivitas yang begitu kompleks yakni memenuhi kebutuhan sosial yang berkenaan dengan kegiatan estafet pendidikan agama, memenuhi kebutuhan religius yang senantiasa mengadakan berbagai upacara keagamaan, dan memenuhi kebutuhan hidup yang berkaitan dengan makanan dan minuman (Prawijaya R., dkk., 2020: 101-120). Di tempat bangunan inilah kaum agamawan saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Mengenai model ketiga, dapat diuraikan tentang peranan tokoh agamawan dalam pusaran istana.Seperti yang disampaikan oleh Astra (2008: 23-24) setidaknya terdapat tiga peranan tokoh agamawan dalam membantu kegiatan di kerajaan pada masa Bali Kuno. (1) ikut dalam membuktikan benar salahnya laporan yang disampaikan oleh penduduk suatu desa kepda pihak pemerintah atau kerajaan. (2) sebagai anggota pakirankiran I Jro Makabehan, para tokoh Agawam ikut bersidangm bahkan bukan mustahil termasuk kelompok yang nasihat atau pertimbangannya paling “didengar” atau diperhatikan oleh pucuk pemerintah. (3) Para tokoh agama juga ikut menjadi saksi penganugerahan prasasti kepada suatu desa bersama-sama dengan para anggota pakirankiran I Jro Makabehan lainnya. Sementara itu model ketiga ini, juga dapat dijelaskan dalam pembangunan candi pendharmaan, ketika kaum agamawan apapun sebutannya membangun, menjaga, mengadakan upacara dan meramaikan ritual di candi-candi yang didirikan atas perintah kalangan istana.Candi-candi pendharmaan para raja/tokoh yang telah mangkat adalah bukti asosiasi antara istana dan kaum agamawan secaar dua arah.Di Bali sendiri terdapat nama-nama yang diduga sebagai tempat pendharmaan dari seorang raja tertentu. Banu Madatu tempat pendharmaan raja Sri Ugrasena, Burwan tempat pendharmaan Mahendradatta, Banu Wka tempat pendharmaan raja Udayana, Camara tempat pendharmaan Marakatapangkaja, dan lain sebagainya (Munandar, 2012: 17).

SIMPULAN

Arca berserban sebagai salah satu warisan budaya materi yang ditemukan di wilayah Kabupaten Karangasem, menunjukkan adanya keberlangsungan hidup masyarakat masa lalu.Berdasarkan hasil penelitian ini, kelima arca berserban tersebut merupakan perwujudan tokoh agamawan.Sudah barang tentu adanya arca tersebut membuktikan adanya eksistensi tokoh agamawan pada masyarakat masa Bali Kuno. Sebagaimana diketahui kaum agamawan sangat erat hubungannya dengan pemerintahan saat itu (istana). Peran dan kedudukan tokoh agamawan sangat diperlukan bagi pihak

istana untuk mengatur dan mendisplinkan masyarakat agar patuh. Di samping itu, tokoh agamawan ini sudah tentu melayani masyarakat dalam mendalami keagamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Adwina, R. (2016). Identifikasi Cerita pada Relief Naratif di Candi Sukuh.[Skripsi].Jakarta: Universitas Indonesia.

Astawa, A. A. G. O. (2000). Kayonan pada Relief Yeh Pulu, Tinjauan Bentuk dan Fungsi.Dalam Forum arkeologi 2 (hlm. 72–80).Balai Arkeologi Bali.

Astra, I. G. S. (2008). Kedudukan dan Peranan Tokoh Agama dalam Usaha Bina Negara: Bercermin pada Masa Lampau. Dalam I. K. Setiawan (Ed.), Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas. Jurusan Arkeologi, Universitas Udayana.

Atmosudiro, S. (2008).Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya. Klaten: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Karangasem, BPS. (2022). Kabupaten Karangasem dalam Angka 2022.Karangasem: BPS Kabupaten Karangasem.

De Casparis, J.G. (1985).Sedikit Tentang Golongan-golongan di dalam Masyarakat Jawa Kuno. Dalam Amerta 2. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional, halaman: 54-59.

Dowling, N. (1992). “The Javanization of Indian Art”, Perpsectives on Bali, 54: 117138. New York: Cornell University Press.

Heine-Geldern, R. (1982). Konsepsi tentang Negara & Kedudukan Raja di AsiaTenggara. Ed. D. Noer. Jakarta: CV Rajawali.

Kieven, L. (2017). Menelusuri Panji di Candi-candi Relief Figur Bertopi diCandi-candi Zaman Majapahit. Jakarta: KPG dan EFEO Jakarta.

Laksmi, Ni Ketut P.A. (2017). Identitas Keberagamaan Masyarakat Bali Kuno Pada Abad IX-XIV Masehi: Kajian Epigrafis.  [Disertasi].Jakarta:  Universitas

Indonesia.

Maulana, R. (1984). Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Munandar, A. A. (1996). Hubungan Bali dan Jawa Timur: Kajian Terhadap Arsitektur Keagamaan dalam Abad 10 – 11 M. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII Jilid 5. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta.

Munandar, A. A. (2013, Oktober).Istana dan Kaum Agamawan Dalam Masa Majapahit [Seminar Nasional]. Mengungkap Kebesaran Majapahit, Gedung Widya Sabha Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Munandar, A. A. (2016). Hitawasana: Studies on Indonesian Archaeology. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Mursihastomo, A. (2021). Arca Tokoh Dewa Bersorban di Museum Nasional Indonesia.Forum Arkeologi, 29(1), 1–14.

Panofsky, E. (1972). Studies in Iconology: Humanistic Themes in The Art of theRenaissance. Boulder, Colorado: Westview Press.

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2008).Sejarah Nasional Indonesia II – Zaman Kuno.Jakarta: Balai Pustaka .

Prawirajaya R, K. D., Purwanto, H., & Titasari, C. P. (2020). Gunung Kawi Tampaksiring: Religious Education Site During Ancient Bali. Forum Arkeologi, 33(1), 101–120.

Rao, T. A. G. (1916). Elements of hindu iconography: Vol. II. The Law Printing House.

Rema, I Nyoman.(2020). Eksistensi Karangasem Masa Bali Kuna Abad XI-XIV, Studi Epigrafi.Makalah Seminar Hasil Penelitian Arkeologi. Denpasar: Balai Arkeologi Bali.

Rema, I Nyoman.(2016). Transformasi Ideologi Hariti di Bali.Forum Arkeologi Vol 29 (1): 21-32.

Robson, S. (2008).Arjunawiwaha – The Mariage of Arjuna of Mpu Kanwa. Leiden: KITLV Press.

Srijaya, I. W., Redig , I. W., Wiguna, I. G. N. T. W., Rema, I. N., Titasari, C. P., Zuraidah, Prawirajaya R, K. D., Indrayana, I. G. A., Awantara, I. G., Satok Yusuf, M., Wita, I. M., Massruti, I. A., & Meriandani, N. L. P. (2021). Ikonografi Hindu Abad VIII-XIV pada Situs Arkeologi di Kabupaten Karangasem: Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna [Laporan Penelitian]. Balai Arkeologi Bali.

Sukendar, Haris dkk.(1999). Metode Penelitian Arkeologi.Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumerata, I. W., & Yadhu Basudewa, D. G. (2016). Arca Bercorak Siwaistis di Kota Denpasar, Bali. Forum Arkeologi, 29(2), 93–104.

Susanti, Ninie dkk.(2013). Patirthān (Masa Lalu dan Masa Kini). Jakarta: WedatamaWidya Sastra.

Tim Penyusun. (2008). Terjemahan Prasasti-prasasti Bali Abad XII ke dalam Bahasan Indonesia.Denpasar: Dinas kebudayaan Provinsi Bali.

Raka Dewantara, A. A. G., Srijaya, I. W., & Sapta Jaya, I. B. (2020).Kajian ikonografi dan fungsi arca hindu-buddha di pura agung batan bingin pejeng kawan. Humanis, 24(3), 266.https://doi.org/10.24843/JH.2020.v24.i03.p05.

Setiawan, I. K. (2021). Prasasti-prasasti pendek pada arca dan bangunan keagamaan masa bali kuno. Humanis, 25(2), 223.

https://doi.org/10.24843/JH.2021.v25.i02.p11