Makna Lotus dalam Lagu LiSA - GURENGE
on
SAKURA VOL. 6. No. 1, Februari 2024
DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2024.v06.i01.p01
P-ISSN: 2623-1328
E-ISSN:2623-0151
Makna Lotus Dalam Lagu LiSA - GURENGE
Alya Husna Nabila1, Diana Puspitasari2, Muammar Kadafi3 123Program Studi Sastra Jepang, FIB, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto,Indonesia.
Pos-el:¹[[email protected]] ²[[email protected]] ³[[email protected]]
The Meaning of Lotus in LiSA's Song – GURENGE
Abstract
This research contains the meaning of lotus in the song LiSA - Gurenge which has an implied meaning regarding the philosophical value of lotus which is analogous to the stages of human life. The purpose of this study is to describe the representation of the lotus flower and its meaning in the Gurenge song for Japanese society. This study uses a qualitative descriptive method, see note, then the theoretical concept used in this research is the semiotic theory of Charles Sanders Peirce. The results of this study found that there is a representation of the living teaching of the Lotus Sutra which is believed by Tiantai and Nichiren Buddhists who are widespread in East Asia. Based on the results of the research, it can be concluded that the Gurenge song describes the human process in an effort to achieve the highest enlightenment to reach nirvana in accordance with Buddhist teachings
Keywords: song lyrics, semiotics, Buddhism, LiSA.
Abstrak
Penelitian ini berisi tentang makna lotus dalam lagu LiSA - Gurenge yang mempunyai makna tersirat mengenai nilai filosofis lotus yang dianalogikan sebagai tahapan kehidupan manusia. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan representasi bunga lotus dan maknanya dalam lagu Gurenge bagi masyarakat Jepang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, simak catat, kemudian konsep teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori semiotika dari Charles Sanders Peirce. Hasil penelitian ini menemukan adanya representasi ajaran hidup Sutra Lotus yang diyakini oleh umat Buddha Tiantai dan Nichiren yang tersebar luas di Asia Timur. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa lagu Gurenge menggambarkan proses manusia dalam usaha mencapai pencerahan tertinggi hingga mencapai nirwana sesuai dengan ajaran Buddha
Kata Kunci: lirik lagu, semiotika, Buddhisme, LiSA.
Lagu merupakan hasil karya yang memadupadankan seni suara dan kebahasaan yang dituangkan menjadi suatu lirik. Kata lagu sendiri berarti ragam suara yang berirama (Moeliono (Peny.), 2003: 624). Dalam menggubah lirik seorang komponis
harus benar-benar pandai mengolah kata. Bahasa yang digunakan dalam lagu biasanya puitis, mengandung kata-kata kiasan, dan relatif singkat. Selain lirik, melodi dan irama juga harus diselaraskan agar pendengar semakin terbawa suasana yang sengaja diciptakan dalam lagu tersebut. Oleh karena itu komponis berlomba-lomba untuk menyampaikan perasaannya dalam sebuah lagu. Lagu bisa juga dijadikan sebagai media penyampai pesan, baik tersirat maupun tersurat oleh komunikator kepada komunikan melalui media massa.
Pada tahun 2019, penyanyi terkenal asal Jepang yang bernama LiSA merilis sebuah lagu berjudul Gurenge yang menjadi soundtrack anime Demon Slayer (鬼滅の 刃) dan mendapatkan penghargaan Anime Newtype 2019 sebagai Best Theme Song. Soundtrack anime Demon Slayer yang dinyanyikan LiSA terinspirasi dari bunga lotus karena berdasarkan judul lagunya, yaitu Gurenge yang diartikan sebagai “lotus merah”. Banyak yang mengira bahwa lotus itu teratai karena mirip sekali, namun kenyataannya keduanya berbeda. Lotus juga disebut sebagai seroja sedangkan teratai itu adalah jenis tumbuhan air lain. Lotus juga sering ditunjukkan dengan warna putih, namun sejatinya lotus ada beberapa macam warna, salah satunya merah.
Lotus memiliki filosofi berbeda pada beberapa kebudayaan. Menurut penganut agama Buddha yang didasari oleh kepercayaan India kuno, lotus memiliki arti ciptaan/dunia. Bunga air ini dianalogikan sebagai simbol kemurnian, pencerahan, regenerasi diri, dan kelahiran kembali (Ward, 1952: 135). Karakteristik bunga lotus yang indah namun berasal dari lingkungan yang gelap dan kotor sangat sesuai untuk menganalogikan jalan kehidupan yang harus ditempuh manusia semasa hidupnya. Walaupun berulang kali melakukan kesalahan, manusia masih diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk bertobat. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berproses menjadi insan yang tercerahkan, hanya saja waktu yang akan menjawab seberapa lama sampai insan tersebut mencapai cahaya-Nya. Umat Buddha percaya bahwa perlu reinkarnasi berulang kali sampai seseorang mencapai nirwana, yaitu tingkat kesadaran tertinggi yang dapat diakses manusia. Oleh karena itu patung Buddha terkadang digambarkan sedang duduk di atas bunga lotus, melambangkan orang yang berhasil tercerahkan dari rasa sakit selama hidup di dunia.
Berkenaan dengan lagu LiSA yang memiliki banyak tanda dan simbol tersirat yang mengarah kepada bunga lotus, penelitian kali ini akan menggunakan teori semiotika
Charles Sanders Peirce yang bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara lagu Gurenge (紅蓮華) dengan makna bunga lotus bagi masyarakat Jepang. Segitiga makna Peirce terdiri dari tanda (sign), object, dan interpretant. Salah satu bentuk tanda (sign) adalah kata, object adalah sesuatu yang dirujuk tanda, sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang object yang dirujuk sebuah tanda (sign) (Sobur, 2009: 115). Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menemukan beberapa tanda yang merujuk pada representasi lotus dalam lagu Gurenge dan peneliti berharap hasil penelitian ini akan membawa manfaat bagi para pembaca karena lotus mempunyai nilai filosofis dan sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.
Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kualitatif dengan metode analisis semiotika. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati(Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 2010: 4). Data yang diambil berupa kata-kata, frasa, dan kalimat yang terdapat pada lirik lagu Gurenge yang merepresentasikan lotus merah. Sumber data penelitian ini adalah lagu Gurenge yang dinyanyikan oleh Risa Oribe atau yang lebih dikenal sebagai LiSA sebagai nama panggung. Lagu ini masuk pada single 紅蓮華 release pada tahun 2019 di bawah naungan label Sony Music Labels Inc. dan ditulis sendiri oleh LiSA serta rekannya Kayoko Kusano yang merupakan penyanyi, penulis lirik, dan komponis terkenal. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik simak dan catat. Teknik simak menurut Sudaryanto (2015: 132) ialah pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahas tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Sedangkan teknik catat menurut Kesuma (2007: 45) yaitu teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data. Adapun langkah-langkahnya adalah mendengarkan lagu Gurenge berkali-kali dengan teliti, mencatat lirik lagu Gurenge yang merepresentasikan lotus merah, memahami lirik lagu Gurenge dan kaitannya dengan nilai filosofis lotus bagi masyarakat Jepang, lalu menggabungkan seluruh data yang sudah dikumpulkan sesuai dengan fokus penelitian.
Semiotika adalah ilmu atau analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992: 2). Tanda yaitu sesuatu yang bisa mewakili sesuatu yang lain, tanda dapat berupa gerakan anggota tubuh, tulisan, warna, bendera, atau bentuk karya seni seperti patung, musik, tarian yang berada disekitar kita. Dengan demikian, seperti yang diharapkan oleh Peirce, teori semiotika bersifat multidisiplin. Semiotika dapat diterapkan pada berbagai bidang kajian, seperti linguistik, sastra, budaya, seni, perfilman, filsafat, dan lain sebagainya.
Peirce menginduk dari tiga elemen utama, yang disebut sebagai teori segitiga makna atau triangle meaning theory (Kriyantono, 2006:263). Teori segitiga makna atau lebih dikenal dengan model triadic dan konsep trikotomi Peirce ini terdiri dari sign (tanda), object (objek), dan interpretant (interpretasi). Menurut Peirce (dalam Sobur, 2002:115), salah satu bentuk tanda adalah kata, objek yaitu sesuatu yang dirujuk tanda, sedangkan interpretan ialah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas (Zoest, 1992:43). Begitu pun menurut teori Peirce sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadic langsung dengan interpretan dan objeknya (Wibowo, 2011:14). Karena penelitian kali ini mengenai representasi bunga lotus merah pada lagu, peneliti memutuskan untuk menggunakan jalur logika kedua yaitu hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya yang terdiri dari icon, index, dan symbol. Agar lebih memperjelas hubungan antara icon, index, dan symbol, peneliti mengambil contoh dengan objek yang akrab dengan kehidupan sehari hari kita yaitu “kucing”. Penjelasannya sebagai berikut.
Tabel 2.2.1 Contoh Ikon, Indeks, dan Simbol
Ikonis |
Indeksikal |
Simbolis |
Lukisan kucing |
Suara kucing |
Diucapkan kata kucing |
Gambar/foto kucing |
Suara langkah kaki kucing | |
Patung kucing |
Bau kucing | |
Sketsa kucing |
Gerakan kucing |
(Sumber: Puji Santosa, Ancangan Semiotika & Pengkajian Susastra, Bandung: Jalasutra, 2019)
Pada penelitian ini penulis mengaitkan representasi lotus pada lagu Gurenge dengan Lotus Sutra yang merupakan merupakan sumber utama pikiran Sang Buddha sesudah kematiannya. Sutra lotus merupakan salah satu naskah/ceramah Buddha Mahayana yang terkenal dan berpengaruh, dan merupakan dasar pembentukan aliran agama Buddha Tiantai dan Nichiren yang tersebar luas di Asia Timur. Nilai filosofis lotus berasal dari cara bunga itu tumbuh. Dimulai sebagai kuncup kecil di bawah air yang keruh, tertutup endapan lumpur, dan jauh dari matahari. Tapi lambat laun bunga ini mencapai cahaya dan mekar dengan indah. Lotus dalam kepercayaan Asia Timur dianggap sebagai simbol kemurnian, pencerahan, regenerasi diri, dan kelahiran kembali (Ward, 1952: 135). Nilai filosofisnya dapat dianalogikan untuk fase kehidupan manusia: bahkan ketika akarnya berada dalam perairan paling kotor, lotus bisa memekarkan bunga yang paling indah. Umat Buddha percaya bahwa kita perlu dilahirkan kembali berkali-kali, memoles setiap insan melalui banyaknya inkarnasi, sampai seseorang mencapai nirwana, yaitu tingkat kesadaran tertinggi yang dapat dijangkau oleh manusia. Oleh karena itu, Buddha kerap digambarkan sedang duduk di atas lotus, dimana melambangkan jalan kehidupan setiap insan yang sanggup mengatasi rasa sakit selama ada di dunia fana sampai menjadi tercerahkan, seperti lotus yang bermula dari lingkungan perairan kotor dan berlumpur tetapi berhasil keluar dari dalam air sehingga memekarkan bunga yang indah.
Ada beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang makna lirik lagu dengan teori semiotika, yang diteliti oleh Yazid (2014) yang dengan judul Representasi Perempuan Minangkabau Dalam Lirik Lagu Si Nona. Hasil dari penelitiannya menunjukkan status perempuan Minangkabau dalam tatanan sosial sesuai dengan tanda dan pertanda dalam lirik lagu. Penelitian lainnya diteliti oleh Iswari (2015) yang berjudul Representasi Pesan Lingkungan Dalam Lirik Lagu Surat untuk Tuhan Karya Group Musik Kapital. Hasil penelitian ini menjabarkan tentang pesan lagu tersebut yang sangat lekat dengan kehidupan lingkungan alam yang terjadi di Kutai Kartanegara. Selanjutnya penelitian Hayati (2018) yang berjudul Pesan Kehidupan dalam Lirik Lagu Selawat Bahasa Jawa. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa konsep semiotika Peirce bisa menunjukkan adanya pesan yang berguna untuk kehidupan dalam setiap bait lagu selawat berbahasa Jawa.
Makna filosofis lotus erat kaitannya bagi Buddhisme Jepang dimana sūtra lotus merupakan salah satu sutra Mahayana yang terkenal dan berpengaruh, dan merupakan dasar pembentukan sekte agama Buddha Tiantai dan Nichiren yang tersebar luas di Asia Timur. Analisis penelitian ini berdasarkan hasil pengklasifikasian semiotika menggunakan teori semiotika Charles Sanders Pierce kemudian dipaparkan dalam bentuk deskriptif. Pemaparannya sebagai berikut.
Data 1, 強くなれる理由を知った (tsuyoku nareru riyū o shitta) yang berarti “aku telah mengetahui alasan untuk menjadi kuat” pada lirik 強くなれる理由を知った僕を連 れて進め (tsuyoku nareru riyū o shitta boku o tsurete susume) yang memiliki arti “aku telah mengetahui alasan untuk menjadi kuat, bawalah diriku untuk maju”. Memiliki makna seorang manusia yang telah mengetahui alasan dibalik tindakannya untuk menjadi kuat. Pada tabel data 1, kosakata 強く(tsuyoku) yang berararti “menjadi kuat” sebagai petanda dari seorang manusia yang ingin menjadi kuat sehingga bisa maju seperti yang terdapat pada lirik 強くなれる理由を知った僕を連れて進め (tsuyoku nareru riyū o shitta boku o tsurete susume) yang memiliki arti “aku telah mengetahui alasan untuk menjadi kuat, bawalah diriku untuk maju”. Untuk kosakata 理由(riyuu) yang memiliki arti “alasan” sendiri jika dikaitkan dalam hubungan pada kalimat data 1 sebagai petanda alasan yang nampak sehingga manusia tersebut berjuang untuk maju terlihat dari kata 僕を連れて進め (boku o tsurete susume) yangi artinya “bawalah diriku untuk maju” seperti yang terdapat pada data 5 mengenai 夢 (yume) yang artinya “mimpi” sebagai petanda dari harapan dan keinginan seseorang untuk menjadi tercerahkan. Makna yang terkandung disini tergolong makna konotatif karena pada data ini terkandung makna tidak langsung mengenai gambaran tujuan akhir dari kehidupan manusia untuk menjadi tercerahkan dan mencapai nirwana. Seperti yang diungkapkan pada kutipan Sutra Lotus berikut ini.
“Again, O Śāriputra! If there are any monks or nuns who would declare that they have attained arhatship, that they are bearing their last bodies and are destined for complete nirvana, and yet who have not sought highest, complete enlightenment, they should be considered arrogant people. ” (The Lotus Sutra Taishō Volume 9, Number 262 Translated from the Chinese of Kumārajiva).
“sekali lagi, O Sāriputra! Jika ada biksu atau biksuni yang menyatakan bahwa mereka telah mencapai tingkat arhat, bahwa mereka sedang membawa tubuh terakhir mereka dan ditakdirkan untuk mencapai nirwana lengkap, namun
belum mencari pencerahan tertinggi dan sempurna, mereka harus dianggap sebagai orang yang sombong.” (Sutra Lotus Taishō Volume 9, Nomor 262 Terjemahan Kumārajiva).
Data ini merupakan simbol ikonis bukan ikon murni karena dalam Buddhisme indikator tujuan akhir dari kehidupan manusia yang baik adalah menjadi tercerahkan dan mencapai nirwana
Data 2, こわばる心 (kowabaru kokoro) yang memiliki arti “hatiku menjadi kaku” pada lirik 泥だらけの走馬灯に酔うこわばる心 (doro darake no sōmatō ni you kowabaru kokoro) yang mempunyai arti “aku terlena oleh kilas balik yang berlumpur hingga hatiku menjadi kaku”. Memiliki makna hati manusia yang kaku karena masih berada dalam masa lalu yang kelam. Pada data 2, kosakata こわばる心 (kowabaru kokoro) yang artinya “hatiku menjadi kaku” sebagai petanda dari manusia yang belum menjalankan dharma dalam hidupnya sehingga sulit untuk mengetahui aspek sebenarnya dari semua dharma—yaitu karakter, sifat, substansi, potensi, fungsi, sebab, kondisi, hasil, akibat, dan kesatuan esensial mereka. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam kutipan Sutra Lotus berikut.
“O Śāriputra! To put it brieflfly, the buddhas have attained this immeasurable, limitless, and unprecedented dharma. Enough, O Śāriputra, I will speak no further. Why is this? Because the dharma that the buddhas have attained is foremost, unique, and difficult to understand. No one but the buddhas can completely know the real aspects of all dharmas—that is to say their character, nature, substance, potential, function, cause, condition, result, effect, and essential unity.” (The Lotus Sutra Taishō Volume 9, Number 262 Translated from the Chinese of Kumārajiva).
“Wahai Sāriputra! Singkatnya, para Buddha telah mencapai dharma yang tak terukur, tak terbatas, dan belum pernah terjadi sebelumnya ini. Cukup, O Śāriputra, saya tidak akan berbicara lebih jauh. Kenapa ini? Karena dharma yang telah dicapai oleh para Buddha adalah yang paling utama, unik, dan sulit untuk dipahami. Tidak seorang pun kecuali para Buddha yang dapat sepenuhnya mengetahui aspek sebenarnya dari semua dharma—yaitu karakter, sifat, substansi, potensi, fungsi, sebab, kondisi, hasil, akibat, dan kesatuan esensial mereka.” (Sutra Lotus Taishō Volume 9, Nomor 262 Terjemahan Kumārajiva).
Data ini merupakan indeks karena penanda dari こわばる心 (kowabaru kokoro) yang artinya “hatiku menjadi kaku” adalah manusia yang belum menjalankan dharma dalam hidupnya.
Data 3, 震える手は掴みたいものがある (furueru te wa tsukamitai mono ga aru)
yang berarti “ada sesuatu yang ingin aku genggam dengan tangan yang gemetar” pada lirik 震える手は掴みたいものがあるそれだけさ (furueru te wa tsukamitai mono ga aru sore dake sa) yang memiliki arti “ada sesuatu yang ingin aku genggam dengan tangan yang gemetar, hanya itu saja”. Ini merupakan alasan seorang manusia ingin menjadi kuat, yaitu sesuatu yang ingin digenggam dengan tangan yang gemetar (ada kaitannya dengan data 1). Pada data 3, kosakata 震える手は掴みたいものがある (furueru te wa tsukamitai mono ga aru) yang berarti “ada sesuatu yang ingin aku genggam dengan tangan yang gemetar” sebagai petanda dari manusia yang sedang menggenggam kuat keinginannya seperti halnya orang yang sedang memegang sesuatu yang sangat berharga sehingga takut untuk terlepas sampai tidak sadar tangannya bergetar kuat. Terdapat hubungan yang berkaitan antara data 3 dengan data 5 yaitu kosakata 夢 (yume) yang artinya “mimpi” sebagai petanda harapan dan keinginan seseorang untuk menjadi tercerahkan. Makna yang terkandung disini tergolong makna konotatif karena pada data ini menggambarkan tujuan akhir dari kehidupan manusia untuk menjadi tercerahkan dan mencapai nirwana. Kosakata 夢 (yume) yang memiliki arti “mimpi” lah yang menyebabkan kosakata 震える手は掴みたいものがある (furueru te wa tsukamitai mono ga aru) yang berarti “ada sesuatu yang ingin aku genggam dengan tangan yang gemetar” terjadi.
Data 4, 自分自身だけ (jibun jishin dake) yang mempunyai arti “hanya diri sendiri” pada lirik 変わっていけるのは自分自身だけそれだけさ (kawatte ikeru no wa jibun jishin dake sore dakesa) yang berarti “satu hal yang bisa berubah adalah diriku sendiri, hanya itu”. Merupakan penunjuk untuk memaknai hanya diriku, diriku sendiri, atau hanya aku. Pada data 4, kosakata 自分自身だけ (jibun jishin dake) merupakan petanda untuk menegaskan pada simbol “diri sendiri” sebagai seseorang yang bertanggungjawab penuh dalam proses menjadi tercerahkan. Penggunaan ganda kata 自分 (jibun) dan 自身 (jishin) semakin menegaskan petanda yang merujuk pada diri sendiri dan kekuatan kekuatan yang dimiliki oleh diri sendiri. Anggraini (2018: 1) menekankan bahwa
mengembangkan rasa percaya diri berarti turut berkembang menjadi manusia yang lebih baik.
Data 5, 夢 (yume) yang memiliki arti “mimpi” pada lirik 消せない夢も止まれない 今も (kesenai yume mo tomarenai ima mo) yang mempunyai arti “mimpi takkan lenyap, masa kini takkan terhenti”. Mempunyai makna konotatif yaitu tujuan yang ingin diraih.
Pada data 5, kosakata 夢 (yume) yang artinya “mimpi” sebagai simbol harapan dan keinginan seseorang untuk menjadi tercerahkan. Makna yang terkandung disini tergolong makna konotatif karena kata “mimpi” pada data ini menggambarkan tujuan akhir dari kehidupan manusia untuk menjadi tercerahkan dan mencapai nirwana. Seperti yang diungkapkan pada kutipan Sutra Lotus berikut ini.
“Again, O Śāriputra! If there are any monks or nuns who would declare that they have attained arhatship, that they are bearing their last bodies and are destined for complete nirvana, and yet who have not sought highest, complete enlightenment, they should be considered arrogant people. ” (The Lotus Sutra Taishō Volume 9, Number 262 Translated from the Chinese of Kumārajiva).
“sekali lagi, O Sāriputra! Jika ada biksu atau biksuni yang menyatakan bahwa mereka telah mencapai tingkat arhat, bahwa mereka sedang membawa tubuh terakhir mereka dan ditakdirkan untuk mencapai nirwana lengkap, namun belum mencari pencerahan tertinggi dan sempurna, mereka harus dianggap sebagai orang yang sombong.” (Sutra Lotus Taishō Volume 9, Nomor 262 Terjemahan Kumārajiva).
Dalam kutipan Sutra itu dijelaskan bahwa sebelum menuju nirwana harus mencari pencerahan tertinggi terlebih dahulu. Berarti kata 夢 (yume) yang artinya “mimpi” disini ada dua tingkatan tujuan akhir, yaitu menjadi tercerahkan setelah itu mencapai nirwana.
Data 6, 悲しみ (kanashimi) yang berarti “kesedihan” pada lirik ありがとう悲しみ よ (arigatō kanashimi yo) yang mempunyai arti “terima kasih wahai kesedihan”. Mempunyai makna denotatif yaitu kesedihan atau suatu alasan yang membuat manusia menangis. Pada data 6, kosakata 悲しみ (kanashimi) yang artinya “kesedihan” sebagai simbol dari rasa sedih seseorang dalam proses menjadi tercerahkan. Data ini termasuk simbol indeksikal karena ada kaitannya dengan data 7 yaitu 世界に打ちのめされて負け る意味を知った (sekai ni uchinomesa rete makeru imi o shitta) yang mempunyai arti “aku menyadari bahwa telah dikalahkan oleh dunia”, data 7 merupakan alasan dibalik terjadinya rasa sedih yang dijelaskan pada data 6. Makna 悲しみ (kanashimi) yang terkandung disini tergolong makna denotatif karena sedih merupakan perasaan konkret manusia yang diakibatkan harapan yang bertolak belakang dengan kenyataan. Pada data ini manusia merasa sedih karena hal yang dia inginkan yaitu untuk menjadi tercerahkan tidak didukung oleh lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, atau kolega sehingga membuat manusia tersebut semakin sulit dalam menjalani proses untuk menjadi
tercerahkan, seperti yang disebutkan pada data 7 yaitu lingkungan terdekat yang toxic.
Data 7, 世界に打ちのめされて負ける意味を知った(sekai ni uchinomesa rete makeru imi o shitta) yang memiliki arti “aku menyadari bahwa telah dikalahkan oleh dunia”. Mempunyai makna konotatif yaitu kondisi sekitar yang tidak suportif. Ini juga yang menyebabkan kesedihan pada data 6. Pada data 7, kosakata 世界 (sekai) sebagai petanda dari lingkungan sekitar seperti keluarga dan orang terdekat, lalu diperjelas kembali pada lirik 世界に打ちのめされて負ける意味を知った (sekai ni uchinomesa rete makeru imi o shitta) yang memiliki arti “dunia telah meruntuhkanku sehingga aku telah mengetahui arti kekalahan” merupakan petanda dari lingkungan sekitar yang tidak mendukung manusia tersebut dalam proses menjadi tercerahkan sehingga manusia tersebut merasa kalah. Makna 世界 (sekai) dan 負ける (makeru) tergolong makna konotatif sehingga butuh pemahaman mendalam dalam memaknai keterkaitan dua kata tersebut. Menurut Lumangge (2014: 1) pengaruh lingkungan memang sangat mempengaruhi perkembangan karakter seseorang, oleh karena itu sudah sepatutnya kita cermat dalam memilih lingkar pertemanan serta bijak dalam bergaul agar tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk. Data 7 ada kaitannya dengan data 6 karena data 7 merupakan alasan kesedihan yang dirasakan seorang manusia akibat salah memilih lingkungan pergaulan yang disebutkan pada data 6.
Data 8, 紅蓮の華 (guren no hana) yang berarti “lotus merah” pada lirik 紅蓮の華 よ咲き誇れ!運命を照らして (guren no hana yo sakihokore! Unmei o terashite) yang mempunyai arti “wahai lotus merah, mekarlah dengan penuh kebanggaan! Terangilah takdirku”. Memiliki makna Sutra Lotus yang menjadi pedoman hidup manusia. Pada data 8, kosakata 紅蓮の華 (guren no hana) sebagai petanda dari Sutra Lotus yang menjadi pedoman umat Buddha. Sutra Lotus merupakan salah satu naskah Sang Buddha yang terkenal dan berpengaruh, dan merupakan dasar pembentukan aliran agama Buddha Tiantai dan Nichiren yang tersebar luas di Asia Timur. Simbol lotus erat kaitannya dengan Buddhisme dan patung Buddha sering digambarkan sedang duduk diatas teratai oleh karena itu peneliti kategorikan sebagai simbol ikonis. Lotus juga memiliki ciri khas tersendiri karena bisa tumbuh di lingkungan air yang keruh dan banyak lumpur, bagian lotus yang ada di atas permukaan air hanya daun dan bunganya saja sedangkan bagian akar dan batangnya berada di bawah permukaan air. Petanda lotus juga tertulis pada lirik 水面下で絡まる善悪 透けて見える偽善に天罰 (minamoka de
karamaru zenaku sukete mieru gizen ni tenbatsu) yang memiliki arti “kebaikan dan keburukan terjalin di bawah permukaan air” menandakan bahwa manusia pun harusnya mempunyai keteguhan dalam diri agar menjadi tercerahkan seburuk apapun lingkungan terdekatnya. Manusia harus punya kontrol diri dan mencoba untuk tidak terjerumus pada pergaulan yang salah. Ini juga bisa menjadi penanda sebuah hadis “Perumpamaan teman yang baik dan yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Yang membawa minyak wangi, boleh jadi dia memberimu, atau kamu membeli daripadanya, atau paling tidak kamu mendapatkan harum semerbak daripadanya. Adapun tukang pandai besi, boleh jadi bajumu terbakar karenanya, atau kamu mendapatkan bau busuk daripadanya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Data 9, イナビカリの雑音が耳を刺す戸惑う心 (inabikari no zatsuon ga mimi o sasu tomadou kokoro) yang memiliki arti “suara bising kilatan petir menusuk telinga, hatiku gamang”. Mempunyai makna konotatif yaitu kondisi gangguan dari lingkungan sekitar yang membuat hati gamang. Ini ada hubungannya dengan data 7 dan juga penyebab kesedihan pada data 6.Pada data 9, kosakata イナビカリの雑音(inabikari no zatsuon) yang mempunyai arti “suara bising kilatan petir” sebagai petanda gangguan dari lingkungan sekitar yang tercantum pada data 7 dan juga penyebab kesedihan pada data 6. “suara bising kilatan petir” memiliki makna konotatif yaitu kondisi gangguan dari lingkungan sekitar yang membuat manusia merasa kalut dan membuat hati manusia menjadi gamang dalam menjalankan dharma. Pada sutra pun tercantum bahwa dharma sangat sulit ditempuh oleh manusia.
“O Śāriputra! To put it brieflfly, the buddhas have attained this immeasurable, limitless, and unprecedented dharma. Enough, O Śāriputra, I will speak no further. Why is this? Because the dharma that the buddhas have attained is foremost, unique, and difficult to understand. No one but the buddhas can completely know the real aspects of all dharmas—that is to say their character, nature, substance, potential, function, cause, condition, result, effect, and essential unity.” (The Lotus Sutra Taishō Volume 9, Number 262 Translated from the Chinese of Kumārajiva).
“Wahai Sāriputra! Singkatnya, para Buddha telah mencapai dharma yang tak terukur, tak terbatas, dan belum pernah terjadi sebelumnya ini. Cukup, O Śāriputra, saya tidak akan berbicara lebih jauh. Kenapa ini? Karena dharma yang telah dicapai oleh para Buddha adalah yang paling utama, unik, dan sulit untuk dipahami. Tidak seorang pun kecuali para Buddha yang dapat sepenuhnya mengetahui aspek sebenarnya dari semua dharma—yaitu karakter, sifat, substansi, potensi, fungsi, sebab, kondisi, hasil, akibat, dan kesatuan
esensial mereka.” (Sutra Lotus Taishō Volume 9, Nomor 262 Terjemahan Kumārajiva).
Data 9 ada hubungannya dengan data 7 dimana lingkungan sekitar, yaitu orang-orang terdekat selalu mengganggu fokus seseorang dalam mencapai tujuannya untuk mengerjakan dharma sampai menjadi tercerahkan. Data 9 juga menjadi penyebab kesedihan pada data 6 dimana manusia tersebut merasa telah dikalahkan dunia, dengan kata lain keteguhan hatinya luntur dan malah mengikuti arus lingkungan sekitar yang buruk.
Data 10, 水面下で絡まる善悪 透けて見える偽善に天罰 (minamoka de karamaru zenaku sukete mieru gizen ni tenbatsu) yang berarti “kebaikan dan keburukan terjalin di bawah permukaan air”. Ini bisa bermakna seperti yin dan yang yaitu sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain. Pada tabel data 10, kosakata 水面下で絡まる善悪 透けて見え る偽善に天罰 (minamoka de karamaru zenaku sukete mieru gizen ni tenbatsu) yang artinya “kebaikan dan keburukan terjalin di bawah permukaan air” sebagai petanda konotatif dari Yin dan Yang yaitu simbol dari sifat kekuatan yang berkembang dari kepercayaan Tionghoa yang saling berhubungan serta berlawanan, namun kedua sifat tersebut saling melengkapi dan membentuk sebuah keseimbangan. Jika digambarkan, Yin adalah sisi berwarna hitam menginterpretasikan sesuatu yang gelap, memiliki kaitan dengan air, bumi, bulan, feminitas, serta malam hari. Sedangkan Yang berwarna putih menginterpretasikan sesuatu yang terang, berkaitan dengan api, langit, matahari, maskulinitas, dan siang hari. Keduanya memiliki ukuran yang sama. Di dalam Yin terdapat titik putih, dan di dalam Yang juga terdapat titik hitam.
Gambar 3.1 Lambang Yin dan Yang. (Sumber: Taylor, 2005)
Data 10 juga bersinggungan dengan karakteristik bunga lotus yang indah namun berasal dari lingkungan yang gelap dan kotor, ini sangat sesuai untuk menganalogikan jalan kehidupan yang harus ditempuh manusia semasa hidupnya. Walaupun berulang kali melakukan kesalahan, manusia masih diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk bertobat. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berproses menjadi insan yang tercerahkan, hanya saja waktu yang akan menjawab seberapa lama sampai insan tersebut mencapai cahaya-Nya.
Data 11, 逸材の花より挑み続け咲いた一輪が美しい (itsuzai no hana yori idomi tsudzuke saita ichirin ga utsukushī) yang mempunyai arti “daripada bunga yang berbakat luar biasa, sekuntum bunga yang terus berjuang untuk mekar itu sangat indah”. Mempunyai makna konotatif manusia yang terus berjuang untuk tumbuh lebih baik dari manusia yang hanya diam mengandalkan apa yang ada. Pada tabel data 11, kosakata 逸 材の花より挑み続け咲いた一輪が美しい (itsuzai no hana yori idomi tsudzuke saita ichirin ga utsukushī) yang mempunyai arti “daripada bunga yang berbakat luar biasa, sekuntum bunga yang terus berjuang untuk mekar itu sangat indah” sebagai pertanda dari perspektif Yang Maha Kuasa dalam melihat manusia yang terus berjuang untuk tumbuh lebih baik dari manusia yang hanya diam dan berpuas diri atas apa yang dimiliki saat ini. 花 (hana) disini memiliki makna konotatif sebagai seorang hamba Tuhan Yang Maha Esa karena menginterpretasikan kondisi seorang hamba Tuhan yang mempunyai pilihan untuk berkembang menjadi tercerahkan.
Data 12, 乱暴に敷き詰められたトゲだらけの道も (ranbō ni shikitsumerareta togedarake no michi mo) yang memiliki arti “meskipun jalan penuh duri ini dipenuhi kekerasan”. Mempunyai makna konotatif jalan kehidupan manusia yang penuh liku. Pada tabel data 12, kosakata 乱暴に敷き詰められたトゲだらけの道も(ranbō ni shikitsumerareta togedarake no michi mo) yang berarti “meskipun jalan penuh duri ini dipenuhi kekerasan” sebagai petanda dari jalan kehidupan seseorang yang penuh liku dan cobaan. 道 (michi) disini memiliki makna konotatif sebagai “jalan hidup”. Jalan hidup di sini merujuk pada tahap kehidupan manusia yang berisi banyak penderitaan seperti yang tertuang dalam kutipan sutra berikut.
“...old age, illness, and death, anxiety, sorrow, suffering, distress, delusion, blindness, and the three poisons of greed, hatred, and ignorance...” (The
Lotus Sutra Taishō Volume 9, Number 262 Translated from the Chinese of Kumārajiva).
“...usia tua, penyakit, dan kematian, kecemasan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, delusi, kebutaan, dan tiga racun keserakahan, kebencian, dan kebodohan...” (Sutra Lotus Taishō Volume 9, Nomor 262 Terjemahan Kumārajiva).
Data 13, 紅蓮の心臓 (guren no shinzō) yang mempunyai arti “nyawa lotus merah” pada lirik 紅蓮の心臓に根を生やしこの血に宿ってる (guren no shinzō ni ne o hayashi kono chi ni yadotteru) yang memiliki arti “nyawa lotus merah akan mengakar dan terus bersemayam dalam darah ini”. Memiliki makna inti ajaran Sutra Lotus yang terus diamalkan manusia dalam kehidupan. Pada data 13, kosakata 紅蓮の心臓 (guren no shinzō) yang memiliki arti “nyawa lotus merah” sebagai petanda dari inti ajaran Sutra Lotus harus selalu diamalkan dalam kehidupan manusia sampai akhir hayat, seperti yang tertulis pada bagian berikut.
“...now I have heard the words of the Buddha explaining to sentient beings the incorruptible dharma, which is difficult to comprehend, and making them enter the terrace of enlightenment. Formerly, I was attached to false views and was a teacher of brahmans. The Bhagavat, knowing my mind, removed the false views and taught nirvana. I got rid of false views completely and attained the teaching of emptiness. At that time I considered myself to have attained nirvana. But now I have become aware that this was not the real nirvana.
When I become a buddha
I shall be endowed with the thirty-two marks, and be honored by devas, humans, yakṣas, and nāgas. Only then can it be said that I have permanently attained nirvana without residue. Before the great assembly The Buddha has proclaimed that I will become a buddha after hearing these words of the dharma, I was immediately rid of all my doubts. ” (The Lotus Sutra Taishō Volume 9, Number 262 Translated from the Chinese of Kumārajiva).
“...sekarang saya telah mendengar kata-kata Sang Buddha menjelaskan kepada makhluk hidup dharma yang tidak dapat rusak, yang sulit untuk dipahami, dan membuat mereka memasuki pencerahan. Sebelumnya, saya terikat pada pandangan salah dan menjadi guru para brahmana. Sang Bhagavat, mengetahui pikiran saya, menghilangkan pandangan salah dan mengajarkan nirwana. Saya sepenuhnya menyingkirkan pandangan salah dan mencapai ajaran kekosongan. Pada saat itu saya menganggap diri saya telah mencapai nirwana. Tetapi sekarang saya menjadi sadar bahwa ini bukanlah nirwana yang sebenarnya. Ketika saya menjadi seorang Buddha, saya akan diberkahi dengan tiga puluh dua tanda, dan dihormati oleh para dewa, manusia, yakṣas, dan nāgas. Hanya dengan demikian dapat dikatakan bahwa saya telah mencapai nirwana secara permanen tanpa sisa. Sebelum pertemuan besar Sang Buddha menyatakan bahwa saya akan menjadi seorang Buddha setelah mendengar kata-kata dharma
ini, saya segera menyingkirkan semua keraguan saya.” (Sutra Lotus Taishō Volume 9, Nomor 262 Terjemahan Kumārajiva).
Sesuai penjabaran analisis di atas peneliti menemukan bahwa lagu Gurenge memang terpengaruh oleh nilai filosofis lotus Buddhisme Jepang karena dari mulai judul sampai lirik lagu menginterpretasikan ajaran hidup Sutra Lotus yang diyakini oleh umat Buddha Tiantai dan Nichiren yang tersebar luas di Asia Timur.
Sutra Lotus adalah salah satu naskah/ceramah Sang Buddha yang merupakan dasar pembentukan aliran agama Buddha Tiantai dan Nichiren yang tersebar luas di Asia Timur. Sutra Lotus menjadi pedoman bagi penganut agama Buddha karena menceritakan tentang jalan hidup manusia dari insan yang kotor dan penuh dosa sampai menjadi manusia yang tercerahkan. Perjalanan hidup manusia sesuai dalam kehidupan agama Budha dalam relasinya dengan makna filosofis lotus bagi Buddhisme termuat dalam lagu Gurenge (紅蓮華) oleh LiSA. Dalam hubungan antar larik pada lagu tersebut mencerminkan analogi lotus yang dijelaskan dalam Sutra Lotus yang merupakan salah satu naskah/ceramah Sang Buddha. Larik dalam lagu merepresentasikan lotus dalam hal fase kehidupan yang harus dilalui manusia sampai menjadi tercerahkan. Dengan adanya petanda-petanda tersebut maka dapat menyimpulkan bahwa lagu Gurenge (紅蓮華) oleh LiSA sarat akan makna filosofis lotus yang terdapat dalam Sutra Lotus.
Anggraeni, WM, Yarno, Y., & Hermoyo, RP (2019). Pesan Nilai-Nilai Motivasi pada Lirik Lagu Album Monokrom (Kajian Semiotika Model Charles Sander Peirce). Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra , 12 (1), 67-81.
Anggraini, A., P. (2018). Memahami Pentingnya Rasa Percaya Diri Dalam Kehidupan. Retrieved October 22, 2018, from Kompas.com website
Aviandy, M., & Saleh, MI (2020). Representasi Ideologi Generasi Muda Uni Soviet dalam Lirik Lagu Mama-Anarxija (Mama Anarki) dari Kino. JSSH (Jurnal Sains Sosial dan Humaniora), 4 (2), 121-138.
Hayati, N. (2018). Pesan Kehidupan Dalam Lirik Lagu Shalawat Bahasa Jawa. SHAHIH: Jurnal Multidisiplin Keislaman, 3 (1), 21-32.
Hoed, Benny H. (2007). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sander Peirce, Marcel Danesi dan Paul Perron. Jakarta: Komunitas Bambu.
Iswari, FM (2015). Representasi Pesan Lingkungan dalam Lirik Lagu Surat Untuk Tuhan Karya Grup Musik “Kapital” (Analisis Semiotika). EJournal Ilmu Komunikasi , 3 (1), 254-268.
Kartika, KWP, Rahman, Z., & Al Hakim, MSM (2020). ANALISIS MAKNA LAGU SAZANKA (KAJIAN SEMIOTIKA). Jurnal Pendidikan Bahasa Jepang Undiksha , 6 (3), 308-313.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. (2017). Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.
Kubo, Tsugurani & Yuyama, Akira. (2007). THE LOTUS SUTRA (Taishō Volume 9, Number 262). http://www.bdk.or.jp/document/dgtl-
dl/dBET_T0262_LotusSutra_2007, diakses 22 Juni 2022.
Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mboka, I., & Syah, I. (2020). Makna Lirik Lagu Gawi “Ine Pare” Karya Frans Tuku (Analisis Semiotik Carles S. Peirce). Jurnal Pendidikan , 8 (2), 111- 122.
Moeliono, Anton M. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Moleong, L. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ratunis, GP (2020). Representasi Makna Kesendirian pada Lirik Lagu “Ruang Sendiri” Karya Tulus. Jurnal Penelitian Humaniora , 25 (2), 50-58.
Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Sobur, Alex (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ward, William E. (1952). The lotus symbol: Its meaning in buddhist art and philosophy. Journal of Aesthetics and Art Criticism, 11(2), 135-146.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. (2011). Semiotika Komunikasi – Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Winduwati, S. (2017). REPRESENTASI SEKS BEBAS PADA LIRIK LAGU DANGDUT (ANALISIS SEMIOTIKA SAUSSURE PADA LIRIK LAGU “CINTA SATU MALAM”). Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni , 1 (2), 346-359.
Yadiyanti, DP (2021). Semiotika dalam Lirik Lagu Kun Anta oleh Humood Al-Khuder. Al-Irfan: Jurnal Sastra Arab dan Kajian Islam , 4 (1), 69-81.
Yazid, TP (2014). Representasi Perempuan Minangkabau dalam Lirik Lagu si Nona. Jurnal Paralela , 1 (2), 135-142.
Zoezt, Aart Van & Panuti Sudjiman. (1992). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Pustaka Utama Gramedia.
17
Discussion and feedback