Penggunaan Campur Kode Guru dalam Pembelajaran Bahasa Jepang Kelas XI IBB di SMAS LAB UNDIKSHA
on
SAKURA VOL. 5. No. 2, Agustus 2023
DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2023.v05.i02.p08
P-ISSN: 2623-1328
E-ISSN: 2623-0151
Penggunaan Campur Kode Guru dalam Pembelajaran Bahasa Jepang Kelas XI IBB di SMAS LAB UNDIKSHA
Ayu Kris Utari Dewi Alit Mandala1), Ni Kadek Dwipayanti2),
Putu Tiara Karunia Dewi3) Putu Dewi Merlyna4)
Pendidikan Bahasa Jepang, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja-Bali
Pos-el: 1[ayu.kris@undiksha.ac.id], 2[dwipayanti@undiksha.ac.id], 3[tiara.karunia@undiksha.ac.id], 4[dewi.merlyna@undiksha.ac.id]
Teacher's Use of Code Mix in Japanese Language Learning Class XI IBB at SMAS LAB UNDIKSHA
Abstract
The purpose of the study is to examine how Japanese language instructors used mixed codes in Japanese class XI IBB at the Undiksha Laboratory Private High School. Non-participation observation techniques were used in this study as qualitative descriptive methodologies. This study focused on a Japanese instructor at SMAS Laboratory Undiksha Class XI Language. The utterances made by Japanese teachers while engaging students in learning activities served as the study's data source. According to the findings of this investigation, Japanese professors at SMA Private Laboratory Undiksha sometimes mix codes externally. The research findings are presented in the form of a conversation between the teacher and the students, followed by a descriptive technique.
Keywords: Japanese language,code mixing, teacher
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisis penggunaan campur kode yang oleh guru bahasa Jepang dalam pembelajaran bahasa Jepang kelas XI IBB di Sekolah Menengah Atas Swasta Laboratorium Undiksha. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu metode observasi non partisipan. Subjek penelitian ini adalah guru yang mengajar bahasa Jepang di SMAS Laboratorium Undiksha kelas XI Bahasa. Sumber data di penelitian ini merupakan berupa tuturan yang sering digunakan oleh guru bahasa Jepang ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Adapun hasil penelitian ini yaitu penggunaan campur kode yang digunakan oleh guru bahasa Jepang di SMA Swasta Laboratorium Undiksha mengarah pada campur kode jenis ke luar. Data-data dari hasil penelitian dibuat disajikan dalam bentuk dialog yang dilakukan oleh guru dengan siswa, lalu dipaparkan dengan metode deskriptif.
Kata kunci: bahasa Jepang, campur kode, guru
Bahasa adalah salah satu alat media yang digunakan oleh guru untuk berkomunikasi dalam proses belajar mengajar di kelas. Melalui bahasa guru dapat memberikan informasi baik secara lisan maupun tulisan dan siswa menerima materi dengan baik serta melalui bahasa pula siswa dapat mengatasi kesulitan yang ada selama
proses pembelajaran berlangsung. Fenomena yang sering terjadi dalam penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari atau dalam kegiatan pembelajaran yaitu interfensi bahasa. Interfensi bahasa adalah suatu keadaan pengguna bahasa saat mengambil unsur atau fitur dari bahasa yang dikuasai (bahasa sumber) untuk digunakan sebagai pembantu dalam penggunaan bahasa kedua [Firmansyah, 2021]. Interfensi bahasa bisa berupa peralihan bahasa (alih kode) dan pencampuran dalam penggunaan bahasa (campur kode). Penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam penggunaan bahasa yaitu disebab oleh adanya kontak bahasa yang mempengaruhi antarbahasa.
Pencampuran dua bahasa di satu kalimat atau campur kode bahasa dimasa kini banyak dijumpai dalam komunikasi kehidupan sehari-hari. Pencampuran penggunaan dua bahasa yang digunakan di dalam kelas memiliki tujuan yaitu untuk mempermudahkan siswa dalam memahami materi terutama ketika mempelajari bahasa asing. Biasanya dalam pencampuran bahasa ini disisipkan dengan unsur-unsur bahasa daerah atau terdapat sisipan bahasa Indonesia atau unsur-unsur bahasa asing lainnya. Nababan (1932:32) menunjukkan bahwa campur kode adalah pencampuran suatu bahasa atau bahasa yang berbeda dalam tuturan atau wacana tanpa terjadinya pencampuran itu dalam suatu situasi linguistik. Pencampuran kode ialah menggunakan dua kode atau lebih yang biasanya terjadi tanpa alasan (Chaer, 2007:69). Terjadinya campur kode (code mixing) apabila penutur menggunakan satu bahasa yang dominan untuk mendukung suatu tuturan disisipkan dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini tergantung dari karakteristik, latar belakang sosial, dan tingkat pendidikan penutur. Hal yang paling dominan dalam menggunakan campur kode adalah membuat situasi menjadi lebih santai atau informal. Pembawaan guru yang santai dalam belajar bahasa asing akan membantu siswa menjadi lebih mudah memahami dan mengembangkan kemampuan berbahasa asing.
Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode (code mixing) adalah penggunaan dua unsur bahasa satu dengan bahasa lainnya yang digunakan untuk mempermudahkan lawan bicara memahami yang dibicarakan.
Pada penelitian ini objek penelitiannya adalah siswa-siswi kelas XI Bahasa dan Budaya SMAS Laboratorium Undiksha, lalu subjek dari penelitian ini adalah guru bahasa Jepang SMAS Laboratorium Undiksha. Tujuan dari penelitian adalah untuk menemukan dan menganalisis jenis campur kode yang digunakan oleh guru bahasa
Jepang pada pembelajaran bahasa Jepang di kelas XI Bahasa SMAS Laboratorium Undiksha.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Gunawan (2015:80) menunjukkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada analisis proses berpikir induktif dalam kaitannya dengan fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Lokasi
penelitiannya adalah Sekolah Menengah Atas Swasta (SMAS) Laboratorium Undiksha yang terletak di Jl. Jatayu No. 10 Singaraja, Bali Kaliuntu, Kec. Buleleng Kab. Buleleng, Bali. Sumber informasi adalah guru yang mengajar bahasa Jepang di XI IBB SMAS Laboratorium Undiksha. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan. Pengamatan non-partisipan adalah pengamatan, pencatatan hasil pengamatan, tanpa partisipasi dalam kegiatannya.
Suandi (2014:140) menjelaskan campur kode terbagi menjadi tiga bagian yaitu: campur kode ke dalam (inner code mixing), campur kode ke luar (outer code mixing), dan campur kode campuran (hybrid code mixing). Campur kode ke dalam (inner code mixing) adalah pencampuran kode bahasa yang disisipi dengan bahasa asli. Contohnya pada peristiwa pencampuran Kode bahasa Indonesia diperkaya dengan unsur-unsur dari bahasa Bali, Jawa, dan bahasa daerah lainnya. Campur kode luar adalah campur kode yang ditambahkan pada unsur bahasa asing. Misalnya penggunaan bahasa Indonesia dalam campur kode meliputi bahasa Jepang, Inggris dan bahasa asing lainnya. Campur kode campuran (hybrid code mixing) adalah campur kode yang di dalamnya terkandung unsur bahasa ibu (bahasa daerah) dan bahasa asing.
Penelitian mengenai campur kode pernah dilakukan oleh peneliti yang sebelumnya yaitu: 1) Penelitian oleh (Rohmawati, 2022) yang membahas penggunaan alih kode dan campur kode mahasiswa bahasa Jepang universitas negeri Surabaya
ketika menggunakan aplikasi Hello Talk; 2) Penelitian oleh (Adnyani, Martha, Sudiana, 2013) yang menunjukkan bahwa di SMPN 8 Denpasar, kelas VII ketika menggunakan bahasa Indonesia terdapat unsur bahasa lain yang digunakan seperti campur kode ke dalam, campur kode campuran dan alih kode ke luar; 3) Penelitian oleh (Harisal, Dyah, Kanah, Somawati,, 2021) yang membahas tentang mahasiswa UKM Jepang di Universitas Politeknik Bali menggunakan kode campuran saat berinteraksi. Ketiga penelitian tersebut terdapat perbedaan dari segi subjek penelitian sehingga mendapatkan hasil kajian yang berbeda.
Hasil penelitian mengenai campur kode yang dilakukan oleh salah satu guru Bahasa Jepang di SMAS Laboratorium Undiksha Singaraja diperoleh melalui metode observasi non-partisipan. Proses observasi dilakukan dengan mengamati tutur lisan guru Bahasa Jepang secara langsung saat sedang mengajar di kelas. Adapun hasil penelitian yang didapatkan yaitu terdapat dua bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan bahasa Jepang sebagai sisipan. Berdasarkan pembagian jenis kode campur menurut Suandi, hanya didapatkan data berupa campur kode jenis ke luar saja. Adapun data yang didapatkan sebagai berikut.
Jenis campur kode ke dalam yang dilakukan oleh guru Bahasa Jepang di SMAS Laboratorium Undiksha dapat dilihat dari data berikut.
-
• Dialog 1
Guru : Minna, kalian tau nggak bahasa Jepangnya meja apa?
Siswa : Tsukue, sensei.
Guru : Selain itu?
Siswa : Tidak tau, sensei.
Guru : Hai, selain tsukue ada juga teeburu. Kalian tau nggak apa bedanya
kedua kata tersebut?
Siswa : Tsukue itu meja yang digunakan untuk belajar, sedangkan teeburu
digunakan untuk makan, sensei.
Guru : Hai, sou desu. Jadi penyebutan meja dalam bahasa Jepang dapat
dibedakan berdasarkan fungsi atau kegunaannya ya.
Pada dialog 1 memperlihatkan tuturan guru kepada siswa saat proses pembelajaran. Terselip beberapa kata yang merupakan serapan dari bahasa Jepang. Kata-kata tersebut merupakan istilah-istilah yang umum digunakan saat pembelajaran bahasa Jepang. Seperti kata ‘minna’ yang digunakan sebagai pengganti kata ‘anak-anak’. Sebenarnya kata ‘minna’ atau bisa disebut dengan ‘minasan’ digunakan sebagai kata ganti orang-orang yang hadir atau ada di suatu tempat. Kata tersebut dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “bapak-bapak/ibu-ibu/adik-adik/anak-anak/hadirin sekalian” tergantung pada konteks atau situasi penggunaannya. Namun pada dialog 1, kata minna merujuk pada semua siswa yang ada di dalam kelas.
Lalu ada kata ‘sensei’ sebagai kata tunjuk orang yang merujuk pada guru di kelas. Sudah menjadi kebiasaan bagi siswa kelas XI IBB untuk menyebutkan guru bahasa Jepang dengan kata ‘sensei’. Kebiasaan tersebut ditanamkan sebagai upaya dari penerapan istilah-istilah bahasa Jepang dalam pembelajaran. Kata ‘sensei’ memiliki arti 1) Orang yang lebih dahulu lahir, contohnya senior; 2) Untuk peserta pelatihan, artis, entertainer dan juga dokter. Selain itu, sebutan ini digunakan sebagai gelar kehormatan bagi orang; dan 3) guru, dokter, penulis, pengacara, anggota Kongres, gelar kehormatan yang diberikan kepada orang yang menjalankan profesi tertentu. menurut kamus bahasa Jepang “Nihongo Daijiten” dalam (Nesya Yolanda, 2012).
Kemudian ada kata ‘hai’ yang digunakan sebagai respon oleh guru kepada siswa atas jawaban yang diberikan. Secara harfiah kata ‘hai’ dapat diartikan dengan ‘iya’, namun pada konteks kali ini penggunaannya lebih mengarah pada respon yang diberikan oleh guru kepada muridnya.
Selain itu, guru juga menyebutkan kata ‘tsukue’ dan ‘teeburu’ yang merupakan bahasa Jepang dari kata ‘meja’. Definisi kata ‘tsukue’ lebih merujuk pada meja dengan kolong yang biasa digunakan untuk belajar ataupun bekerja. Sedangkan kata ‘teeburu’ merujuk pada ‘meja’ yang digunakan untuk makan. Penggunaan kedua kata ‘meja’ tersebut dalam dialog 1 menunjukkan konteks sebuah pembelajaran yang menyangkut salah satu materi yang dijelaskan oleh guru.
Terakhir guru menyebutkan ‘hai, sou desu’ sebagai respon kepada siswa yang menyatakan bahwa jawaban yang diberikan tersebut benar.
-
• Dialog 2
Guru : Materi hari ini akan sensei jelaskan melalui PPT ya. Ketua kelas
hidupkan proyektornya ya, onegaishimasu.
Siswa : Baik, sensei.
Pada dialog 2 memperlihatkan tuturan guru kepada siswa saat proses pembelajaran. Guru meminta tolong kepada siswa untuk menghidupkan proyektor dengan menyelipkan kata ‘onegaishimasu’. Kata tersebut jika dituliskan ke dalam huruf kanji menjadi お願いします。Onegaishimasu berasal dari kata negau (願う) yang dapat diartikan menjadi suatu permohonan atau harapan. Lalu untuk menjadikan kata tersebut lebih sopan atau terkesan lebih tulus penyampaiannya maka terdapat perubahan bentuk menjadi onegaishimasu. Penambahan ‘o’ dan perubahan bentuk menjadi ‘negaishimasu’ mendukung terjadinya penghalusan kata tersebut.
Pada konteks di atas, kata ‘onegaishimasu’ yang diucapkan oleh guru kepada muridnya merupakan suatu bentuk permohonan untuk kerjasama atau pertolongan yang diharapkan dalam menghidupkan proyektor di kelas.
-
• Dialog 3
Guru : Sekarang sensei berikan soal ya, siapa yang bisa menjawab? Te o akete
kudasai!
Siswa : Saya sensei!
Guru : Hai, douzo. …Tadashii desu!
Latar dari dialog 3 adalah saat guru bertanya kepada siswa dan meminta mereka untuk mengangkat tangan. Perintah tersebut diucapkan menggunakan bahasa Jepang ‘te o akete kudasai’ (手を開けてください). Lalu ada kalimat yang mempersilahkan siswa untuk menjawab yaitu ‘hai, douzo’ dan saat siswa menjawab dengan benar, guru mengatakan ‘tadashii desu’.
Te (手) yang berarti tangan dan akete kudasai (開けてください) berarti tolong buka, secara harfiah dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut dapat diartikan sebagai kalimat perintah untuk mengangkat tangan. Konteks penggunaan tuturan tersebut adalah memberikan suatu perintah menggunakan selingan bahasa Jepang agar siswa dapat terbiasa dan paham dengan kosakata-kosakata baru yang diberikan.
Lalu ada penggunaan kata ‘hai, douzo’, douzo (^^ ^) dapat digunakan pada konteks mempersilahkan seseorang seperti yang dilakukan oleh guru kepada siswanya. Mempersilahkan yang dimaksud adalah saat siswa ingin menjawab pertanyaan, guru pun memberikan kesempatan untuk menjawab dengan tuturan tersebut.
Kemudian ada frase ‘tadashii desu’ yang menandakan bahwa jawaban yang diberikan tersebut benar. Tadashii jika dilihat dari kanjinya (正しい) pun memiliki arti benar dan tepat. Penggunaan tuturan tersebut selain untuk meningkatkan pengetahuan dan kebiasaan siswa untuk mendengar kosakata bahasa Jepang, juga untuk membuat siswa percaya diri dalam proses pembelajaran.
-
• Dialog 4
Siswa : Sensei, kenapa bacaan dengan soalnya tidak sesuai?
Guru : A, gomen! Yang benar itu kucing ya.
Pada dialog 4 guru menggunakan sisipan kata ‘gomen’ untuk menyatakan permintaan maaf secara informal kepada siswa karena adanya kesalahan pada soal latihan yang diberikan. Gomen (ごめん) atau yang dalam lengkapnya ditulis gomennasai (ごめんなさい) merupakan ungkapan permintaan maaf yang diucapkan dalam konteks informal, sedangkan ungkapan yang lebih formal dan sopan dapat menggunakan sumimasen (すみません). Konteks penggunaan kata gomen pada dialog tersebut menunjukkan hubungan antara guru dengan siswa yang tidak berjarak, dalam artian sudah cukup akrab atau dekat. Selain itu juga guru memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa, sehingga penggunaan kata tersebut dapat dimaklumi.
-
• Dialog 5
Guru : Minasan, ada yang masih ingat materi minggu lalu?
Siswa : Masih sensei, tentang hobi.
Guru : Ja Anggi san, shumi wa nandesuka?
Siswa : Shumi wa ongaku desu.
Guru : Sou desuka.
Guru : Hai, subarashii ya. Berarti kalian sudah paham dan ingat materi
sebelumnya.
Pada dialog 5 menunjukkan suasana guru yang sedang menguji ingatan siswa terhadap materi pada pertemuan sebelumnya. Terdapat penggunaan campur kode keluar berupa kalimat-kalimat yang terkait dengan materi pembelajaran. Dapat dilihat pola kalimat mengenai hobi atau shumi yang diungkapkan dalam proses pembelajaran tersebut. Guru mulai memancing siswa dengan pertanyaan dalam bahasa Jepang, ‘Ja Anggi san, shumi wa nandesuka?’ yang dapat dimaknai menjadi ‘Anggi, apa hobimu?’. Hal tersebut dilakukan untuk menguji pemahaman siswa terhadap kalimat yang telah dipelajari sebelumnya. Siswa terlihat mengerti dan mampu menjawab pertanyaan guru sesuai dengan konteks yang ditanyakan dengan ungkapan ‘Shumi wa ongaku desu.’. Siswa menyebutkan bahwa hobinya adalah musik.
Lalu ada penggunaan campur kode ‘sou desuka’ dan ‘hai, subarashii’ sebagai respon dari guru terhadap jawaban siswa. Subarashii (素晴らしい) dapat diartikan fantastis/indah/keren/laur biasa/menakjubkan. Konteks yang digunakan pada dialog tersebut tentunya tuturan yang digunakan untuk memuji siswa karena berhasil mengingat dan menerapkan dengan baik materi yang pada pertemuan sebelumnya.
-
• Dialog 6
Guru : Hari ini kita adakan penilaian harian ya minna.
Siswa : Yahh sensei..
Guru : Ganbatte kudasai!
Pada dialog 6, guru menyisipkan campur kode ‘ganbatte kudasai’. Penggunaan campur kode tersebut dimaksudkan untuk menyemangati siswa yang terlihat kurang menyambut dengan baik penilaian harian yang akan dilakukan.
Ganbatte berasal dari kata ganbaru (頑張る) yang berarti melakukan yang terbaik, kemudian diubah ke dalam bentuk te kudasai yang difungsikan untuk membuat kalimat perintah. Meskipun kalimat tersebut diucapkan dalam bentuk perintah, namun makna yang ingin disampaikan guru kepada siswanya adalah rasa ingin menyemangati dan bangkit, bukan sekedar perintah yang harus dilaksanakan.
Pemaparan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa campur kode yang digunakan guru Bahasa Jepang di SMAS LAB UNDIKSHA, dapat dilihat
pada proses pembelajaran guru menggunakan campur kode jenis ke luar. Campur kode tersebut dituangkan ke dalam bentuk dialog yang dilakukan oleh guru dengan siswanya. Campur kode yang dilakukan melalui tindak tutur pada saat proses pembelajaran dilakukan berdasarkan situasi dan materi yang diberikan. Sebagai guru bahasa Jepang tentu harus menyisipkan bahasa Jepang ke dalam pembelajaran, maka dari itu secara tidak langsung siswa akan belajar dan akan terbiasa dengan penggunaan bahasa Jepang.
Adnyani, N.M, Martha, N, Sudiana, N. (2013). Campur Kode Dalam Bahasa Indonesia Lisan Siswa Kelas VII SMP N 8 Denpasar. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa Indonesia, 1-11.
Firmansyah, Arif Muhammad. (2021年Maret月). Interferensi Dan Integrasi Bahasa: Kajian Sosiolinguistik. Paramasastra, 8, 46-59.
Harisal, Somawati, Ni Putu, Dyah, Wahyuning, Kanah. (2021). Code-Mixing in Student Interaction of UKM Jepang. IZUMI, 267-277.
Nababan, P. (1993). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nesya Yolanda, C. (2012). ANALISIS MAKNA DAN PENGGUNAAN KATA SENSEI DITINJAU DARI SEGI SEMANTIK IMIRON KARA MITA SENSEI NO KOTOBA NO SHIYOUSHA TO IMI NO BUNSEKI. Universitas Sumatra Utara.
Nidawati. (2020). Penerapan Peran Dan Fungsi Guru Dalam Kegiatan Pembelajaran. Pionir Jurnal Pendidikan, 9, 136-153.
Rohmawati, Maulidiyah Annisa. (2022). Penggunaan Alih Kode Dan Campur Kode Mahasiswa Bahasa Jepang Universitas Negeri Surabaya Pada Aplikasi Hellotalk. Jurnal Hikari, 6, 382-393.
Suandi, Nengah. (2014). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lianiska, W., Charlina, C., & AR, H. F. Alih Kode dan Campur Kode dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra: suatu Kajian Sosiolinguistik (Doctoral dissertation, Riau University).
Chaer, Abdul.2007. Linguistik Umum.Jakarta:Rineka Cipta
Gunawan, Imam.2015. Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik.Jakarta:Bumi Aksara
Gayatri, N. L. A., Sudiana, I. N., Indriani, M. S., & Hum, M. (2016). Alih Kode Dan Campur Kode Guru Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII SMP
Negeri 4 Kubutambahan. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha, 4(2).
Rohmawati, A. M., & Fanani, U. Z. PENGGUNAAN ALIH KODE DAN CAMPUR KODE MAHASISWA BAHASA JEPANG UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA PADA APLIKASI HELLOTALK.
Cahyanti, P. W., & Dewi, N. M. A. A. Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Video Blogger Suki Suka Japan.
Djaya, H. (2011). Kajian Sosiolinguistik Campur Kode Dalam Percakapan Dosen Dan Mahasiswa (Studi Kasus Di Lingkungan Bahasa Dan Sastra Jepang Universitas Darma Persada). KATA PENGANTAR.
326
Discussion and feedback