Hak Cipta dan Kepemilikan Hak Cipta atas Street Art yang Melekat Pada Properti Milik Orang Lain: Sebuah Dualisme Hukum

Jennifer Moniq Sutanto,1 Mas Rahmah,2 Xavier Nugraha3

1Fakultas Hukum Universitas Airlangga, jennifer.moniq.sutanto-2019@fh.unair.ac.id

2Fakultas Hukum Universitas Airlangga, rahmah@fh.unair.ac.id

3Fakultas Hukum Universitas Airlangga, nugrahaxavier72@gmail.com

Info Artikel

Masuk : 5 Desember 2022

Diterima : 19 Agustus 2023

Terbit : 31 Agustus 2023

Keywords :

Street art, copyright, street art ownership.


Kata kunci:

Street Art, hak cipta, kepemilikan atas street art.

Corresponding Author:

Xavier Nugraha, E-mail: nugrahaxavier72@gmail.com

DOI:

10.24843/KP.2023.v45.i02.p01


Abstract

Street art is a work of art on the streets, which is usually in the form of graffiti or murals. Street art is generally made on other people's property without permission. This is what raises the problem of copyright protection and ownership of street art because there is a conflict between copyright and property rights and making street art without permission is a form of vandalism. Therefore, there is still debate about copyright protection for street art and there is still legal dualism in this regard. This paper aims, firstly to provide an analysis regarding copyright protection for illegal street art and secondly to analyze the ownership of street art attached to the property of other people. The research method of this paper is normative using statutory, comparative, case, and conceptual approaches. The results of this article are first, even though street art is an illegal act because it is vandalism, there is still copyright protection in it. Second, even though it is related to copyright ownership of street art, it remains with the Street Art Artists because it is their copyright, but the property rights of the owner of the property must also be protected.

Abstrak

Street art merupakan karya seni yang ada di jalanan, yang biasanya berbentuk graffiti ataupun mural. Street art pada umumnya dibuat di properti milik orang lain tanpa izin. Hal inilah yang memunculkan permasalahan perlindungan hak cipta dan kepemilikan atas street art, karena adanya benturan antara hak cipta dengan hak milik atas property dan pembuatan street art tanpa izin merupakan salah satu bentuk vandalisme. Oleh karena itu, masih terdapat perdebatan mengenai perlindungan hak cipta atas street art ini dan masih adanya dualisme hukum terkait hal ini. Tulisan ini bertujuan, pertama untuk memberikan analisis terkait perlindungan hak cipta atas street art yang illegal dan kedua menganalisis kepemilikan atas street art yang melekat pada properti milik orang lain. Metode penelitian tulisan ini adalah normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, komparatif, kasus, dan konseptual. Adapun hasil dari artikel ini adalah pertama, meskiun street art adalah sebuah perbuatan yang ilegal, karena merupakan vandalisme, tetapi tetap ada perlindungan hak cipta di dalamnya. Kedua, meskipun terkait

dengan kepemilikan hak cipta atas street art tetap berada pada Seniman Street Art karena merupakan hak ciptanya, tetapi ada hak milik dari pemilik property tersebut juga harus dilindungi.

  • 1.    Pendahuluan

Karya Seni Jalanan atau yang biasanya sering disebut dengan Street Art, merupakan karya seni yang dijumpai dalam bentuk karakter, tulisan, gambar yang menggunakan media berupa dinding ataupun benda lain yang berada di ruang public sebagai tempat untuk melukis, yang dibuat dengan tujuan mencari komunikasi dengan banyak orang.1 Setiap tulisan ataupun lukisan yang terdapat dalam street art merupakan bentuk ekspresi diri dari seniman yang membuatnya yang berasal dari kreativitas dan memiliki keunikan masing-masing. Namun, street art seringkali dibuat tanpa izin dari pemilik property dan merupakan tindakan vandalisme. Sehingga, banyak yang beranggapan bahwa street art tidak patut diberikan perlindungan hak cipta sebagaimana diperjelas dalam doktrin unclean hands dimana seseorang tidak dapat mencari perlindungan dibawah hukum jika dia telah berbuat salah (ex turpi causa non oritur action).2

Di sisi lain, kreativitas dan ekspresi dari seniman street art perlu diberikan perlindungan, agar tidak dieksploitasi oleh pihak lain yang tidak berhak. Mengingat bahwa sebagai salah satu jenis karya seni, street art memiliki nilai ekonomis, dengan diperjualbelikan sebagai Non Fungible Token (NFT) seperti yang dilakukan oleh seniman Jason Peterson yang menjual mural miliknya sebagai NFT.3 Hal ini sejalan dengan filosofi dari hak kekayaan intelektual yang muncul sebagai bentuk penghargaan bagi para Pencipta atau Penemu karena telah menghasilkan sesuatu baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun teknologi, yang bermanfaat bagi masyarakat.4 Dengan demikian, hak kekayaan intelektual memungkinkan Pemegang hak atau Pencipta mengambil manfaat atas karyanya sendiri.5

Hak cipta merupakan bentuk hak kekayaan intelektual yang melindungi kreasi dari buah pikir manusia.6 Hak Cipta ini lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Di Indonesia, jenis-jenis ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta dimuat dalam Pasal 40 ayat (1) UUHC, yang salah satunya dalam huruf (f) meliputi karya seni rupa dalam bentuk lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase. Untuk menentukan suatu ciptaan dapat dilindungi oleh hak cipta juga perlu diperhatikan doktrin standards of copyright ability, dimana suatu ciptaan harus memenuhi unsur originality, creativity, dan fixation.

Kepemilikan terhadap street art seringkali tidak jelas. Hal ini disebabkan karena street art diaplikasikan pada properti milik orang lain baik dengan izin maupun tanpa izin. Sehingga, muncul permasalahan mengenai kepemilikan street art dimiliki oleh orang yang memiliki properti atau dimiliki oleh Penciptanya. Di satu sisi, pembuatan street art tersebut dapat terkualifikasi sebagai hak cipta yang dilindungi, tetapi di satu sisi, pembuatan street art di properti milik orang lain tersebut tentunya membuat pemilik properti tersebut berhak atas benda apapun yang ada di dalam propertinya. Ketika diberikannya kedua perlindungan ini secara sekaligus secara an sicht, maka seolah-olah hal ini kontradiktif satu sama lain, padahal di dalam hukum tidak diperkenankan adanya perlindungan hukum yang saling kontradiktif, sebagaimana adagium hukum allegans contraria non est audiendus.7

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa terdapat sebuah isu hukum, yaitu pertentangan hukum. Adapun pertentangan hukum yang dimaksud di sini adalah antara pengaturan perlindungan hak cipta pemilik street art dengan pengaturan perlindungan hak milik dari pemilik properti yang terdapat street art. Adanya pertentangan hukum ini, bisa dikatakan, bahwa ada dualisme hukum. Oleh sebab itu, perlu adanya sebuah solusi hukum konkrit terkait dengan adanya pertentangan hukum atau dualisme hukum ini mengingat esensi hukum adalah untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang ada (legal problem solving).8

Di Indonesia, belum ada pengaturan dan kasus sepsifik terkait dengan pertentangan atau dualisme perlindungan hak cipta atas street art dengan hak milik dari pemilik properti yang terdapat street art. Oleh karena itu, penulis akan menggunakan contoh kasus yang terjadi di Amerika Serikat dan Jerman, serta merujuk pada ketentuan Pasal

113 VARA sebagai salah satu contoh pasal yang mengakomodir permasalahan terkait karya seni yang melekat pada properti milik orang lain.9

Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah dalam tulisan ini: 1. Apakah street art yang illegal dapat dilindungi hak cipta? 2. Bagaimana kepemilikan atas street art yang melekat pada property milik orang lain? Dalam rangka menjawab kedua rumusan masalah tersebut, penulis akan menganalisis menggunakan teori standards of copyright ability, prinsip deklaratif, dan asas prioritas serta dasar hukum Indonesia terkait dengan hak cipta, yang dalam hal ini juga menjadi pembeda antara tulisan yang dibuat oleh penulis dengan tulisan lain yang dirujuk, yaitu:

  • 1.    Protecting Artistic Vandalism: On Graffiti and Copyright Law yang ditulis oleh Celia Lerman pada NYU Journal of Intellectual Properties and Entertainment Law.10 Bahwa pada tulisan yang dibuat oleh Celia Lerman tidak digunakan standards of copyright ability sebagai batu uji untuk menganalisis adanya hak cipta terhadap street art.

  • 2.    Moral Rights: The Anti-Rebellion Graffiti Heritage of 5 Pointz yang ditulis oleh Richard Chused pada Columbia Journal of Law & The Arts.11 Bahwa pada tulisan yang dibuat oleh Richard Chused, tidak digunakan asas prioritas sebagai batu uji untuk menganalisis penyelesaian masalah benturan hak cipta dengan hak milik atas property yang terjadi pada kasus 5 Pointz.

Dengan demikian, diharapkan keunikan dan hasil dari tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk menyelesaikan permasalahan perlindungan hak cipta atas street art dan dapat mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta atas street art di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Tipe penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian normatif untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah tentang hak cipta atas street art yang dibuat tanpa izin pemilik properti serta kepemilikan atas street art yang melekat di properti milik privat. Tulisan ini menggunakan 4 (empat) macam pendekatan yaitu statute approach, comparative approach, case approach, dan conceptual approach. Tulisan ini menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan Tierney vs Moschino, Cohen vs G&M Realty L.P, Mitchell Bros vs. Cinema Adult Theater, Putusan Pengadilan Federal Jerman tanggal 23 Februari 1995 Nomor I ZR 68/93, bahan hukum sekunder berupa buku dan jurnal hukum, serta bahan hukum lainnya berupa internet.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Perlindungan Hak Cipta atas Street Art yang Illegal

      • 3.1.1    Street Art dan Segi Illegalitasnya

Street Art merupakan karya seni yang melekat di jalanan atau ruang public, yang mana karya seni tersebut memiliki makna dan kritik tersendiri dan hal tersebut yang menjadi interaksi dengan orang lain, memiliki konteks perkotaan.12 Street art yang biasanya ditemui memiliki macam-macam bentuk, yaitu berupa graffiti atau bisa juga berupa mural. Graffiti merupakan suatu tulisan atau gambar yang dibuat dengan tangan pada dinding.13 Graffiti memiliki macam-macam jenis, diantaranya Gang Graffiti (bentuk graffiti berupa symbol-simbol dari kelompok tertentu atau terkadang berupa nama kelompok tertentu, tujuannya untuk menandai teritori), Tagging (bentuk graffiti yang sederhana, berupa nama panggilan, atau symbol lainnya), dan Throw ups (gabungan dari beberapa tags sehingga bentuknya lebih kompleks).14 Sementara itu, Mural, berasal dari Bahasa latin yaitu “Murus” berarti dinding, mural diartikan sebagai suatu gambar berskala besar yang dilukiskan baik pada interior ataupun pada eksterior dinding.15 Dalam tulisan ini, terminology street art mencakup apa yang dimaksud graffiti dan mural.

Gambar 1.1 Mural

Sumber Gambar:

https://www.indana.co.id/kampung-warna-warni-di-kota-malang/

Gambar 1.2 Graffiti

Sumber Gambar:

https://www.bombingscience.com/grab

-interview/

Pada umumnya street art lebih sering dibuat tanpa izin dari pemilik property. Hal ini mengakibatkan tindakan melukis street art tersebut dikategorikan sebagai salah satu

bentuk vandalisme.16 Vandalisme merupakan kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan tidak bertanggung jawab dari oknum-oknum tertentu yang dilakukan dalam bentuk coret-coret tembok, dinding, atau fasilitas umum lainnya.17 Secara historis asal kata vandalisme ini berasal dari suku Vandal dari Jerman, yang melakukan pengrusakan terhadap keindahan peninggalan-peninggalan Romawi yang tidak ternilai harganya dan membuat beberapa kekacauan di daerah Gaul, Spanyol, dan Italia.18 Dapat disimpulkan bahwa vandalism ini merupakan bentuk kenakalan berupa pengrusakan dalam bentuk mencoret-coret ataupun cara lain terhadap barang ataupun fasilitas umum milik orang lain.

Di Indonesia, perbuatan vandalism secara implisit diatur dalam Pasal 489 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan sebagai berikut:

“Kenakalan terhadap orang atau barang sehingga dapat mendatangkan bahaya kerugian atau kesusahan dihukum pidana denda sebanyak-banyaknya dua ratus dua puluh lima rupiah”19

Dalam beberapa peraturan khusus di berbagai daerah di Indonesia, tidak semua perbuatan mencoret-coret property milik orang lain dikategorikan sebagai perbuatan vandalism. Beberapa diantaranya adalah Peraturan Daerah Yogyakarta Nomor 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (Perda Yogyakarta No. 15/2018). Pasal 20 ayat (1) Perda tersebut melarang perbuatan mencorat-coret fasilitas umum, jalan, bangunan cagar budaya, jalan, bangunan,maupun kendaraan milik orang dan/atau badan.20 Lebih lanjut, ayat (2) mengatur bahwa larangan tersebut dikecualikan jika perbuatan tersebut diizinkan oleh pemilik properti.21 Di Kota Surabaya, Pengaturan terkait dengan street art diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (Perda Surabaya No.2/2014). Ketentuan Pasal tersebut melarang orang untuk mencoret-coret dinding fasilitas umum.22 Namun ketentuan tersebut dikecualikan jika dilakukan atas persetujuan pemerintah atau pejabat setempat.23

Kedua contoh peraturan tersebut menekankan bahwasanya izin merupakan factor esensial dalam pembuatan street art. Agar pembuatan street art menjadi legal dan tidak

merugikan hak orang lain. Faktor izin diperlukan untuk menimbulkan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik kepada seniman street art, maupun kepada pemilik properti.

  • 3.1.2    Konsep Perlindungan Hak Cipta

Hak kekayaan intelektual terbagi dalam 2 (dua) bagian besar yang meliputi hak cipta dan hak yang terkait dengan hak cipta serta hak kekayaan industry yang terdiri dari hak paten, indikasi geografis, desain industri, perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu.24 Hak cipta merupakan salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap hasil buah pikir dan kreativitas manusia.25 Di Amerika Serikat, secara jelas dicantumkan dalam konstitusinya, bahwa tujuan dari adanya perlindungan terhadap hak cipta adalah mendorong adanya pengembangan penemuan di bidang karya seni dan sastra.26 Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan dari hak cipta memang untuk mendorong kemajuan dibidang karya seni dan sastra agar para penciptanya memperoleh manfaat atas hasil kreasinya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUHC: “Hak cipta merupakan hak eksklusif yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”27

Prinsip deklaratif berarti suatu ciptaan sudah mendapatkan perlindungan hak cipta sejak saat ciptaan tersebut selesai dibuat dan diketahui oleh pihak lain.28 Oleh karenanya, pendaftaran terhadap hak cipta bukanlah suatu kewajiban, melainkan dapat menjadi bukti yang kuat jika nantinya terdapat pelanggaran atas hak cipta. Berdasarkan definisi tersebut, penulis akan menguraikan mengenai unsur hak eksklusif, ciptaan, dan pencipta kemudian akan dikaitkan dengan hak cipta atas street art.

Hak eksklusif merupakan hak yang dimiliki oleh Pencipta atau Pemegang hak cipta untuk dapat berbuat apa saja terhadap ciptaannya kecuali yang dibatasi oleh aturan pembatasan.29 Dalam hak cipta, perlindungan yang diberikan kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta meliputi dimensi hak moral (yang muncul dari hubungan pribadi dan intelektual antara Pencipta dengan ciptaannya) serta hak ekonomi (hak yang berkaitan dengan manfaat ekonomis atau eksploitasi ciptaan).30 Sebagai negara dengan

civil law tradition, titik tolak perlindungan hak cipta di Indonesia adalah perlindungan terhadap Penciptanya, sementara di negara dengan common law system, titik tolak perlindungan adalah terhadap ciptaannya.31

Pengaturan mengenai hak eksklusif dalam UUHC terdapat dalam Pasal 4, 5, 8, dan 9.

Pasal 5 ayat (1) UUHC menyatakan bahwa:

“Hak moral yang dimiliki oleh Pencipta dan yang melekat secara abadi pada diri pencipta meliputi hak untuk:

  • a.    tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama pada Salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaan untuk umum;

  • b.    menggunakan nama alias atau nama samara

  • c.    mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat

  • d.    mengubah judul dan anak judul ciptaan

  • e.    mempertahankan hak dalam hal terjadi distorsi, mutilasi, modifikasi ciptaan atau hal-hal lain yang sifatnya merugikan kehormatan diri atau reputasinya.”32

Pengalihan terhadap hak moral tidak dapat dilakukan selama Pencipta masih hidup. Pengalihan hak moral baru dapat dilakukan dengan wasiat atau sebab lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal dunia. Pasal 9 ayat (1) UUHC menyatakan sebagai berikut:

“Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:

  • a.    Penerbitan ciptaan;

  • b.    Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;

  • c.  Penerjemahan ciptaan;

  • d.  Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;

  • e.  Pendistribusian ciptaan atau salinannya;

  • f.   Pertunjukan ciptaan;

  • g.  Pengumuman ciptaan;

  • h.  Komunikasi ciptaan;

  • i.   Penyewaan ciptaan.”33

Dalam pelaksanaannya, orang lain yang hendak melaksanakan hak ekonomi dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta harus meminta izin terlebih dahulu. Hal ini mengingat filosofi dari hak eksklusif yaitu hak yang hanya dapat dimiliki dan dilaksanakan oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan tidak boleh ada pihak lain yang bisa melaksanakannya tanpa izin.

Selanjutnya, mengenai ciptaan, dalam Berne Convention disebutkan bahwa yang termasuk dalam ciptaan adalah “literary and artistic works”.34 Pasal 1 angka 3 UUHC mendefinisikan ciptaan sebagai “hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata”.35 Lebih lanjut, Pasal 40 ayat (1) UUHC menyebutkan beberapa jenis ciptaan yang dapat dilindungi hak cipta, yang salah satunya, yaitu pada pasal 40 ayat (1) huruf f disebutkan karya seni rupa dalam bentuk lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase.36 Ciptaan dalam bentuk lukisan maupun gambar tidak diwajibkan untuk memenuhi standar estetika tertentu, yang diutamakan adalah asal karya tersebut dari seorang Pencipta dan karya tersebut merupakan ekspresi personal dari Penciptanya.37 Berdasarkan analisis dari sub-bab sebelumnya, street art berupa graffiti maupun mural termasuk sebagai ciptaan yang berbentuk karya seni rupa berupa gambar ataupun lukisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf f UUHC. Suatu ciptaan dapat diberikan perlindungan hak cipta jika memenuhui standar-standar tertentu atau yang dikenal dengan standards of copyright ability. Berdasarkan prinsip tersebut setidaknya terdapat 3 (tiga) standar yaitu:

  • 1.  Originality. Originalitas merupakan keaslian dari ciptaan yang dibuat. Suatu

karya dikatakan asli/original jika Penciptanya mampu membuktikan bahwa ciptaannya memang benar dibuat olehnya dan tidak merupakan salinan atau tiruan dari ciptaan orang lain.

  • 2.  Creativity. Maksud dari kreativitas ini adalah menujukkan bahwa suatu

ciptaan itu dibentuk karena adanya kreasi intelektual dari manusia sebagai hasil dari cipta rasa dan karsa manusia.

  • 3.    Fixation. Sebuah fiksasi diartikan bahwa ciptaan yang dimaksudkan sudah ada wujud nyatanya dan bukan masih dalam bentuk suatu ide.38

Oleh karena itu, agar street art dapat diberikan perlindungan hak cipta, setidak-tidanya memenuhi standar kreativitas dan originalitas, karena Indonesia merupakan negara dengan civil law tradition yang menjunjung tinggi derajat originalitas dan kreativitas. Selain itu, street art juga perlu diwujudkan dalam bentuk nyata karena hak cipta tidak melindungi ide.

Pencipta berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUHC adalah ”seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat

khas dan pribadi”.39 Lebih lanjut dalam Pasal 31 UUHC disebutkan bahwa orang yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang Namanya disebut dalam ciptaan, dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu ciptaan, disebutkan dalam surat pencatatan ciptaan, dan/atau tercantum Namanya dalam daftar umum ciptaan sebagai Pencipta.40 Dalam salah satu literatur disebutkan bahwa setidaknya terdapat 6 (enam) prinsip yang dapat digunakan untuk menemukan seseorang sebagai seorang Pencipta yaitu:

  • a.    Authorship places mind over muscle. Orang yang mengkonsep dan mengarahkan pengembangan dari sebuah karya adalah Pencipta, sedangkan orang yang hanya mengikuti perintah untuk mengeksekusi tidak dapat disebut sebagai Pencipta.

  • b.    Authorship vaunts mind over machine. Penggunaan dari mesin atau peralatan tertentu seperti kamera ataupun computer dalam pembuatan suatu karya tidak perlu menghilangkan status Pencipta dari si pembuat karya tersebut. Justru semakin besar peran mesin dalam proses produksi suatu karya membuat Pencipta harus semakin membuktikan bahwa ia berperan dalam membentuk karya tersebut dan isinya.

  • c.    Originality is synonymous with authorship. Bahwasanya prinsip originalitas ini prinsip yang paling universal dan standarnya dapat berbeda-beda di setiap negara. Di negara Perancis, sebagai salah satu negara yang sama-sama menganut civil law tradition, Pencipta disebutkan sebagai orang yang mengenali kreasi intelektualnya. Dengan demikian seorang Pencipta harus dapat membuktikan bahwa karya tersebut murni miliknya dan berbeda dari karya yang pernah dibuat orang lain.

  • d.    The Author need not be creative, so long as she perspires. Bahwa upaya dan tenaga untuk menghasilkan suatu karya tidak cukup tanpa adanya kreativitas. Kreativitas inilah yang membuat suatu karya menjadi unik dan bernilai tinggi.

  • e.    Intent to be and author. Seorang disebut Pencipta yang sesungguhnya apabila dia berniat dari awal untuk mencantumkan Namanya pada hasil ciptaannya sendiri.

  • f.    Money talks, maybe it also writes, composes, paints. Prinsip ini dapat diterapkan ketika suatu karya dibuat oleh banyak orang atau dibuat atas perintah atasan. Dengan demikian yang disebut sebagai pencipta adalah orang yang mempekerjakan dengan ratio legis bahwa pemberi pekerjaan berhak untuk memperoleh manfaat dari pekerjanya, atau bisa juga untuk alasan efisiensi hukum.41

Berdasarkan penjelasan-penjelasan mengenai Pencipta diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pencipta dalam street art adalah seniman street art itu sendiri. Ketika street art dibuat secara bersama-sama maka yang menjadi Penciptanya adalah orang yang memimpin atau mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan, berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUHC. Dalam hal street art dibuat berdasarkan pesanan dari pihak lain, maka yang menjadi Pencipta adalah pihak yang membuat pesanan kecuali jika diperjanjikan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UUHC.

Pembahasan sub-bab ini pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa street art tetap dapat dilindungi oleh hak cipta mengingat hak cipta lahir secara otomatis setelah suatu ciptaan diwujudkan (prinsip deklaratif) dan sepanjang ciptaan tersebut memenuhi standards of copyright ability. Lahirnya Hak cipta tidak dipengaruhi oleh factor-faktor lain, misalnya dalam bentuk cara pembuatan atau legalitas substansi dari suatu karya. Sebagai salah satu contoh yang dapat dianalogikan dengan street art adalah kasus Mitchell Bros vs Cinema Adult Theater. Dalam kasus tersebut meskipun konten film yang diputar tanpa izin tersebut mengandung pornografi, film tersebut tetap dilindungi hak cipta sehingga tidak dapat diputar tanpa izin dari pemilik film asli. Adanya unsur pornografi tidak menjadikan ciptaan tersebut tidak dapat dilindungi hak cipta.42 Bahwa dalam UUHC pun tidak ada larangan bahwa karya seni yang dibuat dengan cara illegal tidak dapat dilindungi hak cipta.43 Dengan demikian, seniman street art selaku Pencipta tetap dapat melaksanakan hak eksklusifnya baik dalam dimensi hak moral maupun hak ekonomi.

  • 3.2 Kepemilikan atas Street Art yang Melekat pada Properti Milik Orang Lain

Benda berdasarkan Pasal 499 BW adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.44 Definisi benda dalam arti luas menurut Subekti adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, sedangkan benda dalam arti sempit addalah barang yang dapat terlihat.45 Sementara itu, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mendefinisikan benda sebagai barang yang berwujud, dapat ditangkap dengan pancaindra, termasuk juga barang yang tak berwujud.46 Berdasarkan definisi-definisi tersebut pada pokoknya benda merupakan sesuatu yang dapat dihaki oleh subyek hukum baik bentuknya berwujud maupun tidak berwujud. Terdapat beberapa macam pembagian jenis benda, diantaranya menurut Subekti di dalam bukunya: “benda yang dapat diganti dan yang tidak dapat diganti, benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan, benda yang dapat dibagi dan yang tidak dapat

dibagi, benda bergerak dan benda yang tidak dapat bergerak.”47 Sementara itu, menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, benda dapat dibedakan menjadi: “benda berwujud dan benda tak berwujud, benda bergerak dan benda yang tidak bergerak, benda yang dapat dipakai habis dan benda yang tak dapat dipakai habis, benda yang telah ada dan benda yang masih akan ada, benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan, Benda yang dapat dibagi dan benda yang tak dapat dibagi.”48

Hubungan hukum antara subyek hukum dengan bendanya dan hubungan antara subyek hukum dengan hak kebendaan termasuk dalam ruang lingkup hukum benda.49 Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung kepada pemegang haknya untuk menguasai suatu benda di tangan siapapun benda tersebut berada.50 Hak kebendaan ini terdiri dari dua macam, yaitu hak untuk menikmati benda secara utuh (contoh: hak milik, hak guna usaha) dan hak untuk jaminan yaitu berupa hak kreditor untuk didahulukan pelunasannya atas hasil penjualan barang yang dibebani jaminan.51

Berkaitan dengan street art yang dilukis pada property milik orang lain, dapat diidentifikasi terdapat 2 macam hak kebendaan yang saling berbenturan, yaitu hak cipta atas street art yang dimiliki oleh Pencipta dan hak milik atas properti tempat dimana street art tersebut melekat. Hak cipta sendiri tergolong sebagai hak kebendaan karena hak cipta merupakan suatu benda bergerak tidak berwujud52, sehingga hubungan hukum yang timbul antara Pencipta dengan karya seninya termasuk dalam lingkup hak kebendaan. Ketentuan mengenai hak cipta diatur dalam UUHC secara khusus, sementara itu, ketentuan mengenai hak milik property tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan hak milik dalam BW sudah tidak diberlakukan lagi sejak berlakunya UUPA. Dalam UUPA menganut asas pemisahan horizontal, asas ini pada pokoknya memberlakukan bahwa setiap pemilik hak atas tanah belum tentu menjadi pemilik bangunan yang ada di atasnya, asas ini bertolak belakang dengan asas aksesi yang dianut dalam BW.53

Hak atas tanah merupakan hak seseorang terhadap tanah yang ia miliki dan menjadikan pemegang hak atas tanah memiliki wewenang umum serta wewenang khusus.54 Hak

milik merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh.55 Terkuat artinya hak milik atas tanah merupakan hak yang lebih kuat dibandingan hak atas tanah lainnya, tak ada batas waktunya, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hapus.56 Sementara itu, terpenuh memiliki arti bahwa hak milik atas tanah memberikan pemiliknya wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah lannya, tidak berasal dari hak atas tanah yang lain serta penggunaan tanahnya lebih luas dibandingkan hak atas tanah yang lainnya. Hak guna bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun. Hak atas tanah yang juga relevan dengan pembuatan street art meliputi hak guna usaha, hak pakai, hak sewa untuk bangunan.

Berdasarkan macam-macam hak atas tanah tersebut dapat ditemukan bahwa kepemilikan atas suatu property berupa benda tidak bergerak sangatlah berbeda dengan kepemilikan atas hak cipta. Bahwa dengan demikian, Pencipta dari street art tidaklah menjadi pemilik atas property secara otomatis dan demikian pula sebaliknya, pemilik property tidaklah secara otomatis menjadi Pemegang Hak Cipta atas street art. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus sama-sama saling menghormati hak kebendaannya satu sama lain. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada peraturan yang secara tegas memisahkan kepemilikan atas street art dengan kepemilikan atas property. Berbeda halnya dengan Amerika Serikat, yang sudah secara jelas memisahkan perbedaan kepemilikan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 202 United States Copyright Act ;

“Ownership of a copyright, or of any of the exclusive rights under a copyright, is distinct from ownership of any material object in which the work is embodied. Transfer of ownership of any material object, including the copy or phonorecord in which the work is first fixed, does not of itself convey any rights in the copyrighted work embodied in the object; nor, in the absence of an agreement, does transfer of ownership of a copyright or of any exclusive rights under a copyright convey properti rights in any material object.”57

Berdasarkan analisis diatas dapat dipahami bahwa kepemilikan hak cipta atas street art dan kepemilikan atas Properti, masing-masing berada pada pemiliknya. Dalam hal ini, hak cipta atas street art tetap berada pada Penciptanya. Hak cipta baru akan beralih kepada pihak lain jika memang ada peralihan hak cipta atas persetujuan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Secara normative, ketentuan ini dapat dirujuk pada Pasal 17 ayat (1) UUHC, yang menyatakan bahwa hak ekonomi atas suatu ciptaan tetap berada pada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta selama tidak dialihkan kepada penerimanya. Demikian pula terhadap hak moral atas suatu ciptaan, akan selalu melekat dalam diri Pencipta selama masih hidup, namun pelaksanaannya dapat dialihkan dengan wasiat

atau cara lain yang diperbolehkan undang-undang.58 Cara peralihan hak cipta baik Sebagian atau seluruhnya dapat dilakukan oleh sebab pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) UUHC.

Dalam rangka menyelesaikan benturan kedua hak kebendaan tersebut, dapat digunakan asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lahir terlebih dahulu mengesampingkan hak kebendaan yang lahir kemudian.59 Artinya, dalam hal street art dibuat tanpa izin dari pemilik property, maka pemilik property berhak untuk melaksanakan hak fundamentalnya atas property yang dimiliki, yang mana hak tersebut sudah ada terlebih dahulu sebelum hak cipta atas street art terlahir. Dalam suatu contoh kasus di Jerman, yaitu Berlin Wall Case, Mahkamah Agung Jerman menyatakan bahwa hak cipta yang ada pada street art yang dibuat tanpa izin dibatasi oleh hak fundamental pemillik properti.60 Oleh karena itu, pemilik properti memiliki hak untuk menghapus street art sebab ia telah memiliki hak fundamental atas propertinya, namun pemilik properti sama sekali tidak berhak untuk mendapat keuntungan ekonomis atas street art yang seharusnya dinikmati oleh seniman street art.61 Kesadaran pemilik properti untuk tidak memanfaatkan street art secara ekonomis dan kesadaran seniman street art untuk meminta izin kepada pemilik properti merupakan salah satu kriteria itikad baik yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak sebagai bentuk penghormatan terhadap masing-masing hak kebendaan.

Itikad baik dari masing-masing pihak akan memberikan keuntungan. Sebagai contoh dalam kasus 5Pointz di Amerika Serikat, para Seniman Street Art memperoleh ganti rugi atas penghapusan street art yang dilakukan oleh Mr. Wolkoff tanpa pemberitahuan kepada para Seniman Street Art tersebut. Jauh sebelum itu, Cohen (salah satu Seniman Street Art) telah diberi izin dan wewenang untuk mengurus dan mengelola gedung tersebut termasuk jika akan dihiasi oleh street art.62 Setelah bertahun-tahun karya tersebut melekat dan menjadi pusat perhatian bagi banyak orang, penghapusan tanpa sepengetahuan Seniman Street Art yang dilakukan oleh Mr. Wolkoff merupakan bentuk pengabaian dari Mr. Wolkoff terhadap hasil karya para Seniman Street Art.63 Dan Mr. Wolkoff melanggar Pasal 113 Visual Artist Rights Act 1990 (VARA 1990). Kedepannya dengan menekankan prinsip itikad baik dari masing-masing pihak, keberadaan Pasal 113 VARA 1990 ini dapat diadaptasi dalam hukum di Indonesia, karena menyeimbangkan kedudukan dari pihak pemilik property dan Seniman Street Art.

Pasal 113 huruf d VARA 1990 menyatakan bahwa jika suatu karya seni menyatu atau melekat pada suatu bagian dari bangunan, yang mungkin dengan memindahkan karya tersebut dapat menyebabkan kehancuran, distorsi, mutilasi, ataupun modifikasi, jika ada kesepakatan antara seniman dengan pemilik bangunan bahwa dikemudian hari dimungkinkan terjadinya hal-hal tersebut, hak seniman untuk mempertahankan karya seninya tidak dapat berlaku.64 Jika pemilik bangunan ingin menghapus suatu karya seni dari bagian bagunannya dan yang bisa dihilangkan tanpa menghancurkan, mendistorsi, memutilasi karya ataupun melakukan modifikasi karya, seniman memiliki hak untuk mempertahankan karya seninya kecuali jika pemilik bangunan memiliki itikad baik untuk memberi informasi terlebih dahulu kepada seniman yang bersangkutan meskipun gagal, atau telah memberi peringatan tertulis dan pihak yang diberi peringatan gagal untuk menerimanya dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari untuk memindahkan karya seni tersebut atau membayar biaya pemindahannya.65 Peraturan tersebut mendorong seniman street art untuk meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik properti, dengan demikian akan mengamankan haknya jika dikemudian hari pemilik property akan menghapus street art. Demikian pula dari sisi pemilik property, tetap dapat menegakkan hak fundamentalnya selaku pemilik properti yang haknya lebih dahulu lahir.

  • 4. Kesimpulan

Street Art terlepas dari cara pembuatannya yang illegal dan termasuk perbuatan vandalisme, tetap dapat diberikan perlindungan hak cipta. Hal ini disebabkan karena hak cipta lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif sejak ciptaan tersebut diwujudkan dan dilihat banyak orang, serta sepanjang dapat dibuktikan bahwa street art tersebut telah memenuhi standards of copyright ability. Sementara itu, terkait dengan kepemilikan hak cipta atas street art tetap berada pada Seniman Street Art karena hak cipta dan hak milik property adalah dua hak yang kepemilikannya berbeda dan tunduk pada hukum yang berbeda. Hak cipta tidak akan beralih kepada pihak lain selama tidak dialihkan oleh Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya. Hak Cipta dan Hak milik atas properti merupakan hak kebendaan, jika ada benturan antara keduanya maka dapat diterapkan asas prioritas, yang mengesampingkan hak kebendaan yang baru terlahir, sehingga terkait dengan dualisme hukum ini dapat terselesaikan. Dengan demikian, pemilik property dapat melaksanakan hak fundamentalnya terhadap street art yang dibuat tanpa izin.

Daftar Pustaka

Buku

Bonadio. E, et.al. (2019). The Cambridge Handbook of Copyright in Street Art and Graffiti. Cambridge: Cambridge University Press.

Goldstein,P dan Hugenholtz,B. (2013). International Copyright Principles, Law, and Practice edisi ke 3. New York: Oxford University Press.

HS, Salim. (2019). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.

Jened, R. (2013). Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan (Penyalahgunaan HKI). Depok: Rajawali Press.

-------. (2014). Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Netanel,N.W. (2018). Copyright What Everyone Needs to Know. New York: Oxford University Press.

Pereira,S. (2005). Graffiti. San Fransisco: Silverback Books, Inc.

Santoso,U. (2012). Hukum Agraria: Kajian Komprehensif Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

Simanjuntak, P.N.H. (2015). Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Kencana.

Sofwan, S.S.M. (1981). Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty.

Subekti. (1985). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa.

Tutik, T.T. (2008). Hukum Perdata dalam System Hukum Nasional Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

Jurnal

Blanche,U. (2015). Street Art and Related Terms- Discussion and Working Definition. SAUC Journal 1(1), 32-39. doi: https://doi.org/10.25765/sauc.v1i1.14.

Chused,R. (2018). Moral Rights: The Anti-Rebelion Graffiti Heritage of 5pointz. The Columbia Journal of Law & the Arts,    41    (4),    583-640.

doi:https://doi.org/10.7916/D8JW9XVR.

Ganindra, D.M. dan Kurniawan Faizal. (2017). Kriteria Asas Pemisahan Horizontal Terhadap Penguasaan Tanah dan Bangunan. Yuridika 32(2),  228-259.

doi: https://doi.org/10.20473/ydk.v32i2.4850.

Ginsburg, J.C. (2003). The Concept of Authorship in Comparative Copyright Law. DePaul Law Review, 52(4) 1063-1092. doi: http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.368481.

Gomez, M.A. (1993). The Writing on Our Walls: Finding Solutions Through Distinguishing Graffiti Art From Graffiti Vandalism. University of Michigan Journal of        Law        Reform,        26        (3),        633-708.        Doi:

https://repository.law.umich.edu/mjlr/vol26/iss3/5.

Güzel, M.Ş. (2019). Maxim Allegans Contraria non est Audiendus, Junadagh, Jammu and Kashmir Bölgesel Araştırmalar Dergisi 3(2), 55-89.

Harmanto, T., Abrianto, B.O., Nugraha,X. (2023). Penal Mediation By Police Institution In Handling Hate Speech Through Electronic Media: A Legal Efforts To Resolve With A Restorative Justice Approach. International Journal of Artificial Intelligence Research 6(2), 1-12, https://doi.org/10.29099/ijair.v6i1.388.

Jati, B.K.H. (2019) Law Enforcement for Prevention and Control of Vandalism Acts in Yogyakarta City. Journal of Arts &   Humanities,   8(7),   01-08.

doi: https://doi.org/10.18533/journal.v8i7.1676.

Jened,R. (2016). Konflik Yurisdiksi dan Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual. Mimbar           Hukum,           28(2),           201-214.            doi:

https://doi.org/10.22146/jmh.16730.

Lerman,C. (2012). Protecting Artistic Vandalism: On Graffiti and Copyright Law. N.Y.U Journal of Intellectual Properties and Entertainment Law.  2,  295-337. doi:

http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2033691.

MacDowall, L.J. dan de Souza,P. (2018). I’d Double Tap That: Street Art, Graffiti, and Instagram Research. Media Culture and   Society,   40(I),   3-22. doi:

https://doi.org/10.1177/0163443717703793.

Margono,S. (2012). Prinsip Deklaratif Pendaftaran Hak Cipta: Kontradiksi Kaedah Pendaftaran Ciptaan dengan Asas Kepemilikan Publikasi Pertama Kali. Jurnal Rechtsvinding                 1(2),                 237-255.                 Doi:

http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v1i2.99.

Nugraha, X., Ezra Tambunan. (2020). Analisa Yuridis Potensi Overlapping Antara Merk Tiga Dimensi (Three Dimensional Marks) dengan Desain Industri dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual. JIPRO: Journal of Intellectual Property. 3, 1-15. Doi: https://doi.org/10.20885/jipro.vol3.iss2.art1

Rahman,N.A. et.al. (2020). Revolutions of Mural Painting. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 10(10)  1195–1200. doi:

10.6007/IJARBSS/v10-i10/8279.

Salmah, S. (2015). Perilaku Vandalisme Remaja di Yogyakarta. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan                   Sosial,                   39(1),                   15-29.

http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1682829&val=182 81&title=Youth%20Vandalism%20Attitude%20in%20Yogyakarta.

Setiawan, P.J., Shintya Yulfa Septiningrum, Xavier Nugraha. (2021). The Legal Consequences For Buying Motor Vehicles Without Motor Vehicle Authorization Letter. Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 21(2), 194-212, 194-212. doi:

http://dx.doi.org/10.18592/sjhp.v21i2.4592

Setyawati, R. et.al. (2021). The Tensions On The Protection Of Local-Traditional Indonesian       Batik.        Yuridika       36(1),        177-212.        doi:

https://doi.org/10.20473/ydk.v36i1.24077.

Website

Bombing     Science.     (2020).     Grab     Interview.     Retrieved     from:

https://www.bombingscience.com/grab-interview/. Diakses pada 5 November 2022.

INDANA. (2016). Kampung Warna Warni di Kota Malang. Retrieved from: https://www.indana.co.id/kampung-warna-warni-di-kota-malang/.   Diakses

pada 5 November 2022

NFT Evening. Kanye West Mural in Chicago Being Sold As an  NFT.

https://nftevening.com/kanye-west-mural-in-chicago-being-sold-as-an-nft/ Diakses pada 8 Agustus 2023

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5599),

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960),

Peraturan Daerah Yogyakarta Nomor 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (Lembaran Daerah Yogyakarta Tahun 2018 Nomor 15),

Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 2),

The United States Copyright Act 1976 (L. No. 94-553, 90 Stat. 2541, Undang-Undang Hak Cipta Amerika Serikat),

The Visual Artists Rights Act 1990 (Pub.L. 101–650 title VI, 17 U.S.C. § 106A, Undang-Undang Hak Seniman Visual)

Berne Convention.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 2 Agustus 2023, h. 134-151