Vol. 45 No. 2, Agustus 2023

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E ISSN 2579 9487

P-ISSN 0215 899X


Hak Untuk Dilupakan Sebagai Implementasi Perlindungan Hukum Korban Cyberbullying (Studi Komparatif Indonesia dengan Korea Selatan)

Zahrani Salsabila,1 Aji Lukman Ibrahim2

1Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, E-mail: zahranisalsabila@upnvj.ac.id

  • 2 Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, E-mail: adjie_loekman@upnvj.ac.id

    Info Artikel

    Masuk : 16 Januari 2023

    Diterima : 20 Agustus 2023

    Terbit : 31 Agustus 2023

    Keywords :

    Cyberbullying; Right to be forgotten; Victim Protection.


    Kata kunci:

    Cyberbullying; Hak untuk dilupakan; Perlindungan Korban.

    Corresponding Author:

    Zahrani Salsabila, E-mail: zahranisalsabila@upnvj.ac.id

    DOI :

    10.24843/KP.2023.v45.i02.p03


Abstract

This study aims to determine legal policies regarding cyberbullying in Indonesia dan South Korea, forms of legal protection, fulfillment of the right to be forgotten and so that Indonesia can have legal arguments that side with victims as a form of protection for victims of cyberbullying. This normative juridical law research is complemented by interviews and uses comparative, statutory, and conceptual approaches. The results of this study indicate that Indonesia has not been able to exercise the right to be forgotten in dealing with cyberbullying because there needs to be a precise mechanism in its legal policies. In addition, the lack of socialization regarding the implementation of the right to be forgotten for victims of cyberbullying causes low public awareness in reporting. Therefore, strategic steps are needed, such as issuing a Ministerial Regulation regarding the mechanism for deletion, the existence of a particular complaint, contacting persons, and conducting outreach and education to the public. Hence, they want to report on acts of cyberbullying.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum mengenai cyberbullying di Indonesia dan Korea Selatan, bentuk perlindungan hukumnya, pemenuhan hak untuk dilupakan, serta agar Indonesia dapat memiliki pengaturan hukum yang berpihak kepada korban sebagai bentuk perlindungan korban cyberbullying. Penelitian hukum yuridis normatif ini dilengkapi dengan wawancara dan menggunakan pendekatan perbandingan, perundang-undangan, dan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat melaksanakan hak untuk dilupakan dalam penanganan cyberbullying karena tidak terdapatnya mekanisme yang jelas dalam kebijakan hukumnya. Selain itu, kurangnya sosialisasi perihal dengan adanya penerapan hak untuk dilupakan terhadap korban cyberbullying menyebabkan kesadaran masyarakat yang rendah dalam pelaporan. Maka dari itu, diperlukan langkah strategis seperti dikeluarkannya Peraturan Menteri mengenai mekanisme penghapusan, adanya layanan aduan khusus yang dibuat oleh penyelenggara sistem informasi dan komunikasi baik dalam bentuk website, aplikasi, maupun narahubung, serta melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat agar mau melakukan pelaporan terhadap tindak kejahatan cyberbullying.

  • 1.    Pendahuluan

Kejahatan perundungan tidak hanya terjadi dalam ruang kehidupan nyata secara langsung, namun dapat juga terjadi di cyberspace dalam platform media sosial yang dikenal dengan cyberbullying. Cyberbullying merupakan suatu perilaku agresif yang ditujukan kepada seseorang untuk kepentingan pribadinya dengan menggunakan alat elektronik yang mana akan membuat seseorang menderita dan rasa tidak nyaman baik yang dilakukan dalam pesan teks, penyebaran rumor, menyebarkan informasi memalukan, maupun menciptakan profil palsu.1 Cyberspace merupakan dunia virtual yang terbentuk dari penyatuan manusia dengan teknologi dalam artian manusia melakukan perkembangan terhadap teknologi informasi dan komunikasi.2

Lingkup media sosial yang luas menyebabkan dampak dari kejahatan ini kepada korban sangat besar. Korban akan mendapatkan tekanan, rasa tidak aman dan nyaman ketika melakukan aktivitas sehari-hari maupun pada saat menggunakan internet dan media sosial. Korban cyberbullying juga akan merasakan dampak psikologis seperti di antaranya kehilangan konsentrasi, mudah marah, sedih, malu, memiliki dendam, serta hilangnya kepercayaan diri, takut, dan rasa tidak nyaman terlebih mendapatkan pesan melalui media sosial dengan motif pelecehan seksual.3

Tidak jauh berbeda dengan traditional bullying yang dilakukan secara fisik kepada korban, cyberbullying dalam hal ini menyerang psikis korban dengan melakukan unggahan-unggahan yang merugikan eksistensi korbannya dalam dunia maya. United Nations Children’s Fund (UNICEF) sebagai lembaga perlindungan anak dunia memberikan statistik dari 30 negara di dunia, satu dari tiga anak muda pernah menjadi korban cyberbullying dan satu di antara lima anak memilih untuk tidak masuk sekolah akibat dari cyberbullying dan perlakukan kekerasan yang didapatkannya.4 Hal ini juga sering kita temukan dalam unggahan media sosial baik komentar maupun konteks dari informasi yang disebarkan termasuk kejahatan cyberbullying. Tentu hal tersebut sangat berkaitan dengan reputasi seseorang dan eksistensinya di ruang publik yang dalam hal ini meliputi internet dan media sosial.

Segala informasi yang terdapat di internet sebagai hasil dari unggahan pengguna akan berada dalam ruang siber dan memiliki keabadian. Keabadian di internet merupakan suatu gagasan bahwa segala sesuatu yang dipublikasikan di internet akan terus ada dan bersifat permanen karena jejak digital tidak bisa dihapus.5 Dalam kasus cyberbullying, jejak digital sangat merugikan korban dikarenakan segala informasi yang disebarkan oleh pelaku dapat dilihat dan terlihat oleh siapa saja. Apalagi, jejak digital tidak mudah untuk dihapuskan dikarenakan memiliki tata cara yang rumit.

Ketentuan hukum Indonesia yang berkaitan dengan kejahatan cyberbullying terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) dan (4), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (untuk selanjutnya disebut UU ITE). Meskipun bukan secara spesifik tertulis kejahatan cyberbullying, namun tindakan yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut memenuhi unsur-unsur cyberbullying yang di antaranya adalah melakukan pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian, dan melakukan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pasal 26 UU ITE mengatur mengenai hak untuk dilupakan yang dilakukan melalui penetapan pengadilan dalam artian bahwa korban harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada pengadilan untuk meminta penghapusan informasi elektronik yang tidak sesuai dengan kebenaran. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tidak dijelaskan mengenai mekanisme penghapusan informasi dan dokumen elektronik seseorang yang tidak relevan yang dilakukan oleh penyelenggara sistem informasi dan komunikasi. Sedangkan di Korea Selatan sebagai negara yang juga menganut sistem Civil Law, dalam peraturan perundang-undangannya yaitu Network Act Pasal 44-2 menjelaskan bahwa korban dapat meminta langsung kepada penyelenggara sistem informasi untuk menghapus informasi elektronik yang tidak sesuai, serta penyelenggara sistem informasi dan komunikasi dapat melakukan tindakan apabila terdapatnya suatu informasi yang merugikan seseorang atas pelaporan yang dilakukan oleh korban.

Penghapusan informasi elektronik dalam hal ini perlu dilakukan penanganan yang maksimal karena menyangkut dengan kehidupan korban yang dengan mudahnya disebarkan oleh pelaku kejahatan terlebih sampai menimbulkan cyberbullying kepada korban. Hak untuk dilupakan sebagaimana dalam penelitian dengan judul “Konsep Hak untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26 UU ITE” bahwa pada hakikatnya, konsep hak untuk dilupakan sebagaimana terdapat pada Pasal 26 UU ITE berkaitan dengan perlindungan hak privasi mengenai kepentingan seseorang atas adanya unggahan informasi atau dokumen elektronik yang merugikan. Namun, dalam hal ini, perlindungan korban hanya pada lingkup perdata mengenai informasi atau dokumen elektronik yang tidak relevan berdasarkan adanya kerugian korban, dan ketiadaannya mekanisme pemenuhan hak untuk dilupakan dalam ranah pidana.

Penelitian yang dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Cyberbullying dalam Media Sosial” memberikan penjelasan bahwa perlindungan yang terdapat dalam kebijakan hukum Indonesia, terutama Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, UU ITE, maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum cukup memberikan jaminan perlindungan, namun yang ditekankan hanyalah menjerat pelaku saja. Dalam penelitian ini akan menekankan perihal pentingnya penghapusan segala sesuatu atau konten yang disebarluaskan di media sosial, internet, atau media elektronik lainnya yang berhubungan dengan cyberbullying sebagai salah satu bentuk perldungan hukum terhadap koraban.

Selanjutnya, penelitian dengan judul “Hak Untuk Dilupakan: Penghapusan Jejak Digital sebagai Perlindungan Selebriti Anak dari Bahaya Deepfake” menyatakan bahwa ancaman deepfake yaitu dengan cara memanipulasi video dengan cara melapisi wajah buatan pada tubuh manusia untuk menciptakan seolah-olah orang tersebut yang melakukan tindakan tertentu. Dalam hal ini, penerapan Hak untuk Dilupakan dinyatakan mash belum lengkap

serta prosedur yang mash belum jelas terutama terhadap sibjek anak dibawah umur, sehingga menyebabkan kurang efektifnya penerapan hak untuk dilupakan tersebut.

Bentuk perlindungan yang belum memadai, tidak adanya mekanisme yang detail, serta kurangnya pemahaman terhadap tindakan cyberbullying maupun hak untuk dilupakan menyebabkan kejahatan ini terus menerus terjadi dan korban enggan untuk melakukan pelaporan, sehingga tidak terpenuhinya bentuk perlindungan hukum yang sudah sepatutnya diterima oleh seseorang yang menjadi korban cyberbullying. Oleh karena itu, permasalahan dalam penelitian ini mengenai pemenuhan hak untuk dilupakan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban cyberbullying dengan melakukan komparasi dengan hukum Korea Selatan serta mengkaji konsep ideal perlindungan hukum terhadap korban cyberbullying di masa yang akan datang.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang mengacu kepada hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku6 dengan melakukan perbandingan hukum dari sistem hukum Indonesia dengan Korea Selatan untuk mengetahui persamaan maupun perbedaan dari sistem hukum di kedua negara tersebut. Pendekatan permasalahan yang digunakan adalah pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumentasi terhadap bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait, bahan hukum sekunder yang mencakup buku, karya ilmiah, media internet serta wawancara untuk menunjang kepentingan data-data dalam penelitian ini, dan bahan hukum tersier berupa ensiklopedia maupun kamus hukum. Teknik analisis data yang digunakan adalah kualitatif, setelah bahan-bahan sudah terkumpul kemudian dianalisis untuk memperoleh kesimpulan mengenai isu permasalahan dalam penelitian ini

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Perlindungan Hukum Terhadap Korban Cyberbullying Menurut Hukum Indonesia dan Korea Selatan

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk dari perlindungan terhadap seseorang agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Satjipto Rahardjo memberikan definisi perlindungan hukum yaitu memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia kepada masyarakat yang dirugikan agar dapat menikmati semua hak yang diberikan oleh hukum.7 Perlindungan hukum hadir sebagai salah satu wujud dari adanya hukum untuk menjamin kepastian hukum kepada warga negaranya. Perlindungan hukum juga merupakan suatu upaya untuk menjaga hak-hak setiap orang agar tidak dilanggar dan apabila terdapatnya pelanggaran maka akan dikenai sanksi. Setiono memberikan pengertian mengenai perlindungan hukum yaitu upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan semena-mena penguasa yang tidak sesuai dengan hukum yang mana tujuannya adalah untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman agar setiap orang dapat menikmati martabatnya sebagai manusia.8

Korban merupakan seseorang yang mengalami penderitaan fisik atau mental, kerugian harta benda, mengakibatkan mati atas suatu perbuatan atau usaha pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana lainnya.9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Pasal 149 memberikan definisi korban sebagai orang yang mengalami penderitaan fisik dan mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh tindak pidana. Crime Victim Protection Act Korea Selatan mendefinisikan korban “Crime victim means a victim of another person’s criminal act and the spouse (including the facto marriage), lineal relatives, and siblings of such victim.” Yang berarti bahwa seseorang yang menjadi korban dikarenakan tindak pidana yang disebabkan oleh orang lain termasuk pasangan, kerabat segaris, serta saudara kandung dari yang menjadi korban. Dapat disimpulkan bahwa korban merupakan seseorang menderita baik fisik, mental, kerugian, maupun menyebabkan mati akibat dampak dari suatu tindak pidana yang dilakukan orang lain. Berdasarkan pengertian yang telah dijabarkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa korban merupakan seseorang menderita baik fisik, mental, kerugian, maupun menyebabkan mati akibat dampak dari suatu tindak pidana yang dilakukan orang lain

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada korban kejahatan cyberbullying ialah terdapat dalam UU ITE. Beberapa kebijakan dituangkan perihal dengan cyberbullying ditujukan sebagai cara yang digunakan untuk melakukan penegakan hukum, perlindungan hukum, dan penanggulangan terhadap setiap tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan hukum yang mencakup unsur-unsur kejahatan cyberbullying dalam UU ITE di antaranya:

  • 1.    Pasal 27 ayat (3) UU ITE

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

  • 2.    Pasal 27 ayat (4) UU ITE

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”

  • 3.    Pasal 28 ayat (2) UU ITE

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

  • 4.    Pasal 29 UU ITE;

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”

Pasal mengenai cyberbullying yang terdapat dalam UU ITE tersebut tidak terlepas dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 310 KUHP mengenai pencemaran nama baik sebagaimana tindakan pencemaran nama baik termasuk ke dalam unsur cyberbullying dengan basis internet dan media sosial. Pedoman Implementasi dalam Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kepolisian Negara RI menyatakan bahwa dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Tahun 2008 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3)

UU ITE pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 301 dan Pasal 311 KUHP.10

Pada hakikatnya, setiap perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dipidana dan apabila menimbulkan suatu kerugian terhadap seseorang, maka yang menjadi korban tersebut berhak untuk mengajukan gugatan kepada pelaku sekaligus dengan ganti kerugian. Yang mana dalam hal ini merupakan suatu bentuk perlindungan hukum sebagai bentuk dari adanya kepastian hukum dalam hal pemenuhan hak korban. Setiap terjadinya suatu peristiwa pidana, korban merupakan pihak yang paling dirugikan namun kenyataannya hak-hak korban dalam penegakan hukum pidana tidak memperoleh porsi dan perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan, sehingga ketika pelaku sudah diberikan sanksi pidana oleh pengadilan, korban dalam hal ini sering kali terabaikan bahkan sama sekali tidak dipedulikan.11

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Artinya bahwa tidak ada perbedaan maupun diskriminasi terhadap seseorang jika hal tersebut berhubungan dengan hukum. Karena sebagai bentuk penegakan keadilan, hukum harus dapat memberikan persamaan terhadap setiap orang. Perlindungan hukum terhadap korban cyberbullying yang diberikan oleh UU ITE di antaranya:

  • 1.    Pasal 45 ayat (3) UU ITE, yaitu terhadap pelanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE berupa pemidanaan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

  • 2.    Pasal 45 ayat (4) UU ITE, yaitu terhadap pelanggar Pasal 27 ayat (4) UU ITE berupa pemidanaan paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

  • 3.  45A ayat (2) UU ITE, yaitu terhadap pelanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah

pemidanaan paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

  • 4.    Pasal 45B UU ITE, yaitu yaitu terhadap pelanggar Pasal 29 UU ITE adalah pemidanaan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Dalam beberapa pasal tersebut tertuang bahwa bentuk perlindungan yang diberikan kepada korban cyberbullying hanya dalam bentuk pemidanaan maupun denda yang akan diberikan kepada pelaku. Wawancara yang dilakukan kepada Direktorat Tindak Pidana Siber Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) memberikan penjelasan bahwa tupoksi dan wewenang yang diberikan hanya sebatas pada ranah penegakan hukum yaitu setelah kejahatan terjadi, seperti melakukan penyelidikan maupun penyidikan setelah mendapatkan laporan aduan dari seseorang yang menjadi korban.12 Dalam hal ini tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan tugas dan wewenang yang diberikan kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kemudian lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam hal perlindungan hukum Direktorat Tindak Pidana Siber akan meminta kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.13 Melihat hal tersebut, wewenang yang diberikan kepada Direktorat Tindak Pidana Siber hanya sebatas pada penanganan dalam bentuk represif dan bukan preventif. Namun demikian, tindakan preventif terhadap suatu kejahatan dalam dunia siber bukan dilaksanakan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, melainkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai lembaga negara yang memiliki wewenang untuk membentuk regulasi hukum.14 Pelaksanaan dari tugas Direktorat Tindak Pidana Siber Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia ialah pada saat terjadinya laporan aduan dari masyarakat, yang mana masyarakat dapat melakukan aduan melalui beberapa opsi yang diberikan, kemudian Direktorat Tindak Pidana Siber Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia akan menindaklanjuti aduan tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan proses-proses pidana selanjutnya.

Dalam hal ini, UU ITE memberikan bentuk perlindungan lain yaitu dalam bentuk hak untuk dilupakan (right to be forgotten) yang terdapat dalam Pasal 26 ayat (3) dan (4). Pada dasarnya Righr to be Forgotten adalah menyangkut permasalahan dalam dunia digital yang mana sulitnya untuk melakukan penghapusan atas segala unggahan yang dilakukan ke dalam media sosial atau internet.15 Terdapat tiga hal dalam pasal tersebut, pertama, perihal dengan penghapusan (right to erasure) yang wajib dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik dan pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting) dengan adanya permintaan korban namun harus melalui penetapan pengadilan. Kedua, mekanisme penghapusan tersebut disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, tata cara penghapusan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Mengenai hal ini, Peraturan Pemerintah yang dimaksud ialah Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 menyatakan bahwa Penyelenggara Sistem Informasi wajib untuk melakukan penghapusan atas permintaan orang yang bersangkutan yang mana terdiri dari right to erasure (penghapusan) dan right to delisting (pengeluaran dari daftar mesin pencari). Lebih lanjut dalam Pasal 17 disebutkan bahwa pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting) tersebut dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan. Tata cara yang diberikan juga dalam hal ini tertuang yaitu korban melakukan permohonan terlebih dahulu kepada pengadilan yang kemudian penetapan tersebut menjadi dasar permintaan penghapusan informasi elektronik yang tidak relevan. Sedangkan untuk penghapusan (right to delisting) akan dilakukan langsung oleh penyelenggara sistem elektronik.

Tetapi, dalam hal ini pelaksanaannya belum maksimal dikarenakan belum terdapatnya Peraturan Menteri sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019. Berdasarkan pasal a quo, maka bentuk dari perlindungan hukum sebagai pemenuhan hak korban cyberbullying masih belum dapat terlaksana dengan

baik dikarenakan belum terdapatnya pengaturan yang spesifik baik dalam UU ITE, UU Perlindungan Saksi dan Korban, maupun dalam Peraturan Pemerintah terkait. Korban cyberbullying dalam hal ini memiliki masalah yang cukup serius dengan jejak digital yang beredar di internet maupun media sosial.

Sementara itu, teknis dan tata cara penghapusan sebagai hak untuk dilupakan korban cyberbullying masih belum secara tegas tertuang dalam peraturan hukum Indonesia, baik dalam UU ITE, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, atau dalam Peraturan Menteri lainnya. Walaupun terdapat tata cara permohonan yang dilakukan kepada pengadilan, hal tersebut hanya dikhususkan kepada pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting). Tetapi mengenai proses dan tata cara penghapusan (right to erasure) masih belum secara jelas terperinci sehingga dalam hal ini menyulitkan korban cyberbullying agar terpenuhi haknya. Terlebih dalam Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 menyatakan bahwa ketentuan penghapusan akan diatur dalam Peraturan Menteri, namun sampai saat ini belum diterbitkannya Peraturan Menteri yang membahas mengenai hak tersebut.

  • 3.1.1.    Perlindungan Hukum Terhadap Korban Cyberbullying dalam Sistem Hukum Korea Selatan

Pada sistem hukum Korea Selatan, perlindungan terhadap korban cyberbullying mengacu kepada Act on Promotion of Information and Communications Network Utilization and Information Protection atau Network Act. Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur mengenai segala bentuk kegiatan yang menyangkut informasi dan komunikasi sekaligus sebagai bentuk perlindungan bagi penggunanya serta agar penggunaannya dapat terlaksana dalam lingkup yang sehat dan aman. Pada hakikatnya, Network Act Korea Selatan hampir sama dengan UU ITE Indonesia, yang mengatur mengenai segala kegiatan yang dilakukan di dalam sistem informasi dan komunikasi atau dalam hal penggunaan internet.

Berkaitan dengan Cyberbullying, Korea Selatan dalam Act on The Prevention of and Countermeasures Against Violence in Schools dalam Pasal 2 ayat 1 – 3 memberikan definisi cyberbullying sebagai segala bentuk tindakan yang berulang dan menimbulkan luka fisik maupun emosional pada siswa atau kelompok siswa tertentu baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah serta menimbulkan rasa sakit kepadanya. Begitu juga dalam Network Act dijelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur cyberbullying, di antaranya:

  • 1.    Article 44 Network Act “No user may circulate any information in violation of other person’s rights, including invasion of privacy and defamation, through an information and communications network.” Bahwa setiap pengguna dilarang untuk menyebarkan informasi yang melanggar hak seseorang, privasi, dan fitnah melalui jaringan informasi dan komunikasi.

  • 2.    Article 44-7 Network Act “No one may circulate any of the following through an information and communication network.” “Tidak seorang pun berhak untuk menyebarkan informasi melalui jaringan informasi dan komunikasi mengenai:

  • a)    “Information with obscene content distributed, sold, rented, or displayed openly in the form of code, words, sound, images, or motion picture.” Berupa informasi cabul yang diperjual-belikan, disewakan, atau ditampilkan secara terbuka dalam bentuk sandi, kata-kata, suara, gambar, atau film;

  • b)    “Information with content that defames another persons by divulging a fact or false information, openly and with intent to disparage the person’s reputation.” Berupa informasi yang berisi fitnah, membocorkan informasi fakta atau palsu secara terbuka dengan maksud untuk merendahkan reputasi seseorang;

  • c)    “Information with content that arouses fear or apprehension by reaching other persons repeatedly in the form of code, words, sound, image, or motion picture.” Berupa informasi yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang dalam bentuk kode, kata-kata, suara, gambar, atau gambar yang bergerak.

  • 3.    Article 49 Netwok Act “No one shall mutilate another person’s information processed, stored, or transmitted through an information and communications network, nor shall he or she infringe, misappropriate, or divulge another person’s secret.” Bahwa tidak seorang pun berhak untuk memutilasi informasi orang lain yang terdapat dalam jaringan informasi dan komunikasi, maupun melanggar, menyalahgunakan, atau membocorkan rahasia orang lain.

  • 4.    Article 49-2 Network Act “No one shall collect another person’s information or entice person to furnish information though an information and communications network by an act of deception.” Bahwa tidak seorang pun berhak untuk mengumpulkan informasi orang lain atau membujuk seseorang untuk memberikan informasi melalui jaringan informasi dan komunikasi dengan tindakan penipuan.

Kejahatan cyberbullying di Korea Selatan juga tidak terlepas pada kejahatan pencemaran nama baik sebagaimana Indonesia dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan Korea Selatan dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Criminal Act Pasal 307 mengenai pencemaran nama baik atau fitnah, Pasal 308 mengenai pencemaran nama baik atau fitnah kepada seseorang yang sudah meninggal, dan Pasal 309 mengenai pencemaran nama baik atau fitnah melalui bahan cetakan.

Bentuk perlindungan hukumnya pun tidak jauh berbeda dengan ketentuan hukum Indonesia yaitu berupa pemidanaan dan denda yang diberikan kepada pelaku sebagaimana terdapat dalam Network Act, di antaranya:

  • 1.    Pasal 70 ayat (1), seseorang yang melakukan fitnah terhadap orang lain dengan menyebarkan fakta ke publik melalui jaringan informasi dan komunikasi dengan maksud untuk merendahkan reputasi orang lain, akan dipidana dengan pidana penjara hingga 3 tahun atau dengan denda tidak melebihi 30 juta won.

  • 2.    Pasal 70 ayat (2), seseorang yang melakukan fitnah terhadap orang lain dengan menyebarkan fakta palsu ke publik melalui jaringan informasi dan komunikasi dengan maksud untuk merendahkan reputasi orang lain, akan dipidana dengan pidana penjara hingga 7 tahun atau dengan denda tidak melebihi 50 juta won.

  • 3.    Pasal 71, terhadap yang melanggar ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 Network Act dipidana dengan pidana penjara hingga 5 tahun atau dengan denda tidak melebihi 50 juta won.

  • 4.    Pasal 72, terhadap yang melanggar ketentuan Pasal 49-2 Network Act dipidana dengan pidana penjara hingga 3 tahun atau dengan denda tidak melebihi 30 juta won.

  • 5.    Pasal 74, terhadap yang melanggar ketentuan yang terdapat pada Pasal 44-7 (1) dan 44-7 (1) 3 Network Act dipidana dengan pidana penjara hingga 1 tahun atau dengan denda tidak melebihi 10 juta won.

Kebijakan-kebijakan hukum di Korea Selatan yang menyangkut dengan cyberbullying menekankan kepada informasi yang disebarkan baik itu merupakan fakta ataupun fakta palsu yang merugikan seseorang, ilegal, dan melanggar hukum dapat dipidana. Sedangkan Indonesia dalam hal ini hanya sebatas pada segala informasi yang sudah tidak relevan, memiliki muatan penghinaan, pencemaran nama baik, pengancaman, kekerasan, menimbulkan rasa kebencian atas dasar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), dan

informasi yang menakut-nakuti orang lain, tidak dijelaskan lebih jelas mengenai apakah informasi tersebut merupakan informasi fakta atau merupakan fakta palsu.

Tidak berbeda dengan Indonesia dalam UU ITE, Network Act memberikan bentuk perlindungan kepada korban dengan adanya hak untuk dilupakan (right to be forgotten) yang terdapat pada Pasal 44-2. Permintaan Penghapusan Informasi dilakukan dengan model pelaksanaan korban meminta langsung kepada penyelenggara sistem informasi dan komunikasi untuk segera dilakukan penghapusan disertai dengan memberikan pernyataan bantahan akan informasi yang tidak relevan tersebut.16 Kemudian setelah mendapatkan permintaan penghapusan, penyelenggara sistem informasi harus melakukan penghapusan atau tindakan sementara yang diperlukan, di beberapa kasus penyedia sistem informasi dan komunikasi harus memberitahukan kepada pengguna bahwa telah diambil tindakan atas suatu unggahan tersebut.17 Jika dimungkinkan terdapatnya perselisihan antara pihak atas suatu informasi yang beredar tersebut, penyelenggara sistem informasi dapat mengambil tindakan berupa pemblokiran akses untuk sementara waktu dengan jangka waktu yang tidak boleh lebih dari 30 hari.18 Lebih lanjut Pasal 44-3 Network Act menyatakan mengenai tindakan sementara yang dapat dilakukan oleh penyedia layanan informasi dan komunikasi ketika terdapatnya informasi yang tersebar dalam jaringannya ditemukan mengganggu privasi seseorang, mencemarkan nama baik, atau melanggar hak seseorang.

Mengenai penghapusan (deletion) dalam Network Act dapat dilakukan oleh korban dengan melakukan permintaan kepada penyelenggara sistem informasi dan komunikasi. Sedangkan di Indonesia, terdapat dua cara yang dapat dilakukan yaitu penghapusan (right to erasure) dan pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting). Titik perbedaannya ialah right to delisting dalam hal ini harus melakukan tahapan pengadilan terlebih dengan menggunakan penetapan pengadilan. Sedangkan untuk penghapusan (right to erasure) sama dengan Korea Selatan dapat meminta langsung kepada penyelenggara sistem informasi dan komunikasi.

Tabel 1. Perbedaan Perlindungan Hukum Korban Cyberbullying

Indonesia

Korea Selatan

Terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Terdapat dalam Act on Promotion of Information and Communications Network Utilization and Information Protection (Natwork Act), dan Act on The Prevention of and Countermeasures Against Violence in Schools.

Terdapat 2 cara yang dilakukan Indonesia, yaitu pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting), dan penghapusan (right to erasure),

Hanya   terdapat  1   cara   yaitu

penghapusan

Mekanisme permintaan pengeluaran dari mesin pencari dilakukan dengan cara korban meminta penetapan pengadilan

Mekanisme permintaan penghapusan dilakukan dengan cara korban meminta kepada penyelenggara sistem informasi dan komunikasi

Belum terdapat mekanisme lanjutan mengenai  penghapusan  maupun

Secara lengkap tertera dalam Network Act berupa tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara sistem informasi

16 Lihat Pasal 44-2 (1) Network Act

17 Lihat Pasal 44-2 (2) Network Act.

18 Lihat Pasal 44-2 (3) Network Act.

pengeluaran dari mesin pencari dalam kebijakan hukum Indonesia

dan komunikasi setelah korban meminta permintaan penghapusan seperti melakukan tindakan sementara, melakukan pemberitahuan kepada para pihak, maupun melakukan pemblokiran akses.

  • 3.2.    Konsep Ideal Perlindungan Hukum Terhadap Korban Cyberbullying di Masa yang akan Datang

Cyberbullying merupakan suatu kejahatan perundungan yang dilakukan dalam dunia siber atau internet yang meliputi media sosial. Cyberbullying diartikan sebagai bentuk tindakan intimidasi yang dilakukan pelaku kepada korban melalui perangkat teknologi dengan maksud untuk melihat seseorang tersebut terluka yang dilakukan dengan cara menyerang melalui pesan yang kejam maupun gambar yang mengganggu yang kemudian disebarluaskan agar orang lain dapat melihat sebagai bahan untuk mempermalukan korban.19 Wong-Lo, Bullock, dan Gable dalam tulisannya membagi Cyberbullying menjadi 2 yaitu dilakukan secara langsung melalui pesan dari pelaku kepada korban, dan secara tidak langsung yaitu dengan menghasut orang lain untuk melakukan bullying kepada korban.20 Tindakan cyberbullying yang dilakukan langsung melalui pesan kepada pelaku ialah seperti mengirimkan kata-kata tidak pantas, mengeluarkan pelaku dari grup chat, atau juga mengancam korban dengan segala cara. Sedangkan untuk menghasut orang lain melakukan bullying kepada korban seperti melakukan unggahan di sosial media dengan menyebarkan informasi pribadi korban atau mencemari nama korban dengan informasi yang menjatuhkan, kemudian dapat dilihat dan dikomentari oleh siapa saja.

Perundungan tradisional berbeda dengan perundungan siber. Perundungan siber menggunakan alat elektronik dan internet beserta media sosial dalam melakukan kejahatannya, sedangkan perundungan tradisional dilakukan secara langsung oleh pelaku kepada korban. Tetapi pada hakikatnya kejahatan ini dilakukan dengan maksud dan tujuan yang sama. Draa dan Sydney memberikan bentuk-bentuk cyberbullying, seperti di antaranya:21 1.  Flaming, yaitu mengirimkan pesan yang bernada marah, kasar, tidak senonoh

kepada seseorang atau kepada kelompok tertentu.

  • 2.  Harassment, mengirimkan pesan berulang-ulang yang bernada serangan atau

menganggu.

  • 3.  Denigration, mengirimkan atau melakukan unggahan pernyataan berbahaya,

bohong, atau kejam kepada seseorang tentang orang lain.

  • 4.    Cyberstalking, melakukan penguntitan yang mengintimidasi secara terus menerus.

  • 5.    Impersonation, berpura-pura menjadi orang lain dengan kemudian mengirimkan atau melakukan unggahan yang menyebabkan seseorang tampak buruk, berbahaya, atau merusak reputasi seseorang.

  • 6.    Outing, melakukan unggahan atau mengirimkan sesuatu yang bersifat pribadi, sensitif, informasi yang memalukan, termasuk menyampaikan pesan atau gambar pribadi.

  • 7.    Exclusion, dengan sengaja mengeluarkan seseorang dari suatu online group.

  • 8.    Cyber-threats, ancaman langsung atau menghalangi materi online yang menimbulkan keprihatinan atau memberikan petunjuk bahwa seseorang bersedih dan mungkin mengarah pada mencederai seseorang, melukai diri sendiri, atau bunuh diri.

Penulis memberikan contoh yang dilakukan oleh akun Instagram @playitsafebabyreborn, @playitsafebabyfacts, @playitsafebabynews, @playitfunnybaby, dan @kepanikanque. Beberapa akun Instagram tersebut digunakan oleh orang-orang yang sama. Mereka melakukan aksi kejahatannya berupa cyberbullying yang dilakukan secara tidak langsung yaitu menyebarkan informasi selebritas yang pada nantinya informasi tersebut menjadi bahan bullying yang akan dilakukan oleh pengguna media sosial atau netizen lainnya. Padahal, informasi yang dibagikan merupakan informasi rahasia maupun menyangkut kehidupan pribadi seorang selebritas maupun influencer Instagram, yang kemudian followers maupun non-followers dari akun Instagram tersebut melakukan cyberbullying atau memberikan ujaran dan kata-kata yang tidak pantas kepada selebritas maupun Influencer Instagram yang informasinya dibagikan secara ilegal. Dalam hal ini, sebagai akun yang memiliki pengikut yang cukup banyak dan berita yang diberikan dapat diterima oleh beberapa pengguna media sosial menyebabkan banyak dari pengguna dapat dengan mudah percaya. Tentunya tindakan ini merupakan salah satu dari kejahatan cyberbullying sebagaimana termasuk menyebarkan privasi seseorang yang terkait dengan informasi pribadi maupun pencemaran nama baik.

Hal ini juga berkaitan dengan anonimitas ketika cyberbullying terjadi. Dengan adanya kemudahan dalam pembuatan akun dan mengakses internet, maka menyebabkan anonimitas yang tinggi. Anonimitas berarti tanpa nama dan tanpa identitas, yaitu dapat berupa mengubah nama panggilan, memalsukan atau menyembunyikan identitas, sampai menggunakan teknologi canggih untuk menutupi rekaman IP Adress.22 Anonimitas dalam kejahatan cyberbullying menguntungkan pelaku dikarenakan tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa yang melakukan cyberbullying tersebut. Anonimitas juga menyebabkan seseorang merasakan kekuasaan dan kontrol yang mungkin tidak didapatkannya ketika melakukan perundungan secara langsung kepada korban.23 Serta bagi korban dengan ketidaktahuan dikarenakan anonimitas yang dilakukan oleh pelaku tersebut menyebabkan ketakutan dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya terlebih dalam menggunakan media sosial.

Cyberbullying berkaitan dengan kejahatan yang menyangkut psikis, pelaku menargetkan seseorang melalui internet maupun media sosial untuk menyerang korban dengan cara melalui internet dan media sosial. Dampak dari cyberbullying tidak hanya menyangkut nama baik seseorang atau informasi pribadi yang tersebarluaskan. Namun demikian, hal tersebut memberikan dampak psikologis yang sangat terasa nyata bagi korban. Korban akan merasakan dampak negatif seperti kontrol emosi yang rendah, stress, depresi, bahkan rasa

kesepian.24 Studi juga mengemukakan bahwa cyberbullying yang terjadi kepada anak-anak lebih berdampak pada psikologisnya, yaitu akan merasakan sedih, mudah marah, ketidakberdayaan, dan ketakutan bahkan sampai menyebabkan perasaan balas dendam untuk menyebarkan rumor-rumor yang tidak benar.25 Dampak psikologis tersebut justru merupakan salah satu yang berbahaya dikarenakan akan berpengaruh kepada kelangsungan kehidupan pribadi korban.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan Perbandingan Hukum atau Comparative Jurisprudence sebagai ”The study of the principles of legal science by the comparison of various systems of laws” yaitu sebuah studi yang mempelajari mengenai prinsip-prinsip hukum dengan melakukan perbandingan dari berbagai sistem hukum. Adanya perbedaan dari sistem hukum tersebut akan menimbulkan suatu penelitian dengan menggunakan metode atau teknik perbandingan hukum dengan maksud untuk mengetahui perbedaan maupun persamaan dari sistem hukum yang berbeda tersebut. Dalam melakukan penelitian hukum, beberapa penulis menggunakan Perbandingan Hukum sebagai pokok dari permasalahan yang akan ditelitinya, sebagaimana Rudolf D. Schlessinger menjelaskan dalam bukunya Comparative Law tahun 1995 bahwa Perbandingan hukum bukan merupakan suatu cabang ilmu hukum maupun peraturan atau asas-asas hukum, namun perbandingan hukum merupakan teknik atau cara dengan menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum, dan ditujukan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam mengenai bahan hukum tertentu.26

Sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan negara yang dituangkan dalam kebijakan hukum, selain dalam bentuk pemidanaan berupa pidana penjara maupun pidana denda yang diberikan kepada pelaku. Pasal 26 UU ITE memberikan bentuk perlindungan berupa penghapusan atau adanya hak untuk dilupakan (right to be forgotten).

Konsep hak untuk dilupakan (right to be forgotten) pada hakikatnya berkaitan dengan eksistensi seseorang atau keberadaan diri.27 Eksistensi diri yang dimaksud tersebut merupakan bagian dari keberadaan diri seseorang baik di dunia nyata maupun di dunia virtual meliputi internet maupun media sosial. Hak untuk dilupakan (right to be forgotten) juga berkaitan dengan hak privasi seseorang karena mewakili hak pribadi. Warren dan Brandeis menyatakan “Privacy is the right to enjoy life and the right to be left alone and this development of the law was inevitable and demanded of legal protection.”28 Privasi merupakan hak seseorang untuk menjalani hidup serta untuk dibiarkan sendiri, oleh sebab itu perlunya perlindungan hukum. Maka dari itu, sebuah privasi harus memiliki pengaturan dasar sebagai bentuk dari perlindungan hukumnya agar seseorang dapat hidup dengan rasa aman dan nyaman.

Eksistensi hak dilupakan (right to be forgotten) diawali pada kasus yang terjadi kepada Google Spain v Agencia Espanola de Proteccion de Datos, Mario Costeja pada tahun 2014 yaitu ketika

keterlibatan Taziana Cantone seorang perempuan berumur 30 tahun yang merekam aktivitas seksual dirinya kemudian dikirim kepada mantan kekasihnya dan pada akhirnya beredar luas bahkan viral di internet.29 Putusan dari Court Justice of European Union (CJEU) Nomor C-131/12 pada 13 Mei 2014 memberikan penegasan bahwa pentingnya penghapusan data elektronik yang memuat informasi merugikan seseorang yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa internet.30 Putusan tersebut juga menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk meminta penghapusan atau pengeluaran suatu informasi apabila sudah tidak memadai, tidak relevan, atau berlebihan.31 Dengan adanya kasus tersebut, semakin memperkuat keberadaan right to be forgotten terutama adanya General Data Protection Regulation (GDPR) sebagai salah satu peraturan hukum mengenai privasi di Eropa.

General Data Protection Regulation (GDPR) dalam Pasal 17 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk meminta penghapusan terhadap data pribadi yang tidak sesuai atau disebarluaskan secara ilegal dan The Controller diwajibkan untuk menghapus data pribadi seseorang yang disebarluaskan secara ilegal maupun sudah tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya. Dalam pelaksanaannya pun harus dilakukan tanpa adanya penundaan yang tidak semestinya. Artinya bahwa ketika didapati suatu informasi yang tidak sesuai atau tidak relevan, maupun yang disebarluaskan dengan cara ilegal dan tidak sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, maka penghapusan informasi tersebut harus dilakukan dengan cara yang cepat dan tanpa adanya penundaan. Hal ini dilakukan dalam hal melindungi hak pribadi seseorang terhadap privasi dirinya di internet maupun di media sosial.

Lain hal di Korea Selatan, terhadap teknis permintaan penghapusan diatur dalam Pasal 44-Network Act yang menyatakan bahwa korban dapat melakukan permintaan kepada provider informasi dan komunikasi ketika terdapatnya informasi yang tersebar melanggar privasi, atau memfitnah orang lain. Kemudian, provider informasi dan komunikasi wajib untuk melaksanakan penghapusan atas dasar permintaan korban dan memberikan pernyataan kebenaran informasi tersebut. Tindakan penghapusan dilakukan langsung kepada penyedia sistem informasi dan komunikasi dengan cara korban melakukan pelaporan. Lebih lanjut pada Pasal 44-3, provider informasi dan komunikasi dapat melakukan tindakan sementara untuk melakukan penghapusan terhadap segala informasi yang tersebar yang menyangkut privasi, fitnah, maupun melanggar privasi seseorang. Tidak seperti Eropa dan California, Korea dalam hal ini tidak membedakan unggahan yang dilakukan oleh orang perorangan maupun pihak ketiga.32

Pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting) yang terdapat dalam Article 17 General Data Protection (GDPR) menjelaskan bahwa subjek data dapat meminta penyedia mesin pencari untuk menghapus konten yang terdapat didalamnya.33 Dalam hal ini yang membedakannya ialah terdapat dalam tata cara dan proses yang digunakan. Right to delisting harus menggunakan penetapan pengadilan terlebih dahulu untuk menjadi dasar pengeluaran dari mesin pencari sebagaimana dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah

Nomor 71 Tahun 2019 “Penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang dilakukan pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.” Sedangkan Penghapusan (right to erasure) dapat dilakukan oleh Penyedia Sistem Elektronik.

Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 pada Pasal 15 menyatakan terdapat 2 cara yang dimaksud dalam penghapusan, yaitu Penghapusan (right to erasure) dan Pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting). Informasi yang dapat dilakukan penghapusan ialah mengenai Data Pribadi yang meliputi:

  • a.    Diperoleh dan diproses tanpa persetujuan pemilik data pribadi;

  • b.    Telah ditarik persetujuannya oleh pemilik data pribadi;

  • c.    Diperoleh dan diproses dengan cara melawan hukum;

  • d.    Sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan perolehan berdasarkan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;

  • e.    Penggunaannya telah melampaui waktu sesuai dengan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;

  • f.    Ditampilkan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik Data Pribadi.

Hak untuk dilupakan ini tidaklah bersifat mutlak, harus terdapatnya pembatasan yang sangat hati-hati agar menghindari benturan dengan hak lainnya.34 Hak untuk dilupakan berkaitan dengan kebebasan berpendapat, tanpa adanya pembatasan yang jelas antara informasi apa yang harus disebarluaskan maupun tidak disebarluaskan menyebabkan ruang abu-abu terhadap setiap orang yang menggunakan internet dan media sosial. Maka dari itu, untuk memberikan batasan-batasan tersebut, Indonesia menggunakan cara dengan penetapan pengadilan untuk menghapus setiap informasi yang tersebar dan tidak sesuai yang beredar di internet maupun sosial media. Dengan adanya penetapan pengadilan tersebut, dapat menjadi dasar bagi seseorang untuk meminta penghapusan segala informasi dan komunikasi kepada penyelenggara sistem informasi dan komunikasi.

Pada pelaksanaannya, penghapusan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU ITE juncto Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 yaitu (1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Namun demikian, sampai saat ini belum terdapatnya Peraturan Menteri yang membahas akan mekanisme lanjutan dari penghapusan tersebut. Hal ini mengakibatkan kekosongan dan ketidakefektifan dalam pelaksanaan peraturan mengenai penghapusan informasi tidak relevan yang tersebar tersebut dan menyebabkan korban tidak bisa mendapatkan haknya.

Terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi terkait dengan perlindungan hukum terhadap kejahatan cyberbullying. Pertama, belum terdapatnya peraturan yang jelas mengenai mekanisme penghapusan (right to erasure) yang dapat dilakukan baik oleh penyelenggara sistem informasi maupun oleh korban. Peraturan Menteri sebagaimana yang dimaksud Pasal 18 ayat (3) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 yang mengatur mengenai mekanisme tersebut masih belum tersedia, sehingga menyebabkan mekanisme yang masih abu-abu serta tidak memiliki kejelasan. Apakah korban dapat dengan langsung meminta kepada penyelenggara sistem informasi untuk melakukan penghapusan atau terdapatnya

mekanisme lain guna melindungi hak korban cyberbullying di samping dengan sanksi pidana yang akan didapatkan oleh pelaku. Hal tersebut tentunya mengabaikan korban, karena yang dilakukan hanyalah pemberian sanksi pidana terhadap pelaku dan mengenyampingkan eksistensi korban beserta dengan hak dan reputasinya di ruang publik. Padahal, guna memberikan rasa aman dan nyaman kepada setiap pengguna internet dan media sosial, terlebih kepada korban cyberbullying diperlukan suatu aturan perlindungan hukum yang jelas. Terlebih dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 30 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Kedua, perlunya penetapan pengadilan untuk melakukan pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting) yang dalam hal ini terlihat memperlambat proses dalam pemenuhan hak korban. Sebagaimana General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa Pasal 17 menyatakan bahwa “The data subject shall have the right to obtain from the controller the erasure of personal data concerning him or her without undue delay and the controller shall have the obligation to erase personal data without undue delay.” Pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa subjek data memiliki hak untuk meminta penghapusan data pribadi menyangkut dirinya kepada pengontrol data pribadi tanpa adanya penundaan yang tidak semestinya dan pengontrol data pribadi memiliki kewajiban untuk menghapus data tanpa penundaan. Namun, dalam hal ini dengan adanya penetapan pengadilan tentunya menyebabkan penghambatan karena harus melalui beberapa tahapan seperti permohonan terlebih dahulu kemudian untuk mendapatkan penetapan pengadilan. Sama dengan Korea Selatan yang dalam kebijakan hukumnya menyatakan bahwa dalam hal penghapusan dilakukan oleh korban kepada penyelenggara sistem informasi dengan melakukan permintan penghapusan, Pasal 44-2 Network Act menyatakan “Where information provided through an information and communications network purposely to be made public intrudes on other persons' privacy, defames other persons, or violates other persons' right otherwise, the victim of such violation may request the provider of information and communications services who managed the information to delete the information or publish a rebuttable statement (hereinafter referred to as "deletion or rebuttal"), presenting explanatory materials supporting the alleged violation.” Bahwa segala informasi yang dipublikasikan mengganggu privasi orang lain, mencemarkan nama baik, atau melanggar hak orang lain, korban dapat meminta kepada penyedia layanan informasi dan komunikasi untuk menghapus, menerbitkan pernyataan bahtahan, atau melakukan klarifikasi atas pelanggaran yang terjadi tersebut. Dalam hal ini terdapatnya tanggung jawab yang dilakukan oleh penyelenggara sistem informasi dalam melindungi hak korban.

Ketiga, menurut penulis, sebagai bentuk pemenuhan hak terhadap korban Cyberbulltying di Indonesia, penyelenggara sistem informasi dalam menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik harus dilakukan dengan cara dan mekanisme yang mudah karena hal ini penting mengingat berkaitan dengan kejahatan cyberbullying. Seperti dalam hal penghapusan (right to erasure), korban dapat melakukan penyuratan kepada penyelenggara sistem informasi yang dalam surat tersebut meminta penghapusan atas unggahan yang disertai dengan bukti-bukti spesifik sebagai penegasan bahwa telah dilakukan cyberbullying maupun pelanggaran terhadap informasi pribadi korban. Selain itu, penyelenggara sistem informasi juga dapat memiliki fitur dalam sebuah aplikasi, layanan aduan, maupun website aduan yang berkaitan dengan pelaporan permintaan penghapusan suatu unggahan informasi yang tersebar, yang tentunya dalam hal ini korban harus membuktikan bahwa informasi yang tersebar tersebut termasuk dalam suatu pelanggaran maupun kejahatan. Untuk selanjutnya hal tersebut dapat menjadi dasar bagi penyelenggara sistem informasi dalam melakukan penghapusan. Serta penyelenggara sistem informasi juga harus memberitahukan kepada pihak yang melakukan unggahan bahwa telah terjadinya penghapusan terkait dengan informasi yang disebarluaskannya termasuk ke dalam suatu kejahatan.

Keempat, frasa ‘informasi yang sudah tidak relevan’ yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ITE apakah juga menyangkut dengan segala informasi yang diakibatkan oleh suatu kejahatan cyberbullying. Karena dalam hal ini, penyebaran informasi yang menjadi bagian dari cyberbullying belum tentu termasuk kepada segala informasi yang tidak relevan, namun dapat juga dengan informasi relevan yang kemudian dijadikan sebuah sebagai dasar cyberbullying. Seperti halnya pada kebijakan hukum di Korea Selatan yaitu Network Act pada Article 44-7 mengenai Larangan Menyebarkan Informasi Melawan Hukum pada angka 2 disebutkan “Information with content that defames other persons by divulging a fact or false information, openly and with intent to disparage the person’s reputation.” Yang dimaksud yaitu informasi yang diebarkan yang memiliki muatan pencemaran nama baik orang lain dengan membocorkan fakta atau informasi yang tidak benar dengan maksud merendahkan nama baik seseorang. Maka, informasi yang disebarkan tersebut juga dapat termasuk sebuah fakta yang ditujukan untuk mencemarkan nama baik seseorang atau dalam hal lain juga termasuk dengan melakukan cyberbullying menggunakan informasi fakta. Maka dari itu, menurut penulis yang dimaksud dengan frasa ‘informasi yang sudah tidak relevan’ kurang dapat memenuhi perlindungan hukum terhadap korban cyberbullying dalam kebijakan hukum Indonesia. Karena yang dimaksud dari informasi yang sudah tidak relevan tersebut dapat menjadi suatu informasi yang dahulu merupakan informasi yang relevan, dan pada masa saat ini ditemukan bahwa informasi tersebut sudah tidak relevan lagi, sehingga menjadi permasalahan. Berbeda dengan informasi yang disebarkan didasarkan oleh kejahatan cyberbullying, yang mana dapat berupa informasi yang masih relevan atau informasi palsu maupun informasi yang diambil secara ilegal.

Kelima, apabila dikaitkan dengan pemahaman hak untuk dilupakan, banyak dari masyarakat belum mengetahui dan memahami bahwa pada dasarnya setiap orang berhak untuk meminta penghapusan informasi pribadinya yang tersebar di internet atau sosial media. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya. Sosialisasi terhadap suatu perubahan hukum merupakan hal yang dapat dilakukan, karena terjadinya pergeseran norma lama menjadi menerapkan norma baru dan akan mempengaruhi bahkan mengubah cara pandang hidup maupun sikap dalam melakukan kehidupan dalam suatu masyarakat.35 Dalam kasus cyberbullying ini, banyak dari korban merasa enggan untuk melakukan pelaporan dikarenakan tidak mau repot berurusan dengan pihak berwajib dan akan memakan waktu.36 Bertolak dari alasan tersebut menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman dan sosialisasi mengenai cyberbullying menyebabkan ketidakmauan seseorang untuk melapor. Maka dari itu, dalam pelaksanaannya sebagai perlindungan hukum preventif harus dilakukan dengan cara yang lebih maksimal seperti dengan melakukan sosialisasi penggunaan internet bijak, sosialisasi perihal dengan kejahatan cyberbullying di media sosial apalagi penggunaannya yang sedang meningkat, maupun juga dengan adanya tempat aduan yang mudah untuk digunakan oleh masyarakat.

Penegasan terhadap mekanisme penghapusan sebagai hak untuk dilupakan (right to be forgotten) akan memenuhi hak-hak korban cyberbullying. Segala informasi yang tersebar di internet maupun media sosial yang didapatkan dengan cara ilegal, merusak nama baik seseorang, fitnah, melanggar hukum, maupun yang menyebabkan cyberbullying dapat dihapuskan dan korban akan merasa lebih aman. Perlunya pertanggungjawaban berupa

pernyataan dari pelaku kejahatan terhadap informasi yang disebarluaskannya tersebut agar reputasi, nama baik, maupun kehidupan sosial korban dapat kembali seperti semula.

  • 4. Kesimpulan

Korea Selatan dalam Network Act memberikan peluang bagi korban untuk melakukan pelaporan yang informasi pribadinya disebarluaskan dengan maksud untuk menjahati korban dengan meminta langsung kepada penyelenggara sistem informasi dan komunikasi yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh penyelenggara sistem informasi dan komunikasi tersebut dalam bentuk penghapusan, diskresi penanganan, dan pemberitahuan. Sedangkan Indonesia menggunakan dua cara yaitu pengeluaran dari mesin pencari dan penghapusan oleh penyelenggara sistem informasi dan komunikasi. Perbedaannya adalah dalam hal adanya penetapan pengadilan ketika ingin melakukan pengeluaran dari mesin pencari, namun di sisi lain mekanisme penghapusan dan tindakan dari penyelenggara sistem informasi dan komunikasi belum terdapat dalam kebijakan hukum Indonesia. Belum terdapat peraturan serta mekanisme yang memadai menyebabkan kekosongan dalam pelaksanaan hak untuk dilupakan. Maka dari itu, dalam hal ini perlu dilakukan langkah-langkah seperti penerbitan Peraturan Menteri mengenai mekanisme lanjutan penghapusan (right to erasure), menghapus ketentuan penetapan pengadilan sebagai dasar untuk permintaan penghapusan yang dapat menghambat terpenuhinya hak korban di ruang publik, penyediaan mekanisme penghapusan oleh penyelenggara sistem informasi dan komunikasi seperti melalui penyuratan, website aduan, narahubung, maupun aplikasi pengaduan, perubahan dalam frasa ‘informasi yang sudah tidak relevan’ yang terdapat dalam pasal 26 UU ITE menyebabkan kerancuan karena maksud dari ‘informasi yang sudah tidak relevan’ tersebut berkaitan dengan informasi yang dahulu relevan dan pada masa sekarang sudah tidak relevan lagi dan hal ini berkaitan dengan informasi fakta yang disebarluaskan dan menjadi sumber kejahatan cyberbullying, serta sosialisasi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum terkait cyberbullying disertai bentuk perlindungan hukum terhadap korban dengan cara penghapusan informasi elektronik, agar korban dapat melakukan pelaporan dan permintaan penghapusan sehingga terpenuhi haknya dalam ruang publik.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Nawawi, B. (2012). Perbandingan Hukum Pidana (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Rahardjo, Satijipto., (2000). Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rosadi, S.D. (2015). Cyber Law: Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional dan Nasional, Refika Aditama, Jakarta.

Setiono. (2004). Rule of Law (Supremasi Hukum). Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Siregar, Gomgom T.P, Rudolf Silaban., (2020). Hak-Hak Korban dalam Penegakan Hukum Pidana, CV. Manhaji: Medan.

Sitompul, J. (2012). Cyberspace Cybercrime Cyberlaw, Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta.

Sunggono, B. (2003). Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja, Jakarta.

Waluyo, B. (2012). Viktimologi: Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal

Ampri, A. I. I., Muhammad D. A, (2022). Hak Untuk Dilupakan: Penghapusan Jejak Digital sebagai Perlindungan Selebriti Anak dari Bahaya Deepfake, Jurnal Yustika, 25(1), 25 – 39. doi: https://doi.org/10.24123/yustika.v25i01.5091

Christianto, H. (2020). Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Mimbar Hukum, 32(2), 175 – 192. doi: https://doi.org/10.22146/jmh.51110

Hana, D.R., Suwarti. (2020). Dampak Psikologis Peserta Didik yang Menjadi Korban Cyberbullying,       Psisula:       Prosiding       Berkala       Psikologi,       (1).

doi: http://dx.doi.org/10.30659/psisula.v1i0.7685

Hoff, D. L., Sidney, N. M. (2009). (2009), Cyberbullying: Causes, Effects, and Remedies, Journal of Educational Administration, The University of Maine, Orono, Maine, USA. 652 – 666. doi: https://doi.org/10.1108/09578230910981107

Lee, J. (2016). What The Right to be Forgotten Means to Companies: Threat or Opportunity?

Procedia      Computer      Science      91.      542      –      546.      doi:

https://doi.org/10.1016/j.procs.2016.07.138

Leiser, M.R. (2020). Private Jurisprudence and The Right to be Forgotten Balancing Test, Computer     Law     &     Security     Review,     39,     105458,     doi:

https://doi.org/10.1016/j.clsr.2020.105458

Noval, S. M. R., Ahmad J. (2020). Menimbang Kembali Kehadiran Hak Untuk Dilupakan Penerapan dan Potensi Ancaman, Jurnal Legislasi Indonesia 17. 365 – 379. doi:

https://doi.org/10.54629/jli.v17i3.586

Putri, Arini Ferya. (2022). Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pornografi dan Penerapan Prinsip Right to be Forgotten di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, 7 (1), 168 – 187. doi: http://dx.doi.org/10.22373/justisia.v7i1.12772

Rifauddin, M. (2016). Fenomena Cyberbullying Pada Remaja (Studi Analisis Media Sosial Facebook), Jurnal Ilmu perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, 4(1), 35 – 44. doi: https://doi.org/10.24252/kah.v4i1a3

Saimima, I. D. S., Anita P. R. (2020). Anak Korban Tindak Pidana Perundungan (Cyberbullying) di Media Sosial dalam Perspektif Viktimologi, Jurnal Kajian Ilmiah (JKI), 2(2), 125 – 136. doi: 10.31599/jki.v20i2.102

Situmorang, D. D. B. (2019). Menjadi Viral dan Terkenal di Media Sosial, Padahal Korban Cyberbullying: Suatu Kerugian atau Keuntungan? Jurnal Penelitian dan Pengukuran psikologi, 8(10), 12 – 19. doi: https://doi.org/10.21009/JPPP.081.02

Snakenborg, J., Richar, V. A., Robert, A. G. (2011). Cyberbullying: Prevention and Intervention to Protect Our Children and Youth, Preventing School Failure, 55(2), 88 -95. doi: https://doi.org/10.1080/1045988X.2011.539454

Supriyatna, Bambang A. K. (2021). Sosialisasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, Jurnal Pengabdian Masyarakat, 5(2). doi: https://doi.org/10.33061/awpm.v5i2.5858

Wangid, M. N. (2016). Cyberbullying: Student’s Behavior in Virtual Worlds, Guidena Journal, 6(1), 38 – 47. doi: http://dx.doi.org/10.24127/gdn.v6i1.412 p. 40

Watts, L. K., Jessyca, W., Benito V., Phyllis L. B. (2016). Cyberbullying in Higher Education: A Literature Review, Computers in Human Behavior,  69.  1  –  28. doi:

https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.12.038 p. 3.

Skripsi/Thesis

Hutasuhut, Lehavere Abeto., (2019). Penegakan Hukum Tindak Pidana Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying) Terhadap Anak, Tesis Universitas Sriwijaya, Palembang.

Terbitan Lembaga/Organisasi

European Data Protection Board. (2020). Guidelines 5/2019 on The Criteria of The Right to be Forgotten in The Search Engines Cases Under The GDPR (Part 1).

Google Spain SL and Google Inc. v Agencia Espanola de Proteccion de Datos (AEPD) and Mario Costeja Gonzalez, Judgement of The Court (13 May 2014).

Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Website

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Available from https://tte.kominfo.go.id /blog/5db508dce2467517f4493af9 diakses pada 9 Desember 2022 Pukul 01:17 WIB

United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF). Available from https://www.unicef.org/press-releases/unicef-poll-more-third-young-people-30-countries-report-being-victim-online-bullying diakses 31 Desember 2022, pukul 17.08 WIB

Stanford Law Review. Available From https://www.stanfordlawreview.org/online/privacy -paradox-the-right-to-be-forgotten/ diakses pada 25 Juli 2023, pukul 23:44 WIB

Wawancara

Wawancara dengan AKBP Purnomo, bagian Direktorat Tindak Pidana Siber Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, pada tanggal 31 Oktober 2022.

Peraturan Perundang-Undangan

Act On Promotion Of Information And Communication Network Utilization And Information.

Act On The Prevention Of And Countermeasures Against Violence In Schools.

General Data Protection Regulation.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, LN Tahun 2008 No. 59, TLN No. 4843.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LN Tahun 2014 No. 293, TLN No. 5602.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, LN Tahun 1999 No. 165, TLN No. 3866.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4168, Sekretariat Negara, Jakarta).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LN Tahun 2014 No. 293, TLN No. 5602.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, LN Tahun 2023 No. 1, TLN No. 6842.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 2 Agustus 2023, h. 164-184