SAKURA VOL. 4. No. 2, Agustus 2022

DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2022.v04.i02.p02

P-ISSN: 2623-1328

E-ISSN:2623-0151

Analisis Simbolisme Jepang Dalam Seragam Sekolah Menengah Pertama

Puspa Ratu Suci Arum Sari¹, Idah Hamidah², Diana Puspitasari³

Program Studi Sastra Jepang, FIB, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto,Indonesia. ¹[[email protected]] ²[[email protected]]

³[[email protected]]

Abstrak

Simbol pada seragam sekolah menengah pertama di Jepang memiliki arti yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan makna semiotika (denotatif, konotatif, dan mitos) pada seragam SMP di Jepang dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil analisis menunjukkan enam simbol yang dapat diketahui maknanya, yaitu seragam sekolah tidak hanya pakaian yang dikenakan oleh kelompok tertentu saja, tetapi terdapat beberapa makna semiotik yang terdapat pada bagian-bagian seragam sekolah. Selain itu, jas sekolah harus berwarna gelap, yang merupakan tradisi di Jepang di mana siswa dilarang mengenakan jas berwarna cerah. Mereka mengenakan kerah jas dengan bentuk kerah standar yang merupakan kerah terbaik untuk digunakan dalam setiap kesempatan, simbol di tengah kancing jas berarti pengenal asal seragam, saku jas adalah hiasan dan digunakan untuk menempatkan sebuah benda. Kemudian tujuan penggunaan dasi adalah agar siswa lebih percaya diri dan belajar berpakaian rapi, kemeja putih sekolah seperti kemeja sekolah pada umumnya melambangkan kebersihan dan keluguan yang membuat siswa terlihat formal saat bersekolah, dan rok sekolah yang menutupi sebagian atau seluruh kaki mereka bagian untuk menunjukkan sisi feminis dari siswa perempuan.

Kata Kunci : makna denotasi, makna konotasi, mitos, seragam sekolah menengah pertama, semiotika roland barthes

Abstract

The symbols on junior high school uniforms in Japan have different meanings. The purpose of this study is to describe the meaning of semiotics (denotative, connotative, and myth) in junior high school uniforms in Japan using Roland Barthes' semiotic theory. This research is a qualitative descriptive study research with literature study data collection techniques. The results of the analysis show six symbols whose meanings can be known, namely the school uniform was not only clothes worn by certain groups, but there are several semiotic meanings contained in parts of the school uniform. In addition, school coats are required to be in a dark color, which is a tradition in Japan where students are prohibited from wearing brightly colored coats. They wear a suit collar with a standard collar shape which is the best collar to use in any occasion, the symbol in the middle of the coat buttons means an identifier of the origin of the uniform, the coat pocket is decorative and is used to place an item. Then the purpose of using ties is for the student to be more confident and learn to dress neatly, white school shirts like school shirts in general symbolize cleanliness and innocence which makes students look formal when attending school, and school skirts that cover part or all of their legs part to show the feminist side of female students.

Keywords: denotative meaning, connotative meaning, myth; junior high school uniform, Roland Barthes semiotics

  • 1.    Pendahuluan

Jepang merupakan negara kepulauan yang berada di Asia Timur. Jepang memiliki wilayah yang melintang dari utara ke selatan dengan panjang sekitar 3.300 kilometer. Memiliki empat pulau utama sehingga merujuk pada istilah Kepulauan Jepang, empat pulau utama tersebut yaitu Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Karena wilayah Jepang yang melintang dari utara ke selatan, menyebabkan terjadi perbedaan iklim yang besar berdasarkan wilayahnya. Wilayah Hokkaido yang berada di utara merupakan daerah dingin, sedangkan wilayah Okinawa yang berada di selatan merupakan daerah tropis. Beberapa kota yang terletak di samping Samudra Pasifik memiliki iklim hangat, seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya.

Empat musim yang terjadi di Jepang antara lain yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Musim semi identik dengan bermekarannya bunga sakura mulai dari wilayah bagian selatan lalu akan bertahap berlanjut ke wilayah bagian utara, cuaca pada musim semi juga tidak menentu karena adanya pergerakan angin. Pada musim ini, orang-orang Jepang biasanya membawa mantel atau jaket untuk berjaga-jaga ketika cuaca berubah menjadi lebih berangin. Lalu musim panas yang memiliki suhu dan kelembapan yang tinggi sehingga suhu tubuh yang dirasakan dapat lebih tinggi daripada suhu sebenarnya.

Pada musim panas orang-orang Jepang lebih sering mengenakan pakaian yang sejuk dan ringan serta beberapa aksesoris seperti topi untuk melindungi tubuh bagian atas dari sengatan matahari. Selanjutnya musim gugur memiliki cuaca yang mudah berubah, namun pada musim ini cuaca semakin dingin dimulai dari wilayah utara Hokkaido dan berangsur ke selatan. Untuk musim gugur, orang-orang Jepang biasanya akan mengenakan pakaian berlengan panjang dan mengenakan sweater tipis saat suhu dirasa mulai turun. Terakhir yaitu musim dingin, yang pada umumnya musim dingin di Jepang bersifat kering dan dingin. Pada musim ini, orang-orang di Jepang biasanya mengenakan berlapis-lapis pakaian dan beberapa aksesoris tambahan guna menghangatkan tubuh mereka.

Adanya perubahan iklim yang terjadi di Jepang menyebabkan orang-orang di Jepang sangat perduli dengan gaya berpakaian mereka, hal itu membuat gaya berbusana orang Jepang menjadi sorotan di dunia. Tidak hanya gaya berpakaian sehari-hari mereka,

seragam sekolah siswa dan siswi di Jepang pun turut menjadi perhatian orang asing. Baik siswa SD, SMP, maupun SMA, mereka semua diajarkan tentang kedisiplinan, rasa kebersamaan antar teman, dan kerapian. Kerapian merupakan poin yang sangat penting untuk kehidupan para siswa. Dalam hal ini pemerintah Jepang menerapkan pemakaian seragam bagi seluruh siswa di Jepang.

Siswa-siswi di Indonesia memiliki seragam sekolah yang sama setiap daerahnya. Seperti sekolah dasar menggunakan seragam putih dan merah, seragam sekolah menengah pertama menggunakan seragam putih dan biru dongker, lalu sekolah menengah atas menggunakan seragam putih dan abu-abu, sedangkan siswa-siswi di Jepang memiliki seragam sekolah yang berbeda disetiap daerahnya. Hal itu disebabkan karena perbedaan cuaca yang ekstrem dan mengharuskan mereka untuk menyesuaikan seragam mereka dengan keadaan iklim di masing-masing wilayah. Hal yang membedakan yaitu bagaimana pihak sekolah memodifikasi seragam mereka dengan melihat kondisi iklim di wilayah mereka. Salah satu contohnya adalah menggunakan bahan yang tebal saat musim dingin dan menggunakan bahan yang tipis saat musim panas, karena hal tersebut membuat seragam sekolah di Jepang bervariasi di setiap wilayahnya. Masing-masing sekolah di Jepang memiliki tandanya sendiri dalam seragam sekolah mereka.

Jika siswa SMP maupun SMA diwajibkan mengenakan seragam, tidak dengan siswa SD di Jepang. Para siswa SD di Jepang tidak diwajibkan mengenakan seragam karena pembuatan seragam yang terbilang cukup mahal, selain itu orang tua di Jepang juga percaya bahwa anak SD tidak akan bisa membedakan warna-warna lainnya jika mereka mengenakan seragam dengan warna yang sama setiap harinya. Kewajiban mengenakan seragam untuk siswa SD juga ditentukan oleh pemerintah tiap prefektur, ada beberapa prefektur yang mewajibkan mengenakan seragam, ada pula prefektur yang tidak mewajibkan mengenakan seragam. Untuk seragam SMP ada beberapa siswanya yang masih mengenakan seragam sailor seperti siswa SMA, namun ada beberapa sekolah swasta yang memiliki aturan sendiri dalam menerapkan seragam sekolahnya.

  • 2.    Metode dan Teori

    2.1    Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2007: 5) adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Pada penelitian kualitatif data bersifat deskriptif, data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya seperti foto, dokumen, artefak, dan catatan-catatan lapangan yang terdapat pada saat penelitian dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik kajian pustaka. Sumber data pada penelitian ini berupa screenshoot gambar yang berasal dari Film berjudul Your Lie in April. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data, mengklasifikasikan data, menganalisis data dengan cara mengkaitkan data dalam tanda-tanda semiotika, dan menarik kesimpulan.

  • 2.2    Teori

Semiotika dalam bahasa Yunani yaitu ‘semeion’ yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign). Sedangkan menurut Pierce tanda (representament), semiologi ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Menurut Rorong (2019), semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) dapat memaknai hal-hal (things) . Memaknai di sini berarti bahwa objek dalam hal tersebut tidak hanya membawa informasi tetapi objek tersebut ingin berkomunikasi dan mengkonsitusi struktur dari tanda. Barthes (2017:61) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Barthes juga menggunakan teori significant-signife yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Tanda merupakan penggabungan dari petanda (signified) dan penanda (signifier). Tanda semiologi memiliki banyak substansi ekspresi yang esensinya menjadi objek penggunaan sehari-hari yang digunakan masyarakat dalam suatu cara derivatif untuk menandai sesuatu. Petanda adalah representasi mental, pikiran atau konsep dari sebuah “objek” (Barthes, 2017:61). Penanda adalah aspek material dari

bahasa, apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis dan dibaca (Barthes, 2014:67). Petanda dan penanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika Saussure bermain pada tataran denotasi, Barthes mengembangkan sistem penandaan pada tataran konotasi yang akan memunculkan mitos di dalamnya.

Pemaknaan denotasi merupakan hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah tanda yang menjadi patokan untuk menghasilkan makna yang sesungguhnya (Barthes, 2017:9). Denotasi dalam perspektif Barthes merupakan tataran pertama yang bersifat tertutup. Tataran tersebut menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Denotasi juga dapat diartikan sebagai makna yang sebenarnya yang telah disepakati secara sosial dan merujuk pada realitas Sedangkan konotasi (Barthes, 2014:10) merupakan suatu sistem yang terdiri dari penanda dan petanda yang menyatukan sistem pertamaja (denotasi) ke dalam sistem yang kedua. Konotasi juga dapat diartikan sebagai tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan makna, implisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Artinya konotasi terbuka terhadap kemungkinan penafsiran-penafsiran yang baru. Sedangkan mitos merupakan suatu pesan yang terdapat ideologi di dalamnya. Mitos menjalankan fungsi naturalisasi, yaitu membuat nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural, sikap dan kepercayaan menjadi tampak alami, normal, wajar, dan benar (Barthes, 2014:13-14). Secara semiologis, mitos merupakan sistem yang khas yang diubah dari sistem semiologi tingkat pertama. Mitos juga dapat disebut dengan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan tanda pada sistem semiologis tingkat kedua. Mitos sendiri terbentuk dari makna tersembunyi yang secara sadar disepakti masyarakat. Semiotika Barthes dapat digambarkan pada tabel berikut.

Tabel 1 Gambaran Semiotika Barthes

1. Signifier (penanda)

2. Signified (petanda)

3. Denotative sign

(tanda denotatif) (first system)

4. Connotative Signifier (penanda konotatif)

5. Conotative Signified (petanda konotatif)

6. Connotative Sign (tanda konotatif) (second system)

Sumber: Paul cobley & Litzza Jansz. 1999

  • 3.    Kajian Pustaka

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan pakaian khususnya seragam sekolah Jepang pernah dikaji oleh Kinsella (2015) dengan judul What’s Behind The Fetishism Of Japanese School Uniforms?. Dalam penelitiannya, dia mengungkapkan bahwa seragam sekolah model militer telah menjadi salah satu ikon budaya Jepang modern sebagaimana seperti blue jeans di Amerika. Selain itu merepresentasikan sebuah mediasi perbedaan yang kuat antara ‘tradisional- pakaian Jepang’ atau pakaian ‘Barat’. Penelitian selanjutnya oleh Brian (1997) dengan judul Wearing Ideology: How Uniforms Discipline Minds And Bodies In Japan. Penelitian terhadap seragam sekolah belum terlalu banyak ditemukan, namun penelitian yang berhubungan dengan pakaian Jepang dan menggunakan semiotika sebagai pisau analisisnya telah ada yang meneliti, diantaranya penelitian oleh Novelisari, dkk (2020) yang berjudul “Analisis Makna Motif Bunga Pada Kimono. Hasil penelitiannya menemukan makna denotasi dan konotasi dalam berbagai macam motif yang ada di sebuah kimono. Selanjutnya Goldstein (1999) dengan judul Kimono and the Construction of Gendered and Cultural Identities yang meneliti kimono dalam persepektif budaya. Goldstein mengungkapan bahwa perbedaan antara pakaian Jepang dan Barat adalah bagian dari proses konstruksi identitas gender dan budaya di Jepang modern. Kimono di Jepang modern telah ditemukan sebagai pakaian nasional dan sebagai kostum yang ditandai dengan identitas feminin. Berbeda dengan pria, yang telah diberi peran model untuk tindakan rasional dan pencapaian.

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

    • 4.1    Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos pada Seragam Sekolah Menegah Pertama

Analisis semiotika digunakan untuk memaknai makna-makna yang tersembunyi dari suatu tanda. Dalam penelitian ini, tanda yang ada pada seragam sekolah menengah pertama yang tampak dalam film Your Lie in April akan dianalisis menggunakan semiotika Barthes. Tanda-tanda tersebut akan dideskripsikan pada tataran pemaknaan denotasi, konotasi dan mitos. Melalui mitos akan tampak adanya keterkaitan pesan yang terdapat pada seragam sekolah dengan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat. Tanda-tanda dalam seragam yang akan dianalisis yaitu jas sekolah, kerah, kancing, saku jas, dasi,

dan kemeja. Seragam sekolah yaitu pakaian tertentu yang dipakai khas oleh suatu golongan. Seragam sekolah atau seifuku dalam film ini terdiri dari jas, kemeja putih, dasi berwarna merah, dan rok rempe, yang tampak dalam gambar berikut ini.

  • 4.1.1.    Seragam Sekolah (Seifuku)

Makna denotasi yang terdapat dalam seragam sekolah yaitu pakaian tertentu yang dipakai khas oleh suatu golongan. Seragam sekolah atau seifuku dalam film ini terdiri dari jas, kemeja putih, dasi berwarna merah, dan rok rempel.

4.1.2. Jas Sekolah (Sutsu)

Dalam tradisi pemakaian seragam sekolah yang digunakan para siswa di Jepang, siswa dilarang mengenakan luaran atau jas dengan warna mencolok, para siswa di Jepang pun harus mematuhi warna tersebut untuk luaran atau jas mereka tidak diperbolehkan menggunakan jaket atau sweater dengan warna mencolok. Berdasarkan data di atas jas atau blazer cenderung memiliki warna-warna yang tidak mencolok, seperti warna dasar abu-abu.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka makna denotasi dari warna abu-abu merupakan warna dasar yang berasal dari perpaduan antara warna hitam dan warna putih. Namun setelah era meiji warna abu-abu ini tidak ditetapkan sebagai warna.

Makna konotasi yang terdapat pada warna abu-abu pada dasar jas sekolah adalah warna yang merepresentasikan formalitas dari sebuah seragam sekolah. Dalam budaya Jepang para siswa diharuskan mengenakan warna-warna gelap untuk luaran seragam mereka. Makna mitosnya adalah penggunaan warna gelap dimaksudkan untuk melindungi diri dari kejahatan. Para ksatria samurai di Jepang menyukai warna gelap pada baju besi mereka1. Ksatria samurai memiliki tujuh prinsip yaitu kebaikan, keberanian, kemurahan hati, rasa hormat, kejujuran dan ketulusan, kehormatan dan kesetiaan. Dengan adanya prinsip tersebut diharapkan para siswa dapat menerapkan dikehidupan mereka dengan memakai atas berwarna gelap tersebut.

4.1.2.1. Kerah Jas Sekolah (Eri)

Makna denotasi yang terdapat pada kerah jas sekolah atau eri pada seragam sekolah menengah pertama dalam film Your Lie in April ini yaitu leher baju yang digunting sesuai pola dan dipasangkan pada lingkar leher hingga pada bagian kancing jas.

Makna konotasi dari bentuk kerah jas sekolah atau eri ini yaitu menandakan sebuah dekoratif dari sebuah busana. Adanya akulturasi budaya Eropa dan budaya Jepang yang terjadi pada tahun 1921, yaitu ketika masuk tentara Inggris ke Jepang. sehingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal fashion di Jepang, salah satunya adalah bentuk kerah. Seiring dengan perkembangan jaman, akhirnya bentuk kerah seragam sekolah di Jepang mengalami modernisasi mengikuti budaya Eropa.

Bentuk kerah notch lapel ini merupakan bentuk kerah standar dan menjadi kerah terbaik untuk bekerja, sekolah, wawancara kerja, pemakaman, atau acara lainnya dimana diharuskan berpakaian konservatif. Bentuk kerah notch lapel juga digunakan untuk hampir semua acara, baik itu formal maupun semi formal. Makna mitos adalah kerah dalam seragam sekolah seperti gambar diatas ingin menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat dimana para siswa mendapatkan pendidikan secara formal.

4.1.2.2. Kancing Jas (Botan)

Makna denotasi yang terdapat pada kancing jas sekolah atau botan yaitu suatu alat untuk menutup bagian pakaian (baik baju, celana maupun lainnya) yang harus tertutup. Makna tersebut merupakan makna sesungguhnya atau makna yang terdapat didalam kamus dan tidak ada unsur pemaknaan konsep lain.

Pada data berikut tanda yang muncul pada kancing jas sekolah atau botan ini adalah berbentuk bulat, warna emas, dan terdapat sebuah simbol di tengah-tengah kancing tersebut. Warna emas sendiri memiliki makna warna yang menyerupai warna logam mulia. Warna emas dalam bahasa Jepang disebut dengan kin () yang melambangkan surga sehingga sering ditemui dipatung-patung budha atau tempat ibadah lainnya. Simbol yang terletak di tengah-tengah kancing jas merupakan sebuah tanda dari mana seragam sekolah tersebut berasal. Berdasarkan gambar 4.4 yang menjelaskan tentang simbol yang berada di tengah-tengah kancing jas merupakan tanda dari mana seragam sekolah tersebut berasal, dapat diartikan bahwa simbol yang terdapat di kancing jas dalam film Your Lie in April merupakan seragam dari Sumiya Junior High School.

Kancing jas atau botan pada seragam sekolah di Jepang memiliki makna konotasi yang menunjukkan fungsi sosial dan kegunaan pakaian tersebut. Selain itu, di Jepang juga berkembang mitos yang berhubungan dengan kancing pada seragam sekolah, dimana siswa laki-laki biasanya akan memberikan kancing kedua yang terdapat pada seragam siswa laki-laki, sedangkan para siswa perempuan akan meminta kancing kedua pada seragam siswa laki-laki yang mereka sukai. Biasanya momen ini terjadi pada saat upacara kelulusan siswa. Menurut mitos yang beredar khususnya di kalangan siswa di Jepang, pemilihan kancing kedua berkaitan dengan letak kancing kedua yang dekat dengan ulu hati manusia sehingga memiliki makna yang berorientasi pada perasaan seseorang. Jadi dengan memberikan atau meminta kancing kedua pada seragam sekolah menjadi simbol bahwa si pemberi telah memberikan hatinya kepada si penerima.

  • 4.1.2. 3. Saku Jas (Poketto)

Makna denotasi yang terdapat pada saku jas sekolah atau poketto yaitu kantong (pada baju, celana, jas, dan sebagainya), pada kemeja biasanya terdapat dibagian dada sebelah kiri, pada jas biasanya terselip sapu tangan yang dilipat membentuk piramida, sedangkan pada jas sekolah ini terdapat dibagian dada sebelah kiri dan bagian bawah kanan dan kiri. Saku juga menandakan sebuah dekoratif dari sebuah busana.

Makna konotasi dari saku jas sekolah ini yaitu sebagai tempat untuk menyimpan suatu barang. Orang Jepang memiliki tradisi malu atau yang sering disebut dengan Haji No Bunka2, budaya malu yang dimiliki orang Jepang adalah mereka akan sangat malu untuk melanggar suatu aturan yang telah disepakati. Bila mereka melanggar suatu aturan,

tanpa sungkan mereka akan segera memohon maaf. Semua ini menunjukkan betapa tinggi rasa malu yang mereka miliki (Prayitno 2016:80). Salah satu hal yang membuat orang Jepang merasa malu adalah membuang sampah sembarangan. Mitos ini pun mempengaruhi kebiasaan masyarakat jepang yang akan menyimpan sampahnya terlebih dahulu pada saku jas mereka sebelum menemukan tempat sampah ketika berada di dalam transportasi umum. Keberadaan saku pada jas selain sebagai ornamen dalam pakaian juga untuk mendukung mitos yang berkembang di masyarakat jepang mengenai kebiasaan menyimpan sampah sebelum menemukan tempat pembuangan sampah.

4.1.3. Dasi Sekolah (Nekutai)

Makna denotasi dari dasi sekolah atau nekutai adalah perlengkapan semacam pita yang dipasangkan melingkar pada leher kemeja dan disimpulkan di depan. Pada seragam sekolah perempuan terkait penggunaan pita, biasanya hanya sebagai ornamen atau hiasan. Namun kini penggunaan pita tidak diaplikasikan semua sekolah, beberapa diantaranya menggunakan dasi sebagai penggantinya, meskipun begitu dasi tetap memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan pita yaitu sebagai ornamen hiasan agar kemeja tidak terlihat monoton.

Selain makna denotasi, penggunaan dasi pada seragam sekolah juga memiliki makna konotasi yaitu kain yang melilit leher dan menjuntai sampai batas dada, dapat memberikan ciri pada kelompok dengan strata sosial yang tinggi. Penggunaan dasi bagi siswa di Jepang memiliki makna mitos dapat meningkatkan rasa kepercayadirian dan membuat para siswa terlihat lebih rapih.

4.1.4. Kemeja Sekolah(Shatsu)

Makna denotasi dari kemeja sekolah atau shatsu pada data tersebut yaitu baju yang pada umumnya berkerah dan berkancing depan, terbuat dari katun atau linen dan ada yang berlengan panjang maupun lengan pendek. Pada kemeja sekolah atau shatsu ini memiliki warna dasar putih dan berlengan panjang.

Berdasarkan (Hamada, 2010: 157) warna putih merupakan salah satu warna tertua di Jepang. Warna putih dapat dinyatakan dalam karakter dan memiliki citra warna sama seperti hitam, biru. dan merah. Bagi orang Jepang warna putih melambangkan kebersihan dan kepolosan. Warna putih merupakan warna suci yang terkait dengan ritual Shinto. Makna konotasi warna putih pada kemeja sekolah memrepresentasikan sebuah formalitas dari kemeja sekolah.

Warna putih menurut orang Jepang melambangkan kejujuran dan integritas yang dianut oleh masyarakat Jepang. Warna putih juga sering dikaitkan oleh warna salju, kematian dan rasa berkabung3. Makna mitos dalam warna putih yang terdapat di kemeja sekolah memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kejujuran dan sebuah formalitas.

4.1.5. Rok Sekolah (Sukaato)

Makna denotasi yang terdapat dalam rok sekolah atau sukaato adalah baju perempuan bagian bawah (bawahan). Pada rok sekolah atau sukaato ini memiliki warna dasar hijau tua dengan garis vertikal dan horizontal berwarna putih, yang dalam bahasa Jepang hijau tua disebut juga dengan onando (御納戸).

Berdasarkan gambar diatas, makna konotasi yang terdapat pada rok sekolah seragam siswa perempuan di Jepang yaitu untuk menunjukkan sisi feminisme perempuan ketika siswa perempuan menggunakan rok. Siswa perempuan akan terlihat lebih anggun ketika mengenakan rok, sehingga menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan. Semakin kesini fashion yang awalnya ditolak, menjadi salah satu alat untuk mengubah wacana identitas perempuan sekaligus menyampaikan sebuah ide dari feminisme sehingga fashion merupakan salah satu bidang yang diperjuangkan oleh kaum feminis mengenai kebebasan berpakaian dan berekspresi. Seiring berjalannya waktu, perempuan yang awalnya lekat dengan rok, korset, dan renda mulai mengenal celana panjang atau jas yang awalnya untuk laki-laki. Fashion yang awalnya sangat stereotype antara fashion laki-laki dan perempuan menjadi bercampur. Oakley dalam Barnard (1996: 63) menyatakan bahwa “berbusana seperti pria adalah bentuk kebalikan, yang dimaksud agar memungkinkan wanita menunjukkan bahwa mereka memiliki apa yang sejak dulu dianggap sebagai kualitas dan kemampuan maskulin, namun ditolak kode fashion yang di dominasi pria.”

Di Jepang semua siswa perempuan di sekolah menggunakan rok. Rok menjadi bagian paling menarik dari seragam siswa perempuan karena kebiasaan para siswa perempuan yang menggunakan rok pendek. Menurut Nicolas dalam Japanese Inside (2020), penggunaan rok pendek oleh siswa perempuan di Jepang memiliki makna mitos yang di mulai dari budaya gyaru yang ngetren pada era 90-an dengan alasan penggunaan rok

pendek ini bertujuan agar kaki mereka tampak lebih jenjang. Sebenarnya banyak orang Jepang yang mengatakan bahwa orang Jepang cenderung malu memperlihatkan kaki mereka ketika sudah beranjak dewasa sehingga masa sekolah menjadi waktu yang tepat untuk memamerkan kaki jenjang mereka. Berdasarkan penelitian oleh The NCD Risk Factor Collaboration (NCD-RisC) pada tahun 2019, rata-rata tinggi orang Jepang adalah 158.0 –159.0 cm4.

Berdasarkan hasil analisis penulis mengenai simbolisme Jepang dalam seragam sekolah menengah pertama menyatakan bahwa tiap-tiap petanda yang ada di dalam sebuah seragam sekolah memiliki makna semiotika, yaitu makna denotasi, makna konotasi, dan mitos.

  • 5.    Simpulan

Interpretasi makna terhadap tanda yang tersemat dalam atribut seragam sekolah berelasi dengan kesejarahan dan kebiasan masyarakat Jepang dalam hidup yang menjadi sebuah budaya, pemikiran, dan identitas masyarakat Jepang. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan ditemukan tujuh penanda yang terdapat dalam seragam sekolah siswa menengah pertama pada film Your Lie in April yaitu jas sekolah, kerah, kancing, saku jas, dasi, kemeja, dan rok. Makna yang terbentuk dalam tanda tersebut adalah makna denotasi, konotasi, dan mitos.

Pada jas sekolah, makna konotasi yang terbentuk adalah memperlihatkan bentuk keformalitasan, dan mitosnya adalah melindungi diri dari kejahatan. Selanjutnya pada kerah jas, makna konotasinya adalah menandakan sebuah dekoratif dari sebuah busana dan mitosnya adalah menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat dimana para siswa mendapatkan pendidikan secara formal. Atribut selanjutnya adalah kancing jas yang bermakna konotasi menunjukkan fungsi sosial dan kegunaan pakaian serta mitosnya adalah simbol perasaan seseorang. Saku jas memiliki makna konotasi sebagai tempat untuk menyimpan suatu barang dan mitosnya adalah tempat penyimpanan sementara untuk sampah sebelum menemukan tempat sampah. Dasi memiliki makna konotasi sebagai ciri atau penanda suatu kelompok dan mitosnya adalah rasa percaya diri dan

kerapian. Kemeja sekolah memrepresentasikan sebuah formalitas dari kemeja sekolah dengan mitosnya petanda memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kejujuran dan sebuah formalitas. Sedangkan rok bemakna kebebasan dan fleksibelitas dalam gerak dengan mitosnya menunjukkan sisi keindahan dari seorang perempuan.

  • 6.    Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 2017. Elemen-Elemen Semiologi, terj. M.Ardiansyah. Yogyakarta: Basabasi

_____________2014. Petualangan Semiologi, terj. Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Brian McVeigh (1997) Wearing Ideology: How Uniforms Discipline Minds and Bodies in Japan. Fashion Theory, 1(2), hlm. 189-213, doi: 10.2752/136270497779592039

Eco, Umberto. 1979. A Theory Of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press Goldstein-Gidoni, O. (1999). Kimono And The Construction Of Gendered And Cultural

Identities. Ethnology, hlm. 351-370.

Hamada. (2010). The Traditional Color of Japan. Japan: PIE International.

He, P. (2018). A Probe into the Characteristics of Japanese Culture from the Perspective of Schoolgirls Uniforms. Modern Anthropology 代人, (6)1, hlm 1-6. https://doi.org/10.12677/MA.2018.61001

Kalland, A., & Asquith, P. J. (1997). Japanese perceptions of nature. Japanese images of nature: Cultural perspectives.

King, E. L., & Rall, D. N. (2015). Re-imagining the empire of Japan through Japanese schoolboy uniforms. M/C Journal, 18(6). https://doi.org/10.5204/mcj.1041

Kinsella, S. (2015). What's behind the fetishism of Japanese school uniforms?. Fashion Theory, 6(2), hlm. 215-237.

Moleong, L. J. (2017). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja.

Nindya, E. I. H. (2017). Karakteristik Masyarakat Jepang. Kiryoku, 1(3), hlm. 30-38.

Novelisari, I., Fitriana, R., & Susanti, H. (2020). Analisis Makna Motif Bunga Pada Kimono. IDEA: Jurnal Studi Jepang, 2(1), 1-13.

Olesen, Jacob, 2013. Color Meanings In Japan. dalam https://www.color-meanings.com/color-meanings-japan/. Diakses 13 Januari 2022

Piliang, Y. A. 2000. Pers dalam Kontradiksi. Yogyakarta: Pustaka Utama

Putri, A. A. D., Lusiana, Y., & Puspitasari, D. (2020). Analisis Semiotika Pada Pakaian Tradisional Jepang Kimono Kurotomesode. Janaru Saja: Jurnal Program Studi Sastra Jepang, 9(2), 1-12.

Rall, D. N. (Ed.). (2014). Fashion & War in Popular Culture. Intellect Books.

Ramandani, Y. (2013). Fenomena Mode Gyaru sebagai Budaya Populer Jepang dalam Komik “Gals” volume 1-10 Karya Mihona Fuji. Disertasi. Universitas Brawijaya

Rorong, M. J. (2019). Penempatan Teori Dalam Ilmu Komunikasi:(Kajian Kepustakaan Dalam Perspektif Deductive-Interpretive). Commed: Jurnal Komunikasi dan Media, 4(1), 90-107.

Setiyo, H.N. (2017). Belajar dari Pengelolaan Sampah di Jepang. Dalam

https://www.ajarekonomi.com/2017/03/belajar-dari-pengelolaan-sampah-di.html.

Diakses 13 Januari 2022

Simanjuntak, A. (2019). Korelasi Budaya Malu pada Kebiasaan Masyarakat Jepang dalam Pembuangan Sampah.Skripsi. USU

Suharman, 2002, Sejarah Jepang (Awal sampai Feodalisme), Salatiga: Widya Sari Press

The NCD Risk Factor Collaboration (NCD-RisC). (2020). Height: Evolution of Height Overtime.

https://ncdrisc.org/height-mean-map.html, diakses pada 13 Januari 2022

Wakabayashi, Tsubasa. (2003). Enjokōsai in Japan: Rethinking The Dual Image of Prostitutes in Japanese And American Law. University of California.

Waoma. Ken J. (2019). Mengenal 8 Macam Jenis Jas Pria Beserta Fungsinya. Dalam https://www.finansialku.com/jenis-jas-pria/. Diakses 13 Januari 2022

185