SAKURA VOL. 4. No. 2, Agustus 2022

DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2022.v04.i02.p05

P-ISSN: 2623-1328

E-ISSN:2623-0151

Pandangan Dunia Pengarang Terhadap Gender Dalam Anime Kimi No Na Wa Karya Makoto Shinkai

Ni Luh Apriliani 1), Renny Anggraeny 2)

a,b,cProgram Studi Sastra Jepang, FIB, Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia a[[email protected]], b[[email protected]]

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Pandangan Dunia Pengarang terhadap Gender dalam Anime Kimi no Na wa Karya Makoto Shinkai”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan dunia pengarang terhadap gender dalam anime Kimi no Na wa karya Makoto Shinkai. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sementara itu, teori yang digunakan adalah teori strukturalisme genetik dan teori pandangan dunia pengarang dari Goldmann. Pandangan dunia pengarang terhadap gender digambarkan melalui tiga permasalahan sosial yaitu 1) subordinasi gender: perempuan berhak mengembangkan dirinya; 2) stereotipe gender: stereotipe masyarakat bersifat subjektif; 3) kekerasan gender: pentingnya menghormati kedudukan perempuan. Pesan yang ingin disampaikan pengarang yaitu gender merupakan sesuatu yang dapat ditukarkan, sehingga diperlukan perlakuan yang sama terhadap setiap orang terlepas dari jenis kelamin mereka. Pengarang ingin menyampaikan bahwa gender merupakan sesuatu yang dapat ditukarkan, sehingga diperlukan perlakuan yang sama terhadap setiap orang terlepas dari jenis kelamin mereka.

Kata kunci: gender, permasalahan sosial, pandangan dunia pengarang

Abstract

The title of this research is “The Author’s World View of Gender in Anime Kimi no Na wa by Makoto Shinkai. The aim of this research is to determine the author’s world view of gender in Anime Kimi no Na wa by Makoto Shinkai. The method used in this research is a qualitative descriptive method. Meanwhile, the theory used is the theory of genetic structuralism and the theory of the author's world view from Goldmann. The author's world view on gender is illustrated through three social problems, namely 1) gender subordination: women have the right to develop themselves; 2) gender stereotypes: societal stereotypes are subjective; 3) gender violence: the importance of respecting the position of women. The author wants to convey the message that gender is something that can be exchanged, so that it requires equal treatment of everyone regardless of their sex.

Keywords: gender, social problems, author's world view

  • 1.    Pendahuluan

Setiap manusia dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya. Secara umum, ciri-ciri tersebut membedakan manusia menjadi perempuan dan laki-laki. Perbedaan karakteristik antara perempuan dan laki-laki berhubungan dengan istilah gender. Fakih

(2013:8) berpendapat bahwa gender merupakan karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara sosial maupun kultural. Sebagai contoh, laki-laki diidentikkan memiliki sifat tegas dan kuat. Di sisi lain, perempuan identik dengan sifat lemah lembut dan keibuan. Hal tersebut merupakan bentuk dari peran gender yang berlaku di masyarakat. Peran gender merupakan harapan dari masyarakat dan tuntutan bagi seseorang dalam berpikir, berperilaku, dan berperasaan sesuai dengan jenis kelaminnya (Santrock, 2017:165). Perbedaan karakteristik antara laki-laki dan perempuan inilah menimbulkan adanya peran gender yang berbeda pula dalam masyarakat. Hal tersebut sebenarnya umum terjadi, tetapi akan menjadi masalah ketika peran-peran yang melekat pada salah satu jenis kelamin tidak sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga menimbulkan terjadinya ketidakadilan gender (Fakih, 2013:72).

Konsep mengenai gender seringkali dimunculkan dalam karya sastra melalui karakteristik tokoh-tokohnya, salah satunya adalah anime Kimi no Na wa karya Makoto Shinkai. Anime bergenre romance-fantasy tersebut menceritakan tentang dua remaja bernama Miyamizu Mitsuha dan Tachibana Taki yang saling bertukar jiwa. Mereka pun melakukan penyesuaian tingkah laku sesuai dengan tubuh yang mereka tempati. Mitsuha sebagai laki-laki, sedangkan Taki sebagai perempuan. Anime Kimi no Na wa menggambarkan perbedaan karakteristik antara Mitsuha dan Taki yang mewakili perempuan dan laki-laki berkaitan dengan konsep gender yang terjadi di kehidupan nyata, khususnya di Jepang. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki sangatlah melekat dalam masyarakat Jepang. Perbedaan itu pada akhirnya mengarah pada terjadinya ketidaksetaraan gender yang cukup tinggi di Jepang. Bahkan, di tahun 2015 indeks ketimpangan gender di Jepang menempati peringkat ke-26 dari 188 negara dan tergolong tinggi diantara negara-negara maju lainnya yang ada di dunia.

Fenomena gender yang muncul dalam anime Kimi no Na wa tentunya tidak terlepas dari peran pengarang di baliknya. Pengarang memiliki cara pandang tersendiri terhadap suatu fenomena di sekitarnya sebagai salah satu unsur pembangun yang melatarbelakangi terbentuknya sebuah karya sastra. Secara umum, topik yang diangkat pengarang merupakan permasalahan sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Pengarang juga menuangkan solusi penyelesaian permasalahan sosial tersebut berdasarkan pengalaman yang dialaminya secara langsung maupun tidak langsung. Konsep yang demikian biasa disebut dengan pandangan dunia pengarang (Goldmann, 1980:11-12).

Makoto Shinkai sebagai pengarang anime Kimi no na wa tentunya menyiratkan pandangannya terhadap gender dengan menampilkan kisah pertukaran jiwa yang dialami kedua tokoh utama dalam anime buatannya tersebut. Hal ini memberikan daya tarik untuk diteliti lebih lanjut terkait pandangan dunia pengarang terhadap gender dalam anime Kimi no Na wa karya Makoto Shinkai. Sehingga nantinya diharapkan dapat diketahui permasalahan sosial yang digambarkan Makoto Shinkai beserta pesan yang ingin disampaikannya sebagai wujud pandangan Makoto Shinkai terkait fenomena gender di masyarakat.

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai konsep gender yang dituangkan dalam kajian strukturalisme genetik, yaitu pandangan dunia pengarang. Secara khusus penelitian ini bertujuan mengetahui pandangan dunia pengarang terhadap gender dalam anime Kimi no Na wa karya Makoto Shinkai.

  • 2.    Metode dan Teori

    2.1    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode simak, yang dilakukan dengan menyimak dan memahami makna komunikasi yang disampaikan secara lisan maupun tulisan (Sudaryanto, 2015:133). Sementara itu, teknik catat digunakan sebagai lanjutannya dengan mencatat hal-hal yang berkaitan dan diperlukan untuk menjawab rumusan masalah. Data yang telah diklasifikasikan kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis dengan menguraikan dan memberikan penjelasan mengenai fakta-fakta yang ada (Ratna, 2006:53). Terakhir, penyajian analisis data dilakukan dengan menggunakan metode informal, yakni berupa deskripsi rangkaian kata (Ratna, 2006:50).

  • 2.2    Teori

Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik dari Goldmann (1980) sebagai teori dasar untuk mengetahui aspek-aspek eksternal karya sastra, seperti situasi sosial yang melatarbelakangi pembentukannya (Goldmann, 1980: 10). Kemudian, teori pandangan dunia pengarang dari Goldmann (1980) digunakan untuk mengenalisis

pandangan dunia pengarang sebagai salah satu konsep pemikiran strukturalisme genetik. Pandangan dunia pengarang merupakan suatu struktur bermakna yang dituangkan seorang pengarang dalam karyanya sebagai individu serta anggota dari masyarakat tertentu yang mewakili pandangan dunia (vision du monde) (Goldmann, 1980: 14).

Pandangan dunia pengarang bukanlah sebuah fakta, melainkan suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat menghubungkan secara bersama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial lainnya. Pengarang akan menuangkan pandangan tersebut melalui tokoh-tokoh (problematic hero) yang memiliki permasalahan sosial (degraded) dalam karyanya untuk mendapatkan suatu nilai atau pesan nyata yang ingin disampaikannya (authentic value). Teori pandangan dunia pengarang dari Goldmann (1980) digunakan untuk menganalisis pandangan dunia Makoto Shinkai sebagai pengarang anime Kimi no Na wa terhadap permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut dituangkan pengarang melalui tokoh-tokoh dalam anime yang mengalami permasalahan sosial terkait gender, untuk menemukan nilai atau pesan yang ingin disampaikannya.

  • 3.    Kajian Pustaka

Penelitian ini menggunakan beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dan dianggap dapat mendukung penelitian ini. Adapun penelitian yang pertama adalah penelitian Fathurrachman (2017) yang berjudul “Pandangan Dunia Pengarang dalam novel Kepanggang Wirang”. Penelitian Fathurrachman membahas mengenai pandangan dunia pengarang dengan menggunakan teori strukturalisme genetik dari Goldmann (1980). Sementara itu, metode analisis data yang digunakan Fathurrachman adalah metode deskriptif analitis. Hasil penelitian Fathurrachman menunjukkan bahwa kondisi sosial yang melatarbelakangi penciptaan novel Kepanggang Wirang adalah perlunya perlindungan terhadap perempuan yang mengalami degradasi. Perlindungan tersebut berupa keadilan yang selayaknya didapat oleh pihak perempuan yang selalu disalahkan ketika terjadi pelecehan seksual. Penelitian Fathurrachman berkontribusi dalam peneltian ini untuk memberikan pemahaman lebih mengenai kajian strukturalisme genetik menggunakan teori Goldmann, khususnya dalam menganalisis pandangan dunia pengarang terhadap perempuan yang selalu menjadi pihak yang dirugikan, seharusnya mendapatkan keadilan yang sesuai.

Penelitian yang kedua adalah penelitian Noviana dan Wulandari (2017) yang berjudul “Maskulinitas dan Feminitas dalam Anime Kimi no Na wa: Kajian Respon Pemirsa”. Penelitian Noviana dan Wulandari membahas mengenai persepsi generasi muda yang diwakilkan 15 mahasiswa sastra Jepang dan 15 mahasiswa sastra Inggris dari Universitas Diponegoro terhadap maskulinitas dan feminitas dalam anime tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian Noviana dan Wulandari adalah teori gender expectation dari lorber (2009). Metode analisis yang digunakan Noviana dan Wulandari adalah metode deskriptif kualitatif dengan mengambil data yang digali di lapangan berupa respon pemirsa. Hasil penelitian Noviana dan Wulandari menunjukkan bahwa responden menyatakan persetujuan mereka mengenai penggambaran maskulinitas dan feminitas terhadap tokoh utama laki-laki dan perempuan dalam anime tersebut. Namun, mahasiswa sastra Inggris lebih menyukai cara pandang barat dalam hubungannya dengan feminitas. Penelitian Noviana dan Wulandari (2017) berkontribusi dalam memberikan pemahan lebih tentang penggambaran maskulinitas dan feminitas pada kedua tokoh utama dalam anime Kimi no Na wa.

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

    4.1    Permasalahan Sosial terkait Gender

Gender memunculkan adanya perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki. Tak jarang hal itupun menimbulkan berbagai ketidakadilan. Fakih (2013:12) menyatakan bahwa ketidakadilan atau ketimpangan gender merupakan kondisi di mana terdapat ketidaksetaraan antara perempuan maupun laki-laki, dan membuat salah satunya dirugikan. Makoto Shinkai sebagai pengarang anime Kimi no Na wa memberikan penggambaran beberapa permasalahan sosial terkait gender yang terjadi di masyarakat melalui karyanya. Permasalahan tersebut disesuaikan dengan pendapat Fakih (2013) mengenai bentuk-bentuk permasalahan sosial yang dialami perempuan akibat adanya ketidakadilan gender, seperti yang dijabarkan sebagai berikut.

  • 4.1.1    Subordinasi Gender

Subordinasi gender merupakan keyakinan bahwa satu jenis kelamin lebih diutamakan daripada jenis kelamin lainnya. Hal tersebut terjadi akibat adanya budaya, adat istiadat, atau tafsir agama yang menempatkan posisi perempuan berada dibawah laki-

laki, sehingga ruang gerak perempuan pun lebih terbatas (Fakih, 2013:15). Permasalahan subordinasi gender yang terdapat dalam anime Kimi no Na wa digambarkan Makoto Shinkai melalui kehidupan Mitsuha sebagai miko, seperti yang ditunjukkan pada data berikut.

  • (1) ∑^⅞Λ⅛^÷^!⅛⅛⅛Mtθ4y^yMftK<^⅞0!

(君の名は, 16:57)

Konna jinsei iya ya! Raisei wa Tōkyō no ikemen danshi ni shite kudasai!

(Kimi no Na wa, 16:57)

Terjemahan:

Aku benci hidup ini. Kumohon jadikan aku laki-laki tampan dari Tōkyō di kehidupanku selanjutnya.

Data (1) merupakan ungkapan perasaan Mitsuha yang diucapkannya di hadapan adiknya setelah menyelesaikan prosesi pembuatan kuchikamizake di kuil Miyamizu. Keluhan Mitsuha “Konna jinsei iya ya!” ‘Aku benci hidup ini’ menunjukkan bahwa Mitsuha merasa tidak puas dengan kehidupannya. Ia bahkan memohon kepada Tuhan, “Raisei wa Tōkyō no ikemen danshi ni shite kudasai!” ‘Kumohon jadikan aku laki-laki tampan dari Tōkyō di kehidupanku selanjutnya’. Ungkapannya tersebut turut memperjelas bahwa kehidupan yang dimaksud Mitsuha adalah kehidupannya sebagai perempuan.

Mitsuha terlahir sebagai seorang perempuan di keluarganya. Hal tersebut mengharuskan Mitsuha tinggal menetap di desa Itomori untuk mengabdikan dirinya kepada kuil Miyamizu sebagai miko. Mitsuha juga berkewajiban untuk merawat kuil Miyamizu serta menjalankan tradisi-tradisi di kuil keluarganya tersebut. Hal itulah yang membuat Mitsuha terbatas melakukan kegiatan-kegiatan yang ingin ia lakukan. Jika dikaitkan dengan subordinasi gender yang dialami perempuan, terdapat kesesuaian seperti yang digambarkan Makoto Shinkai melalui kondisi Mitsuha pada data (1). Keterbatasan yang dialami Mitsuha terjadi akibat adanya kepercayaan yang menuntut perempuan di keluarga Miyamizu untuk mengabdikan dirinya sebagai miko. Kepercayaan tersebut sudah menjadi budaya turun temurun yang tidak dapat dirubah lagi oleh siapapun, termasuk Mitsuha sendiri. Kebebasan yang diharapkan Mitsuha mungkin dapat terjadi apabila ia terlahir sebagai laki-laki. Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya pembatasan bagi Mitsuha untuk dapat mengembangkan dirinya termasuk dalam permasalahan

subordinasi gender. Di mana hal tersebut mengarah pada tindakan diskriminatif yang dialami Mitsuha sebagai perempuan, yang harus menjalankan budaya dan tradisi warisan leluhurnya. Hal itulah yang menyebabkan Mitsuha membuat permohonan seperti pada data (1). Karena ia berpikir bahwa akan lebih baik jika dirinya terlahir sebagai laki-laki, agar terhindar dari kewajibannya sebagai seorang miko dan mendapatkan kebebasan layaknya laki-laki.

Makoto Shinkai menggunakan permasalahan sosial tersebut untuk menyiratkan pesan bahwa masyarakat seharusnya memandang suatu budaya secara bijaksana agar dalam penerapannya tidak merugikan satu pihak, khususnya perempuan. Penomorduaan perempuan akibat adanya kepercayaan turun-temurun termasuk dalam tindakan diskriminatif yang seharusnya dihentikan. Makoto Shinkai memiliki pandangan bahwa peningkatan kualitas hidup dan tersedianya kesempatan bagi perempuan untuk dapat mengembangkan dirinya sangat diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan gender di masyarakat.

  • 5.1.2    Stereotipe Gender

Stereotipe gender dapat diartikan sebagai pelabelan atau penandaan oleh masyarakat mengenai sifat, perilaku, peran, dan tanggung jawab yang ideal bagi perempuan dan laki-laki. Pelabelan tersebut cenderung memunculkan penilaian yang negatif apabila tidak berjalan sesuai yang berlaku di masyarakat (Fakih, 2013:16). Permasalahan stereotipe gender yang terdapat dalam anime Kimi no Na wa dimunculkan oleh Makoto Shinkai melalui perbedaan respon orang-orang sekitar terhadap tindakan yang dilakukan Mitsuha dan Taki saat terjadi pertukaran jiwa, seperti yang ditunjukkan pada data-data berikut.

  • (2) ^00tO⅛^00Xo⅛f⅛≡^^^h>lS^to

(君の名は, 25:35)

Kyō no kimi no kata ga ii yo. Jōshi ryoku takain da ne, Taki kun tte.

Terjemahan:

Hari ini sikapmu baik ya. Kefeminimanmu kuat juga, Taki.

(Kimi no Na wa, 25:35)

Data (2) merupakan kutipan respon yang diungkapkan Okudera mengenai sikap Mitsuha. Mitsuha yang saat itu berada di tubuh Taki membantu memperbaiki rok

Okudera yang sobek dengan menjahitnya. Okudera pun memberikan responnya dengan mengatakan “Kyō no kimi no kata ga ii yo. Jōshi ryoku takain da ne, Taki kun tte” ‘Hari ini sikapmu baik ya. Kefeminimanmu kuat juga, Taki’. Okudera menyadari bahwa sosok Taki di hari itu berbeda dari biasanya. Dengan melihat sendiri kemampuan Mitsuha dalam menjahit, Okudera berpikir bahwa Taki ternyata memiliki sisi feminin yang kuat tidak seperti laki-laki pada umumnya. Meskipun begitu, Okudera turut memuji tindakan Mitsuha tersebut.

Sebaliknya, Taki justru mendapatkan respon yang berbeda terhadap tindakan yang dilakukannya kepada Teshi ketika berada di tubuh Mitsuha. Hal tersebut ditunjukkan dari data berikut.

  • (3) 1     : ⅛,^9^o^¾!TrVC÷^W⅛o

WffiMM : M¾^'9<^<⅞ !

1     : M0S^τ^0?^!^!

WffiMM : ⅛^^^⅛6oτi^tΛ^⅛^ !

1     : →?

(君の名は, 01:06:52)

Taki        : A, souka. Tsukaeru! Sugoijan, Teshi.

Teshi      : Omae, anmari kuttsuku na!

Taki       : Nani tere ten no? Hora! Hora!

Teshi      : Cho, yamero tte! Omae wa musume ga!

Taki       : Hee?

Terjemahan:

Taki        : Oh ya, Itu bisa dipakai! Kamu keren, Teshi!

Teshi       : Kamu ini jangan terlalu dekat!

Taki       : Kamu malu ya? Hei! Hei!

Teshi      : Hentikan! Kamu ini anak perempuan!

Taki        : Eh?

(Kimi no Na wa, 01:06:52)

Data (3) merupakan kutipan percakapan antara Taki ketika berada di tubuh Mitsuha dengan Teshi. Pada awalnya, mereka sedang membicarakan rencana penyelamatan warga Itomori dari komet tiamat yang akan jatuh. Ketika mengetahui rencananya hampir berhasil, Taki pun berteriak kegirangan hingga tidak sengaja menyenggol tubuh Teshi. Teshi kemudian memperingatkan Taki dengan mengatakan “Omae, anmari kuttsuku na!” ‘Kamu ini jangan terlalu dekat!’. Taki justru semakin menggoda Teshi sehingga membuatnya marah dan menghindari Taki. Kemarahan Teshi

ditunjukkan dari perkataannya yaitu “Cho, yamero tte! Omae wa musume ga!” ‘Hentikan! Kamu ini anak perempuan!’.

Perbedaan antara data (2) dan data (3) menggambarkan adanya ketidakadilan akibat stereotipe gender dalam masyarakat. Keterampilan menjahit yang ditunjukkan Mitsuha ketika menolong Okudera memperbaiki roknya merupakan keterampilan yang identik dilakukan oleh perempuan (Melkas dan Anker, 2003:5). Ketika memosisikan dirinya sebagai laki-laki, Mitsuha telah melanggar peran gender karena melakukan tindakan yang berlawanan dari stereotipe yang berlaku di masyarakat dengan menunjukkan keterampilan tersebut. Hal itu juga telah diakui sendiri oleh Okudera yang merespon langsung tindakan Mitsuha. Meskipun Mitsuha melanggar stereotipe yang ada, Okudera tetap memuji tindakan Mitsuha tersebut. Sementara itu, Taki memperoleh respon yang bertolak belakang dengan Mitsuha. Perempuan seharusnya menjaga sikapnya dan menunjukkan kesan yang sopan telah menjadi stereotipe yang berlaku di masyarakat. Terlebih lagi, ketika mereka melakukan komunikasi dengan lawan jenisnya. Taki yang saat itu bertindak sebagai perempuan di tubuh Mitsuha menunjukkan respon yang berlebih terhadap kemampuan Teshi, sehingga tidak sengaja membuatnya melakukan kontak fisik dengan Teshi. Hal itulah yang kemudian membuat Teshi marah karena merasa tidak nyaman.

Perbedaan respon lingkungan Mitsuha dan Taki tersebut menunjukkan bahwa adanya ketidaksamaan pandangan masyarakat antara perempuan dan laki-laki. Masyarakat sudah dapat menerima ketika laki-laki melakukan tindakan yang biasanya dilakukan oleh perempuan, sedangkan ketika perempuan melakukan tindakan yang identik dilakukan laki-laki masih dianggap sesuatu yang tabu, aneh, dan belum dapat diterima oleh masyarakat. Hal itu mengakibatkan adanya kecenderungan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan hanya karena tindakan yang dilakukannya dianggap tidak sesuai dengan stereotipe yang berlaku di masyarakat. Makoto Shinkai memiliki pandangan bahwa stereotipe gender merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga tidak seharusnya masyarakat menghakimi orang-orang yang melakukan sesuatu diluar peran gendernya di masyarakat. Karena setiap orang berhak mendapatkan dukungan dan kesempatan yang sama terlepas dari jenis kelaminnya.

  • 5.1.3    Kekerasan Gender

Kekerasan gender atau gender related violence merupakan serangan secara fisik atau mental yang dilakukan satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin lainnya akibat adanya ketidaksetaraan kekuatan dalam masyarakat. Jadi, dapat diartikan bahwa terjadinya kekerasan gender didasari adanya anggapan bahwa laki-laki memiliki kekuatan atau pengaruh yang lebih besar daripada perempuan (Fakih, 2013:17). Permasalahan kekerasan gender yang terdapat dalam anime Kimi no Na wa dapat dilihat dari tindakan yang diterima Okudera ketika melakukan tugasnya sebagai pramusaji, seperti yang ditunjukkan pada data berikut.

(4) ≡O^ 1

: ⅛⅛^4,⅞^λΛ-F!! ^±^^T^o

≡O⅛ 2

: ⅛⅛^.^9b^?

≡OW 1

: ⅛½⅛H<⅞⅜⅛o

M⅜

: ¾.¾^^^-

Taki no dōryō 1

Taki no dōryō 2

Taki no dōryō 1 Okudera

(君の名は, 24:43)

: Okudera san, sono sukaato!! Daijoubu desuka.

: Ooi, doushita?

: Kirareteru mita.

: A, Aitsura…

Terjemahan:

Teman kerja Taki1 : Okudera, rokmu!! Apa itu tidak apa-apa?

Teman kerja Taki2 : Hei, ada apa itu?

Teman kerja Taki1 : Sepertinya ada yang telah sengaja memotongnya.

Okudera        : Ah, mereka…

(Kimi no Na wa, 24:43)

Data (4) merupakan kutipan percakapan antara Okudera dan dua rekan kerjanya ketika menyadari ada yang salah dengan rok milik Okudera. Setelah diperhatikan lagi diketahui bahwa rok Okudera telah dirobek oleh seseorang. Hal itu terlihat dari perkataan salah satu rekan kerja Okudera, yaitu “Kirareteru mita” ‘Sepertinya ada yang telah sengaja memotongnya’. Okudera pun menanggapinya dengan berkata “A, Aitsura…” ‘Ah, mereka…’ Kata aitsura yang dimaksud Okudera merujuk pada sekelompok pengunjung pria yang sempat ia layani sebelumnya. Okudera pun menyadari bahwa pengunjung tersebut yang telah dengan sengaja merobek roknya. Tindakan yang dilakukan sekelompok pengunjung pria tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan gender. Makoto Shinkai menggambarkan adanya kekerasan gender yang marak terjadi di Jepang

melalui kejadian pengerusakan rok yang menimpa Okudera di tempatnya bekerja. Sesuai dengan klasifikasi kekerasan terhadap perempuan oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyerangan mental terhadap perempuan di dunia kerja (Philip, 2015:186). Melalui tindakan kekerasan yang dilakukannya, sekelompok pengunjung pria tersebut telah menyerang mental Okudera sebagai korban. Hal itu dikarenakan tindakan pengerusakan rok yang dialami Okudera sengaja dilakukan di bagian intimnya, dengan maksud mempermalukan Okudera di hadapan banyak orang.

Makoto Shinkai juga menunjukkan bahwa tindakan kekerasan gender terjadi akibat adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Hal itu ditunjukkan melalui sekelompok pengunjung pria yang melakukan tindakan kekerasan gender terhadap Okudera. Tindakan mereka tersebut menunjukkan bahwa di masyarakat, khususnya laki-laki memiliki pandangan bahwa perempuan merupakan mahluk yang lemah. Tindakan sekelompok pengunjung pria tersebut juga menunjukkan bahwa mereka memandang rendah pekerjaan Okudera sebagai pelayan atau pramusaji. Seperti yang ditunjukkan melalui tindakan mereka kepada Okudera dan Mitsuha yang dengan sengaja membuat keduanya berada dalam masalah. Meskipun sekelompok pengunjung pria tersebut menganggu Okudera dan Mitsuha yang saat itu berada di tubuh Taki, terdapat perbedaan perlakuan kepada mereka. Pengerusakan pakaian hanya mereka lakukan kepada Okudera. Hal itu turut menguatkan bahwa sekelompok pengunjung pria tersebut memandang rendah Okudera sebagai seorang perempuan, terlebih karena pekerjaannya sebagai pramusaji. Sementara itu, sebagai seorang laki-laki sekelompok pengunjung tersebut memiliki pemikiran bahwa mereka mendominasi dan lebih kuat dibandingkan perempuan, sehingga mereka merasa berhak melakukan apapun yang mereka inginkan. Hal itulah yang kemudian membuat laki-laki bertindak seenaknya terhadap perempuan hingga mengarah pada tindakan kekerasan gender seperti halnya yang dialami Okudera.

Makoto Shinkai memiliki pandangan bahwa kedudukan perempuan seharusnya lebih dihormati. Masyarakat khususnya laki-laki tidak seharusnya melakukan tindakan diskriminatif yang mengarah pada tindakan kekerasan dan menodai harga diri seorang perempuan. Makoto Shinkai juga menyiratkan pesan bahwa kesetaraan gender dapat terwujud dengan adanya perlakuan setara dan sikap saling meghargai antar jenis kelamin.

  • 5.2 Solusi Permasalahan Sosial terkait Gender

Setelah menggambarkan permasalahan sosial di masyarakat, pandangan dunia pengarang dapat dilihat melalui pemberian solusi terhadap permasalahan sosial yang telah dituangkan pengarang. Pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam karyanya dapat diketahui melalui solusi yang telah diberikan. Begitupun dalam anime Kimi no Na wa, Makoto Shinkai sebagai pengarang berusaha menyiratkan sebuah pesan seperti ditunjukkan dari data berikut.

  • (5) 瀧の父  : 瀧、起きたか?お前今日飯当番だったろう寝坊し

やがって

三葉   : すみません。

瀧の父  : ん?俺は先に出るからな。味噌汁飲んじゃってくれ。

遅刻でも学校はちゃんと行けよ。じゃあな。

(君の名は, 18:28)

Taki no chichi

: Taki, okita ka? Omae kyō meshitōban datta darou? Nebōshi ya gatte..

Mitsuha

Taki no chichi

: Sumimasen.

: N? Ore wa saki ni deru kara na. Miso shiru nonjatte kure. Chikoku demo gakkō wa chanto ike yo. Jaa na.

Terjemahan:

Ayah Taki

: Taki, apa kamu sudah bangun? Hari ini giliranmu memasak kan? Malah bangun kesiangan..

Mitsuha

Ayah Taki

: Maaf.

: Apa? Aku pergi duluan. Habiskan sop misonya. Meskipun telat kamu harus tetap berangkat ke sekolah ya. Sampai jumpa

(Kimi no Na wa, 18:28)

Data (5) merupakan kutipan percakapan antara Mitsuha dan ayah Taki. Mitsuha yang saat itu sedang berada di tubuh Taki terlambat bangun, sehingga ayah Taki yang mengambil alih giliran Taki memasak pada pagi itu. Hal tersebut ditunjukkan melalui perkataan ayah Taki yaitu “Omae kyō meshitōban datta darou?” ‘Hari ini giliranmu memasak kan?’. Adapun kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang sehari-hari dilakukan oleh Taki dan ayahnya. Hal tersebut dibuktikan dari penggunaan istilah meshitōban yang berarti giliran memasak oleh ayah Taki menunjukkan bahwa dirinya dan Taki setiap paginya memasak secara bergantian.

Uraian data tersebut menunjukkan pesan yang ingin disampaikan Makoto Shinkai bahwa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dapat dilakukan oleh siapapun terlepas dari jenis kelamin mereka. Secara umum, kebanyakan perempuan memang bertugas di rumah dan laki-laki mencari nafkah. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, jika yang terjadi bertentangan dengan stereotipe tersebut, tidaklah benar jika masyarakat cenderung menyalahkan mereka, sehingga mereka mendapat perlakuan yang tidak adil di masyarakat. Semua orang dapat melakukan pekerjaan rumah tangga karena itu merupakan kemampuan dasar manusia untuk hidup. Jika dianalogikan berdasarkan pendapat Fakih bahwa gender bersifat relatif karena dapat dipertukarkan (2013:8), maka dapat diketahui bahwa jika seorang laki-laki dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti perempuan, maka perempuan juga dapat bekerja untuk mencari nafkah layaknya laki-laki. Makoto Shinkai ingin memberikan sebuah pemahaman bahwa tidak selamanya laki-laki harus mencari nafkah dan enggan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, perempuan juga memiliki hak yang sama untuk bekerja dan saling bertukar peran dengan laki-laki. Maka dari itu, Makoto Shinkai berusaha memberikan pesan bahwa kesetaraan gender dapat terwujud apabila setiap orang diperlakukan sama dan diberi kepentingan yang sama terlepas dari jenis kelamin mereka. Karena jika kita menginginkan adanya kesetaraan gender, maka harus ada partisipasi dari semua pihak.

  • 5.    Simpulan

Pandangan dunia pengarang dalam anime Kimi no Na wa digambarkan Makoto Shinkai melalui permasalahan sosial yang dialami tokoh-tokoh dalam anime buatannya yang terjadi akibat adanya ketimpangan gender. Permasalahan sosial pertama yaitu subordinasi gender ditunjukkan dari keterbatasan Mitsuha sebagai miko yang mengarah pada tindakan diskriminatif akibat adanya kepercayaan turun-temurun keluarganya. Pengarang ingin menyampaikan bahwa perempuan seharusnya memperoleh hak dalam mengembangkan dirinya layaknya laki-laki. Selanjutnya yaitu permasalahan sosial stereotipe gender terlihat dari kecenderungan penilaian negatif yang diterima Taki di tubuh Mitsuha ketika melakukan sikap yang bertentangan dengan yang biasanya dilakukan perempuan. Pengarang ingin memberikan pemahaman bahwa stereotipe di masyarakat bersifat subjektif. Terakhir yaitu permasalahan kekerasan gender ditunjukkan dari tindakan perusakan rok milik Okudera yang terjadi akibat adanya anggapan bahwa

Okudera sebagai seorang perempuan memiliki kedudukan yang rendah dibandingkan laki-laki. Pengarang ingin menyampaikan pentingnya menghormati kedudukan perempuan di masyarakat. Makoto Shinkai turut menuangkan pemahamannya bahwa gender merupakan sesuatu yang dapat saling dipertukarkan. Makoto Shinkai juga berusaha menyiratkan pesan bahwa setiap orang seharusnya diperlakukan sama dan diberi kepentingan yang sama terlepas dari jenis kelamin mereka. Oleh karena itu, partisipasi dari semua pihak sangat diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat.

  • 6.    Daftar Pustaka

Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fathurrahman, A.R. 2017. “Pandangan Dunia Pengarang dalam novel Kepanggang Wirang” (skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang

Goldmann, Lucien. 1980. Essays on Method in The Sociology of Literature. Amerika Serikat: Telos Press

Melkas, Helina dan Anker, Richard. 2003. Towards Gender Equity in Japanese and Noric Labour Markets: A Tale of Two Paths. Switzerland: International Labour Office

Noviana, F. & Wulandari, R. 2017. “Maskulinitas dan Feminitas dalam Anime Kimi no Na wa: Kajian Respon Pemirsa”. Jurnal Kiryoku, 1(4), hlm. 10-19

Philip, Hsiao. 2015. “Power Harassment: The Tort of Workplace Bullying in Japan”. Pacific Basin Law Journal, 32(2), hlm. 181-201

Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Santrock, John W. 2017. Educational Psychology: Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill Education

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Utama Press

United Nations Development Programme. 2015. Human Development Report 2015. New York: United Nations Development Programme

227