Representasi Fashion Era Taisho-Showa pada Film Animasi Kaze Tachinu Karya Hayao Miyazaki
on
SAKURA VOL. 3. No. 1 Februari 2021
DOI: https://doi.org/10.24843/JS.2021.v03.i01.p05
P-ISSN: 2623-1328
E-ISSN:2623-0151
Representasi Fashion Era Taisho-Showa pada Film Animasi Kaze Tachinu Karya Hayao Miyazaki
Ni Luh Megawati1*, I Made Sendra2, Ni Luh Putu Ari Sulatri3
[1,3] PS Sastra Jepang, FIB, [2] PS Industri Perjalanan Wisata, Universitas Udayana Denpasar-Bali
1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]
Abstrak
Penelitian ini berjudul “Representasi Fashion Era Taisho-Showa dalam Film Animasi Kaze Tachinu Karya Hayao Miyazaki”. Pada era Taisho-Showa ditemukan peralihan gaya fashion dari wasou menuju yosou. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna fashion yang terdapat pada zaman Taisho hingga Showa yang digambarkan pada film. Pada tahap pengumpulan data digunakan metode studi pustaka dan metode simak. Pada tahap analisis data digunakan metode deskriptif analisis dan pada penyajian hasil analisis data digunakan metode informal. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori antropologi sastra oleh Poyatos, teori bentuk fashion oleh Pendergast dan Tom, teori fungsi fashion oleh Barnard, dan teori semiotika oleh Barthes. Hasil analisis diketahui bentuk fashion yang merepresentasikan era Taisho-Showa dibagi menjadi dua aliran yaitu wasou yang terdiri dari hakama, haori, kimono, kemeja mandarin, obi, shimada, sirkam, geta, tabi, dan zori lalu aliran yosou terdiri dari setelan jas laki-laki, stoking, trench coat, topi pria, rambut pendek dan klimis pada pria, rambut pendek pada wanita, rambut bergelombang pada wanita, tas genggam, sepatu kulit paten serta sepatu bot tinggi. Kemudian fungsi fashion yang ditemukan pada penelitian ini, yaitu 1) fungsi perlindungan; 2) fungsi kesopanan dan penyembunyian; 3) fungsi komunikasi; 4) fungsi ekspresi individualistik; 5) fungsi nilai sosial dan status; 6) fungsi nilai ekonomi dan status; 7) fungsi kondisi magis-religius; dan 8) fungsi rekreasi. Lalu pada makna fashion pada era Taisho-Showa secara denotasi mengacu kepada bentuk dan desain fashion sedangkan makna konotasi pada fashion terbentuk atas pengaruh dari nilai sosial dan budaya pada masyarakat Jepang.
Kata Kunci : Representasi; Fashion; Wasou; Yosou
Abstract
This research is entitled “Fashion Representation of Taisho-Showa Era in Kaze Tachinu Animation Film by Hayao Miyazaki”. Fashion style transition from wasou to yosou was found in Taisho-Showa Era. This research aims to discover the form, function, and meaning of fashion in the Taisho-Showa era which are depicted in the film. This research used literature study method and the referral method for the data accumulation, descriptive analysis method for data analysis and for analysis results presented with informal method. For the theory, this research used literary anthropology theory by Poyatos, fashion form theory by Pendergast and Tom, fashion function theory by Barnard, and semiotics theory by Barthes. Based on the analysis results, can be seen that fashion’s form that represent in Taisho-Showa era are divided into two category, first is wasou which consists of hakama, haori, kimono, mandarin shirt, obi, shimada, comb, geta, tabi, and zori, and the second one is yosou that consists of men’s suit, stockings, trench coat, men’s hats, short hair for woman, waved hair for woman, clutch purse, patent leather shoes, and high heeled boots. For the fashion’s function that found in this research are 1) protection function; 2) politeness and concealment function; 3) communication function; 4) individualistic expression; 5) social worth or status; 6) economic worth or status; 7) magical-
religious condition; and 8) recreational functions. And for the fashion’s meaning in the Taisho-Showa era, in denotation is refers to the form and design of fashion, while the connotation of fashion is formed by the influence of social and cultural values in Japanese society.
Keyword : Representation; Fashion; Wasou; Yosou
Fashion sangat melekat dengan kehidupan masyarakat di seluruh dunia karena manusia tidak lepas dari cara berpakaian maupun aksesoris yang menunjang penampilannya sesuai dengan selera fashion masing-masing. Fashion tidak hanya berupa pakaian atau aksesoris berdasarkan mereknya, namun fashion merupakan pakaian dan aksesoris yang menunjang penampilan dan juga dapat tidak bergantung pada suatu merek. Gaya rambut atau model potongan rambut juga merupakan salah satu wujud bentuk fashion yang memengaruhi serta menunjang penampilan seseorang. Saat ini terdapat negara-negara yang menjadi pelopor fashion seperti Perancis, Inggris, Amerika, Italia, dan Jepang yang mengembangkan pengaruhnya ke negara lainnya (Kawamura, 2019).
Fashion asal Jepang disebut dengan wasou. Seiring waktu wasou mulai jarang dikenakan oleh masyarakat sejak kemunculan yosou ‘fashion aliran barat’. Puncak peralihan fashion di Jepang terjadi pada zaman Taisho hingga Showa yang berupa pengenaan yosou sebagai pakaian sehari-hari tetapi belum secara merata di seluruh lapisan masyarakat Jepang, melainkan hanya orang-orang tertentu seperti bangsawan dan orang-orang yang melakukan hubungan dengan luar negeri contohnya insinyur. Yosou yang mulai populer di Jepang pada era Taisho adalah budaya mobo moga atau modern boy modern girl. Budaya ini tergambarkan dalam pemakaian gaun oleh wanita-wanita muda serta setelan jas oleh pria (Tetsuo, 1977:128-129).
Kaze Tachinu merupakan film animasi yang memiliki latar waktu pada era Taisho hingga Showa. Pada era tersebut terjadi perubahan besar dalam dunia fashion di Jepang. Film ini menggambarkan ulang fashion tidak dari segi merek atau brand melainkan dari jenis pakaian, aksesoris, serta gaya rambut yang dikenakan sehingga menginformasikan kepada masyarakat bahwa fashion tidak hanya didominasi pada barang-barang bermerek tetapi juga bisa hanya pada bentuk pakaian dan aksesoris serta cara mengenakannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
-
a) Bagaimanakah bentuk fashion yang terdapat dalam film animasi Kaze Tachinu karya Hayao Miyazaki?
-
b) Bagaimanakah fungsi fashion dalam film animasi Kaze Tachinu karya Hayao Miyazaki?
-
c) Bagaimanakah makna fashion yang terdapat dalam film animasi Kaze Tachinu karya Hayao Miyazaki?
Penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan pembaca bahwa fashion bukan hanya sebagai penutup tubuh namun memiliki fungsi lainnya. Fashion juga dapat dianalisis dalam penelitian sastra melalui kajian antropologi sastra. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi bentuk, fungsi, dan makna fashion era Taisho-Showa yang tergambar pada film Kaze Tachinu karya Hayao Miyazaki.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka dan metode simak. Metode deskriptif analisis kemudian digunakan pada tahap analisis data dan metode informal yang digunakan pada tahap analisis data. Teori yang digunakan yaitu pertama, teori antropologi sastra oleh Poyatos (1988) untuk menganalisis fashion atau pakaian sebagai salah satu unsur kebudayaan. Kedua, teori bentuk fashion oleh Pendergast dan Tom (2004) untuk mengategorikan fashion yang tergambar pada data. Ketiga, teori fungsi fashion oleh Barnard (1996) untuk menganalisis fungsi dari bentuk fashion yang ada. Terakhir, teori semiotika oleh Barthes (1964) untuk menganalisis makna denotasi dan makna konotasi yang terkandung pada bentuk fashion yang terdapat pada data.
Bagian ini menguraikan hasil analisis meliputi bentuk, jenis, dan makna fashion yang terdapat pada film animasi Kaze Tachinu berdasarkan aliran fashion wasou dan yosou.
-
3.1 Wasou
Wasou merupakan pakaian dengan gaya Jepang atau yang sering disebut juga sebagai pakaian asli orang Jepang. Pada zaman Taisho, wasou masih dikenakan di setiap aktivitas masyarakat Jepang, namun ketika zaman Meiji pengenaan wasou pun mulai berkurang dan beralih menjadi yosou. Wasou kemudian dibagi menjadi empat kategori berdasarkan teori Pendergast dan Tom (2004:214-215).
Sejak dulu Jepang mendapat banyak pengaruh dari Cina termasuk untuk desain pakaian. Jepang meminjam berbagai aturan fashion yang digunakan di Cina termasuk pakaian untuk kaisar, urusan keagamaan, serta pakaian tradisional. Meski begitu, Jepang mulai menciptakan fashion untuk membuat versinya sendiri (Pendergast dan Tom, 2004:214). Hakama merupakan perwakilan pakaian yang terdapat dalam film animasi Kaze Tachinu:
Hakama merupakan pakaian bagian bawah menyerupai rok panjang yang terbelah. Hakama termasuk jenis pakaian bagian bawah yang sama seperti celana panjang dengan rongga yang lebar dari celana pada umumnya disertai dengan tali di bagian pinggang yang berfungsi sebagai sabuk. Pengenaan pakaian ini pada zaman dahulu oleh para samurai bertujuan untuk melindungi kaki mereka ketika menunggangi kuda. Seiring berjalannya waktu masyarakat tetap mengenakan pakaian ini sebagai bagian dari identitas meski samurai yang menunggangi kuda sudah jauh berkurang (Pendergast dan Tom, 2004:219).
Gambar 1. Kiri: Tokoh Jiro kecil memakai hakama dalam kesehariannya (menit 8:15 detik) dan gambar 2.
Kanan: Para Siswa menggunakan hakama dengan warna yang berbeda (menit 05:36 detik)
Dalam penelitian ini, terdapat pengenaan hakama oleh tokoh utama yaitu Jiro dan teman-teman sekolah sebayanya dengan warna yang berbeda. Pengenaan hakama tidak hanya di sekolah tetapi juga untuk kegiatan sehari-hari kecuali saat tidur. Jiro
mengenakan hakama yang tidak memiliki fungsi sama seperti pada zaman samurai karena ia bukanlah seorang samurai melainkan seorang siswa. Gambar 1 memperlihatkan tokoh Jiro yang mengenakan hakama sebagai bentuk dari kesepakatan sosial yang tidak tertulis dan sebagai bentuk identitas negara serta meneruskan budaya yang terdapat pada zaman-zaman sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa pengenaan hakama termasuk ke dalam fungsi fashion sebagai komunikasi karena terdapat ikatan yang menunjukkan seseorang telah menjadi bagian dari masyarakat meskipun tanpa melalui kata-kata.
Terdapat makna denotasi dan makna konotasi dalam pemakaian hakama. Makna denotasi hakama merupakan celana dengan rongga lebar menyerupai rok yang terbelah sedangkan makna konotasinya menunjukkan bahwa pemakai hakama khususnya tokoh Jiro memiliki sifat jujur, baik, tenang serta memiliki intuisi yang kuat. Hal itu dikarenakan hakama merupakan pakaian yang memiliki total tujuh lipatan yang dikaitkan dengan unsur-unsur pada bushido ‘jalan hidup samurai’. Tokoh Jiro tidak hidup di zaman samurai, namun tokoh Jiro digambarkan meneruskan bushido yang juga merupakan identitas negara Jepang secara turun menurun.
Tujuh unsur bushido yang terkandung berupa yuki ‘keberanian’, jin ‘kemanusiaan’, gi ‘keadilan’, rei ‘etika’, makoto ‘kejujuran’, chugi ‘loyalitas’, dan terakhir meiyo ‘kehormatan’ (Pendergast dan Tom, 2004:219). Pada tokoh Jiro, unsur bushido yang tergambar pada gambar 2 yaitu keberanian, kemanusiaan, serta keadilan. Terlihat pada gambar 2, unsur keberanian tergambar karena tokoh Jiro berani melawan teman-temannya yang sedang merundung anak kecil yang berusia lebih muda dari mereka. Kemanusiaan tergambar karena intuisinya tokoh Jiro yang kuat untuk menghentikan perundungan terhadap anak lain secara menjunjung keadilan yang berhak untuk hidup bebas tanpa dirundung. Hal ini didukung juga dengann warna hakama yang dipakai oleh tokoh Jiro yaitu biru tua. Warna biru tua menyimbolkan sifat intuisi yang kuat, kebaikan serta tenang (Samuel dkk, 2012:138-144). Tokoh Jiro dengan tenang memghadapi teman-teman yang merundung untuk membela anak kecil. Sedangkan teman-teman Jiro digambarkan memakai warna hakama berbeda seperti abu-abu gelap, abu-abu muda dan coklat muda. Penggambarkan abu-abu menyimbolkan tindakan yang kurang baik seperti provokasi atau merundung, dan coklat menyimbolkan
warna yang tradisional tetapi juga meniru yang dalam hal ini mengikuti tindakan rundung yang dilakukan.
Penutup kepala pada laki-laki berfokus pada penampilan wajah seperti kumis, jenggot serta gaya rambut yang berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Hal yang berbeda terdapat pada penutup kepala wanita. Umumnya hiasan tradisional kepala serta rambut wanita Jepang tidak jauh berbeda dengan para wanita di negara Cina. Mereka menggunakan rambut hitam yang indah serta beberapa variasi ikat atau sanggul dari sederhana sampai rumit sebagai daya tarik utama (Pendergast dan Tom, 2004:236). Shimada merupakan salah satu penutup kepala yang terdapat pada film animasi Kaze Tachinu.
Shimada merupakan jenis gaya rambut formal di Jepang. Umumnya wanita yang memakai gaya rambut ini memiliki rambut berwarna hitam pekat sebagai ciri khas utama. Rambut ditata dengan cara menggulung rambut dan kemudian dijadikan seperti sanggul. Rambut panjang yang diambil sedikit bagiannya dijadikan jambul pada bagian atas kepala serta sisanya dijadikan bentuk sanggul di bagian belakang kepala. Sebagai pelengkapnya digunakan pula jepit, sirkam, dan bentuk benda lainnya yang dapat mengencangkan dan memperindah rambut ketika diikat (Pendergast dan Tom, 2004:236).
Gambar 3. Tokoh ibu Jiro memilih shimada sebagai gaya rambut sehari-hari (menit 12:34 detik)
Pada penelitian ini, tokoh yang memiliki gaya rambut shimada adalah tokoh Ibu Jiro. Terlihat tokoh ibu Jiro menyanggul rambutnya serta terdapat jambul di bagian atas kepalanya dilengkapi dengan sirkam yakni hiasan kepala seperti sisir berwarna merah untuk memperindah sanggul rambut. Tokoh ibu Jiro dalam gambar 3 tetap menerapkan gaya rambut ini meski tidak sedang dalam acara formal. Hal tersebut menandakan
bahwa tokoh ibu Jiro merupakan orang yang menjaga penampilan dan agar tetap terlihat sebagai orang terpandang.
Fungsi fashion yang terdapat dalam shimada ialah fungsi kesopanan serta penyembunyian dan fungsi ekonomi atau status. Fungsi kesopanan tergambar jelas melalui gaya rambut shimada merupakan gaya rambut formal dan tokoh ibu Jiro menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Gaya rambut shimada pada tokoh ibu Jiro merupakan bentuk dari menjaga penampilan agar tetap sopan dan terpandang. Kemudian, berdasarkan data tidak ditemukan nilai penyembunyian pada fashion ini karena tidak ada hal yang disembunyikan pada gaya rambut shimada oleh tokoh ibu Jiro.
Makna denotasi yang terdapat dalam gaya rambut shimada adalah gaya rambut formal yang berupa rambut panjang yang di gulung kemudian di sanggul. Makna lain yang tersembunyi atau makna konotasi dari gaya rambut shimada ialah menonjolkan rambut hitam alami yang indah dan merupakan identitas rambut wanita Asia pada umumnya. Selain itu, shimada tidak hanya menunjukkan keformalan pada gaya rambut tetapi juga strata sosial. Hal itu dikarenakan wanita Jepang yang memiliki status sosial maupun ekonomi yang cukup tinggi harus menjaga penampilan termasuk gaya rambutnya agar menjaga kesan baik pada diri serta keluarganya. Unsur kemewahan juga tergambar dari penataan rambut shimada ini karena tentu memerlukan waktu dan alat yang khusus untuk membentuk gaya rambut shimada (Pendergast dan Tom, 236-237).
Negara-negara di Asia salah satunya Jepang memiliki beberapa budaya yang menarik dalam dekorasi tubuh. Budaya Jepang sangat menghargai nilai kesederhanaan pada kehidupan sehari-hari namun ketika sedang berpentas maka dekorasi tubuh yang mereka pakai terlihat sungguh mencolok dan dramatis. Pada wasou yang digunakan untuk keseharian, orang Jepang tidak menggunakan banyak perhiasan dan hanya riasan wajah yang sederhana. Berbanding terbalik dengan ketika pentas, aksesoris yang dipakai cukup banyak dan riasan wajah pun dibuat dengan warna-warna yang mencolok (Pendergast dan Tom, 2004:239-240).
Hingga sekitar tahun 1960, sedikit dari wanita Jepang yang menggunakan riasan mencolok pada wajah mereka, terkecuali memiliki pekerjaan dalam dunia hiburan
contohnya menjadi pemeran dalam teater kabuki dan sejenisnya. Meski begitu, wanita Jepang tetap mempercantik penampilan mereka dengan memfokuskan pada rambut hitam mereka yang ditata dengan aksesoris. Wanita Jepang umumnya cenderung memilih riasan wajah yang sederhana dan menonjolkan warna kulit mereka yang cenderung putih pucat, merapikan dan membentuk alis mereka (Pendergast dan Tom, 2004:239-240).
Gambar 4. Kiri: Pelayan di sebuah tempat makan memakai riasan wajah (menit 25:51 detik) dan gambar 5. Kanan: Tokoh ibu Jiro dengan riasan wajah polosnya (menit 05:58 detik)
Wanita Jepang digambarkan hanya menggunakan riasan polos seperti bedak untuk wajah dan menggambar alis secara natural seperti yang terlihat pada tokoh ibu Jiro dalam gambar 5. Tokoh ibu Jiro memilih riasan wajah yang polos namun lebih cenderung menata rambut dengan mencolok untuk memperindah penampilannya. Tetapi terdapat beberapa wanita Jepang yang ditampilkan dengan riasan mencolok seperti menggunakan lipstik berwarna terang seperti pada gambar 4. Gambar 4 menunjukkan seorang pelayan dengan kimono berwarna merah delima memakai lipstik pada bibirnya.
Fungsi fashion yang tergambar pada riasan wajah dalam data ialah fungsi komunikasi, fungsi ekspresi individualistik serta fungsi nilai ekonomi dan status. Pertama, fungsi komunikasi tergambar karena kewajiban akan suatu hal membuat wanita mengharuskan dirinya dirias. Pada gambar 4, sebagai seorang pelayan wanita harus terlihat menarik agar konsumen menaruh minat pada tempat makan tersebut sehingga wanita pelayan merias wajahnya lebih mencolok dengan menggunakan warna lipstik yang terang. Hal yang berbeda terjadi apabila tidak adanya kewajiban yang menuntut wanita untuk berias seperti terlihat pada gambar 5, tokoh ibu Jiro hanya beraktivitas di rumah sehingga ia tidak harus merias wajahnya.
Makna denotasi pada lipstik adalah salah satu riasan wajah yang mewarnai bagian bibir dan umumnya dipakai oleh wanita. Lipstik digunakan mengikuti bentuk
bibir dengan warna merah atau merah muda tergantung dari kehendak pemakai. Makna konotasi yang terkandung adalah menonjolkan bentuk bibir pemakai. Terdapat variasi bentuk bibir yang berbeda, yaitu oval, cenderung bulat, tebal, dan kecil. Dengan bantuan dari lipstik, seseorang dapat mengatur tampilan sesuai yang diinginkan. Pada gambar 4, terlihat seorang pelayan memiliki bentuk bibir yang cenderung bulat dan tebal sehingga ketika ia memakai lipstik berwarna merah terang, wajahnya akan terlihat mencolok meski tidak memakai riasan wajah lain. Hal tersebut juga dapat menjadi daya tarik bagi orang lain sehingga menarik orang untuk datang ke tokonya (Pendergast dan Tom, 2004:708-709).
Alas kaki di Jepang terdiri dari berbagai macam sesuai dengan bentuk dan lokasi pemakaiannya. Jepang dikenal juga mengadopsi budaya Cina dalam pemakaian alas kaki dengan tidak menggunakan sepatu apapun di dalam ruangan. Orang Jepang menggunakan tabi atau kaos kaki yang dirancang dengan bentuk seperti sepatu dan dapat dikenakan di dalam ruangan. Ketika di luar ruangan, alas kaki yang digunakan adalah geta (Pendergast dan Tom, 2004:248).
Geta merupakan alas kaki atau sandal tradisional Jepang berupa bakiak dengan hak tinggi yang biasanya dipakai bersamaan dengan kimono. Sandal ini terbuat dari bahan kayu dan memiliki sol yang berat. Hak tinggi pada bagian bawah geta memiliki tujuan untuk melindungi kimono agar tidak menyentuh tanah. Tinggi dua hak yang menopang sol pada geta tergantung dari cuaca dan waktu penggunaan geta tersebut. Selain itu, sandal ini juga memiliki ciri khas lain yaitu tali sandal berbentuk v yang terbuat dari kain yang empuk. (Pendergast dan Tom, 2004:250-251).
Gambar 6. Tokoh Jiro kecil memakai geta ketika berada di luar ruangan (menit 4:32 detik)
Gambar 6 menunjukkan tokoh Jiro yang sedang berangkat ke sekolah menggunakan alas kaki berupa geta. Geta tersebut hanya dikenakan oleh tokoh Jiro ketika melakukan aktivitas di luar ruangan. Selain Jiro sekilas terlihat anak-anak sekolah lainnya juga memakai geta ketika berjalan di luar ruangan atau rumah. Tali sandal geta tokoh Jiro berwarna putih tulang dan warna tali sandal tersebut juga digunakan oleh anak sekolah laki-laki lainnya.
Terdapat dua fungsi fashion yang terdapat dalam pemakaian geta pada penelitian ini, yaitu fungsi fashion sebagai perlindungan dan fungsi komunikasi. Fungsi perlindungan terlihat dari adanya dua hak pada geta yang dapat menopang sandal sehingga menjadi lebih tinggi. Hal tersebut berfungsi untuk melindungi kaki ketika berjalan pada jalan dengan permukaan yang tidak rata sehingga dapat mengurangi terjadinya cedera. Lalu fungsi komunikasi tergambar pada bentuk komunikasi tidak langsung antara seluruh siswa sekolah untuk memakai geta sebagai alas kaki dan memakainya secara serentak hanya di luar ruangan karena ketika memasuki ruangan atau rumah mereka akan mengganti alas kaki dengan sandal yang lain.
Geta memiliki makna denotasi berupa alas kaki tradisional asal Jepang dengan dua hak di bawah kaki yang menopang sol sandal. Kemudian makna konotasi pada geta berupa tradisional, sandal khas wasou, dan wilayah tidak bersalju. Masyarakat Jepang umumnya memakai geta sebagai salah satu alas kaki yang sangat identik dengan wasou. Selain itu, pemakaian geta yang ditunjukkan pada gambar 6 menunjukkan bahwa musim saat itu bukanlah musim dingin atau sedang bersalju karena geta tidak digunakan pada saat bersalju akibat mempersulit langkah kaki (Pendergast dan Tom, 2004:24).
-
3.5 Yosou
Dua dekade awal dari abad ke-20 telah memberikan perubahan drastis pada kehidupan masyarakat Barat salah satunya fashion. Pada saat itu, beberapa negara seperti Inggris, Jerman, Perancis, dan juga Amerika Serikat merupakan negara yang dapat memengaruhi fashion, sehingga menjadi penentu fashion yang akan terkenal dan menyebar ke negara-negara lainnya. Terdapat pula faktor lain, yaitu adanya pengaruh perubahan sosial seperti emansipasi wanita yang menyebabkan bertambahnya variasi fashion (Pendergast dan Tom, 2004:659-662).
Pakaian barat identik dengan pakaian siap pakai sehingga lebih praktis serta tidak memakan waktu yang lama dalam pengenaannya. Kepraktisan dan kepopuleran yosou perlahan menggeser pemakaian wasou di Jepang sejak zaman Meiji (tahun 1867 hingga 1912) seiring berjalannya waktu. Perempuan dari keluarga yang mapan akan menunjukkan kekayaannya dengan mengenakan pakaian mewah. (Pendergast dan Tom, 2004:663-666). Stoking merupakan salah satu jenis pakaian barat.
Stoking merupakan alas kaki khusus wanita yang sejenis dengan kaus kaki namun lebih panjang mulai dari telapak kaki hingga ada yang sampai pinggul. Alas kaki ini terbuat dari bahan katun atau wol yang tebal. Umumnya, stoking digunakan ketika wanita menggunakan pakaian sejenis terusan atau rok. Stoking memiliki berbagai warna namun warna yang umumnya ditemukan yaitu putih, hitam dan coklat (mendekati warna kulit). Stoking menjadi salah satu fashion yang digemari kaum muda pada tahun 1920 karena untuk menunjukkan kaki mereka yang tampak indah ketika memakai stoking (Pendergast dan Tom, 2004:803-804).
Gambar 7. Kiri: Tokoh Nahoko remaja menggunakan stoking ketika di luar rumah (menit 21:13 detik) dan gambar 8. Kanan: tokoh Nahoko dewasa pun selalu memakai stoking (menit 99:44 detik)
Tokoh digambarkan selalu memakai stoking ketika beraktivitas di luar ruangan. Dapat dilihat sejak remaja, ketika tokoh Nahoko remaja bepergian jauh dengan kereta, ia melengkapi alas kakinya dengan memakai stoking seperti yang terlihat pada gambar 7. Hal yang serupa juga terjadi ketika tokoh Nahoko dewasa, ketika beraktivitas di luar ruangan, terlihat stoking digunakan melengkapi alas kakinya. Stoking tetap digunakan oleh tokoh Nahoko apapun musimnya seperti pada gambar 8.
Fungsi fashion yang tergambar dari penggunaan stoking ialah fungsi kesopanan dan penyembunyian serta fungsi perlindungan. Fungsi perlindungan dan penyembunyian tergambar karena stoking berfungsi untuk menutupi bagian terbuka dari kaki akibat pemakaian terusan yang tidak terlalu panjang. Bagian kulit yang terbuka
disembunyikan untuk menghindari ketidaksopanan maupun pandangan buruk dari orang lain terkhusus lawan jenis. Lalu fungsi perlindungan dikarenakan stoking dapat memberikan rasa hangat ketika digunakan pada musim dingin dan ketika digunakan pada musim panas, dapat melindungi dari gigitan serangga serta paparan sinar matahari.
Makna denotasi yang terdapat pada stoking berupa alas kaki berbentuk seperti kaus kaki namun memiliki panjang yang berkisar dari telapak kaki hingga ada yang sampai inggul. Stoking memiliki tiga variasi warna yang umum yaitu putih, hitam, dan coklat yang menyerupai warna kulit manusia. Selain makna denotasi, makna konotasi dari stoking berupa perbedaan kesan tergantung warnanya. Stoking dengan warna putih menunjukkan kepolosan, umumnya dipadukan dengan pakaian warna putih atau warna cerah lainnya. Warna coklat kulit umumnya digunakan agar orang terlihat seperti tidak memakai stoking sedangkan warna hitam umum dengan varian pakaian yang lebih luas warnanya baik terang maupun gelap (Samuel dkk, 2012:142-146).
Berbeda dengan penutup kepala pada wasou yang didominasi dengan hiasan untuk melengkapi atau memperindah sanggul rambut, penutup kepala pada yosou didominasi dengan topi yang terdiri dari berbagai jenis serta potongan rambut yang lebih bervariasi. Munculnya berbagai model yang muncul pada film atau periklanan seperti rambut yang ditata baik, aksesoris di bagian kepala baik untuk melindungi dari sesuatu atau hanya untuk memperindah, serta wajah bersih tanpa jenggot dan kumis menjadi standar pada berbagai kaum baik wanita maupun pria dalam masyarakat untuk menunjukkan bahwa mereka mengikuti perkembangan fashion (Pendergast dan Tom, 2004:695-696).
Topi fedora merupakan salah satu topi yang paling populer digunakan oleh pria berkisar tahun 1890 hingga sekitar tahun 1960. Topi fedora memiliki ciri, yaitu berupa topi seperti mahkota yang melingkar dengan cekungan di bagian atas tengah yang mengarah ke dalam serta pinggiran topi yang melebar seperti topi koboi. Topi fedora dianggap sangat modis serta dipakai oleh hampir seluruh kalangan pria karena topi memiliki kemampuan untuk menunjukkan kepribadian dari pemakainya. Contoh ketika topi fedora dipakai oleh gangster, maka topi akan digunakan lebih dalam hingga
menutupi alis dan membuat kesan yang lebih misterius dan seram. Topi ini pun mengalami perkembangan seiring waktu sehingga membuat topi ini tetap modis digunakan menyesuaikan dengan fashion yang sedang berkembang (Pendergast dan Tom, 2004:758-759).
Gambar 9. Tokoh Jiro serta koleganya memakai topi fedora ketika di luar ruangan (menit 38:06 detik)
Topi fedora kerap kali dipakai oleh orang-orang sebagai wujud modis karena pengaruh dari masyarakat luas. Pria yang memakai topi fedora dapat dikatakan sebagai pria dengan fashion yang modis karena mengikuti perkembangan pada masyarakat. Hal tersebut tergambar pada gambar 9 yang menunjukkan tokoh Jiro serta kolega dari tempat kerjanya memakai topi fedora masing-masing ketika berada di luar ruangan. Topi tokoh Jiro maupun koleganya memiliki variasi lebih lancip pada bagian depan dibanding topi fedora pada umumnya dengan warna pita yang mengelilingi topi.
Fungsi fashion yang tergambar dalam penggunaan topi fedora ialah fungsi perlindungan serta fungsi nilai ekonomi dan status. Pertama, fungsi perlindungan merupakan fungsi dasar yang terdapat pada hampir semua topi karena topi memiliki fungsi untuk melindungi kepala dari pancaran langsung sinar matahari serta rintik air ketika sedang hujan (kepala tidak langsung tersiram air). Kedua, fungsi nilai ekonomi dan status tergambar karena topi fedora termasuk ke dalam yosou dan bukan termasuk fashion yang umum digunakan oleh masyarakat Jepang pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 terkecuali bagi mereka yang memiliki ekonomi menengah ke atas atau memiliki posisi penting pada tatanan masyarakat. Terlihat pada gambar 9 bahwa semua pengguna topi fedora merupakan seorang insinyur aeronautika sehingga dapat dipastikan bahwa orang-orang tersebut memiliki tingkat ekonomi setidaknya ekonomi menengah hingga kelas ekonomi tinggi.
Makna denotasi dari topi fedora ialah topi berbentuk seperti mahota dengan pinggiran yang melingkar dan bagian atas yang mencekung ke arah dalam. Topi ini
identik dengan topi koboi. Makna yang terpendam pada topi ini ialah kesan modis, formal dan kelas atas. Kesan modis muncul karena topi ini terkenal pada tahun 1890 hingga 1960. Pria dengan perekonomian menengah keatas akan memakai topi ini setiap bepergian, khususnya ketika bekerja. Hal itu juga yang menyebabkan topi ini memiliki kesan kelas atas apabila dilihat dari masyarakat luas. Topi ini termasuk ke dalam topi dengan tingkat formal meski tidak setinggi kesan formal pada topi derbi. Selain itu, warna dari topi fedora yang digunakan mengikuti atau senada dengan warna pakaian yang digunakan seperti yang terlihat pada gambar 9. Topi tersebut juga memperkuat karakter dari masing-masing tokoh yang diperlihatkan pada warna setelan jas seperti yang telah dijelaskan pada makna konotasi sack suit (Pendergast dan Tom, 2004:758759).
Dekorasi tubuh pada yosou didominasi oleh aksesoris seperti tas genggam atau dompet sebagai pelengkap pakaian yang dikenakan. Baik pola, warna maupun desain aksesoris yang digunakan akan berkaitan dengan pakaiannya untuk memberikan kesan menarik bagi orang lain yang melihatnya. Rias wajah yang termasuk ke dalam dekorasi tubuh juga tergolong elemen penting pada yosou. Hal ini dikarenakan rias wajah juga mendukung penampilan fashion seseorang di mata masyarakat. Salah satu jenis dekorasi tubuh yang ditemukan dalam penelitian ini adalah tas genggam (Pendergast dan Tom, 2004:705-707).
Tas genggam merupakan salah satu jenis tas yang umumnya hanya dipakai oleh kaum wanita. Tas genggam ini menjadi standar digunakan pada kegiatan bisnis atau pada kegiatan sehari-hari. Tas ini berukuran kecil dan terbuat dari bahan kulit yang halus atau kain yang kaku dan biasanya dilengkapi pengait yang terbuat dari logam. Tas ini berbentuk persegi panjang dan umumnya berwarna dasar yang polos, seperti hitam atau cokelat. Selain itu terdapat juga warna yang sesuai dengan gaun wanita yang memakainya. Seiring perkembangan zaman, tas ini berubah ukuran menjadi lebih besar mengikuti kebutuhan barang keperluan para wanita yang semakin banyak (Pendergast dan Tom, 2004:827-828).
Gambar 10. Kanan: Salah satu warga demo membawa tas genggam mewah berwarna emas (menit 31:55 detik)
Penggunaan tas genggam dalam penelitian ini terlihat pada gambar 10 terdapat tokoh wanita yang mengenakan kimono ungu bermotif bunga membawa tas genggam yang elegan berwarna emas. Keduanya digunakan untuk membawa barang-barang berukuran kecil yang diperlukan oleh masing-masing tokoh. Selain itu tas genggam digunakan untuk melengkapi fashion mereka dan menambah kesan modis serta elegan.
Fungsi fashion yang terdapat pada penggunaan tas genggam pada penelitian ini, yaitu fungsi ekspresi individualistik dan fungsi nilai ekonomi atau status. Fungsi fashion sebagai ekspresi individualistik pada tas genggam ini karena pemilihan model, warna, dan kualitas tergantung pada hal yang ingin ditonjolkan oleh pemakai. Tas genggam berwarna emas pada gambar 10 menonjolkan kesan mewah dan mahal. Kemudian fungsi ekonomi ditonjolkan karena kedua tokoh yang menggunakan tas genggam tersebut berada pada posisi ekonomi yang dapat dikatakan mapan. Kemampuan ekonomi tokoh wanita pada gambar 10 terlihat pada fashion yang terlihat sekilas yaitu kimono bermotif yang harganya tentu mahal serta aksesoris cincin berlian yang menghiasi jemarinya.
Tas genggam merupakan tas kecil yang panjangnya kira-kira sebesar genggaman tangan perempuan. Tas kecil tersebut memiliki fungsi untuk membawa barang penting yang berukuran kecil dalam jumlah yang sedikit. Kedua kalimat penjelasan tersebut juga merujuk pada makna denotasi pada tas genggam sedangkan makna konotasinya berupa mewah, wanita kaya, modis, dan merujuk pada karakter yang hendak ditonjolkan. Makna mewah dan wanita kaya tercermin karena umumnya tas ini dikenakan oleh wanita ketika memiliki urusan bisnis atau menghadiri pesta makan malam mewah sehingga tidak sembarang wanita yang menggunakan tas ini. Wanita yang menggunakan tas ini dapat disimpulkan merupakan wanita dengan kemampuan ekonomi atau asal keluarga yang mapan. Selain itu, warna juga berpengaruh pada kesan 66
yang hendak ditampilkan. Terlihat pada gambar 10 seorang wanita dengan tas genggam emas yang memberi kesan mewah nan glamor di dukung dengan cincin berlian besar yang menghiasi jarinya (Pendergast dan Tom, 2004: 827-828).
Pada pertengahan akhir abad ke-19, alas kaki dibuat agar dapat dipakai dengan nyaman serta dapat dibeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal yang berbeda abad ke-20 karena alas kaki bisa didesain sesuai kebutuhan penggunanya agar menunjang penampilannya seperti penambahan hak pada sepatu maupun sepatu desain khusus lainnya (Pendergast dan Tom, 2004:713-714).
Sepatu kulit paten merupakan jenis sepatu yang terbuat dari bahan-bahan seperti minyak, pernis, atau resin yang diaplikasikan pada kulit belum jadi, sehingga kulit tersebut menjadi lapisan yang keras dan mengkilap. Pada akhir abad ke-19 sepatu ini dipakai oleh anak laki-laki dan perempuan yang berasal dari keluarga kaya. Sepatu ini menjadi pilihan populer untuk pakaian formal orang dewasa. Seiring berjalannya waktu, sepatu ini akhirnya dapat digunakan oleh segala kalangan ketika dalam kondisi formal (Pendergast dan Tom, 2004:964-965).
Gambar 11. Tokoh Caproni terlihat selalu memakai sepatu kulit paten (menit 8:40 detik)
Gambar 11 memperlihatkan tokoh Caproni yang memakai sepatu hitam mengkilat yang merupakan sepatu kulit yang populer dikenakan bersama dengan pakaian formal yaitu setelan jas dan topi. Sepatu tersebut melengkapi fashion tokoh Caproni secara keseluruhan karena pakaian formal yang dikenakan untuk menjaga nama baik serta statusnya yang merupakan seorang insinyur aeronautika dari negara Italia. Pada data tokoh Caproni diperlihatkan hanya menggunakan sepatu tersebut tidak menggunakan jenis alas kaki lainnya.
Fungsi fashion yang terdapat pada pemakaian sepatu kulit tersebut berupa fungsi fashion kesopanan dan penyembunyian serta fungsi nilai sosial dan status. Hal itu dikarenakan fungsi fashion kesopanan tergambar dari sepatu tersebut yang melengkapi fashion formal yang diterapkan oleh tokoh Caproni namun tidak ada penyembunyian dalam fashion ini. Sedangkan fungsi fashion nilai sosial dan status terlihat pada Caproni yang statusnya merupakan tokoh penting negara Italia, yaitu seorang insinyur aeronautika mengharusnya untuk menjaga penampilan sesuai status dengan mengenakan fashion formal seperti mengenakan setelan jas serta sepatu kulit paten.
Makna denotasi pada sepatu kulit paten ialah sepatu kulit mengkilap dengan hak kecil pada bagian tumit. Umumnya sepatu kulit ini didominasi oleh satu warna yaitu hitam. Selain itu, makna konotasi yang terkandung pada sepatu ini adalah kesan formal dan modis. Kesan formal muncul dikarenakan pada tahun 1920 hingga 1960 sepatu ini merupakan pilihan yang populer yang dipakai oleh orang dewasa. Lalu untuk kesan modis muncul karena perpaduan yang dipakai oleh tokoh Caproni pada gambar 50 yaitu mencocokkan antara sepatu kulit paten dengan setelan jas tiga potong dan topi derbi agar terlihat berkelas. Selain itu karena sepatu ini terbuat dari kulit membuat harga belinya cukup tinggi atau mahal (Pendergast dan Tom, 2004:964-965).
Berdasarkan hasil analisis mengenai bentuk, fungsi, dan makna fashion pada film animasi Kaze Tachinu karya Hayao Miyazaki maka dapat disimpulkan bahwa bentuk fashion yang digunakan terdapat aliran yaitu wasou ‘gaya Jepang’ dan yosou ‘gaya barat’. Wasou yang ditemukan terdiri atas 1) pakaian berupa hakama, haori, dan jaket mandarin; 2) penutup kepala berupa gaya rambut shimada dan sirkam; 3) dekorasi tubuh berupa riasan wajah; serta 4) alas kaki berupa geta, tabi, dan zori. Pada yosou yang ditemukan yaitu: 1) pakaian berupa setelan jas laki-laki, stoking, dan trench coat; 2) penutup kepala berupa topi pria, wajah pria cukur bersih, topi cloche, rambut pendek (bob), dan rambut bergelombang; 3) dekorasi tubuh berupa tas genggam; serta terakhir 4) alas kaki berupa sepatu kulit paten dan sepatu bot tinggi.
Kemudian pada fungsi fashion ditemukan delapan fungsi fashion yang terdapat dalam data. Baik wasou maupun yosou memiliki enam fungsi fashion yang sama antara
satu sama lain namun terdapat perbedaan yaitu fungsi magis-religius yang hanya ditemukan pada wasou karena berkaitan dengan budaya serta keterikatan agama sedangkan fungsi rekreasi hanya ditemukan pada yosou karena fashion bersifat tidak terikat dan berfokus pada kesenangan individu.
Terakhir, pada makna fashion ditemukan makna denotasi atau pengertian sebenarnya yang terlihat pada bentuk atau desain fashion sedangkan makna konotasi merupakan pengertian yang terbentuk dari nilai budaya dan sosial pada masyarakat Jepang. Selain itu dapat diketahui pada era Taisho-Showa bahwa wasou digunakan untuk terpengaruh karena budaya dan adat istiadat dalam masyarakat Jepang namun yosou digunakan untuk menunjukkan modernitas pada seseorang atau kelompok yang secara tidak langsung menunjukkan kemampuan ekonomi orang tersebut. Penelitian selanjutnya dapat mengkaji penggambaran tokoh Jiro Horikoshi dalam film untuk mengetahui unsur fakta dan fiksi pada kehidupan tokoh.
Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. London:Routledge.
Barthes, Roland. 1964. Element de Semiologie. Paris:Seuil.
Kawamura, Yuniya. 2019. Lovetoknow:https://fashion-history.lovetoknow.com/clothin g-around-world/japanese-fashion (Diunduh 8 Juli 2019)
Pendergast, Sara dan Tom Pendergast. 2004. Fashion, Costume, and Culture: Clothing, Headwear, Body Decorations, and Footwear through the Ages. United States of America:The Gale Group Inc.
Poyatos, Fernando. 1988. Literary Anthropology: A New Interdisciplinary Approach to People, Signs, and Literature. Amsterdam: John Benyamin Publishing Company.
Samuel dkk. 2012. Iro no Jiten: Shikisai no Kiso・Haishoku・Tsukaikata. Tokyo:Seitosha.
Tetsuo, Ouga. 1977. Shogakkan Gakushu Hyakka Zukan 6: Nihon no Rekishi. Tokyo:Shogakkan.
69
Discussion and feedback