RUANG


SPACE


KORELASI IDENTITAS, AKTIVITAS DAN LEGALITAS TERHADAP MUNCULNYA PERMUKIMAN KUMUH PASCA PANDEMI COVID-19


Oleh: Fendy Faizal Gobel1


Abstract

Pohuwato Timur Village of Marisa District is one of the slum settlements in Pohuwato Regency. This research aims at investigating the public perception of their environments. The results of this investigation are analyzed using correlation analysis to discover the most influential factors in the emergence of slum settlements. Data collection and analysis are based on several criteria, including the state of clean water provision, solid waste, household income, occupants' behavioral patterns, and ownership status. A quantitative approach using multiple linear regression analysis is deployed. Questionnaires and observation are used as the techniques of data collection. The results may be used as guidelines in creating strategies for structuring residential areas. This involves the development of a planning strategy for the provision of infrastructure as a means of increasing the identity of the area and a strategy to revitalize slum settlements.

Keywords: slums; settlements; regional identity; society activities


Abstrak

Desa Pohuwato Timur, Kecamatan Marisa merupakan salah satu kawasan permukiman kumuh yang ada di Kab. Pohuwato. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungannya, hasil perspesi tersebut dilakukan analisa korelasi dengan tujuan memperoleh faktor yang paling berpengaruh terhadap munculnya permukiman kumuh. Data and analisa dilakukan terhadap beberapa kriteria, termasuk kondisi air bersih, persampahan, pendapatan rumah tangga, pola aktivitas masyarakat dan status kepemilikan. Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif serta menggunakan metode analisis regresi linear berganda. Teknik pengumpulan data yaitu dengan kuesioner dan observasi. Hasil dari analisis tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam membuat strategi penataan kawasan permukiman. Strategi tersebut meliputi strategi perencanaan sarana dan prasarana dalam peningkatan indentitas kawasan dan strategi penanganan permukiman kembali.

Kata kunci: kawasan kumuh; permukiman; identitas kawasan; aktivitas masyarakat


1


Universitas Gorontalo.

Email: fendyfaizal@gmail.com


Pendahuluan

Pada bulan Desember 2019 awal mulainya wabah di Wuhan, Tiongkok. Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis corona virus yang baru ditemukan. Covid-19 adalah pandemi yang saat ini terjadi di banyak negara di dunia. Pemerintah Indonesia mengumunkan pertama kalinya kasus pasien yang positif Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Sejalan dengan hal tersebut utuk melakukan pencegahan dan pengendalian Covid-19, pemerintah daerah provinsi Gorontalo mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 23 tahun 2020, dimana peraturan tersebut berisikan pedoman pendisiplinan dalam melakukan protokol kesehatan menuju tatanan normal baru di provinsi Gorontalo. Masyarakat di anjurkan untuk physical dan social distancing, sering mencuci tangan, menjaga jarak dan membatasi kerumunan warga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lee, dkk tahun 2020 menyebutkan bahwa masyarakat yang bermukim di kawasan kumuh dan wilayah padat penduduk lebih besar kemungkinan untuk terinfeksi virus corona (Lee, dkk 2020). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) bersama Lembaga Eijkman, dan CDC Indonesia membuat kesimpulan bahwa warga yang lebih banyak terpapar covid-19 berada di permukiman kumuh. Lokasi penelitian merupakan kawasan permukiman kumuh yang padat penduduk. Permukiman kumuh adalah wilayah kota yang padat penduduknya dan biasanya dihuni oleh masyarakat miskin. (Hariyanto, 2010).

Masyarakat di permukiman Pohuwato Timur, sulit untuk menerapkan protokol kesehatan. kondisi ini berkaitan dengan pola struktural kawasan dan kondisi lingkungan. Rumah penduduk sebagian besar dibangun di garis sempadan sungai dan pantai dan didominasi oleh rumah tidak layak huni. Pengertian ketidaklayaknya hunian yang dimaksud dalam hal ini adalah jenis bangunan yang masih semi permanen, luas bangunannya kecil dan sempit, tidak ada pemisahan antara ruang privat dan ruang bersama, untuk kondisi rumahnya cenderung kurang perawatanz dari pemilik rumah, dan tidak adanya bukti kepemilikan yang sah dari masyarakat terhadap rumah yang ditempatinya (Nursyahbani dan Pigawati, 2015). Kondisi rumah ini membuat masyarakat sulit untuk mejaga jarak dengan warga lainnya. Rumah penduduk berukuran kecil, rapat, dan dempet. Tanpa ventilasi dan tanpa pencahayaan alami yang cukup. Rumah dihuni oleh 4-6 orang. Kondisi pandemi COVID-19 mengharuskan isolasi selama 14 hari, dengan kondisi rumah seperti itu maka kurang kondusif untuk menurunkan tingkat penyebaran. Ruang jalan yang sempit dapat menciptakan kerumunan warga. Lingkunganya tidak memenuhi standar hidup sehat, ditandai dengan buruknya kondisi saluran air, penumpukan dan pencemaran sampah disungai, dan buruknya sanitasi. Jangankan anjuran untuk mencuci tangan, untuk membuang kotoran limbah padat saja mereka memanfaatkan tanggul sebagai klosetnya. Selain itu, WC umum digunakan untuk banyak penghuni rumah.

Dengan mengacu pada beberapa penyebab timbulnya permukiman kumuh, menurut beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya permukiman kumuh ada tiga faktor pemicu yaitu faktor ekonomi, geografis dan psikologis (Zulkarnaini, dkk 2019). Menurut Widyastuty dan Ramadhan (2019) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi luasnya kawasan kumuh adalah faktor fisik bangunan, keadaan infrastruktur setempat, keadaan ekonomi, dan kondisi sosial kependudukan. Permukiman

kumuh di Desa Pohuwato Timur terdiri dari 3 karakteristik permukiman, yaitu permukiman di bantaran sungai, permukiman di pesisir pantai dan permukiman di sepanjang jalan utama. Secara fisik lingkungan, permukiman kumuh ini terbentuk oleh aktivitas masyarakat yang tidak harmonis antara kebutuhan dan hasrat untuk menjaga lingkungannya. Permukiman yang berada di bantaran sungai dan pesisir pantai dikategorikan sebagai permukiman liar (squatter). Penduduk yang bermukim di kawasan ini memiliki kompleksitas masalah yang lebih tinggi, karena selain bermasalah dengan kekumuhan penduduk ini juga bermasalah dengan legalitas lahan dan bangunan huniannya. Persoalan di kawasan permukiman kumuh Desa Pohuwato Timur perlu strategi penanganan yang tepat agar penduduk dapat bertempat tinggal di lingkungan yang sehat, harmonis, aman, dan berkelanjutan. Vitalnya strategi penanganan kawasan ini berjalan lurus dengan apa yang dituangkan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa penyelenggaraan kawasan permukiman bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian bermukim, yang wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman yang terpadu dan berkelanjutan. Penanganan permukiman kumuh dilaksanakan untuk menciptakan lingkungan tempat tinggal dan tempat berkegiatan bagi masyarakat yang terencana, terpadu dan berkesesuaian dengan rencana tata ruang. Persepsi masyarakat terhadap lingkungannya diharapkan memberikan masukan yang baik agar strategi penanganan kawasan dapat terarah sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui korelasi identitas, aktivitas dan legalitas terhadap munculnya permukiman kumuh, serta mengetahui pengaruh ketiga faktor tersebut dalam munculnya permukiman kumuh.

Review Literatur

a.    Permukiman Kumuh

Menurut pendapat dari Hariyanto (2010) kawasan kumuh adalah wilayah kota yang padat penduduknya dan umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Permukiman kumuh terdapat di berbagai kota besar di Indonesia. Kawasan kumuh umumnya dikaitkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi. Kawasan kumuh juga menjadi sumber masalah sosial seperti kriminalitas, narkoba dan miras. Di banyak daerah, permukiman kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisi yang tidak sehat. Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena perkembangan bangunan yang tidak teratur, kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan, sarana, dan prasarana yang kurang memenuhi persyaratan teknis (Muta’ali & Nugroho, n.d.).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Kawasan kumuh adalah kawasan dimana kondisi hunian penduduk di kawasan tersebut dalam keadaan buruk. Sarana prasarana lingkungan tidak sesuai dengan standar teknis yang berlaku, baik standar kebutuhan, standar kepadatan bangunan, standar persyaratan rumah yang sehat, standar sarana air bersih, jaringan sanitasi, kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya (Putro, 2011).

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan kekhasan dari permukiman kumuh sebagai berikut, yaitu:

  • 1.    Berupa kondisi permukiman yang mengalami penurunan kualitas lingkungan;

  • 2.    Kondisi bangunan hunian cenderung pada tingkat kepadatan tinggi, bangunan tidak teratur dan kondisi bangunan hunian tidak memenuhi syarat untuk menjadi rumah sehat;

  • 3.    Sarana dan prasarana kondisinya tidak memenuhi syarat teknis dalam lingkup keciptakaryaan.

  • b.    Faktor-faktor Penyebab Munculnya Permukiman Kumuh

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Fitri (2021) terkait dengan faktor-faktor penyebab munculnya permukiman kumuh menyatakan bahwa faktor fisik dan faktor sosial, ekonomi, serta budaya yang menjadi pemicu adanya permukiman kumuh. Faktor fisik terdiri dari kerapatan bangunan, kondisi jaringan jalan lingkungan, kondisi jaringan air limbah, kondisi saluran drainase, kondisi jaringan air bersih, dan kondisi persampahan. Faktor sosial, ekonomi dan budaya terdiri dari jenjang pendidikan terakhir, julah pendapatan masyarakat, jenis pekerjaan, beban tanggungan dari sebuah keluarga, dan extended family system. Hasil tersebut serupa juga dengan penelitian yang dilakukan (Izzudin, 2021) mengatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tingkat permukiman kumuh adalah pendapatan total keluarga.

Penelitian lainnya yang terkait dengan penyebab kekumuhan dilakukan oleh Mardjuni (2021), bahwa faktor yang menyebabkan permukiman kumuh adalah kondisi drainase, kondisi air minum, kondisi air limbah, dan jaringan persampahan dimana faktor sumber air minum dan kebutuhan air minum berpengaruh kuat, sedangkan faktor air limbah dan persampahan berpengaruh sedang terhadap penyebab kekumuhan.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 02/PRT/M/2016 tentang peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, telah dijabarkan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena kualitas bangunan yang rendah, ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Dalam menentukan kondisi kekumuhan pada permukiman kumuh, dapat ditinjau dari tujuh kriteria yaitu:

  • 1.    Bangunan gedung

  • 2.    Jalan lingkungan

  • 3.    Penyediaan air minum

  • 4.    Drainase lingkungan

  • 5.    Pengelolaan air limbah

  • 6.    Pengelolaan persampahan

  • 7.    Proteksi kebakaran

Permukiman kumuh terjadi karena penghuni kawasan pemukiman tidak mampu mengubah lingkungannya dengan lebih baik sehingga menyebabkan kualitas lingkungan menjadi lebih buruk. Menurut Sadyohutomo (2008), meningkatnya permukiman kumuh di daerah perkotaan disebabkan oleh dua faktor yaitu:

  • 1.    Pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi tidak diimbangi dengan pendapatan yang cukup karena terbatasnya kesempatan kerja dan persaingan yang ketat.

  • 2.    Kurangnya respon pemerintah kota dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur (khususnya jalan) di daerah dimana pemukiman baru sedang dikembangkan. Akibatnya adalah perilaku mereka yang membangun permukiman sendiri tanpa menggunakan perencanaan tapak yang tepat, dan pada akhirnya bentuk dan tata letak tanah yang tidak beraturan, bahkan tidak dilengkapi dengan infrastruktur dasar permukiman

  • c.    Pola Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dalam peningkatan kualitas kawasan kumuh maka dilakukan kegiatan pembangunan dan perbaikan kembali permukiman menjadi layak huni. Pola penanganan dalam meningkatkan kualitas permukiman dan permukiman kumuh dilakukan dengan cara sebagai berikut:

  • 1.    Pemugaran, merupakan upaya upaya memperbaiki atau membangun kembali kawasan pemukiman agar layak huni.

  • 2.    Peremajaan, merupakan upaya untuk menciptakan kondisi rumah, perumahan, pemukiman dan lingkungan hidup yang lebih baik dengan tujuan untuk melindungi keselamatan penghuni dan lingkungan sekitarnya. Untuk merevitalisasi kawasan tersebut, pertama-tama perlu menyediakan perumahan bagi para penduduk terdampak. Peremajaan harus meningkatkan kualitas rumah, tempat tinggal dan pemukiman yang lebih baik dari sebelumnya.

  • 3.    Pemukiman kembali, hal ini dilakukan apabila huniah yang ada merupakan kawasan non-perumahan di bawah RTRW atau merupakan kawasan rawan bencana dan dapat membahayakan masyarakat yang tinggal di sana. Pemukiman kembali adalah upaya pemindahan penduduk dari lokasi yang ada dengan dukungan pemerintah.

  • d.    Rumah Sehat

Secara umum, rumah yang sehat adalah rumah yang dekat dengan air bersih, mempunyai jarak lebih dari 100 meter dari TPA, dekat fasilitas kebersihan, dan tidak berada di tempat berkumpulnya air hujan dan air kotor (Dewi, 2011). Menurut Wibisono dan Huda (2014), fasilitas yang harus dipenuhi agar suatu rumah sehat, antara lain:

  • 1.    Penyediaan air bersih yang cukup

Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia akan meninggal lebih cepat karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Sebagian besar tubuh manusia adalah air. Kebutuhan air manusia sangat kompleks, seperti minum, memasak, mandi, dan mencuci (berbagai jenis cucian). Menurut perhitungan WHO, setiap orang di negara maju membutuhkan antara lain 60-120 liter per hari. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, setiap orang membutuhkan 30-60 liter air per hari. Pembuangan air tinja

tidak boleh mencemari permukaan tanah di sekitar jamban dan air permukaan sekitarnya (jarak dari sumber air ± 10 meter).

  • 2.    Pembuangan air

Syarat pengolahan air limbah adalah tidak mencemari permukaan tanah dan tidak mencemari air permukaan atau air tanah. Air limbah yang dimaksud ini adalah air yang bersumber dari kegiatan cuci pakaian, kamr mandi dan cuci piring dapur.

  • 3.    Pembuangan sampah

Sampah dikumpulkan dan diangkut ke TPA, selanjutnya ada proses pembakaran sampah, atau ditanam dan dijadikan pupuk.

  • 4.    Fasilitas dapur

Dapur memiliki cerobong untuk mengalirkan asap dari kegiatan masak ke luar rumah, hal ini berguna untuk meminimalisir gangguan pernafasan dan tidak menyebabkan lingkungan rumah menjadi kotor. Mempunyai cerobong asap dapur yang berguna untuk mencegah ganguan pernafasan dan lingkungan rumah menjadi bersih.

Metode

Pada penulisan artikel ilmiah ini metode penelitian yang dipakai adalah pendekatan kuantitatif dengan metode survey. Kuesioner dan observasi dilakukan dalam teknik pengumpulan data. Kuesioner digunakan sebagai instrumen penelitian, dengan memakai skala pengukuran model Likert. Kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan tentang identitas, aktivitas dan legalitas dimana tersedia beberapa alternatif jawaban. Jawaban dari responden tersebut nantinya akan diberikan nilai, nilai yang yang tertinggi akan dianggap baik dan nilai yang terendah akan dianggap tidak baik. Sedangkan teknik pengumpulan data secara observasi dilaksanakan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap variabel penelitian. Teknik analisis data pada penelitian ini berupa analisis korelasi product moment, analisis regresi berganda dan analisis deskriptif.

Data, diskusi, dan hasil/temuan

a.    Desripsi Wilayah Penelitian

Lokasi penelitian berada di Desa Pohuwato Timur, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Fokus penelitian berada di pada area permukiman yang terdiri dari 3 dusun yakni Dusun Siku, Dusun Wulungiyo dan Dusun Sumilango dengan luasan 12 Ha. Permukiman Dusun Siku terletak di area bantaran sungai dan rawa, permukiman Dusun Wulungiyo terletak di sepanjang jalan utama, sedangkan permukiman Dusun Sumilango terletak di area sepanjang pesisir pantai(Gambar 1, 2). Jumlah penduduk di desa ini sebanyak 2.436 Jiwa terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 1.258 jiwa, dan penduduk perempuan sebanyak 1.178 jiwa. Setelah membandingkan jumlah penduduk dengan luas wilayah didapatkan 203 Jiwa/Ha, tingkat kepadatan penduduk di wilayah penelitian termasuk pada tingkat kepadatan tinggi.



Gambar 1. Permukiman di Pesisir Pantai Sumber: Peneliti, 2021


Gambar 2. Permukiman di Bantaran Sungai Sumber: Peneliti, 2021


  • b.    Deskripsi Identitas Responden

Responden pada penelitian ini merupakan masayarakat yang berada di Dusun Siku, Dusun Wulungiyo dan Dusun Sumilango. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 96 responden yang terdiri dari responden perempuan sebanyak 50 orang dengan persentase sebesar 52,1% dan jumlah responden laki-laki sebanyak 46 orang dengan persentase sebesar 47,9%. Persentase identitas responden menurut umur merepresentasikan tingkat pengalaman dan kematangan berpikir responden, pada penelitian ini responden dibagi dalam 4 kelompok bagian. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, kelompok usia > 50 tahun memiliki persentase terbesar dengan nilai 45.8%. Persentase terbesar kedua adalah kelompok usia 30 - 39 tahun sebesar 21.9%. Persentase terbesar ketiga adalah kelompok usia 40 - 49 tahun sebesar 20.8%. Sedangkan persentase terkecil adalah kelompok usia 20 – 29 tahun dengan persentase 11.5% saja.

Dilihat dari aspek pendidikan, sebagian besar responden berpendidikan SD sebesar 94,8%. Berpendidikan SLTP dan SLTA masing-masing sebesar 2,1% dan terkecil adalah lulusan perguruan tinggi dengan persentase 1%. Faktor pendidikan merupakan salah satu faktor untuk menentukan pengetahuan dan sikap seseorang sehingga mempengaruhi perilakunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin baik pemahaman mereka tentang arti menjaga lingkungan hidup. Melihat kondisi masyarakat pada penelitian saat ini, terlihat bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin rendah pula tingkat pengetahuan tentang kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat. Tidak adanya kesadaran dan kurangnya pengetahuan membuat masyarakat responden bertahan dengan kondisi kumuh, tidak ada kemauan masyarakat dalam menumbuhkan tingkat partisipasi dan ikut berperan serta dalam menjaga lingkungannya.

  • c.    Identitas kawasan

Identitas kawasan yang akan dijabarkan dalam penelitian ini dibatasi pada variabel air minum dan variabel persampahan. Berdasarkan hasil kuesioner, sebesar 89,6% masyarakat responden memanfaatkan air minum dari sumber air yang bersih berupa sumur gali, sumur suntik dan PDAM. Untuk hunian permanen menggunakan fasilitas air PDAM. Sebagian dari mereka juga menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan air mandi dan kegiatan mencucinya. Dimasa pandemi Covid-19 ini, kebutuhan akan air bersih semakin

meningkat, karena banyaknya frekuensi masyarakat untuk mencuci tangan. Namun sebesar 55,2% masyarakat responden mengeluhkan lambatnya aliran air dari PDAM. Air hanya lancar pada waktu malam hari saja, pada pagi dan sore hari cenderung lambat aliran airnya. Untuk air minum, sebesar 59,4% masyarakat responden membeli dari depot air, sebanyak 25% menggunakan air sumur/PDAM terus dimasak hingga mendidih untuk kebutuhan air bersihnya. Permasalahan lainnya adalah jarak sumber air bersih dan septictank, sebesar 93,7% menyatakan bahwa jarak sumur suntik/sumur gali ke septictank kurang dari 10 meter. Gambaran kondisi sumber air ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3. Meteran Air PDAM

Sumber: Peneliti, 2021


Gambar 4. Sumur Gali

Sumber: Peneliti, 2021


Salah satu variabel krusial yang menjadi masalah di kawasan penelitian ini adalah sampah, bila situasi sekarang ini dibiarkan terus berlanjut maka dipastikan akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar di waktu mendatang. Permasalahan sampah di kawasan ini lebih cenderung pada belum optimalnya pengumpulan sampah dari masyarakat, masyarakat responden yang masih memiliki kebiasaan membuang sampah rumah tangga ke sungai/laut dan belum adanya upaya dalam pengolahan sampah secara terpadu. Gambaran kondisi persampahan pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.



Gambar 5. Tumpukan Sampah Sumber: Peneliti, 2021


Gambar 6. Sampah di Bantaran Sungai Sumber: Peneliti, 2021

Berdasarkan hasil kuesioner, sebesar 79,2% masyarakat responden menggunakan tas plastik/karung/kardus sebagai tempat pembuangan sementara di dalam rumah. Sebesar 69,8% menyatakan bahwa mereka tidak membuang sampah rumah tangga di tempat sampah komunal/TPS, masyarakat responden lebih sering membuang sampah di sungai (Gambar 7), laut dan lahan kosong disekitar rumahnya (Gambar 8). Di jalan utama desa

terdapat tempat pembuangan sampah sementara, namun frekuensi pengangkutan sampah tersebut tidak setiap hari, hal ini tergambar pada hasil kuesioner bahwa sebesar 77,1% masyarakat responden menyatakan pengambilan sampah dari rumah ke TPS/TPA sebanyak kurang dari 2x seminggu. Petugas kebersihan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pohuwato menggunakan dump truck untuk mengangkut sampah, sehingga area pelayanan hanya terbatas pada jalan utama, tidak menjangkau masuk sampai kedalam area permukiman.



Gambar 7. Membuang Sampah ke Sungai Sumber: Peneliti, 2021

Gambar 8. Limbah Rumah Tangga Sumber: Peneliti, 2021


  • d.    Aktivitas Kawasan

Aktivitas kawasan yang akan diuraikan pada penelitian ini adalah pendapatan rumah tangga dan pola aktivitas masyarakat. Dari hasil wawancara, sebagian besar penduduk desa Pohuwato Timur berprofesi sebagai nelayan sebagian kecil sebagai tukang, pedagang dan ibu rumah tangga. Profesi nelayan memiliki penghasilan yang tidak menentu dan tergantung pada keadaan cuaca. Jika cuaca buruk dan tidak melaut, nelayan tersebut beralih profesi menjadi tukang bangunan atau berjualan di pasar. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa karakteristik pendapatan responden dengan pendapatan per bulan kurang dari Rp. 500.000 sebanyak 45 orang dengan persentase 46.9%. Responden dengan pendapatan per bulan antara Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 sebanyak 48 orang dengan persentase 50%. Sebanyak 3 orang responden memiliki pendapatan perbulan antara Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000, selanjutnya tidak ada yang memiliki pendapatan per bulan di atas Rp. 2.000.000. Berdasarkan karakteristik pengeluaran responden menunjukkan bahwa, sebanyak 40 orang dengan persentase sebesar 41,7% mempunyai pengeluaran per bulan antara Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000. Karakteristik responden dengan pengeluaran per bulan antara Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000 berjumlah 45 orang dengan persentase sebesar 46,9%. Responden dengan pegeluaran di atas Rp. 2.000.000 sebanyak 11 orang dengan persentase 11,5%, selanjutnya tidak ada yang memiliki pengeluaran per bulan kurang dari Rp. 500.000. Terlihat dari hasil kuesioner tersebut bahwa terjadi ketimpangan, jumlah pengeluaran per bulan lebih besar daripada jumlah pendapatan per bulan. Dengan hasil pendapatan sekecil itu, responden menjadi tidak mampu dalam membangun rumah permanen, menyediakan WC yang lengkap dengan septictank maupun akses terhadap air bersih.

Menurut observasi penulis, masyarakat sudah terbiasa untuk membuang limbah rumah tangga ke bawah rumahnya, masyarakat pun sudah tidak merasa bersalah lagi ketika membuang sampah rumah tangganya ke sungai. Pada umumnya masyarakat di bantaran sungai tidak memiliki sarana MCK sendiri di rumah karena keterbatasan ekonomi dan lahan. Untuk menyiasati kebutuhan dasar tersebut, mereka menggunakan MCK umum yang digunakan secara bersama-sama secara bergantian dengan penduduk lain namun jumlahnya sangat terbatas tidak sebanding dengan jumlah masyarakat penggunanya sehingga masih banyak masyarakat responden yang buang air besar di sungai dengan memanfaatkan tanggul sebagai klosetnya.

  • e.    Legalitas Kepemilikan Lahan

Berdasarkan hasil observasi di lapangan ditemukan dua status kepemilikan lahan yaitu bersertifikat hak milik (SHM), dan masih ada yang belum memiliki sertifikat. Sebesar 50% masyarakat responden status lahan untuk bangunan huniannya bukan milik sendiri (belum jelas legalitas lahannya), bangunan hunian tersebut dibangun di atas tanah milik negara yaitu bantaran sungai dan pinggiran pantai. Sebesar 39,6% responden bersertifikat hak milik (SHM) sedangkan sebesar 10,4% tidak bersedia menjawab pertanyaan peneliti. Hasil wawancara dengan masyarakat bahwa pada awalnya lahan yang ditempati di bantaran sungai tersebut berupa rawa dan hutan bakau, karena sering terjadi banjir maka pemerintah daerah membangun talud di sepanjang sungai sehingga membentuk lahan antara sungai dan permukiman permanen. Lahan yang terbentuk tersebut tidak diperhatikan oleh pemerintah sehingga dimanfaatkan masyarakat dengan membangun rumah panggung sampai akhirnya menjadi banyak dan membentuk satu permukiman yang baru. Adanya ketidakpastian hukum terhadap lahannya, membuat masyarakat enggan untuk memperbaiki lingkungannya.

  • f.    Korelasi Identitas, Aktivitas dan Legalitas dengan Permukiman Kumuh

Pada penelitian ini terdapat beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab munculnya kekumuhan di kawasan permukiman Desa Pohuwato Timur antara lain faktor identitas (air minum dan persampahan), faktor aktivitas (pendapatan rumah tangga dan pola aktivitas masyarakat) dan faktor legalitas (status kepemilikan).

Hasil uji korelasi Bivariate Pearson terlihat pada Tabel 1, korelasi antara air minum dengan kumuh kawasan menghasilkan -.524 sehingga ada hubungan negatif antara air minum dengan kumuh kawasan. Korelasi antara persampahan dan kumuh kawasan menghasilkan -.047 sehingga ada hubungan negatif antara persampahan dengan kumuh kawasan. Korelasi antara status kepemilikan dan kumuh kawasan menghasilkan -.701 sehingga ada hubungan negatif antara status kepemilikan dengan kumuh kawasan. Korelasi antara pendapatan rumah tangga dan kumuh kawasan menghasilkan -.410 sehingga ada hubungan negatif antara pendapatan rumah tangga dengan kumuh kawasan. Korelasi antara pola aktivitas masyarakat dan kumuh kawasan menghasilkan -.301 sehingga ada hubungan negatif antara pola aktivitas masyarakat dengan kumuh kawasan. Keseluruhan nilai korelasi bernilai minus (-) maka dapat diartikan bahwa seluruh hubungan yang terbentuk antara variabel tersebut terhadap kumuh kawasan adalah hubungan negatif. Hubungan negatif bermakna

bahwa jika faktor identitas, faktor aktivitas dan faktor legalitas mengalami peningkatan dalam kualitas linngkungan maka kumuh kawasan akan mengalami penurunan.

Tabel 1. Korelasi Bivariate Pearson

Correlations

Air Minum

Pearson Correlation

-.524**

Sig. (2-tailed) N

.000

96

Persampahan

Pearson Correlation

-.047

Sig. (2-tailed)

.649

N

96

Status Kepemilikan

Pearson Correlation

-.701**

Sig. (2-tailed)

.000

N

96

Pendapatan Rumah

Pearson Correlation

-.410**

Tangga

Sig. (2-tailed)

.000

N

96

Aktivitas Masyarakat

Pearson Correlation

-.301**

Sig. (2-tailed)

.003

N

96

Sumber: Analisis SPSS, 2020

  • g.    Pengaruh Faktor Identitas, Aktivitas dan Legalitas

Untuk mengetahui apakah faktor identitas (air minum dan persampahan), faktor aktivitas (pendapatan rumah tangga dan pola aktivitas masyarakat) dan faktor legalitas (status kepemilikan) berpengaruh terhadap munculnya kumuh kawasan maka dilakukan Uji T, uji hipotesis penelitian dalam analisis regresi linear berganda. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi munculnya permukiman kumuh di kawasan penelitian, tetapi mempunyai nilai pengaruh yang berbeda-beda. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa nilai Sig. variabel air minum kurang dari 0,05, yaitu bernilai 0,005 oleh karena itu variabel air minum mempunyai pengaruh terhadap timbulnya kawasan kumuh. Variabel persampahan mempunyai nilai Sig. 0.004, nilainya lebih kecil dari 0,05 sehingga persampahan mempunyai pengaruh dalam timbulnya kawasan kumuh. Begitupun untuk variabel status kepemilikan dan variabel pendapatan rumah tangga karena nilai Sig. kurang dari 0,05 yaitu 0,000 dan 0,006. Sedangkan untuk variabel aktivitas masyarakat tidak berpengaruh terhadap munculnya kumuh kawasan karena nilai Sig. 0.805, lebih besar dari nilai 0,05.

Tabel 2. Hasil Uji Regresi Linear Berganda (Uji T)

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

Beta

t

Sig.

B

Std. Error

Air Minum

.570

.198

.758

2.882

.005

Persampahan

.268

.092

.281

2.922

.004

Status Kepemilikan

-.471

.068

-1.391

-6.970

.000

Pendapatan RT

-.190

.067

-.278

-2.826

.006

Aktivitas Masyarakat

.016

.066

.030

.248

.805

Sumber: Analisis SPSS, 2020

  • h.    Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Munculnya Kumuh Kawasan

Untuk mencari faktor yang paling berpengaruh dilihat dari nilai koefisien regresi yang paling tinggi. Besarnya nilai koefisien dilihat pada kolom Standarized Coefficient di Tabel 2, yaitu pada kolom Beta. Terlihat pada kolom Beta nilai koefisien regresi tertinggi adalah variabel air minum sebesar 0,758. Dilihat dari angka tersebut variabel air minum (faktor identitas) merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam munculnya kumuh kawasan.

  • i.    Model Penanganan Permukiman Kumuh

Untuk permukiman kumuh padat di bantaran sungai yang belum memiliki sertifikat lahan, maka peremajaan kawasan adalah model penanganan yang tepat. Alternatif peremajaan kawasan yang digunakan adalah pembangunan perumahan susun (rumah vertikal). Sedangkan permukiman kumuh padat yang sudah memiliki sertifikat lahan maka model penanganan yang tepat adalah perbaikan kampung.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi dan kuesioner bahwa sarana dan prasarana air bersih belum terdistribusi secara merata. Permasalahan sampah di kawasan disebabkan belum optimalnya pengumpulan sampah dari masyarakat, masyarakat yang masih mempunyai kebiasaan membuang sampah rumah tangga ke sungai/laut dan belum adanya upaya dalam pengolahan sampah secara terpadu.

Berdasarkan uji korelasi Bivariate Pearson bahwa air minum, persampahan, status kepemilikan, pendapatan rumah tangga dan aktivitas masyarakat memiliki nilai korelasi bernilai minus (-) maka dapat diartikan bahwa seluruh hubungan yang terbentuk antara variabel tersebut terhadap kumuh kawasan adalah hubungan negatif. Hubungan negatif bermakna bahwa jika variabel tersebut mengalami peningkatan dalam kualitas lingkungan maka kumuh kawasan akan mengalami penurunan.

Berdasarkan uji regresi linear berganda (Uji T) diketahui secara parsial bahwa air minum, persampahan, status kepemilikan dan pendapatan rumah tangga berpengaruh pada timbulnya kumuh kawasan sedangkan ativitas masyarakat tidak berpengaruh terhadap timbulnya kumuh kawasan. Variabel air minum (faktor identitas) merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam munculnya kumuh kawasan.

Daftar Pustaka

Asnani, A., Purnama, D. H., & Priadi, D. P. (2017). Penataan Permukiman Kumuh di Kelurahan Talang Putri Palembang. Demography Journal of Sriwijaya (DeJoS), 1(2), 24-35.

Asmariati, R., dkk. (2020). Arahan Penataan Permukiman Kumuh Kelurahan Sawahan Timur Kecamatan Padang Timur Kota Padang. Jurnal REKAYASA, 10(02), 84-94.

Dewi, R. (2011). Pengembangan Konsep Pemukiman Berkelanjutan (Studi Kasus di Pemukiman Kumuh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe). (Tesis), Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Fitriani, M., Mahludin, H. B., & Sukirman, R. (2021). Pengaruh Perilaku Masyarakat Terhadap Sanitasi Lingkungan di Kawasan Kumuh Kota Gorontalo. LOSARI: Jurnal Arsitektur Kota dan Pemukiman, 77-88.

Gobel, F. F. (2019). Konsep Penataan Kawasan Permukiman Desa Lemito. Gojise, 2 (2).

Kusumajaya, A. (2015). Perencanaan Sistem Saluran Drainase Sungai Bendung Kota Palembang Sumatera Selatan. (Tesis), Politeknik Negeri Sriwijaya.

Muta’ali, L., & Nugroho, A. R. (n.d.). (2020). Perkembangan Program Penanganan Permukiman Kumuh di Indonesia dari Masa Ke Masa. (Siti, Ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nursyahbani, R., & Pigawati, B. (2015). Kajian Karakteristik Kawasan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota (Studi Kasus: Kampung Gandekan Semarang). Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota), 4(2), 267-281.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 02/PRT/M/2016 Tentang Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh.

Rahman, A. (2013). Perilaku masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (studi kasus di Kelurahan Pasar Sarolangun). Jurnal Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance, 5(4), 215-220.

Sadyohutomo, M. (2008). Manajemen Kota dan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Sahil, J., Al Muhdar, M. H. I., Rohman, F., & Syamsuri, I. (2016). Sistem Pengelolaan dan Upaya Penanggulangan Sampah di Kelurahan Dufa-Dufa Kota Ternate. Jurnal BIOeduKASI, 4(2).

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Wibisono, A. F., Huda, A. K. (2014). Upaya Peningkatan Pengetahuan Rumah Sehat bagi

Keluarga. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan, 3(1), 17-20.

Widyastuty, A. A. S. A., & Ramadhan, M. E. (2019). Upaya Penataan Kawasan Permukiman Kumuh (Studi Kasus Kelurahan Morokrembangan Kota Surabaya). Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan.

Yuliani, A. (2019). Penataan Infratruktur Permukiman Kumuh Kelurahan Kertapati, Palembang Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini dilakukan dengan dukungan dana dari Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional (Ristek/BRIN) pada skema Penelitian Dosen Pemula (PDP). Ungkapan terima kasih kepada masyarakat di Desa Pohuwato Timur yang telah membantu peneliti dalam proses pengambilan kuesioner dan keramahannya dalam wawancara. Terima kasih juga ditujukan kepada Dinas Permukiman dan Dinas PUPR Kabupaten Pohuwato atas dukungan terhadap data dan dokumen yang melengkapi penelitian ini.

86

SPACE - VOLUME 9, NO. 1, APRIL 2022