Relasi Padung-padung dan Gerga Tulak Paku dalam Arsitektur Tradisional Karo
on
RUANG
SPACE

RELASI PADUNG-PADUNG DAN GERGA TULAK PAKU DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL KARO
Oleh: Ariani1, Imam Santosa2, Achmad Haldani Destiarmand3, Agus Sachari4
Abstract
One of the rich traditions owned by the Karo tribe in North Sumatra is a variety of ornamental or gerga. Gerga is applied to traditional Karo architecture with the aim of beautifying and representing the belief and kinship system that forms the basis of the Karo people's cosmology. One of the organic-shaped gerga inspired by nature is tulak paku. The structure of gerga tulak paku also becomes a visual image based on various crafted objects, one of which is padung-padung. This large earring jewelry is worn by Karo women from certain classes and becomes one of the cultural identities of the Karo Tribe. By its structure and shape, padung-padung is assumed to originate from the application of gerga tulak paku. This study aims to determine the relationship between the ornamental elements of tulak paku applied to the padung-padung form, and its application in Karo traditional architecture. The research was conducted using technical analysis and interpretation adopting an aesthetic approach to describe three basic aspects of an artistic object or event, namely form, weight, and appearance. Based on the results of research, it is known that the element of the gerga tulak paku has a shape structure similar to padung-padung. Both have meanings related to human power and glory, thus their applications in traditional architecture are expected to bring ‘good’ impacts.
Keywords: relation; padung-padung; gerga tulak paku; Karo traditional architecture
Abstrak
Salah satu kekayaan tradisi yang dimiliki oleh suku Karo di Sumatera Utara adalah ragam hias atau gerga. Gerga diterapkan pada arsitektur tradisional Karo dengan tujuan untuk memperindah sekaligus merepresentasikan sistem kepercayaan dan kekerabatan yang menjadi dasar kosmologi masyarakat Karo. Salah satu gerga berbentuk organis yang terinspirasi dari alam adalah tulak paku. Selain diterapkan pada rumah adat, struktur bentuk gerga tulak paku juga menjadi citra visual pada berbagai benda-benda kerajinan, salah satunya adalah padung-padung. Perhiasan berupa anting berukuran besar ini dikenakan oleh perempuan Karo dari kelas tertentu dan menjadi salah satu identitas kultural suku Karo. Ditinjau dari struktur bentuknya, padung-padung diduga berasal dari penerapan gerga tulak paku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui relasi unsur ragam hias tulak paku yang diterapkan pada bentuk padung-padung, serta aplikasinya dalam arsitektur tradisional Karo. Penelitian dilakukan dengan teknik analisis dan interpretasi menggunakan pendekatan estetika untuk mendeskripsikan tiga aspek dasar pada suatu benda atau peristiwa kesenian, yaitu wujud, bobot, dan penampilan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa unsur gerga tulak paku memiliki struktur bentuk yang mirip dengan padung-padung. Keduanya memiliki makna yang berkaitan dengan kekuatan dan kemuliaan manusia sehingga penerapannya pada arsitektur tradisional diharapkan dapat membawa dampak kebaikan.
Kata kunci: relasi; padung-padung; gerga tulak paku; arsitektur tradisional Karo
Pendahuluan
Salah satu substansi budaya yang dapat ditandai sebagai pembeda antar etnik adalah ragam hias atau ornamen yang dijumpai pada rumah adat, benda-benda pakai, ataupun pada kain tradisional yang mereka hasilkan. Sebagai hiasan yang berfungsi memperindah rumah adat atau benda pakai lain, ragam hias tidak sekedar menampilkan sisi estetikanya. Lebih dari itu, ragam hias memiliki makna simbolik atau maksud-maksud tertentu yang berhubungan dengan pandangan hidup manusia atau masyarakat penciptanya. Dengan demikian, benda-benda yang memiliki unsur ragam hias akan memiliki makna yang mendalam, disertai dengan harapan-harapan dalam konteks kebaikan. Bagi masyarakat Karo, ragam hias atau gerga dalam bahasa Karo, menjadi penanda identitas komunal sehingga eksistensi budaya Karo dapat dikenali dan diakui jati dirinya. Ragam hias Karo banyak dijumpai pada arsitektur tradisional Karo seperti rumah adat, jambur (ruang serba guna), geriten (tempat penyimpanan kerangka nenek moyang), keben (lumbung padi), dan bangunan-bangunan penting lainnya.
Bagi masyarakat Karo, ragam hias memiliki arti penting dalam struktur sosial maupun budaya. Ragam hias memiliki fungsi dan makna simbolik yang merepresentasikan struktur hierarki dalam adat istiadat Karo. Setiap ragam hias Karo, khususnya pada rumah adat atau bangunan tradisional, memiliki fungsi dan makna simbolik sesuai dengan penempatannya. Erdansyah (2011: 117) menyatakan bahwa rumah tidak sekedar tempat tinggal bagi keluarga, tetapi juga merupakan bangunan yang dianggap sakral. Hal tersebut disebabkan karena bagi masyarakat Karo, rumah merupakan tempat bersemayamnya roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna-makna simbolik gerga selain memiliki fungsi sebagai hiasan, juga terkait dengan sistem kepercayaan (religi) dan kekerabatan yang menjadi dasar kosmologi masyarakat tradisional Karo.
Dalam perkembangannya, ragam hias atau gerga tidak hanya dijumpai pada rumah-rumah adat, tetapi juga diterapkan pada benda-benda pakai, salah satunya adalah perhiasan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memfokuskan pada pembahasan simbol dan pemaknaan ragam hias Karo itu sendiri, atau penerapannya pada arsitektur. Pembahasan yang berkaitan dengan penerapan gerga pada benda pakai, khususnya perhiasan, belum banyak dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui relasi unsur gerga tulak paku yang diterapkan pada bentuk perhiasan padung-padung, serta aplikasinya dalam arsitektur tradisional Karo. Padung-padung adalah perhiasan sejenis anting yang terbuat dari perak berbentuk simetris melingkar, dikenakan oleh perempuan Karo pada sekitar abad ke-19 hingga 20. Bentuk perhiasan ini memiliki struktur bentuk berupa spiral ganda yang menyerupai gerga tulak paku.
Keberadaan gerga tulak paku dan padung-padung sebagai identitas kultural suku Karo saat ini tidak diketahui secara luas oleh generasi muda Karo dan masyarakat pada umumnya. Melalui penelitian ini, keduanya akan dibahas dalam konteks estetika, yaitu hubungan antara struktur bentuk gerga tulak paku pada padung-padung. Pembahasan memfokuskan pada tiga aspek yang analisis yaitu wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi (content, substance), dan penampilan atau penyajian (presentation). Relasi antara struktur bentuk gerga tulak
paku dengan padung-padung kemudian dikaitkan dengan penerapannya pada arsitektur tradisional Karo, dalam hal ini adalah rumah adat. Dengan demikian, melalui penelitian ini diharapkan keberadaan identitas budaya masyarakat Karo ini akan terangkat kembali sebagai bagian dari kekayaan seni tradisi Nusantara.
Review Literatur
a. Ragam Hias
Menurut Mikke Susanto (2012: 284) dalam buku Diksi Rupa, ragam hias atau ornamen adalah hiasan yang dibuat dengan digambar, dipahat, maupun dicetak, untuk mendukung meningkatnya kualitas dan nilai pada suatu benda atau karya seni. Ornamen sering kali dihubungkan dengan berbagai corak dan ragam hias yang ada. Vinigi L. Grottanelli dalam Encyclopedia of World Art (1965) menyebut ornamen sebagai motif-motif dan tema-tema yang dipakai pada benda-benda seni, bangunan-bangunan, atau permukaan apa saja tetapi tidak memiliki manfaat struktural dan guna pakai, dalam arti semua pekerjaan itu hanya dipakai sebagai hiasan semata. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, menurut Al-Faruqi (1986), dalam pengertian yang lebih luas, ornamentasi atau hiasan yang menggunakan ornamen, memiliki fungsi sebagai motivasi dasar berkarya dan juga sebagai lintasan ideologi dalam bersikap (transideologi).
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa unsur ragam hias Karo yang diaplikasikan memiliki keterkaitan dengan kepercayaan yang diyakini masyarakat Karo. Ilustrasi rupa visual yang diaplikaksikan pada hiasan rumah adat tradisonal Karo dipengaruhi lingkungan alam sekitar, misalnya pucuk tanaman rambat (taruk taruk), susunan daun (lukisan umang), susunan bunga serta kuntum bunganya (bunga bincole dan pucuk tenggiang). Warna yang digunakan juga dipengaruhi oleh lingkungan alamnya, diantaranya; hijau, kuning, merah, putih dan hitam (Ginting, Heryadi, Carolina, 2021). Erdansah (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa gerga sebagai ragam hias Karo lahir dari dorongan kebutuhan estetis yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bahkan keinginan ini muncul dalam kaitan dengan pengetahuan tradisional lainnya. Sistem kekerabatan dan sistem kepercayaan adalah dua hal yang paling mempengaruhi keberadaan gerga dan arsitektur rumah adat. Kedua sistem ini berkembang dan selanjutnya membentuk pranata sosial yang menjadi fondasi budaya masyarakat Karo. Pembahasan dalam penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ragam hias Karo lebih banyak difokuskan pada kajian makna, relevansinya dengan rumah adat, dan eksplorasi bentuk.
-
b. Padung-padung
Padung-padung adalah hiasan telinga berbentuk spiral yang dikenakan perempuan suku Karo pada akhir abad 19 hingga awal abad ke 20 (Sibeth, 1991: 190). Di dalam buku Karo-Bataksch Woordenboek (Kamus Karo-Batak) yang disusun oleh Joustra (1907: 81) disebutkan bahwa kata padoeng-padoeng (dalam bahasa Belanda) atau padung-padung memiliki arti hiasan telinga perempuan Karo yang berat dan berbentuk kecapi. Sumber lain yaitu Catalogus Der Afdeeling Nederlandsche Kolonien (Katalog Koloni Belanda) yang disusun oleh Veth, Wilken, dan Klinkert (1883: 42) menyebutkan bahwa padung-padung berarti anting perak solid. Bahan/material perhiasan berbentuk padung-padung kebanyakan
terbuat dari perak namun djumpai juga yang terbuat dari emas jenis suasa (campuran emas dan tembaga), memiliki panjang berkisar antara 9 cm, 16 cm, dan 17,5 cm, dengan berat 1,52 kg (Carpenter, 2011: 80).
Padung-padung dibuat oleh perajin perak khusus karena untuk pembuatan batang yang cukup tebal tidak dengan cara ditempa, melainkan ditarik dengan cara seperti menggambar kerawang. Setiap pembuatan padung-padung dapat diorientasikan sedemikian rupa sehingga ketika batang ditekuk, dipotong lepas satu sama lain, dihubungkan, membentuk satu spiral, kemudian dimasukkan ke lubang telinga pemakainya. Proses selanjutnya adalah besi ditekuk kemudian ditempa lebih lanjut untuk membuat spiral pada sisi yang lain dan juga dekorasi jika diperlukan. Dengan demikian, penggunaan anting-anting ini bersifat permanen dan tidak bisa lagi dikeluarkan dari lubang telinga kecuali dengan cara dirusak atau dihancurkan. (Jasper dan Pirngadie, 1927: 133). Padung-padung dikenakan dalam aktivitas keseharian perempuan Karo seperti menenun, mengurus rumah, mengambil air dari sungai, hingga bercocok tanam di ladang.
Sebagaimana daerah-daerah lain di Nusantara, suku Karo juga memiliki arsitektur tradisional dengan karakteristik yang unik. Kerangka bangunan tradisional Karo dipasang sedemikian rupa tanpa menggunakan paku, melainkan menggunakan kayu, dan diikat dengan rotan atau ijuk. Ditinjau dari bentuknya, arsitektur tradisional Karo mempunyai dinding yang miring ke arah luar, mempunyai dua muka yang menghadap ke arah Timur dan Barat, kadang-kadang empat arah, serta pada kedua ujung atap terdapat patung kepala kerbau. Sistem konstruksi dilakukan dengan sistem sambungan serta diikat dengan rotan atau tali ijuk. Material utama yang digunakan adalah kayu (pada umumnya kayu meranti), atap dan tali pengikat yang terbuat dari ijuk, dan bambu yang digunakan sebagai tangga, ture (semacam teras atau serambi), rusuk, dan rotan sebagai pengikat (Sitanggang, 1992: 24). Pada bagian-bagian tertentu, rumah adat Karo memiliki ragam hias berupa lukisan atau ukiran. Tujuan keberadaan ragam hias tersebut adalah sebagai unsur estetis yang memperindah rumah adat. Di sisi lain, ragam hias juga digunakan untuk menolak bala bagi empunya rumah, serta untuk memberi rezeki bagi penghuni rumah (Sitanggang, 1992: 41). Bagian dari rumah adat Karo yang paling dominan menggunakan ragam hias adalah pada bagian depan rumah (ayo) dan dinding rumah bagian bawah (dapur-dapur atau melmelen).
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan dengan teknik analisis dan interpretasi. Data-data penelitian yang berkaitan dengan gerga tulak paku, padung-padung dan arsitektur tradisional Karo yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan pendekatan estetika. Data-data diperoleh melalui studi literatur dari buku-buku referensi dan jurnal, serta hasil wawancara dengan narasumber yang memahami kebudayaan Karo. Pendekatan estetika adalah pendekatan yang khusus menekankan aspek-aspek seni dan desain dalam kaitannya dengan daya tarik estetik. Yasraf Amir Piliang dalam “Esai Pembuka: Pendekatan dalam Penelitian Desain, Pelbagai Perkembangan Paradigma”, dalam John A. Walker, Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif, terjemahan
Laily Rahmawati (2010: xxiii), mengemukakan bahwa, kekuatan estetika muncul dari aspek bentuk, isi (simbol), dan ekspresi (ungkapan emosi). Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Piliang tersebut, pendekatan estetika dalam penelitian ini akan mengacu pada pendapat A. A. M. Djelantik (2004) yaitu bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek dasar yakni: 1) wujud atau rupa (appearance); 2) bobot atau isi (content, subtance); dan 3) penampilan, penyajian (presentation). Wujud dipahami sebagai bentuk (titik, garis, bidang, ruang) dan susunan (keseimbangan, tekanan/penonjolan, kesatuan/keutuhan). Bobot atau isi meliputi apa yang dilihat (teraga) dan apa yang dihayati (tak teraga). Dalam konteks ini, bobot atau isi mencakup suasana (mood), gagasan (idea), dan pesan (message). Penampilan atau penyajian adalah bagaimana sebuah karya seni ditampilkan yang melibatkan bakat, keterampilan, dan medium (Djelantik, 2004:15-25). Analisis dengan pendekatan estetika dilakukan untuk mengetahui relasi unsur gerga tulak paku yang diterapkan pada bentuk perhiasan padung-padung, serta aplikasinya dalam arsitektur tradisional Karo.
Data, diskusi, dan hasil/temuan
Suku Karo tinggal di dataran tinggi Karo yang dikelilingi dengan keindahan panorama dan tanah yang subur. Budaya dan adat istiadat masyarakat Karo terbentuk oleh keadaan yang tidak lepas dari lingkungannya. Sumber kehidupan dari bercocok tanam banyak mempengaruhi kebudayaan masyarakat Karo. Agraris culture ini telah berlangsung berabad-abad dan melahirkan suatu tradisi dan kemudian menjadi budaya. Kedekatan mereka dengan alam yang memberikan sumber pangan berlimpah menjadikan masyarakat Karo memiliki apresiasi yang tinggi terhadap alam sekitarnya serta mengelola segala sesuatu yang mendukung ekosistemnya. Kedekatan dengan alam menjadi inspirasi bagi masyarakat Karo dalam berbagai hal, di antaranya berupa ragam hias yang banyak diadaptasi dari stilasi tumbuhan dan hewan.
Ragam hias biasanya dijumpai pada benda-benda kerajinan dan benda seni lainnya. Gerga juga identik dengan rumah raja atau rumah orang kaya, yaitu rumah-rumah adat yang pada bagian luar rumahnya terdapat ragam hias (Parlindungan, 2005: 463). Ditinjau dari sisi kesejarahannya, ragam hias yang dimiliki oleh masyarakat Karo dibuat dengan maksud sebagai penolak bala, menangkal roh jahat, dan untuk tujuan pengobatan (Tarigan, 2018: 276). Ragam hias Karo memiliki jenis, motif, dan juga makna yang beragam. Salah satu contoh, ragam hias tupak salah sipitu-pitu (bintang tujuh) dibuat pada benda pakai berupa ukat (sendok bambu) dengan keyakinan akan terhindar dari keracunan makanan jika menggunakan sendok tersebut. Pengaruh eksternal yang berkaitan dengan agama dan keyakinan menyebabkan ragam hias tidak lagi dipandang hanya dari segi kekuatan daya penangkalnya, namun lebih sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga dikembangkan sebagai karya seni.
Pola ragam hias yang diterapkan pada rumah tradisional Karo dibuat berdasarkan keinginan pemilik rumah, sedangkan variasi dari ornamennya tergantung pada keahlian dan imajinasi pembuatnya. Sebelum memulai pekerjaan membuat ragam hias, baik berupa ukiran maupun lukisan, terlebih dahulu diawali dengan mengadakan ritual menjamu para pekerja (pande). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak dijumpai kendala dalam proses pengerjaan ragam
hias, dan sang pemilik rumah pun selalu dalam keadaan sehat. Warna yang dominan digunakan pada ragam hias Karo adalah merah, hitam dan putih, kemudian muncul warna-warna lain seperti kuning dan biru. Warna tersebut diperoleh dari bahan-bahan alam seperti bahan tanah (abu), gambir, pinang, kunyit, kulit kayu, dan bahan alam lainnya. Namun saat modernisasi mulai masuk ke dataran tinggi Karo, maka penggunaan bahan-bahan alam ini kemudian mulai ditinggalkan dan digantikan dengan cat buatan pabrik.
Rumah adat Karo yang menggunakan ragam hias terdiri dari beberapa jenis, tergantung jumlah keluarga yang menghuninya. Keluarga yang mendiami rumah adat ini pada umumnya terdiri dari delapan keluarga, namun ada juga yang sepuluh, duabelas, bahkan enam belas keluarga. Rumah adat yang dihuni oleh delapan keluarga disebut siwaluh jabu. Berikut adalah beberapa jenis ragam hias Karo atau gerga yang diterapkan pada rumah adat Karo siwaluh jabu (Gambar 1).
Gambar 1. Rumah Adat Karo dengan Beberapa Ragam Hias: (1) bunga gundur, (2) cimba lau, (3) embun sikawiten, (4) tulak paku, (5) pengretret, (6) tapak Raja Sulaiman
Sumber: https://instagram.com/rumahadatk?utm_medium=copy_link, 2021
Makna ragam hias yang diterapkan pada rumah adat pada Gambar 1 adalah sebagai berikut: bunga gundur digunakan sebagai hiasan, cimba lau bermakna kecerahan, embun sikawiten melambangkan kemakmuran, tulak paku memiliki makna tuah manusia sebagai kemuliaan, pengeretret sebagai simbol kekuatan penolak setan dan persatuan masyarakat dalam menyelesaikan masalah, sedangkan tapak Raja Sulaiman menjadi penunjuk jalan agar tidak tersesat, khususnya pada saat seseorang memasuki hutan. Selain ragam hias yang telah disebutkan, masih terdapat beberapa jenis ragam hias yang lain seperti bindu matagah, bintang waluh, tabung ketutup, layan-layan, ipen-ipen, dan lain sebagainya.
Selain dijumpai pada rumah adat, ragam hias juga diterapkankan pada berbagai perlengkapan yang digunakan sehari-hari, misalnya pada ukat (sendok sayur), gantang (sejenis alat takar beras), cincin, kalung anak anak, cimba lau (gayung) serta pada pakaian adat seperti; uis gara, tudung, bulang-bulang, dan sebagainya (Tarigan 2018: 276). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pembahasan dalam penelitian ini memfokuskan pada analisis struktur bentuk gerga tulak paku yang diterapkan pada bentuk perhiasan padung-
padung, serta aplikasinya dalam arsitektur tradisional Karo. Di antara beberapa jenis ragam hias yang telah disebutkan sebelumnya, ragam hias yang memiliki struktur bentuk menyerupai padung-padung adalah gerga tulak paku. Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara dengan budayawan dan antropolog yang memahami tentang kebudayaan Karo, yang menyatakan bahwa struktur bentuk padung-padung diadaptasi dari bentuk gerga tulak paku. Oleh karena itu analisis akan dilakukan pada struktur bentuk gerga tulak paku dan padung-padung yaitu pada tiga aspek dasar yang terdiri dari: wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi (content, subtance), dan penampilan, penyajian (presentation). Melalui penelitian ini akan dianalisis apakah wujud, bobot (isi), dan penampilan padung-padung merupakan hasil adaptasi dari gerga tulak paku, dan bagaimana penerapannya dalam arsitektur tradisional Karo.
Djelantik (2004: 15) mengemukakan bahwa salah satu hal yang harus dihadirkan dalam suatu penciptaan seni adalah wujud. Wujud terdiri dari bentuk (form) atau unsur yang mendasar, dan susunan atau struktur (structure). Padung-padung memiliki struktur bentuk berupa ikal (spiral) ganda pada bagian kanan dan kiri. Keduanya memiliki ukuran yang sama besar dengan posisi simetris namun saling berlawanan. Perhiasan ini dibuat dari perak dan emas jenis suasa. Perak atau suasa yang telah dilelehkan kemudian dibentuk menjadi spiral yang solid. Penggunaan material logam yang solid tersebut menyebabkan padung-padung menjadi berat, sehingga untuk mengurangi berat pada saat dikenakan, salah satu ujung padung-padung dikaitkan pada tudung (penutup kepala) perempuan Karo yang mengenakannya.
Ditinjau dari struktur bentuknya, padung-padung memiliki bentuk dasar berupa spiral yang diadaptasi dari bentuk binatang kaki seribu (millipede) atau tangga-tangga dalam bahasa Karo, yang sedang menggulung (Sitepu, 1980: 55). Binatang ini akan menggulung secara otomatis sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan bahaya yang mengancamnya. Hal ini kemudian dimaknai sebagai harapan bagi perempuan Karo agar dapat menjaga diri dari segala ancaman yang datang dari luar. Juara R. Ginting, salah seorang antropolog dari Leiden University yang mendalami budaya Karo, menyebutkan bahwa bentuk lengkung menyerupai spiral pada padung-padung merujuk pada bentuk pucuk atau tunas tanaman paku atau pakis. Jenis tanaman paku ini bisa berkembang biak melalui daunnya (Wawancara dengan Juara R. Ginting, 10 April 2021).
Gerga atau ragam hias Karo membentuk pola geometrik serta stilasi tumbuhan dan hewan yang tampil secara berulang (repetition). Ragam hias tulak paku memiliki struktur bentuk flora yaitu tanaman pakis. Bentuk gerga ini melengkung ke kanan dan ke kiri dengan bentuk daun pakis yang dinamis. Pada bagian tengahnya terdapat bentuk menyerupai bunga, namun bentuk tersebut bisa jadi adalah bakal daun yang belum tumbuh sempurna. Tumbuhan paku memiliki pucuk daun muda (Gambar 2) yang menggulung (crozier), sehingga menjadi karakteristik untuk dapat dibedakan dengan jenis tumbuhan lainnya (Allen, 1999). Bentuk pucuk tanaman paku ini dalam ragam hias suku Karo (gerga) disebut dengan tulak paku. Tulak berarti motif yang sinonim dengan kata curak dalam bahasa Karo atau corak dan pola dalam bahasa Indonesia. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tulak paku memiliki
arti motif pakis atau paku. Pucuk daun muda pada tumbuhan pakis inilah yang menjadi inspirasi bagi masyarakat Karo untuk mengadaptasi bentuknya pada gerga tulak paku (Gambar 3).
Struktur gerga tulak paku kemudian diterapkan pada bentuk padung-padung. Bentuk melingkar menyerupai pucuk daun pakis pada tulak paku dibuat berulang namun dengan pola yang tidak monoton sehingga terlihat dinamis. Namun pada padung-padung, kesan dinamis ini tidak terlihat karena bentuk spiral ganda yang simetris pada bagian kanan dan kiri (Gambar 4). Pola yang dinamis pada bentuk gerga tulak paku memunculkan kesan irama yang hidup pada saat diterapkan sebagai ragam hias pada arsitektur tradisional Karo. Terlebih pada saat dipadukan dengan ragam hias yang lain. Selain saling melengkapi dalam memberi makna sakral bagi bangunan tersebut, keberadaan ragam hias ini juga menambah nilai estetika.

Gambar 2. Pucuk daun muda pada tumbuhan pakis
Sumber:https://www.istockphoto. com/, 2021
Gambar 3. Ragam hias tulak paku pada rumah adat Karo Sumber: Ginting, Heryadi, Carolina, 2021.

Gambar 4. Padung-padung Sumber: Sibeth, 1991
Bobot atau isi adalah suatu nilai yang terkandung dalam karya seni. Menurut Djelantik (2004: 15) bobot atau isi terdiri dari beberapa aspek yaitu: suasana (mood), gagasan (idea), dan pesan (message). Sebuah simbol berperan dalam seni di berbagai tingkatan dan menurut kepercayaan dan tradisi sosial yang menginspirasi penciptanya. Di satu sisi, simbol dan motif yang terlihat dalam karya seni peradaban kuno merupakan tanda-tanda identitas budaya suatu bangsa dan penciri suatu masyarakat, dan di sisi lain dapat mewakili pemikiran dan persepsi mereka (Shokrpour, Rashidi, & Barmaki, 2017: 178). Motif pada suatu ornamen tidak terlepas dari makna yang dikandungnya. Motif adalah simbol dari pengalaman seseorang yang menciptakannya. Simbol muncul sebagai pernyataan atas dua hal yang disatukan dan didasarkan pada dimensinya (Saragi, 2018: 165).
Kehadiran gerga pada rumah adat Karo jika dianalogikan ke dalam sistem religi mengandung makna konotatif dan bernilai sakral. Oleh karena itu penempatan gerga yang bernilai sakral ditempatkan pada tempat yang tinggi dan terhormat, dunia atas adalah dunia debata, dewa, leluhur, orang-orang sakti, raja, orang-orang terhormat, bahkan termasuk kalimbubu (Erdansyah, 2011: 121). Untuk menjaga kesakralan gerga, proses pembuatannya pun tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang dan melalui ritual pemberian kampil tumba
(tempat sirih) beserta isinya, amak mbentar (tikar putih untuk tempat tidur), cimpa (kue-kue lepat), dan lau penguros (air dari beberapa jenis jeruk dengan campuran lada, garam, dan kunyit yang telah digiling). Kemudian dilanjutkan dengan acara pemulih pande (pemulang tukang) dengan menyediakan beras, manuk megara sabungan (ayam jantan merah), rimo pangir, dan dagangan mbentar (kain putih). Tujuannya adalah terjaganya keselamatan tukang (pande) dan yang pemilik rumah.
Penerapan gerga tulak paku pada arsitektur tradisional Karo tidak berdiri sendiri, melainkan dibuat bersama beberapa ragam hias seperti: tapak Raja Sulaiman, cimba lau, embun sikawiten, dan pengretret. Runtutan ragam hias ini dibuat secara berulang. Tujuan menerakan gerga tulak paku pada dapur-dapur rumah adalah agar seluruh penghuni rumah dianugerahi usia yang panjang. Makna dibalik bentuk tulak paku adalah tuah manusia sebagai kemuliaan. Ada juga yang mengartikan sebagai lambang kebesaran atau keagungan manusia (Sitanggang, 1992: 44). Fungsi gerga tulak paku selain untuk memperkuat sudut rumah, juga diyakini dapat menambah umur panjang. Oleh karena itu bagian punggungnya digambarkan membungkuk menyerupai gunduk pakis atau daun pakis muda.
Brinkgreve & Stuart-Fox (2013: 55) menyebutkan bahwa padung-padung merupakan pemberian seorang ayah kepada anak gadisnya di hari pernikahannya. Perhiasan tersebut melambangkan statusnya yang baru setelah menikah. Hal tersebut mengandung pesan tentang rasa cinta seorang ayah kepada anak perempuannya. Meskipun masyarakat Karo menganut sistem patrilineal yang berarti kedudukan anak laki-laki memiliki posisi istimewa sebagai penerus marga, namun bukan berarti anak perempuan tidak memiliki arti sama sekali. Perhiasan yang dikenakan seorang perempuan mencerminkan strata sosial dan latar belakang keluarganya (Smirnova, 2019: 173). Padung-padung melambangkan status sosial dan kekayaan pemakainya, karena hanya perempuan suku Karo kelas atas (terhormat) dan berasal dari golongan mampu yang biasa memakainya (Richter dan Carpenter, 2011: 350).
Bentuk spiral memiliki makna yang cukup beragam. Apabila disatukan, makna simbolik spiral menggambarkan kekuatan matahari dan bulan, udara, air, guntur, kilat, pusaran, dan kekuatan kreatif. Secara kontradiktif, spiral juga menggambarkan naik dan turunnya matahari, pasang dan surutnya bulan, tumbuh-kembang-kematian, penyusutan, belitan dan bukaan, kelahiran dan kematian (Cooper, 1987: 158-159). Bentuk spiral pada padung-padung dimaknai sebagai kekuatan dalam menghadapi segala permasalahan hidup, khususnya bagi perempuan Karo yang mengenakannya.
Pesan-pesan yang ada di balik wujud gerga tulak paku maupun padung-padung merefleksikan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Meskipun keduanya tidak memiliki pesan yang sama, namun dalam kehidupan masyarakat Karo kedua hasil budaya tersebut memiliki makna yang penting tentang kekuatan dan kemuliaan manusia. Penerapan gerga tulak paku pada arsitektur tradisional Karo diyakini dapat berdampak kebaikan bagi penghuninya, yaitu menjaga keselamatan dan memberi usia yang panjang.
Penampilan atau penyajian adalah berkaitan dengan bagaimana sebuah karya seni disajikan, ditampilkan. Menurut Endansyah (2011: 127), unsur-unsur rupa pada gerga terdiri dari garis, bidang, ruang dan tekstur. Unsur garis dan bentuknya menunjukkan benang merah yang
menghubungkan kebudayaan Karo dengan kebudayaan megalitikum. Oleh karena itu unsur garis pada gerga akan dilihat berdasar ciri dan kesamaannya dengan bentuk ragam hias pada masa kebudayaan megalitikum. Pola geometris dengan motif yang merupakan stilasi dari tumbuhan pada gerga seperti: tulak paku, bunga gundur, pantil manggis, embun sikawiten, cikala pancung, merupakan pemenuhan estetik pada arsitektur tradisional yang bersifat profan. Meskipun demikian, gerga juga merepresentasikan religi (sakral) dan kekerabatan (semi sakral).
Dapur-dapur merupakan bagian dari rumah tempat melekatnya dinding. Fungsi dapur-dapur yang sedemikian rupa, menyebabkan bagian ini berperan sebagai pengikat seluruh anggota keluarga yang ada di dalam rumah adat, agar tetap membentuk suatu kesatuan. Dapur-dapur disebut juga dengan melmelen. Ragam hias tapak Raja Sulaiman serta ragam hias lainnya seperti cimba lau (riak air) dan tulak paku ditempatkan di dapur-dapur karena posisinya yang berada pada bagian terluar dari rumah adat (Gambar 5). Fungsi hiasan ini sebagai penutup tiang, hampir sama dengan fungsi singa-singa di Batak Toba. Dalam hal ini bukan berarti di bagian lain tidak ada ornamennya, namun dapur-dapur merupakan tempat yang paling sesuai, dan terlihat dengan jelas meskipun dari jarak yang jauh. Menurut kepercayaan masyarakat Karo, ornamen ini memiliki kekuatan yang menyerupai kekuatan Nabi Sulaiman, sehingga mahluk halus takut jika melihatnya.
Atap
Derpih (dinding)
Dapur-dapur
Gambar 5. Bagian depan rumah adat Karo termasuk dapur-dapur dengan gerga tulak paku dan ragam hias lain ditempatkan
Sumber: weltenbummlermag.de, 2021
Keunikan padung-padung ditandai dengan ukurannya yang cukup besar dan cara penggunaannya. Perhiasan ini dikenakan dengan cara memasukkan bagian ujungnya ke lubang daun telinga bagian atas dengan ujung yang lain dikaitkan pada kain penutup kepala pemakainya. Cara pemakaian padung-padung tidak sama antara telinga sebelah kanan dengan telinga sebelah kiri. Pada telinga kanan, padung-padung dikenakan ke arah belakang dengan posisi spiral ke atas, sedangkan pada telinga sebelah kiri padung-padung menghadap ke depan dengan posisi spiral menghadap ke bawah. Hal ini ternyata memiliki makna implisit yang melambangkan kehidupan sebuah perkawinan yang tidak selamanya berjalan mulus. Selalu akan timbul kondisi yang menyenangkan (disimbolkan dengan posisi spiral pada padung-padung menghadap ke atas) dan terkadang kondisi susah (disimbolkan dengan
posisi spiral menghadap ke bawah). Oleh karena itu dalam sebuah kehidupan perkawinan, sepasang suami istri harus saling mendukung (Rodgers, 1985: 322).
Gambar 6. Penggunaan perhiasan padung-padung tidak sama antara telinga kanan dan kiri Sumber: https://mercatorfonds.be, 2021
Gerga tulak paku dan padung-padung sama-sama diposisikan pada bagian yang mudah tertangkap oleh indera penglihatan. Penempatan gerga tulak paku pada dapur-dapur, yaitu bagian terluar dari rumah adat Karo, membuat keberadaan ragam hias ini menjadi salah satu penanda identitas kultural pada bangunan tersebut. Padung-padung dengan bentuknya yang unik dan ukuran yang di luar kelaziman perhiasan anting pada umumnya, membuat perhiasan ini terlihat menonjol dan menarik untuk dicermati. Ditinjau dari sisi penampilan, unsur lengkung tumbuhan paku pada gerga tulak paku, yang kemudian diadaptasi pada bentuk padung-padung, terlihat menyatu dengan gerga lain yang ditampilkan pada bagian derpih arsitektur tradisional Karo. Kesatuan unsur geometris dan organis gerga pada arsitektur tradisional Karo ini tidak lepas dari keterampilan dan kreativitas pembuatnya.
Kesimpulan
Ditinjau dari wujudnya, struktur bentuk padung-padung memiliki kemiripan dengan gerga tulak paku, dan keduanya mengambil unsur pola organis dari bentuk daun pakis muda. Jika dirunut dari awal mula keberadaan keduanya, maka bentuk padung-padung merupakan penerapan dari bentuk gerga tulak paku. Hal ini didasari dari beberapa referensi yang menyebutkan bahwa bangunan tradisional Karo beserta ragam hiasnya telah ada sejak beberapa abad silam, sedangkan padung-padung dikenakan oleh perempuan Karo pada abad ke-19 hingga 20. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa jika ditinjau dari aspek wujud atau rupa (appearance), terdapat relasi antara gerga tulak paku dan padung-padung. Relasi tersebut dijumpai pada bentuk padung-padung yang merupakan penerapan bentuk gerga tulak paku, sedangkan gerga tulak paku sendiri merupakan stilasi dari bentuk tumbuhan paku (daun pakis muda).
Ditinjau dari aspek bobot atau isi (content, substance), gerga tulak paku dan padung-padung memiliki makna tentang kekuatan dan kemuliaan manusia. Selain mengandung makna kekuatan dan kemuliaan manusia, penerapan gerga tulak paku pada arsitektur tradisional Karo secara religi atau sakral diyakini dapat menjaga keselamatan dan memberi usia yang panjang bagi penghuninya. Pada aspek penampilan, penyajian (presentation), gerga tulak paku bersama ragam hias yang lain ditempatkan di posisi terluar dari arsitektur tradisional Karo, sehingga keberadaannya dapat dilihat dengan jelas. Secara profan, nilai estetika gerga
tulak paku pada arsitektur tradisional menjadi identitas suku Karo yang mudah dikenali berdasarkan penempatannya tersebut. Dalam hal ini, relasi antara gerga tulak paku dan padung-padung dalam arsitektur tradisional memang tidak ditemukan secara eksplisit, namun keduanya tampil secara menonjol dalam fungsinya masing-masing.
Daftar Pustaka
Allen, G. L. (1999). Cognitive abilities in the service of wayfinding: a functional approach. Professional Geographer, 51(4), 554-561. DOI: https://doi.org/10.1111/0033-
0124.00192
Al-Faruqi, I. R., Hadikusumo, H., Permata, A. N. (1999). Seni Tauhid : Esensi dan Ekspresi Estetika Islam/ Ismail Raji Al-Faruqi; penerjemah, Hartono Hadikusumo; penyunting, Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Daun Pakis Muda.
https://www.istockphoto.com/id/search/2/image?page=4&phrase=daun%20pakis, diunduh pada 10 September, 2021.
Djelantik, A. A. M. (1999). Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Erdansyah, F. (2011). Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatera Utara. Jurnal Dewa Ruci, 7(1), 115-139.
Ginting, S., Heryadi, H., Carolina, S., B. (2021). Upaya Pelestarian Rumah Adat Karo Melalui Rupa Ragam Hias di Sumatra Utara. Serat Rupa Journal of Design, 5(1), 122-141. DOI: https://doi.org/10.28932/srjd.v5i1.2868
Joustra, M. (1907). Karo-Bataksch woordenboek. Leiden: E. J. Brill.
Rodgers, S. (1985). Power and Gold: Jewelry from Indonesia, Malaysia and the Philippines from the Collection of the Barbier-mueller Museum Geneva. United Kingdom: Pretel Pub.
Rumah Adat Karo. https://instagram.com/rumahadatk?utm_medium=copy_link, diunduh pada 10 September 2021.
Siwaluh Jabu. https://www.weltenbummlermag.de/wp-content/uploads/2014/05/karo-batak-lingga-11-1132x754.jpg, diunduh pada 10 September 2021.
Saragi, D. (2018). Pengembangan Tekstil Berbasis Motif dan Nilai Filosofis Ornamen Tradisional Sumatra. Jurnal Panggung, Institut Seni Budaya Indonesia, 28(2), 161174. DOI: http://dx.doi.org/10.26742/panggung.v28i2.445.g376.
Shokrpour, S., Rashidi, R., & Barmaki, F. (2017). Semiotics of Animal Motifs in the Jewelry of the Achaemenid Era. Conservation Science in Cultural Heritage, 17(1), 169–181. DOI: https://doi.org/10.6092/issn.1973-9494/7954.
Sibeth, A. (1991). The Batak: Peoples of the Island of Sumatra (Living with ancestors). United Kingdom: Thames & Hudson.
Sitanggang, H. (1992). Arsitektur Tradisional Batak Karo. Jakarta: Proyek Pembinaan Media Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud
Sitepu, A. G. (1980). Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo, Seri A. Medan: E Karya. Smirnova, E. V. (2019). Some Notes on Traditional Maratha Jewelry. Etnografia, 4(6), 172180. DOI: 10.31250/2618-8600-2019-4(6)-172-180
Susanto, M. (2011). Diksi Rupa Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa. Yogyakarta dan Bali: DictiArt Lab & Djagad Art House.
Tarigan, S. (2018). Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya. Medan: Si BNB Press
The Power of Silver. https://mercatorfonds.be/en/product/the-power-of-silver/, diunduh pada 10 September 2021.
Veth, P. J., Wilken, G. A., Klinkert, H. C. (1883). Catalogus der afdeeling Nederlandsche Koloniën van de internationale koloniale en uitvoerhandel tentoonstelling (van 1 Mei tot ult°. October 1883) te Amsterdam. Leiden: E. J. Brill.
Walker, J. A. (1989) Design History and the History of Design. London: Pluto Press.
Ucapan Terima Kasih
Artikel ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik atas dorongan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen pembimbing di Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung yaitu: Dr. Imam Santosa, M.Sn, Dr. Achmad Haldani Destiarmand, M.Sn, dan Dr. Agus Sachari, M.Sn. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan beserta jajarannya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti yang merupakan afiliasi penulis.
72
SPACE - VOLUME 9, NO. 1, APRIL 2022
Discussion and feedback