Tren Wisata Sepeda Urban Masa Pandemi: Kesiapan Ruang di Perkampungan Bantaran Sungai Gajah Wong Yogyakarta
on
RUANG
SPACE
TREN WISATA SEPEDA URBAN MASA PANDEMI: KESIAPAN RUANG DI PERKAMPUNGAN
BANTARAN SUNGAI GAJAH WONG YOGYAKARTA
Oleh: Wiyatiningsih1, Kristian Oentoro2, Sita Yuliastuti Amijaya3
Abstract
Cycling has become a trend during the time of the Covid-19 pandemic. The government of Yogyakarta has taken advantage of the opportunity in creating cycling tourism. It is expected that the program can reactivate tourism activities. Cycling-based tourism is organized in the administrative areas of Yogyakarta including urban kampungs. Nevertheless, it seems that not all kampungs are ready to support this strategy. Based on the background, the research aims at evaluating the spatial preparedness of kampungs on the Gajah Wong riverbank to facilitate cycling tourism. The research implements a qualitative method – an explorative case study. The kampungs on the Gajah Wong riverbank are selected due to the uniqueness of spaces and their contribution to forming the Yogyakarta image. The cycling tourism route is analyzed with five principles implemented in the Netherland - friendly infrastructure design comprising coherence, directness, safety, comfort, and attractiveness. Study results show that socio-cultural aspects play a key role in the development of spatial characteristics of kampungs located along the Gajah Wong riverbank. This becomes the primary attraction for tourists. Social interaction between tourists and residents along the kampung corridor forms a social space that has the potential to increase tourists’ experience of the Kampungs.
Keywords: urban cycling tourism; kampungs; pandemic; Gajah Wong riverbank
Abstrak
Bersepeda menjadi tren selama masa pandemi Covid-19. Pemerintah Kota Yogyakarta menangkap perubahan gaya hidup tersebut dengan membuat program wisata sepeda untuk membangkitkan kembali aktivitas pariwisata. Wisata sepeda dilakukan di wilayah administrasi Kota Yogyakarta, termasuk kawasan perkampungan kota. Namun demikian, sepertinya belum semua perkampungan yang dilewati oleh rute wisata sepeda siap sebagai destinasi wisata sepeda. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesiapan ruang di perkampungan, khususnya bantaran Sungai Gajah Wong, untuk mendukung aktivitas wisata sepeda. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif - studi kasus eksploratif. Perkampungan di bantaran Sungai Gajah Wong dipilih sebagai studi kasus dengan mempertimbangkan keunikan ruang dan kontribusinya terhadap pembentukan karakter Kota Yogyakarta. Kesiapan ruang sebagai jalur wisata sepeda dinilai dengan lima prinsip desain infrastruktur ramah sepeda yang diterapkan di Belanda, yaitu: keterpaduan, kelangsungan, keselamatan, kenyamanan dan kemenarikan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aspek sosial budaya memiliki peran kunci dalam pembentukan karakteristik ruang perkampungan di bantaran Sungai Gajah Wong yang menjadi daya tarik utama bagi pesepeda. Interaksi sosial antara pesepeda dengan penduduk setempat di sepanjang lorong kampung membentuk ruang sosial yang berpotensi untuk meningkatkan kenyamanan pesepeda.
Kata kunci: wisata sepeda urban; perkampungan; pandemi; bantaran Sungai Gajah Wong
Pendahuluan
Tren bersepeda pada masa pandemi Covid-19 membuka peluang bagi pengembangan bisnis di bidang sepeda, termasuk penyelenggaraan paket kegiatan bersepeda. Peluang usaha ini dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta sebagai sarana untuk menggiatkan kembali kegiatan pariwisata yang terhenti akibat pandemi. Lima jalur wisata sepeda didesain sebagai inovasi kegiatan pariwisata yang disebut sebagai Monalisa, yaitu “menikmati harmoni Jogja dengan lima jalur sepeda”. Setiap jalur sepeda diberi nama (brand) sesuai dengan potensi unggulannya, yaitu: Rute 1 Romansa Kota Lawas, Rute 2 Tilik Jeron Benteng, Rute 3 Jajah Kampung Susur Sungai, Rute 4 Jelajah Harmoni Pesona Kampung, dan Rute 5 Taman Pintar Taman Budaya. Lokasi penelitian ini berada di Rute 1 Romansa Kota Lawas, khususnya pada penggal Kampung Muja Muju dan Giwangan di bantaran Sungai Gajah Wong. Penggal perkampungan di bantaran sungai ini penting untuk dikaji, karena keberadaannya di rute kawasan cagar budaya yang menjadi potensi unggulan Kota Yogyakarta.
Sungai Gajah Wong merupakan satu dari tiga sungai yang melalui Kota Yogyakarta. Bersepeda di lorong perkampungan yang terletak di tepi Sungai Gajah Wong dapat memberikan pengalaman unik bagi pesepeda. Bukan hanya pengalaman visual perkampungan di bantaran Sungai Gajah Wong yang didapatkan oleh pesepeda, namun juga kesempatan untuk berinteraksi dengan penduduk kampung yang dilalui oleh rute sepeda. Untuk mengetahui keberhasilan eksplorasi perkampungan di bantaran Sungai Gajah Wong melalui wisata sepeda, maka studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kesiapan ruang dan infrastruktur rute wisata sepeda di sepanjang bantaran Sungai Gajah Wong yang menjadi lokasi studi. Kesiapan infrastruktur pada studi kasus dievaluasi dengan menggunakan lima prinsip desain infrastruktur ramah sepeda yang diterapkan di Belanda menurut CROW (2017) dalam (Küster, 2019, hal. 10), yaitu: keterpaduan (coherence), kelangsungan (directness), keselamatan (safety), kenyamanan (comfort), dan kemenarikan (attractiveness). Hasil dari evaluasi terhadap kesiapan ruang dan infrastruktur pada rute wisata sepeda di perkampungan bantaran Sungai Gajah Wong dapat menjadi acuan bagi pengembangan wisata sepeda Kota Yogyakarta agar berkelanjutan.
Studi tentang wisata sepeda atau jalur wisata sepeda yang pernah dilakukan sebelumnya dapat dikelompokkan ke dalam empat topik studi, yaitu: pertama, transportasi sepeda sebagai sarana untuk pengembangan wisata urban yang berkelanjutan (Roman & Roman, 2014); (Duran, Sevínç, & Harman, 2018); (Mamrayeva & Tashenova, 2017); (Wirawan, 2016); (Gazzola, Pavione, Grechi, & Ossola, 2018); (Nilsson, 2019)). Kedua, perencanaan jalur sepeda dan kedudukannya dalam tata ruang kota (Listantari & Soemardjito, 2017). Ketiga, persepsi dan motivasi pesepeda dalam melakukan wisata sepeda (Sheng, 2015); (Aquarita, Rosyidie, & Pratiwi, 2016); (Laksmana, Rachmat, & Tahir, 2020). Keempat, studi literatur tentang konsep, isu-isu dan arah wisata sepeda pada masa mendatang (Sabri, Anuar, Adib, & Azahar, 2019). Berdasarkan studi yang pernah dilakukan sebelumnya tersebut, maka studi tentang jalur wisata sepeda di perkampungan di bantaran sungai ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Studi ini mengaitkan antara kegiatan wisata sepeda dan dampaknya terhadap pengembangan fisik tata ruang perkampungan, serta peran
sosial budaya masyarakat dalam keberlanjutan wisata sepeda. Ketiadaan studi tentang wisata sepeda di kawasan bantaran sungai merupakan celah yang akan diisi oleh penelitian ini.
Review Literatur
Kajian pustaka yang melandasi penelitian ini mencakup tiga bagian, yaitu: pertama, kategori wisata sepeda untuk mengetahui kedudukan wisata sepeda Kota Yogyakarta serta jenis aktivitas yang menyertainya. Kedua, konteks dalam wisata sepeda merupakan bagian tak terpisahkan dari pemilihan rute wisata sepeda. Konteks mencakup tiga aspek utama keberlanjutan, yaitu sosial budaya, lingkungan dan ekonomi. Ketiga, prinsip pengembangan rute dan destinasi wisata sepeda akan dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai kesiapan ruang pada studi kasus penelitian ini.
Wisata sepeda (bicycle tourism) atau wisata bersepeda (cycling tourism) menekankan aktivitas bersepeda sebagai komponen dasar dari perjalanan di luar lingkungan tempat tinggal seseorang. Wisata sepeda merupakan pengalaman perjalanan yang fokus pada sepeda sebagai moda transportasi utama untuk tujuan pariwisata (Sabri, Anuar, Adib, & Azahar, 2019). Wisata sepeda juga dipahami sebagai wisata yang melibatkan aktivitas menonton dan berpartisipasi dalam sebuah acara bersepeda atau berpartisipasi dalam sebuah tur yang independen maupun terorganisasi (Ritchie, Tkaczynski, & Faulks, 2010).
Bersepeda dapat dibedakan menjadi aktivitas kompetitif dan non kompetitif. Bersepeda non kompetitif biasa disebut sebagai bersepeda rekreasi (Lamont, 2009 dalam (Nilsson, 2019). Aktivitas wisata sepeda rekreasi mencakup rentang aktivitas perjalanan mulai dari setengah hari atau sehari penuh sampai perjalanan liburan panjang. McKibbin (2015) dalam (Nilsson, 2019) mengelompokkan wisatawan sepeda menjadi dua kategori, yaitu: proper bicycle tourists, bersepeda sebagai alasan utama perjalanan; dan holiday cyclist, bersepeda menjadi bagian dari pengalaman liburan.
Lima rute wisata sepeda Kota Yogyakarta dirancang sebagai sarana rekreasi bersepeda melalui obyek-obyek yang menjadi identitas Kota Yogyakarta, serta kawasan perkotaan yang beragam karakteristiknya. Sebagai aktivitas rekreatif, wisata sepeda Kota Yogyakarta dilengkapi dengan atraksi yang berupa obyek pemandangan maupun aktivitas sosial dan kultural yang melibatkan warga setempat. Wisata sepeda ini dikategorikan sebagai holiday cyclist, dimana aktivitas bersepeda sebagai bagian dari pengalaman liburan dan bukan sebagai fokus utama.
Pada saat ini wisata bersepeda meningkat popularitasnya sebagai rekreasi dan keberlanjutan global (Lee & Huang, 2014). Wisata sepeda menggabungkan konteks lokal yang spesifik, baik kawasan pegunungan, pinggiran, maupun pemandangan urban. Wisata sepeda erat kaitannya dengan wisata kultural yang berkembang seiring waktu. Richards (2001) dalam (Istoc, 2012) menjelaskan perkembangan karakteristik wisata kultural yang dimulai dari wisata heritage, wisata budaya, dan wisata kreatif. Konsumsi wisata kreatif tidak hanya berupa produk dan proses, namun juga pengalaman dan transformasi.
Aktivitas rekreasi bersepeda dapat membantu perekonomian penduduk lokal dan menawarkan peluang untuk mencapai lingkungan hijau/ramah lingkungan selama wisatawan menjelajah tempat yang mereka kunjungi (Handy, Heinen, & Krizek, 2012). Wisata sepeda berpotensi untuk berkontribusi pada pembangunan destinasi secara ekonomi, sosial dan lingkungan (Faulks, Ritchie & Flucker, 2007). Gazzola, Colombo, Pezzetti dan Nicolescu (2017) dalam (Sabri, Anuar, Adib, & Azahar, 2019) menyebutkan bahwa pengembangan wisata sepeda juga dapat menonjolkan produk wisata lain di sepanjang jalur destinasi, karena wisatawan menjelajah melalui destinasi bersepeda yang dapat berupa restorasi arsitektur dan lansekap yang indah.
Konteks dari studi kasus lima rute wisata sepeda di Kota Yogyakarta adalah perkampungan di bantaran Sungai Gajah Wong. Konteks ini memiliki keunikan dari aspek fisik jalur sepeda wisata yang berupa lorong di antara permukiman kampung yang padat dengan pemandangan sungai. Aspek non fisik yang berpengaruh terhadap aktivitas wisata sepeda dalam konteks ini adalah interaksi sosial antara pesepeda dengan penduduk setempat akibat kedekatan jarak pandang antara jalur sepeda dengan rumah.
Pengembangan rute wisata sepeda berbasis ecotourism perlu memperhatikan empat aspek yang diperlukan oleh pesepeda yaitu: 1) crystalization points, integrasi daya tarik lokal; 2) access to the route, infrastruktur penghubung daya tarik lokal; 3) signage along the route, penanda yang mempermudah perjalanan; dan 4) certain infrastructure, infrastruktur pendukung aktivitas bersepeda(Aschauer, et al., 2021).
Mengadopsi dari desain infrastruktur pendukung aktivitas bersepeda di Belanda, CROW (2017), Küster menyebutkan lima prinsip desain infrastruktur yang ramah pesepeda (cycling-friendly infrastructure), yaitu: coherence (keterpaduan), directness (kelangsungan), safety (keselamatan), comfort (kenyamanan) dan attractivenes (kemenarikan) (Küster, 2019).
Kesiapan ruang di perkampungan bantaran Sungai Gajah Wong yang dilalui oleh rute wisata sepeda akan dibahas dengan menggunakan lima prinsip desain infrastruktur ramah pesepeda menurut CROW. Kelima prinsip desain tersebut dapat menjadi alat analisis yang sesuai untuk membahas jalur sepeda maupun ruang di sepanjang jalur yang berpengaruh terhadap kualitas aktivitas wisata sepeda. Sedangkan pembahasan rute wisata sepeda berbasis ecotourism akan difokuskan pada aspek crystalization point, karena pentingnya kedudukan studi kasus ini pada jalur sepeda unggulan, yaitu Rute 1 Romansa Kota Lawas. Selain itu, studi kasus yang berlokasi di perkampungan bantaran Sungai Gajah Wong merupakan representasi Kota Yogyakarta dari tipologi permukiman kampung.
Metode
Studi ini menerapkan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus eksploratif yang bertujuan untuk mencari tahu lebih dalam tentang suatu kasus untuk kemudian dapat memberikan suatu hipotesis (Raco, 2010, hal. 50). Mengacu pada pengertian studi kasus sebagai serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas, baik pada tingkat
perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut (Rahardjo, 2017), penelitian ini memilih Rute 1 Romansa Kota Lawas, khususnya penggal perkampungan bantaran sungai di Kelurahan Muja Muju sebagai studi kasus karena lokasinya yang berada pada destinasi strategis Kota Yogyakarta..
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui observasi lapangan dan wawancara dengan pihak-pihak terkait. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, data statistik, peraturan daerah serta sumber-sumber elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Observasi lapangan dilakukan melalui partisipasi peneliti dalam kegiatan bersepeda di Rute 1 Romansa Kota Lawas. Seperti ditunjukkan oleh Gambar 1, 2, dan 3, penggal jalur sepeda di bantaran sungai Gajah Wong di Kelurahan Muja Muju merupakan bagian dari Rute 1 yang dimulai dari Kantor Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dan berakhir di Bendung Lepen Gajah Wong. Observasi difokuskan pada penggal jalur sepeda yang langsung berhadapan dengan rumah-rumah penduduk.


Gambar 1. Peta Kota Yogyakarta Sumber: https://peta-hd.com/peta-kota-yogyakarta/

Gambar 3. Jalur Kampung
Muja Muju
Sumber: Google Maps, 2021
Gam bar 2. Rute 1 Romansa Kota Lawas
Sumber: Jogja Smart
Service, 2021
Analisis terhadap kesiapan infrastruktur pendukung sepeda wisata di Kelurahan Muja Muju mengacu pada prinsip desain infrastruktur yang ramah pesepeda (cycling-friendly infrastructure) CROW (2017), yaitu:
-
1. Coherence (keterpaduan): karakteristik arsitektur, lansekap dan street furniture di penggal jalur Kampung Muja Muju dipandang dari branding Rute 1 Romansa Kota Lawas.
-
2. Directness (kelangsungan): keterjangkauan akses dan keterhubungan jalur Kampung Muja Muju dengan jalur berikutnya menuju ke finish.
-
3. Safety (keselamatan): elemen-elemen pendukung keselamatan pesepeda di sepanjang jalur Kampung Muja Muju.
-
4. Comfort (kenyamanan): elemen fisik dan non fisik yang mempengaruhi kenyamanan pesepeda.
-
5. Attractivenes (kemenarikan): obyek, aktivitas atau suasana yang menjadi daya tarik bagi pesepeda.
Data, diskusi, danhasil/temuan
Studi kasus untuk menilai kesiapan infrastruktur pendukung wisata sepeda di Muja Muju mencakup wilayah permukiman yang berada di tepi koridor/jalur wisata sepeda. Area permukiman ini termasuk dalam kawasan penataan program Kotaku Daerah Istimewa Yogyakarta. Peningkatan kualitas kawasan ini cukup signifikan yang berupa penataan rumah-rumah kumuh yang semula menempel ke tepi sungai digeser sejauh tiga sampai empat meter dengan arah hadap ke sungai dan bertingkat untuk memenuhi kebutuhan ruang. Ruang terbuka di sepanjang tepi dipergunakan sebagai jalan inspeksi yang ditutup dengan conblock dan dilengkapi pagar pembatas sungai (Subarkah, 2019). Pemerintah Kota Yogyakarta menamakan gerakan penataan ruang di bantaran sungai ini sebagai gerakan M3K (Mundur, Munggah, Madhep Kali) (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2017). Wisata Sepeda Rute 1 memanfaatkan jalan inspeksi ini sebagai jalur sepeda dengan pemandangan bentang alam sungai dengan bendungan, rumah-rumah dan aktivitas penghuninya di sepanjang koridor rute sepeda. Selain itu, kawasan ini juga dilengkapi dengan gardu pandang bendungan dan ruang terbuka publik.
Hasil penilaian terhadap kesiapan infrastruktur pendukung wisata sepeda di Muja Muju ditinjau dari prinsip desain infrastruktur yang ramah pesepeda (cycling-friendly infrastructure) CROW (2017) adalah sebagai berikut:
Jalur sepeda di Muja Muju memiliki tipologi ruang yang berbeda dengan tipologi di Kotabaru dan Kotagede yang menjadi ikon utama dari Rute 1. Kotabaru merupakan area permukiman elit peninggalan masa Kolonial Belanda yang saat ini berkembang sebagai kawasan bisnis. Kawasan Kotagede merupakan awal mula tumbuhnya kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta yang saat ini menjadi destinasi pariwisata minat khusus. Sedangkan, Muja Muju merupakan permukiman padat di bantaran Sungai Gajah Wong yang memiliki karakteristik arsitektur rumah kampung Jawa (Gambar 4).
Arsitektur Indis di Kotabaru & Kotagede Arsitektur Jawa Kampung di Muja Muju
Gambar 4. Perbedaan Karakteristik Arsitektur di Muja Muju dengan Kotabaru dan Kotagede Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Mempertimbangkan perbedaan karakteristik fisik antara kota lama (Kotabaru dan Kotagede) dengan perkampungan di Muja Muju, dapat disebutkan bahwa branding Rute 1 Romansa Kota Lawas tidak secara langsung mencakup jalur sepeda di Muja Muju yang terletak di bantaran Sungai Gajah Wong.
Meskipun memiliki karakteristik arsitektur yang berbeda dengan destinasi sekaligus ikon Rute 1 Romansa Kota Lawas, perkampungan di Muja Muju dilengkapi dengan street furniture yang berupa lampu jalan khas Kota Yogyakarta yang juga terpasang di Kotagede (Gambar 5). Desain lampu jalan pada kedua kawasan ini mengacu pada desain lampu jalan di kawasan strategis utama Kota Yogyakarta, yaitu Malioboro. Pola dasar ornamen pada tiang lampu jalan menggunakan bentuk organis dengan motif flora. Bentuk dan pola ornamen pada tiang lampu jalan khas Yogyakarta ini mengandung makna filosofis dan nilai-nilai yang tersirat (Saputri & Hidayah, 2014). Pemasangan street furniture lampu jalan yang sejenis di Muja Muju dan Kotagede menunjukkan adanya keterpaduan antar kawasan. Selain itu, coherence (keterpaduan) antar kawasan ini diperkuat dengan pemasangan papan penunjuk arah dengan desain bermotif ukiran yang terpasang di persimpangan jalan.

Street Furniture Lampu Jalan Penunjuk Arah di
di Muja Muju Persimpangan Jalan

Street Furniture Lampu Jalan di Kotagede
Gambar 5. Keterpaduan antara Kawasan Muja Muju dengan Kotagede melalui Desain Lampu Jalan dan Penunjuk Arah Rute Sepeda
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Jalur sepeda di Muja Muju berada di antara Kotabaru dengan Kotagede. Akses menuju Muja Muju ditempuh melalui jalan raya kendaraan bermotor dan jalan-jalan kampung menuju ke area bantaran Sungai Code. Seperti ditunjukkan pada Gambar 6, jalur menuju Muja Muju melalui beragam tipe jalan, baik jalan raya maupun jalan lingkungan di dalam area permukiman. Ditinjau dari posisinya, jalur bantaran sungai di Muja Muju bukan jalur kendaraan utama menuju ke Kotagede, namun didesain sebagai jalur alternatif bagi wisata sepeda. Keterjangkauan akses jalan ke perkampungan ini memudahkan pesepeda untuk mencapai lokasi. Selain itu, melalui jalur ini pesepeda mendapatkan pengalaman visual dan suasana aktivitas sosial yang berbeda dibandingkan dengan suasana di jalan raya.
Keterhubungan antara Muja Muju dengan jalan raya utama menuju Kotagede mempermudah perjalanan pesepeda. Kemudahan ini diperkuat dengan kondisi jalur jalan di bantaran sungai yang sudah tertata dengan material penutup paving block dan alur jalan
yang mudah ditemukan dan diikuti oleh pesepeda. Dengan demikian, aspek directness (kelangsungan) jalur di Muja Muju dapat terpenuhi oleh desain Rute 1.

Gambar 6. Posisi dan Kondisi Jalur Sepeda di Bantaran Sungai Gajah Wongpada Rute 1 Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
-
c. Safety (keselamatan)
Keselelamatan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam mendesain infrastruktur jalur sepeda. Pada studi kasus inikondisi jalan sepeda yang berpengaruh terhadap keselamatan pesepeda berbentuk kemiringan jalan, pembatas jalan dengan sungai, jalan raya tanpa jalur sepeda dan penyeberangan jalan raya. Tabel 1 berikut ini menjelaskan kondisi jalan yang berpengaruh terhadap faktor keselematan pesepeda, risiko dan rekomendasi untuk perbaikannya.
Tabel 1. Kondisi Jalan yang Berpengaruh terhadap Keselamatan Pesepeda di Muja Muju pada Jalur Sepeda Rute 1
Kondisi Jalan
Risiko Rekomendasi
Kemiringan jalan terlalu curam:
Jalan masuk ke area bantaran sungai di kawasan Muja Muju


Jatuh atau menabrak pejalan kaki karena jalan sempit
Mencari alternatif akses masuk dengan kondisi jalan yang lebih landai
Pembatas Jalan dengan Sungai:
Antara jalan dengan tebing sungai dibatasi pagar permanen yang kokoh dan warna mencolok yang mudah dilihat


Sudah baik
Kondisi Jalan
Risiko Rekomendasi
Jalan Raya tanpa Jalur Sepeda:
Jalan raya menuju dan setelah kawasan Muja Muju tidak dilengkapi dengan jalur sepeda
Menyeberangi Jalan Raya:
Perlu menyeberangi jalan raya untuk memutar balik menuju destinasi berikutnya (Rejowinangun)


Benturan atau terserempet kendaraan bermotor pada kondisi lalu lintas padat
Perlu dibuat jalur sepeda sebagai penanda bagi kendaraan bermotor untuk lebih berhati-hati


Kecelakaan lalu lintas karena jalan menanjak dengan kendaraan berkecepatan tinggi
Modifikasi jalur sampai ke persimpangan jalan yang dilengkapi dengan traffic light.
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari empat kondisi jalan hanya satu faktor yang memiliki kondisi sudah baik, yaitu adanya pagar pembatas antara tebing sungai dan jalan sepeda. Sedangkan tiga faktor lainnya kurang memenuhi kebutuhan keselamatan pesepeda, yaitu kemiringan jalan yang curam pada akses masuk ke perkampungan bantaran sungai di Muja Muju, jalan raya yang tidak dilengkapi dengan jalur sepeda, dan lokasi penyeberangan sepeda yang melalui jalan raya. Berdasarkan kondisi jalan tersebut, maka direkomendasikan adanya perubahan jalur akses masuk yang lebih landai, pembuatan jalur sepeda pada jalan raya dan modifikasi jalur sepeda yang dilengkapi traffic light sehingga lebih aman untuk dilalui sepeda.
Kenyamanan yang diharapkan oleh pesepeda adalah kondisi jalan sepeda yang baik dengan permukaan jalan yang rata. Kenyamanan jalan melebihi daya tarik branding ataupun atraksi visual dari jalur sepeda tersebut (Aschauer, et al., 2021). Pada studi kasus ini, kondisi jalan yang baik dengan permukaan yang rata ditemukan terutama di jalan raya. Jalan lingkungan menuju ke perkampungan Muja Muju sebagian memiliki kualitas permukaan yang rata, namun di sebagian titik terdapat “polisi tidur” yang agak menyulitkan bagi pesepeda. jalur Sedangkan, jalan di dalam perkampungan menggunakan paving block sebagai material penutupnya. Kondisi jalan seperti ini sedikit menimbulkan goncangan bagi sepeda jenis road bike yang didesain untuk permukaan jalan beraspal. Namun demikian, kondisi permukaan jalan yang tidak rata dapat diatasi dengan penggunaan jenis sepeda yang tepat, misalnya hybrid bike yang merupakan persilangan road bike dengan mountain bike. Wisata sepeda Kota Yogyakarta ini biasanya menawarkan paket lengkap termasuk persewaan sepeda, sehingga jenis sepeda bisa disesuaikan untuk kondisi jalan-jalan di lingkungan perkotaan.
Pemandangan yang diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan visual pada jalur sepeda ini adalah pemandangan bentang alam sungai dengan bendungan serta perkampungan warga lokal yang berderet menghadap ke arah jalan dan sungai. Untuk menikmati
pemandangan bendungan disediakan gardu pandang di taman yang terletak berdekatan dengan bendungan. Taman di sekitar gardu pandang biasanya dipergunakan sebagai tempat perhentian karena memiliki lahan terbuka yang cukup luas sebagai area parkir sepeda dan tempat untuk mengabadikan bendungan sebagai obyek foto (Gambar 7).
Gambar 7. Taman dan Gardu Pandang Bendungan sebagai Sarana Istirahat dan Obyek Foto Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Kenyamanan visual bagi pesepeda sedikit terganggu oleh pemandangan aktivitas privat warga yang tinggal di rumah-rumah sepanjang jalan sepeda, seperti peletakan perabot dan barang-barang, serta jemuran pakaian di depan rumah. Pemandangan semacam ini dapat menimbukan kesan kumuh dan mengurangi kenyamanan bagi pesepeda yang melaluinya (Gambar 8).
Gambar 8. Peletakan Perabotdan Jemuran Pakaian di depan Rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Pemandangan visual seperti pada Gambar 8 tidak terlalu banyak ditemukan di Muja Muju. Sebagian besar rumah-rumah di sepanjang jalur sepeda sudah tertata dengan baik. Bagi sebagian pesepeda, situasi keseharian waga setempat tersebut justru menjadi obyek pemandangan yang menarik. Namun, jika terlalu banyak barang pribadi yang berada di depan rumah dan terlihat oleh publik akan mengganggu kenyamanan visual.
Attractivenes (kemenarikan) dari jalur sepeda di bantaran sungai di Kelurahan Muja Muju terkait erat dengan potensi lokal pendukung branding Rute 1 Romansa Kota Lawas. Pada kasus ini, potensi loKal antara lain terdiri dari arsitektur, kuliner, produk kerajinan dan
event budaya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kuliner dan produk kerajinan lokal tidak ditemukan di sepanjang jalur bantaran Sungai Gajah Wong di Kelurahan Muja Muju. Event budaya diselenggarakan pada saat-saat khusus sebagai bagian dari ritual budaya masyarakat setempat. Namun, event budaya dapat diselenggarakan dalam bentuk pertunjukan bagi grup-grup pesepeda yang menginginkan.
Mempertimbangkan kondisi lingkungan pada jalur sepeda di bantaran sungai di Kelurahan Muja Muju, dapat disebutkan bahwa bentang alam sungai dan bendungan Gajah Wong menjadi atraksi utama bagi pesepeda. Atraksi ini dijadikan sebagai obyek pemandangan sekaligus obyek foto. Selain itu, lingkungan kampung di bantaran sungai yang tertata rapi juga menjadi atraksi arsitektur yang unik dari penggal jalur sepeda ini. Rumah-rumah berderet yang paling dekat dengan jalur sepeda tidak hanya menarik secara fisik, namun juga secara non fisik yang berupa aktivitas keseharian yang menghidupkan suasana kampung tersebut. Selain itu, kesempatan untuk berinteraksi dengan warga ketika melewati penghuni yang berada di depan rumah menjadi daya tarik bagi pesepeda (Gambar 9).
Gambar 9. Suasana Lingkungan Alam dan Permukiman di Muja Muju sebagai Atraksi Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Kesimpulan
Berdasarkan jenis kegiatannya, wisata sepeda di Rute 1 Romansa Kota Lawas Yogyakarta termasuk dalam kategori wisata sepeda yang mengutamakan aktivitas bersepeda baik sebagai sarana transportasi maupun atraksi wisata. Daya tarik aktivitas bersepeda ini ditingkatkan melalui jalur sepeda yang melalui kawasan bersejarah dan perkampungan perkotaan di bantaran Sungai Gajah Wong sebagai tipikal kampung kota di Yogyakarta. Dengan demikian, konteks lokasi menjadi aspek penting dalam peningkatan daya tarik setiap rute sepeda. Selain itu, aktivitas bersepeda sebagai daya tarik utama memerlukan dukungan infrastruktur yang memadai, termasuk penyediaan sepeda bagi wisatawan yang tidak menyediakan sepeda sendiri.
Evaluasi terhadap infrastruktur yang tersedia pada jalur sepeda di bantaran Sungai Gajah Wong di Kelurahan Muja Muju menunjukkan hasil bahwa kelima kriteria desain infrastruktur ramah lingkungan menurut CROW belum bisa diimplementasikan sepenuhnya pada Rute 1 Romansa Kota Lawas, khususnya penggal jalan di bantaran Sungai Gajah Wong di Kelurahan Muja Muju. Pemenuhan kriteria desain yang mencakup aspek fisik seperti directness (kelangsungan), safety (keselamatan) dan comfort (kenyamanan) memerlukan penanganan secara terintegrasi lintas sektoral. Kriteria coherence (keterpaduan) dan attractiveness (kemenarikan) yang tidak hanya mencakup
aspek fisik, namun juga sosial budaya dan ekonomi, merupakan aspek promosi yang penting untuk meningkatkan daya saing program wisata sepeda di era tren bersepeda masa pandemi. Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat di jalur sepeda dalam pengembangan program wisata sepeda ini.
Hasil dari penelitian ini dapat dipergunakan sebagai acuan bagi penelitian sejenis untuk memperdalam permasalahan terkait wisata sepeda dan tata ruang urban sebagai pendukungnya. Mengingat keterbatasan hasil penelitian ini, maka direkomendasikan untuk penelitian lanjutan yang terkait dengan pengembangan jalur sepeda di perkotaan yang dapat dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang kota yang ramah lingkungan dan layak huni.
Daftar Pustaka
Aquarita, D., Rosyidie, A., & Pratiwi, W. D. (2016). Potensi Pengembangan Wisata Sepeda di Kota Bandung berdasarkan Persepsi dan Preferensi Wisatawan. Jurnal Pengembangan Kota, 4(1), 14-20.
Aschauer, F., Hartwig, L., Michael, M., Unbehauen, W., Gauster, J., Klenschitz, R., & Pfaffenbichler, P. (2021). WP3 Ecotourism Planning: Guidelines for Sustainable Bicycle Tourism. Output 3.3. Vienna: Institute for Transport Studies University of Natural Resources and Life Sciences.
Duran, E., Sevínç, F., & Harman, S. (2018). Cycle Tourism as an Alternative Way of Tourism Development in Canakkale, Turkey. Journal of Awareness, 3(4), 25 - 34.
Gazzola, P., Pavione, E., Grechi, D., & Ossola, P. (2018). Cycle Tourism as a Diver for the Sustainable Development of Little-Known or Remote Territories: The Experiences of the Apennine Regions of Northern Italy. Sustainability, 1-19.
Istoc, E.-M. (2012). Urban Cultural Tourism and Sustainable Development. International Journal for Responsible Tourism, 38-55.
Küster, F. (2019). Practitioner Briefing: Cycling. Supporting and Encouraging Cycling in Sustainable Urban Mobility Planning. Brussels: European Platform on Sustainable Urban Mobility Plans.
Laksmana, T. A., Rachmat, H., & Tahir, R. (2020). Strategi Pengembangan Wisata Bersepeda berdasarkan Karakteristik Motivasi Pesepeda Urban (pada Grup Sepeda TOC dan JGC-SCAM). Jurnal Pariwisata Terapan, 4(1), 73-91.
Listantari, & Soemardjito, J. (2017). Desain Jalur Sepeda di Wilayah Perkotaan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Transportasi Multimoda, 15(1), 13-24.
Mamrayeva, D., & Tashenova, L. (2017). Prospects of Bicycle Sharing in Urban Tourism in the Republic of Kazakhstan: Myth or Reality? Transport Problems: Problemy Transportu, 12(2), 65-76.
Nilsson, J. H. (2019). Urban Bicycle Tourism: Path Dependencies and Innovation in Greater Copenhagen. Journal of Sustainable Tourism, 27(11), 1648-1662.
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2017, March 10). Kotaku Nasional. Retrieved from Facebook.com: https://www.facebook.com/kotaku.pu.go.id/posts/m3k-atau-mundur-munggah-madep-kali-merupakan-gerakan-yang-digalakkan-oleh-pemeri/1881414135437978/
Raco, J. (2010). Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Rahardjo, M. (2017, January 31). Research Repository. Retrieved from Studi Kasus dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan Prosedurnya: http://repository.uin-
malang.ac.id/1104/
Ritchie, B. W., Tkaczynski, A., & Faulks, P. (2010). Understanding the Motivation and Travel Behavior of Cycle Tourists Using Involvement Profile. Journal of Travel and Tourism Marketing, 27(4), 409 - 425.
Roman, M., & Roman, M. (2014). Bicycle Transport as an Opportunity to Develop Urban Tourism - Warsawa Example. Procedia - Social and Behavioral Science, 151, 295 -301.
Sabri, N. A., Anuar, F. I., Adib, A. M., & Azahar, N. (2019). A Systematic Review on Bicycle Tourism: Concepts, Issues, and Future Directions. TEAM Journal of Hospitality and Tourism, 16(1), 49-66.
Saputri, D. S., & Hidayah, R. (2014). Evaluasi Street Furniture Lampu Jalan di Koridor Kawasan Malioboro, Yogyakarta. INERSIA, X(2), 154 - 162.
Sheng, Y. (2015). Understanding the Motivations of Bicycle Tourists in New Zealand: The Case of Hauraki Rail Trail. New Zealand: Master of International Tourism Management AUT University.
Subarkah, L. (2019, December 22). Hasil Program Kotaku Dipamerkan. Retrieved from Harian Jogja:
https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/12/22/510/1027684/hasil-program-kotaku-dipamerkan
Wirawan, K. (2016, January). Wisata Sepeda dalam Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan di Sanur. JUMPA, 2(2), 1-16.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih atas kerja sama rekan-rekan dosen dan mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana yang tergabung dalam tim penelitian Rute Sepeda Kota Yogyakarta tahun 2021. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Yogyakarta yang telah memberikan dukungan finasial untuk penyelenggaraan penelitian ini.
50
SPACE - VOLUME 9, NO. 1, APRIL 2022
Discussion and feedback