Analisis Keberlanjutan Aspek Sosial Ekonomi Pada Kampung Topeng, Tlogowaru di Kota Malang Pasca Pandemi Covid-19
on
RUANG
SPACE

ANALISIS KEBERLANJUTAN ASPEK SOSIAL EKONOMI PADA KAMPUNG TOPENG, TLOGOWARU DI KOTA MALANG PASCA PANDEMI COVID-19
Oleh: Magvira Ardhia Pratiwi1, Novi Sunu Sri Giriwati2
Abstract
The vast and rapid viral spread during the Covid-19 pandemic in Indonesia urged the government to impose a Large-Scale Social Restriction Regulation. One significant impact of this restriction is the closure of vast tourist destinations, including Kampung Topeng, in the Tlogowaru District of Malang City. The development of this kampung into a tourist destination is one of the Desaku Menanti Program’s initiatives, which aims at improving the living standard of the homes-less members of the community by providing them with opportunities to work within their kampung which has been now developed into a tourist destination. It had headed toward achieving this objective till the Covid-19 pandemic arrived at the end of 2019. Tourism-related activities have stopped, and so has its economic contribution. Focusing its discussion on the socio-economic issues, this study examines the development practices at the Kampung Topeng in the aftermath of the Covid-19 pandemic. It bases its analysis on indicators outlined by the Sustainable Development Goals (SDGs). The study implemented a qualitative descriptive method in which data were obtained from observations and interviews with relevant stakeholders and residents. Overall, the study result shows that Kampung Topeng tourist development is unsustainable. Having examined how each SDGs is reflected in development practices, this study finds that three SDGs are accommodated in a ‘sustainable’ manner, two SDGs are reflected in a ‘quite sustainable’ ways, and six SDGs are embedded in an ‘unsustainable’ degree. It is expected that these review results will assist relevant local governments in instigating a guideline for socio-economically sustainable tourism; thus, its goal to halt the return of the homeless group to the street and enhance its welfare is achievable.
Keywords: village tourism; social, economy; SDGs, post Covid-19
Abstrak
Persebaran virus secara luas dan cepat di masa pandemi Covid-19 di Indonesia memicu pemberlakuan Peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Salah satu dampak dari pembatasan ini adalah penutupan tempat wisata, seperti halnya yang terjadi di Kampung Topeng, Kelurahan Tlogowaru di Kota Malang. Pembangunan Kampung ini sebagai destinasi wisata merupakan salah satu inisiatif dari Program Desaku Menanti yang bertujuan meningkatkan taraf hidup para gelandangan dengan membuka kesempatan kerja di kampungnya sendiri yang sekarang telah dibangun sebagai destinasi wisata. Pada awalnya usaha ini sudah mengarah pada pencapaian tujuan sampai tibanya pandemi Covid-19 di akhir tahun 2019. Kegiatan kepariwisataan terhenti, begitu pula halnya dengan kontribusi ekonomi. Dengan memfokuskan kajian pada aspek sosial-ekonomi, penelitian ini mengkaji beragam praktek pembangunan di Kampung Topeng pasca pandemi Covid-19. Analisa dalam studi ini didasari oleh indikator-indikator yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Studi ini menerapkan metode deskriptif kualitatif. Data didapatkan dari observasi dan wawancara dengan stakeholder dan warga. Hasil studi menunjukkan bahwa pembangunan di Kampung Topeng belum berkelanjutan. Dengan mengkaji sejauh mana SDGs direfleksikan dalam praktek pembangunan, penelitian ini menemukan jika tiga item SDGs sudah diakomodasi pada level ‘berkelanjutan,’ dua SDGs direfleksikan dalam kategori ‘cukup berkelanjutan,’ dan enam SDGs dirangkul pada klasifikasi ‘belum berkelanjutan.’ Diharapkan jika temuan ini akan menjadi acuan dalam penyusunan panduan pembangunan industri wisata yang secara sosial ekonomi berkelanjutan, sehingga upaya menstop kembalinya para gelandangan ke jalan, dan peningkatan kesejahteraannya bisa tercapai.
Kata kunci: kampung wisata; sosial; ekonomi; SDGs; pasca Covid-19
Magister Arsitektur Lingkungan Binaan, Universitas Brawijaya
Email: magvira.ardhia@student.ub.ac.id
Magister Arsitektur Lingkungan Binaan, Universitas Brawijaya
Email: novie_gieriwati@yahoo.com
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara berkembang yang mengalami permasalahan sosial di lingkungan masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2015 penduduk miskin di Kota Malang berjumlah 391.000 jiwa atau sebesar 4,6 % dari jumlah penduduk Kota Malang. Kemiskinan ini bisa diakibatkan karena keterbatasan fisik, pendidikan yang rendah, tidak ada lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Kemiskinan ini tentunya menimbulkan masalah sosial lainnya, seperti munculnya gelandangan, pengemis, dan pengamen atau bisa disebut dengan gepeng. Latarbelakang tersebut akhirnya mendorong Kementerian Sosial Republik Indonesia mencanangkan program DESAKU MENANTI, yang salah satunya menargetkan Kota Malang dibawah pengawasan Dinas Sosial Kota Malang dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Insan. Tujuan program ini adalah membuat perkampungan baru dengan merelokasi para tunawisma, gelandangan, pengamen, pengemis, dan pemulung ke kampung tersebut. Kemudian, mereka diberi keterampilan modal keterampilan, pelatihan-pelatihan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB) (Aqidah, 2020a).
Program ini diimplementasikan di Kota Malang, yaitu pada Kampung Wisata Topeng yang diresmikan pada tanggal 14 April 2016. Warganya diberikan pelatihan keterampilan membuat topeng Malangan, pembuatan wahana wisata dan kebersihan desa, pelatihan produksi kuliner serta pelatihan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menjadi guide wisata dan pemberian edukasi budaya Topeng Malangan kepada para wisatawan. Dengan itu, masyarakat diharapkan mampu memanfaatkan potensi wisata sebagai ketersediaan lapangan pekerjaan sesuai kemampuan yang dimiliki. Perlahan para warga Tlogowaru mempraktikkan pelaksanaan pengembangan kampung dengan nuansa budaya Topeng Malangan. Setelah itu kampung tersebut dijadikan area wisata dengan sentra budaya khas Topeng Malangan (Aqidah, 2020a; Permana, 2018).
Kampung Wisata Topeng berlokasi berada di Dusun Baran, Kelurahan Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang yang terletak di bagian Tenggara Kota Malang seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang, wilayah objek berada di kawasan permukiman, tetapi karena kampung ini cenderung masuk dan berhimpitan dengan batas Kota Malang, karakteristik wilayahnya masih dipenuhi oleh bukit dan ruang terbuka hijau. Batas wilayah terlihat pada Gambar 1 yang dikelilingi oleh ruang hijau dan jaraknya dengan pusat kota yaitu Alun-Alun Kota Malang sekitar 10 km.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Sumber: RTRW Kota Malang, yang dianalisis peneliti, 2021
Kampung ini dikenal sebagai Kampung Topeng Desaku Menanti karena merupakan salah satu kampung binaan atas program pemerintah, tetapi kampung ini juga mendapatkan sebutan sebagai Kampung 1000 Topeng, karena di dalam area wisatanya menampilkan 1000 hiasan topeng. Konsep kampung topeng malangan sendiri dipilih karena menjadi salah satu ikon dan identitas Kota Malang, yang harapannya keberadaan kesenian dan budaya topeng malangan ini dapat dilestarikan dan diapresiasi. Kampung wisata ini berada di wilayah dengan dataran yang cukup tinggi. Selain itu, terdapat banyak pepohonan serta tanaman hias yang menjadikan suasana di kampung wisata topeng ini terasa sejuk dan asri. Kampung wisata ini memiliki luas sekitar 7000 m2 yang meliputi daerah pemukiman dengan 20 unit rumah warga dengan visual bangunan warna-warni untuk mendukung wisata dan ada wahana wisata lainnya. Pembagian area dan siteplan dapat dilihat pada Gambar 2.
LEGENDA:
1. Ruang hijau
2. Pintu masuk kawasan kampung
3. Area edukasi
4. Area wisata alam
5. Parkir
6. Musholla
7. Area wisata kampung
8. Omah Topeng
9. Camp Assesment LKS
Gambar 2. Siteplan Kampung Topeng
Sumber: Google Earth, yang di analisis peneliti, 202
Pada Kampung Topeng, pengunjung akan mendapatkan banyak daya tarik wisata. Berada di bagian paling depan, pengunjung disambut oleh dua buah topeng raksasa dengan tinggi 7,5 meter dan lebar 5 meter. Topeng itu adalah representasi dari tokoh Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji, cerita mereka sering dijumpai dalam seni dan tradisi Kota Malang. Selain itu, pengunjung juga akan diperlihatkan ornamen 1000 topeng yang berukuran kecil dan tersebar dibeberapa titik yang turut menambahkan suasana topengan dan dapat menjadi spotspot foto. Topeng-topeng menampilkan karakter tokoh topengan malang yang menjadi identitas visual sebagai upaya branding (Damara, 2019).
Kampung Topeng yang dapat dikatakan sebagai kampung wisata budaya ini sangat berhasil menarik banyak pengunjung untuk datang. Di awal pembukaan saja jumlah wisatawannya bisa mencapai hampir 70-100 orang setiap harinya (Yani, 2021). Namun sayangnya, berdasarkan hasil wawancara bersama Lembaga Kesejahteraan Sosial Kampung Topeng, semenjak kemunculan pandemi Covid-19 kampung wisata tersebut sepi pengunjung, bahkan saat ini tidak ada pengunjung yang datang. World Health Organization (WHO) menyatakan kondisi persebaran virus ini sebagai pandemik sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan agar tidak terjadi peningkatan kasus yang terinfeksi penyakit ini karena dapat menyebabkan kematian hingga ratusan ribu jiwa di Indonesia (PP RI, 2020). Pemerintah menanggapi pandemi ini dengan membuat peraturan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) sejak Maret 2020 yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah RI No 21 Tahun 2020. Peraturan PSBB ini merupakan pembatasan aktivitas masyarakat yang meliputi
peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Akibatnya ekonomi masyarakat, aspek politik, sosial, pertahanan, budaya, dan keamanan, ikut terdampak karena peraturan ini. Pariwisata yang merupakan sumber pendapatan ekonomi bagi negara dan masyarakat juga terpaksa tutup dan tidak bisa menerima pengunjung.
Akibat adanya peraturan PSBB dan dibatasinya aktivitas, pariwisata di kampung ini tutup dan tidak berjalan sehingga fasilitas-fasilitas pariwisata menjadi tidak terawat dan terbengkalai. Ekonomi warga turut terdampak karena bergantung pada aktivitas pariwisata di kampung ini (Yani, 2021). Penelitian ini akan mengkaji keberlanjutan aspek sosial dan ekonomi pada Kampung Topeng setelah kondisi pasca pandemi Covid-19. Tujuannya untuk menelaah tingkat ketercapaian keberlanjutan Kampung Topeng di Kota Malang setelah terdampak Covid-19 terhadap aspek sosial dan ekonominya dan juga untuk melihat tingkat partisipasi pelaku sosial di Kampung Topeng, yaitu masyarakat, pemerintah, dan akademisi atau mahasiswa.
Review Literatur
a. Pariwisata Budaya dan Kampung Wisata
Cultural tourism atau pariwisata budaya adalah perjalanan seseorang ke destinasi tertentu yang menawarkan atraksi budaya, situs sejarah, atau pertunjukkan seni dan budaya, yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru untuk memenuhi kebutuhan edukasi perkembangan diri. Atraksi wisata bisa berupa pameran, festival, makanan, seni, dll (Bonetti dkk, 2014). Wisatawan dapat terlibat pada kegiatan terkait budaya lokal seperti ritual dan perayaan yang hal ini dapat memberikan kesempatan kepada penduduk lokal dan wisatawan untuk terjadinya pertukaran budaya otentik. Selain itu, keadaan ini mendorong masyarakat lokal untuk lebih merangkul budaya mereka, yang dampaknya juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengembangkan program pariwisata yang berorientasi budaya, dan mempromosikan budaya daerah ke daerah lainnya (Alcoba dkk, 2017). Acara dan perjalanan yang diselenggarakan dan diarahkan untuk pengetahuan dan rekreasi dengan unsur-unsur budaya seperti: monumen, kompleks arsitektur atau simbol-simbol alam sejarah, serta acara seni/budaya/keagamaan, pendidikan, informatif atau edukasi alam. Pariwisata ini turut mengangkat aspek berwujud dan tidak berwujud dari budaya suatu tujuan wisata tertentu, seperti komunitas lokal, warisan, sejarah, arsitektur, tradisi, seni dan kerajinan, keahlian memasak, lukisan, tari, musik, praktik sosial, ritual, acara kemeriahan, dan aspek lainnya yang menjadi faktor identitas dan otentik (Santos dkk, 2020).
Rural tourism atau wisata pedesaan adalah pariwisata yang berisi berbagai macam kegiatan yang dikombinasikan, mulai dari wisata alam, petualangan dan olahraga, wisata kuliner, ekowisata, dan wisata budaya (Figueiredo & Raschi, 2012). Alasan utama masyarakat perkotaan memilih wisata pedesaan adalah untuk melepaskan diri dari stres kehidupan perkotaan. Sims (2009) menyebutkan bahwa tingkat originalitas kehidupan pedesaan merupakan faktor penting dari pariwisata pedesaan. Interaksi antara wisatawan dan masyarakat di lingkungan pedesaan dapat mempengaruhi kualitas pengalaman pada
pengunjung dengan cara memberikan pengalaman dengan produk yang diproduksi secara lokal serta berbagi pengetahuan tentang budaya dan sejarah lokal.
Pariwisata dengan perencanaan dan manajemen yang baik dapat memberikan dampak yang positif bagi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan (Rahman dkk, 2021). Hal ini menjadi kunci penting dalam memperkuat konsep pembangunan berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan adalah konsep pembangunan dan pengembangan pariwisata yang mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan disaat ini dan di masa depan, agar dapat memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat (UNWTO, 2005). Pariwisata berkelanjutan harus mencakup kepedulian terhadap perlindungan lingkungan, kesetaraan sosial, dan kualitas hidup, keragaman budaya, dan ekonomi yang dinamis dan layak agar dapat memberikan pekerjaan dan kemakmuran bagi semua orang (Zeng, 2022). Tujuan adanya praktik konsep ini adalah untuk mengurangi efek negatif yang disebabkan oleh dampak pertumbuhan pariwisata. Pariwisata berkelanjutan juga berfungsi untuk mengesinambungkan antara kebutuhan wisatawan dan daerah tujuan wisata dalam memberikan peluang dalam membangun wisata yang lebih menarik dan bertahan di masa-masa berikutnya (Yoeti, 2008). Selain wisatawan, masyarakat yang ada di dalam destinasi wisata juga memiliki tanggung jawab dalam membuat pariwisata tetap berkelanjutan (Andriani & Sunarta, 2015).
The United Nations World Tourism Organization (UNWTO) mempromosikan pariwisata berkelanjutan dengan menggunakan pedoman Sustainable Development Goals. Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan program negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sebagai rencana aksi global untuk menghentikan kemiskinan, mengurangi kesenjangan, melindungi bumi dan lingkungan, serta memastikan setiap orang hidup dengan aman dan layak. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030 yang berfokus kepada lima poin yaitu people, planet, prosperity, peace, dan partnership. Tujuan SDGs adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Aspek sosial ekonomi masyarakat menjadi salah satu tujuan yang penting dalam menciptakan pariwisata yang berkelanjutan (Fennel & Chris, 2020).
Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggambarkan keadaan objek penelitian untuk memahami fenomena secara mendalam dan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternalnya. Atribut penelitian yang diteliti berdasarkan goals SDGs yaitu Ketersediaan dan akses bahan makanan, lapangan pekerjaan, kemampuan untuk hidup sehat, kemampuan dalam akses pendidikan, kesetaraan gender, ketersediaan air yang baik, kemampuang penggunaan atau akses energi yang baik pada lingkungan binaan, kemampuan dan ketersediaan tempat tinggal yang layak bagi warganya, serta partnership.
Berdasarkan United Nations Foundation (2019), tujuan-tujuan dari SDGs ini memiliki lima fokus yang kemudian pada penelitian ini terangkum pada tiga kategori, yaitu the focus on people, the focus on planet and prosperity, dan partnership. Kategori the focus on people terdiri atas ketersediaan dan akses bahan makanan, lapangan pekerjaan, kemampuan untuk hidup sehat, kemampuan dalam akses pendidikan, dan kesetaraan gender. Kategori the focus on planet and prosperity terdiri atas ketersediaan air yang baik, pemanfaatan dan penggunaan energi ramah lingkungan, dan ketersediaan tempat tinggal yang layak. Sedangkan kategori partnership terdiri atas partisipasi masyarakat, partisipasi pemerintah, serta partisipasi akademisi dan organisasi mahasiswa. Atribut-atribut tersebut dijabarkan dan dianalisis keberlanjutannya sesuai kondisi eksisting di lapangan. Pengumpulan data penelitian dengan sumber data primer yaitu dengan observasi di lapangan dan wawancara, dan juga dengan sumber data sekunder, yaitu melalui buku, jurnal-jurnal, berita online, dan website.
Hasil Penelitian
-
a. The Focus on People
-
1) Ketersediaan dan Akses Bahan Makanan
Lokasi Kampung Topeng memang sangat jauh dari pusat kota dan jalan raya besar. Untuk mengakses bahan makanan, pada Kampung Topeng terdapat penjual sayur keliling di setiap paginya. Sedangkan untuk bahan makanan dan keperluan rumah tangga lainnya, warga turun ke kota dan pusat desa untuk membeli ke pasar dan toko sembako yang berada diradius 1 – 7 km dari kampung. Toko sembako atau bahan makanan yang terdekat memiliki jarak 500 meter dan untuk pasar yang terdekat berjarak 5,5 km. Bagi warga yang memiliki kendaraan tentunya lebih mudah dan fleksibel dalam mendapatkan keperluan rumah tangga, yang tentunya keadaan jauh berbeda dengan warga yang tidak memiliki kendaraan. Di kampung ini belum terdapat sistem produksi makanan mandiri atau bahkan tidak ada warga yang menanam tanaman bahan pangan di lingkungannya
-
2) Lapangan Pekerjaan
Warga Kampung Topeng pada awalnya bekerja sebagai pedagang kecil, pengemis, pengamen, geladangan, dan pemulung yang kemudian terkena razia oleh Dinas Sosial Kota Malang. Mereka kemudian disaring dan direlokasi ke Kampung Topeng jika memenuhi persyaratan. Para warga binaan sosial kemudian diberikan keterampilan untuk mendukung kegiatan pariwisata. Ketika kegiatan pariwisata berjalan, para warga kemudian beralih dan bekerja sebagai penjual makanan dan minuman, petugas ticketing, tour guide, pengrajin topeng, membuka toko kelontong, penjual gantungan kunci, boneka, kaos, dan aneka oleh-oleh lainnya. Bahkan di Kampung Topeng tersedia home industry untuk memproduksi rempeyek, snack, keripik tempe, berbagai macam makanan ringan, dan juga topeng sebagai produk utama. Pada penelitian Aqidah (2020b), pada awalnya warga Kampung Topeng sempat mengalami krisis pada awal relokasi karena kesulitan mendapatkan pekerjaan dan susah menemukan celah dan kesempatan bekerja. Mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa modal usaha tetapi tidak dapat dikelola dengan baik oleh mereka, sehingga sering tidak cukup. Akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, mereka mampu
beradaptasi dan mengikuti perkembangan wisata di tempat tinggalnya. Kampung Topeng saat menjadi tempat wisata mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi para warganya.
Namun, keadaan tersebut berbeda ketika kegiatan pariwisata di Kampung Topeng berhenti akibat pandemi Covid-19. Fasilitas pariwisata menjadi rusak dan tidak terawat, manajemen pariwisata yang tidak dikelola dengan baik, pihak pemerintahan yang tidak memperhatikan pengelolaan wisata disana, dan juga warga yang tidak insiatif untuk membantu mengembangkan wisata menjadi efek domino mengapa wisata berhenti. Pendapatan ekonomi warga turun drastis dan mereka harus mencari pekerjaan lain di luar Kampung Topeng. Ada yang bekerja sebagai buruh pabrik, pengusaha toko sembako, laundry, tambal ban, bekerja di bengkel, buruh bangunan atau kuli, ojek online, dan pabrik rokok. Ketidaktersedianya lapangan pekerjaan pada Kampung Topeng mendorong warganya untuk turun dari kampungnya dan bekerja di bawah atau di daerah desa dan kota. Pada kondisi eksisting terdapat beberapa warga yang bekerja di dalam Kampung Topeng dengan menawarkan barang dan jasa untuk keperluan sehari-hari seperti berjualan token listrik dan pembayaran air, menjadi guru PAUD, dan menjual minuman dingin dan snack, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3. Bagi yang punya ijazah SMA dapat bekerja sebagai tenaga operasional di Camp Assesment Lembaga Kesejahteraan Sosial Insan yang berpusat di Kampung Topeng.



Gambar 3. Lapangan Pekerjaan di Kampung Topeng Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
-
3) Kemampuan untuk Hidup Sehat
Kampung Topeng memiliki jumlah penduduk sebanyak 160 orang dan selama lima tahun terakhir atau dari tahun 2017 warga yang meninggal sebanyak 5 orang. Kesehatan warga cukup baik dan jarang memiliki penyakit yang serius. Walaupun selama pandemi Covid-19 banyak warga yang kembali turun ke jalan untuk mengemis dan mengamen, warga tidak ada yang terinfeksi virus Covid-19. Semua warga sudah divaksin, namun sayangnya tidak ditemukan protokol kesehatan di dalam Kampung Topeng. Warga tidak memakai masker dan masih sering berkerumun. Selain itu, sebagai tempat wisata juga tidak ditemukan wastafel untuk mencuci tangan dan banner protokol kesehatan. Warga memiliki mindset jika mereka mempunyai sistem kekebalan tubuh yang kuat karena sering berada di jalanan. Fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dan puskesmas cukup jauh dari Kampung Topeng dimana memiliki radius 6-7 km dari Kampung Topeng. Klinik yang terdekat dengan kampung ini berjarak 5,5 km. Sedangkan untuk puskesmas yang terdekat berjarak 4,2 km dari kampung.Pemukiman di Kampung Topeng juga kurang terjaga kebersihannya karena dapat ditemukan banyak sampah berserakan di jalan, di titik-titik yang berhadapan dengan rumah, di jalur pembuangan air, maupun di area wisata alamnya, seperti pada Gambar 4.
Warga yang sebelum direlokasi bertempat tinggal di bantaran sungai, pemukiman kumuh, dan sebagainya masih membawa kebiasaan membuang sampah sembarangan di kampung ini. Padahal sampah juga dapat membawa penyakit serius kepada masyarakat.
Gam bar 4. Kondisi Sampah di Kampung Topeng Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
-
4) Kemampuan dalam Akses Pendidikan
Kampung Topeng memiliki peningkatan yang cukup baik pada aspek pendidikannya, jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya disaat warganya masih berada di jalanan. Sebelum direlokasi di kampung ini, anak-anak menghabiskan waktunya untuk mengamen dan mengemis di jalan dan tidak bersekolah. Setelah adanya program ini, anak-anak menjadi semangat bersekolah dan sepulang sekolah mereka bermain dengan teman-teman sehingga tidak memiliki waktu untuk kembali ke jalanan.
Pendidikan anak disana cukup baik dan mereka rata-rata bersekolah. Terdapat juga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang berada di Kampung Topeng dan untuk tingkat sekolah lainnya seperti SD, SMP, dan SMA berada di wilayah sekitar desa yang berjarak 4-5 km dari Kampung Topeng. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas pendidikan pada warga adalah TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Belum ada yang menempuh sarjana karena keterbatasan biaya. Kondisi PAUD pada Kampung Topeng dapat dilihat pada Gambar 5.
Data Statistik Pendidikan Anak di Kampung Topeng menyebutkan terdapat 56 anak dengan rincian 41 anak yang bersekolah dan 15 anak yang tidak bersekolah. Kategori motivasi dan niat bersekolah pada anak juga bermacam-macam, sebanyak 25 anak memiliki niat dan motivasi yang tinggi untuk bersekolah, 16 anak yang tidak memiliki motivasi sekolah, dan 24 anak yang masih sering turun ke jalanan untuk kembali mengamen dan mengemis. Hal ini bisa terjadi karena ada anak-anak yang masih memiliki mindset jika uang adalah hal yang penting daripada pendidikan dan juga mereka masih punya keinginan yang besar untuk turun
ke jalanan. Selain faktor tersebut, ada juga faktor eksternal, yaitu faktor keluarga yang masih memiliki stigma jika pendidikan tidak penting, lebih baik bekerja untuk menambah pendapatan, keluarga yang tidak mampu untuk membiayai kebutuhan sekolah, serta adanya ajakan dari teman-temannya yang mempengaruhi mereka agar lebih baik mengamen daripada bersekolah. Walaupun begitu, pada warga Kampung Topeng sendiri, terdapat sekitar 11 orang yang telah lulus SMA, baik secara formal dan paket C, yang dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dalam meningkatkan taraf kehidupannya.
Pada kondisi pandemi Covid-19, anak-anak mengikuti kegiatan sekolah secara offline. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya fasilitas sekolah online baik dari sekolah dan orang tua setiap siswa yaitu gadget, laptop, dan kuota internet. Menurut hasil wawancara, mereka sempat mendapat sistem sekolah daring dengan cara para orangtua membawa tugas dari sekolah kerumah yang kemudian dikerjakan di rumah secara individu.
-
5) Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender pada Kampung Topeng sangat terlihat dari kalangan perempuan yang aktif bersekolah dan juga bekerja. Warga perempuan juga aktif bekerja sebagai buruh pabrik, penjahit, berjualan makanan di luar kampung, dan lain sebagainya. Pada saat wisata berjalan juga terdapat home industy yaitu produksi kripik tempe, rempeyek, dan makanan ringan lainnya yang mempekerjakan perempuan. Sehingga dapat disimpulkan jika perempuan di kampung ini mendapat keadilan dalam kesempatan untuk bekerja dan aktif secara sosial. Peran perempuan di kampung ini sangatlah aktif, salah satunya adalah Camp Assesment dan di Lembaga Kesejahteraan Sosial pada Kampung Topeng yang merekrut warga perempuan yang telah lulus SMA sebagai tenaga operasional disana.
-
b. The Focus on Planet and Prosperity
-
1) Ketersediaan Air yang Baik
Di Kampung Topeng sudah menggunakan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang artinya ketersediaan air disana baik dan aman. Meteran PDAM terinstalasi di setiap rumah warganya. Di dalam Kampung Topeng juga ditemukan satu sumur air yang lokasinya dekat dengan toilet untuk wisatawan. Ketersediaan air juga terjamin dengan adanya HIPPAM Sumber Tlogo yang berada di desa atau kurang lebih 400 meter dari Kampung Topeng. HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) adalah sumur artesis yang dibangun oleh pemerintah untuk ketersediaan air bersih sebagai persiapan untuk keadaan urgensi, seperti kekeringan dan kekurangan air bersih. Macam-macam sumber air terlihat pada Gambar 6.
Gam bar 6. Meteran PDAM, Sumur Air, dan Hippam Sumber Tlogo Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
-
2) Kemampuan Penggunaan atau Akses Energi yang Baik pada Lingkungan Binaan Warga Kampung Topeng sudah menggunakan sistem listrik pintar, listrik token, atau yang disebut dengan listrik prabayar dari PLN. Sehingga penggunaan listrik bisa dikontrol oleh penghuninya dan bisa lebih hemat energi. Selain itu, belum ditemukan adanya penggunaan energi terbarukan lainnya di kampung ini. Hanya saja, warga berusaha untuk me-recycle sampah-sampah yang dapat terbaik untuk menghiasi kampungnya. Seperti pada Gambar 7, sampah bekas toples diberi warna dengan cat dan kemudian dihias sebagai hiasan gantung. Selain itu ada penggunaan kayu dan bambu bekas yang dijadikan sebagai gapura untuk daya tarik dan dalam rangka memperingati 17 Agustusan.
Gambar 7. Recycle Sampah sebagai Dekorasi Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
-
3) Kemampuan dan Ketersediaan Tempat Tinggal yang Layak Bagi Warganya.
Di Kampung Topeng ini terdapat 20 bangunan rumah yang berukuran sekitar 14 x 4 meter, yang setiap satu bangunan rumah tersebut dibagi menjadi dua ruangan untuk dua kepala keluarga atau dibagi menjadi dua pintu rumah yang berbeda. Jadi setiap kepala keluarga memiliki tempat tinggal sebesar 7 x 4 meter. Rumah tersebut massive bermaterialkan batu bata ringan dan ada beberapa rumah yang tidak di finishing cat. Kondisi rumah disana dapat dikatakan kumuh, kotor, dan tidak terawat. Kebutuhan ruang pada rumah tinggal juga kurang cukup mengkapasitasi manusia yang menghuni. Diluar rumah nampak berserakan alat-alat rumah tangga karena kurangnya ruang penyimpanan didalam rumah. Selain itu, warganya juga kurang merawat kebersihan didalam dan di luar rumah, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Mapping dan Kondisi Rumah Tinggal Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Rumah tinggal di Kampung Topeng tidak memiliki kamar mandi privat disetiap rumahnya. Melainkan, mereka disediakan dua bangunan sebagai kamar mandi umum yang masing-masing memiliki 6-8 bilik kamar mandi yang juga secara penggunaan dibedakan antara kamar mandi perempuan dan kamar mandi laki-laki. Kamar mandi disana juga tidak terawat dan banyak pintu kamar mandi yang sudah rusak yang tentunya tidak layak dan privasinya tidak terjaga. Selain itu juga ada kamar mandi yang berada di musholla yang sangat kotor dan tidak terawat. Kamar mandi untuk wisatawan hanya memiliki dua bilik yang lokasinya cukup terpencil dan bangunannya kurang layak. Kondisi kamar mandi dan titik lokasinya dapat dilihat pada Gambar 9.
Toilet musholia
Gam bar 9. Mapping dan Kondisi Kamar Mandi Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
-
c. Partnership
-
1) Partisipasi Masyarakat
Pada awal pendirian Kampung Topeng sebagai Kampung Wisata, partisipasi masyarakat sangatlah tinggi. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam meramaikan dan memenuhi fasilitas wisata, seperti berjualan makanan dan minuman, berjualan oleh-oleh seperti peyek dan keripik tempe, menjadi petugas parkir dan loket, pengrajin topeng, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah pandemi Covid-19 dan wisata menjadi berhenti, partisipasi masyarakat sangat menurun. Mereka tidak memiliki inisiatif untuk menjaga, mengelola, dan ikut mengembangkan pariwisata di Kampung Topeng. Salah satu penghambat dari partisipasi masyarakat ini karena masih tertanamnya pola pikir yang serba “instan” dan juga materialistis. Hambatan lainnya adalah tidak adanya struktur organisasi pada kampung ini, seperti ketua kampung atau pimpinan, sehingga tidak ada yang menggerakkan warganya.
Dalam rangka HUT Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Malang pada tanggal 3 Oktober 2021, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan Kendungkandang dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Insan, mengajak kembali warga Kampung Topeng untuk berpartisipasi dalam kerja bakti dan melakukan perbaikan pada fasilitas wisata untuk menyiapkan Kampung Topeng agar bisa buka kembali. Kegiatan tersebut diikuti oleh sebagian warga baik laki-laki dan perempuan seperti terlihat pada Gambar 10.
Gam bar 10. Partisipasi Warga dalam Kerja Bakti Sumber: Kominfo Provinsi Jatim, 2021
-
2) Partisipasi Pemerintah
Kementrian Sosial Republik Indonesia membuat Program Desaku Menanti sebagai bentuk penanganan masalah gelandangan, pemulung, pengamen, dan pengemis di perkotaan yang kemudian mereka direhabilitasi sosial dengan secara terpadu dengan basis desa, harapannya mereka tidak kembali ke jalanan. Dinas Sosial Kota Malang sejak tahun 2016, memberikan mereka pembinaan keterampilan kerja dengan memproduksi makanan, membuat topeng, berjualan, dan lain-lain. Selain itu, pemerintah juga memberikan pelatihan softskill, mental, pendanaan, dan memberikan fasilitas tempat tinggal.
Kampung Topeng dimonitoring dan diberikan pengawasan penuh oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Insan Sejahtera sebagai pelaksana program Desaku Menanti di Kampung Topeng yang merupakan lembaga dibawag naungan Dinas Sosial Kota Malang. Dinas Sosial juga memiliki camp assessment yang berada di Kampung Topeng yang kondisinya terdapat pada Gambar 11. Camp assesment atau lingkungan pondok sosial menjadi wadah khusus untuk menampung, mendata, dan merehabilitasi gelandangan, pengemis, orang dengan gangguan jiwa, anak jalanan, dan orang jompo. Nantinya, akan disaring siapa saja yang bisa masuk dan menjadi warga binaan di Kampung Topeng jika kapasitasnya masih terpenuhi. Jika mereka tidak lolos seleksi, untuk anak jalanan akan dikembalikan kepada orangtua dan di home-visit secara teratur untuk memastikan mereka tidak turun ke jalan, lalu untuk gepeng dan tunawisma akan dikirim ke Balai Pelatihan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, dan orang gangguan jiwa akan dirujuk ke rumah sakit jiwa. Dengan adanya camp assesment ini yang juga memantau Kampung Topeng, mereka juga memberdayakan warga kampung yang telah memiliki ijazah SMA sebagai tenaga operasionalnya.
Gam bar 11. Camp Assesment Dinsos dan LKS Insan di Kampung Topeng Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2021
Dalam pengelolaan pariwisatanya, sejak awal pendirian Kampung Topeng dimonitoring oleh Dinas Sosial Kota Malang. Operasional pariwisata didukung penuh dan diperhatikan oleh beliau sehingga wisata dapat berjalan. Akan tetapi, terjadi pergantian kepemimpinan Dinas Sosial saat ini, sehingga program kerja utamanya tidak terlalu memperhatikan operasional wisata di Kampung Topeng yang membuat wisata menjadi berhenti karena tidak adanya kejelasan manajemen pariwisata di sana. Walaupun begitu, pemerintah masih aktif dalam memberikan bantuan berupa sembako dan voucher air serta listrik gratis sebagai bantuan saat pandemi. Pemerintah terkadang juga menfasilitasi pembenahan monumen topeng kembar dan menggerakkan masyarakat untuk kerja bakti. Selain itu secara pembangunan fisik, pemerintah disaat sebelum pandemi memberikan bantuan dengan membangun landmark pada kampung topeng yaitu dua topeng raksasa, dan juga memberi pembangunan fisik pada fasilitas wisata, pembangunan tempat tinggal, toilet, dan juga daya tarik wisatanya. Namun akibat pandemi, fasilitas menjadi terbengkalai dan pemerintah hanya memberikan bantuan dengan cara merenovasi dua topeng raksasa sebagai landmark Kampung Topeng.
-
3) Partisipasi Akademisi dan Organisasi Mahasiswa
Berdasarkan data dari narasumber di Kampung Topeng, kampung ini sering didatangi oleh peneliti dari kalangan akademisi, baik mahasiswa dan pihak kampus. Penelitiannya mencakupi tema ekonomi, kebijakan sosial, dan pariwisata. Akan tetapi, menurut narasumber tidak ada manfaat secara langsung yang diterima oleh kampung ini dari penelitian-penelitian tersebut. Oleh karena itu, mereka selektif dalam menerima akademisi yang sedang melakukan penelitian di sana, hal tersebut dilakukan untuk memilah manakah yang memberikan dampak langsung maupun tidak.
Partisipasi mahasiwa turut hadir dengan adanya organisasi mahasiswa yaitu Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya Tahun 2021, lewat Kementrian Sosial Masyarakat mereka membuat program Brawijaya Urban Social Project yang menjadikan Kampung Topeng sebagai kampung binaan mereka. Pada tahun 2021 ini mereka melakukan proses pendekatan dan tahapan awal dalam menjalani program yang berfokus kepada anak-anak yang tergolong dalam kelompok marginal, kegiatan-kegiatan tersebut dapat terlihat pada Gambar 12. Terdapat dua program kerja dan pembinaan, yaitu konsep sosial budaya dan minat bakat. Konsep sosial budaya ini, mereka mengenalkan bagaimana mempertahankan budaya dengan cara mengajari anak-anak tari topeng dan pengecatan topeng. Untuk konsep minat bakat sendiri, mereka mengajarkan anak-anak untuk lebih mengenal diri sendiri, cita-cita, menggambar, mewarnai, menjaga kebersihan, dan bagaimana meningkatkan softskill seperti public speaking. Tahapan berikutnya dilakukan mulai tahun depan yang lebih mentargetkan kepada warga Kampung Topeng.
-
4) Tingkat Partisipasi Sosial pada Kampung Topeng
Cohen & Uphoff (1977) dalam Mulyadi (2011), merumuskan tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa yang lebih aplikatif dalam bentuk – bentuk partisipasi, yaitu partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan (tenaga, uang, material), partisipasi dalam kemanfaatan, dan partisipasi dalam pengevaluasian pembangunan desa. Berdasarkan fakta-fakta diatas dapat teridentifikasi tingkat partisipasi
pada pemerintah, masyarakat, dan akademisi/mahasiswa sebagai pelaku sosial di Kampung Topeng. Tingkat partisipatif dirangkum pada Tabel 1.
Gambar 12. Partisipasi Mahasiswa dalam Program Brawijaya Urban Social Project Sumber: Instagram Sosial Masyarakat EM UB, 2021
Tabel 1. Tingkat Partisipatif pada Kampung Topeng
Kondisi |
Pemerintah |
Masyarakat |
Akademisi dan Mahasiswa |
Wisata berlangsung |
Pemerintah memberikan fasilitas tempat, akomodasi, branding, memberikan identitas pelatihan, seminar, dan modal usaha. Pemerintah sangat aktif menggencarkan publikasi kampung topeng dan menjadi salah satu program kerja dengan fokus utama |
Masyarakat yang diberi pelatihan dan modal pada saat wisata membuka usaha untuk menunjang wisata. Seperti berjualan, tour guide, membuka sentra oleh-oleh, tenaga kebersihan, dll |
Akademisi berkolaborasi dengan pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan wisata. Selain itu terdapat penelitian yang dilakukan yang berfokus pada dinamika perubahan nilai ekonomi warga kampung. |
Setelah pandemi (wisata berhenti) |
Pemerintah berpartisipasi dalam pemberian bantuan sosial, seperti sembako, listrik, dan air. Tetapi kurang aktif dalam pengelolaan dan pengembangan wisatanya, karena pergantian periode kepemimpinan sehingga kampung ini tidak menjadi fokus utama |
Masyarakat tidak menjaga fasilitas dan kebersihan yang ada. Dan juga tidak memiliki inisiatif dalam pengembangan wisata. Sulit untuk dikumpulkan dalam pertemuan-pertemuan |
Akademisi menggencarkan penelitian dalam pengembangan wisata di Kampung Topeng, terdapat mahasiswa yang KKN, dan juga terdapat organisasi mahasiswa yang melakukan program kegiatan pemberdayaan masyarakat. |
Tingkat partisipasi |
Tingkat partisipasi perencanaan dan pengawasan dengan jenis partisipasi pikiran dan modal. Tetapi kualitas partisipasinya sangat menurun untuk aspek wisatanya. |
Tingkat partisipasi pelaksanaan dengan jenis partisipasi tenaga, pelayanan, dan jasa. Kualitas partisipasinya sangat menurun |
Tingkat partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengawasan dengan jenis partisipasi pikiran dan tenaga. Kualitas partisipasinya meningkat. |
Signifikansi Sedang
Rendah
Tinggi
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2022
Tingkat partisipasi sosial di Kampung Topeng memiliki keberagaman, yaitu tingkat partisipasi yang rendah pada masyarakatnya, sedang pada pemerintah, dan tinggi pada partisipasi akademisinya. Hal ini selaras dengan penelitian Herman (2019) yang menyebutkan jika saat ini pada pembangunan desa, pemerintah kurang optimal melibatkan masyarakat dalam perencanaan sampai evaluasi pembangunan di desa. Muncul kesenjangan persepsi antara masyarakat dengan pemerintah hal tersebut berakibat rendahnya tingkat partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, karena tanpa disadari sebenarnya peran pemerintah sendiri masih lebih besar, meskipun tidak secara fisik
akan tetapi dalam wujud regulasi yang kurang memberikan keluasaan bagi masyarakat secara optimal (Herman, 2019).
Pada Tabel 2 terlihat ketercapaian keberlanjutan pada aspek sosial ekonomi berdasarkan hasil observasi dan identifikasi setiap indikator yang indikatornya berasal dari SDGs. Parameter ketercapaian ini didapatkan dari hasil analisis pribadi yang dimana tingkat sudah berkelanjutan memiliki arti tidak membutuhkan perbaikan signifikan, cukup berkelanjutan berarti membutuhkan beberapa hal untuk meningkatkan kualitasnya agar berkelanjutan, dan belum berkelanjutan memiliki arti jika indikator tersebut belum memiliki kualitas yang baik ke arah berkelanjutan.
Tabel 2. Keberlanjutan Aspek Sosial-Ekonomi di Kampung Topeng
Kategori |
Indikator |
Keterangan |
Status Keberlanjutan |
|
Terdapat pasar dan toko yang cukup jauh sehingga menyulitkan bagi yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Terdapat pedagang sayur keliling. Tidak ada warga yang melakukan sistem penanaman mandiri untuk bahan pangan Tidak tersedianya lapangan pekerjaan pada kampung, membuat warga turun ke kota dan bekerja jauh dari pemukiman. Dan ada juga yang kembali lagi ke jalanan sebagai gepeng |
Belum berkelanjutan Belum berkelanjutan | |
The Focus on People |
3. Kemampuan untuk hidup sehat |
Kesehatan warga sangat baik, tetapi masih tidak mementingkan kesehatan karena tidak menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dan juga belum sadar pentingnya kebersihan untuk kesehatan |
Belum berkelanjutan |
4. Kemampuan dalam akses pendidikan |
Akses pendidikan cukup jauh dan tidak tersedia fasilitas pendidikan yang memadai untuk mengikuti perkembangan. Selain itu kesadaran warga akan pentingnya pendidikan masih kurang pada beberapa orang. Dan keseluruhan anak-anak mengikuti pendidikan dari PAUD, TK, SMP, hingga SMA. |
Cukup berkelanjutan | |
5. Kesetaraan gender |
Sudah ada kesetaraan gender dengan menyamakan hak perempuan untuk bekerja dan juga rata-rata pengurus yang aktif membantu keberlangsungan LKS Insan dan Kampung Topeng adalah perempuan |
Sudah berkelanjutan | |
1. Ketersediaan air yang baik |
Ketersediaan air dijamin dengan adanya PDAM, sumur, dan juga Hippam |
Sudah berkelanjutan | |
The Focus on Planet and Prosperity |
|
Hanya pada recycle barang bekas menjadi dekorasi. Belum ada pemanfaatan energi ramah lingkungan yang maksimal Bangunan rumah disewakan gratis yang disediakan oleh pemerintah. Tidak mencukupi kebutuhan ruang penghuninya. Rumah juga berkondisi kotor dan kurang terawat karena warga tidak menjaga fasilitas yang tersedia. Hal ini berlaku sama untuk kondisi kamar mandi |
Belum berkelanjutan Belum berkelanjutan |
Partnership |
1. Partisipasi masyarakat |
Pola pikir warga yang masih serba instan, materialistis, dan tidak inisiatif menyebabkan kurangnya partisipasi warga dalam menjaga lingkungan, mengelola wisata, dan semangat juang |
Belum berkelanjutan |
2. Partisipasi pemerintah |
Pemerintah sangat memperhatikan warga kampung dengan memberikan bantuan finansial dan kebutuhan pokok. Tetapi kurang memperhatikan mekanisme dan pengelolaan wisata pada Kampung Topeng |
Cukup berkelanjutan | |
3. Partisipasi akademisi dan organisasi mahasiswa |
Berbagai masalah yang timbul membuat akademisi dan organisasi mahasiswa ikut membantu mengembangkan kampung ini. Terdapat organisasi mahasiswa yang turun untuk melakukan pembinaan dan pengabdian di kampung ini |
Sudah berkelanjutan | |
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2022 |
Berdasarkan hasil analisis didapatkan hasil jika kesetaraan gender, partisipasi akademisi maupun organisasi mahasiswa, dan ketersediaan air pada Kampung Topeng sudah tercapai dan sudah berkelanjutan. Ketiga indikator ini tidak memiliki kekurangan dan hanya membutuhkan peningkatan kualitas keberlanjutannya lagi supaya semakin lebih baik. Pada penilaian cukup berkelanjutan diperoleh pada aspek kemampuan akses pendidikan dan partisipasi pemerintah. Kelima indikator ini masih membutuhkan perbaikan untuk meningkatkan kualitasnya karena masih terdapat masalah. Selanjutnya, penilaian belum tercapai terindikasi pada enam indikator, yaitu ketersediaan dan akses bahan makanan, ketersediaan lapangan pekerjaan, kemampuan untuk hidup sehat, pemanfaatan dan penggunaan energi ramah lingkungan, ketersediaan tempat tinggal yang layak, dan partisipasi masyarakat.
Kampung Topeng memiliki lokasi yang jauh dari pasar dan toko sembako. Pada kondisi ini Kampung Topeng bisa membuat sistem pertanian mandiri dengan menyiapkan lahan untuk ditanami dengan sayuran, tanaman obat, dan lain-lain agar ketersediaan pangan terpenuhi jika terjadi bencana alam atau kondisi urgensi.
Mayoritas warga Kampung Topeng bekerja di luar kampungnya dan ada juga yang kembali turun ke jalanan sebagai gepeng. Kembalinya mereka menjadi gepeng tentu dapat menimbulkan permasalahan baru. Tampaknya pengembalian wisata di kampung ini dapat menjadi cara agar lapangan pekerjaan di dalam kampung tetap berkelanjutan dan terjamin. Indikator kemampuan akses pendidikan masih belum sempurna dan berkelanjutan karena masih ada warga yang tidak memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan. Perlu adanya sosialiasasi dan penyuluhan atas kesadaran pendidikan dalam meningkatkan taraf hidup. Partisipasi pemerintah menjadi indikator yang cukup tercapai keberlanjutannya. Pemerintah perlu memerhatikan lagi pengelolaan wisata di kampung dengan mengajak masyarakat dalam proses perencanaan, pengelolaan, dan pengawasannya.
Pola pikir warga masih berpatokan kepada kehidupan dan tempat tinggal sebelumnya yaitu di area kumuh. Kesadaran akan kebersihan tentunya perlu diterapkan dengan cara selalu membersihkan lingkungan tempat tinggal, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga fasilitas yang telah disediakan, dan juga jika terdapat fasilitas yang rusak, masyarakat sebaiknya mempunyai kesadaran untuk memperbaikinya. Pendekatan, penyuluhan, dan
sosialisasi untuk mengubah pola pikir dan mindset warga sangat diperlukan pada kasus kampung ini.
Masyarakat disana tidak terorganisir dengan baik, padahal pembangunan yang berkelanjutan dapat bekerja baik jika ada partisipasi masyarakatnya. Cahyani & Aji (2018) perlu adanya peran masyarakat dalam proses penyusunan rencana pembangunan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pembentukan kelembagaan atau struktur organisasi dalam masyarakat yang kemudian mereka dapat menentukan skala prioritas pembangunan, mengatur hak dan kewajiban masyarakat, pembagian pemanfataan, dan wisata pun dapat termanajemen dengan baik dan mandiri karena adanya gerakan dan insiatif dari masyarakat. Sehingga pemerintah tidak terlalu fokus pada satu kampung dan bisa mengembangkan kampung lainnya agar bisa berkelanjutan.
Kampung Topeng nampaknya perlu melakukan pembenahan dan perencanaan ulang pada sektor pariwisatanya. Dari hasil analisis peneliti, dan juga studi literatur Cahyani & Aji (2018) serta Syafi’I & Suwandono (2015), rekomendasi yang utama adalah membentuk kelembagaan atau struktur organisasi dalam masyarakat yang kemudian mereka dapat menentukan skala prioritas pembangunan, mengatur hak dan kewajiban masyarakat, pembagian pemanfataan, dan wisata pun dapat termanajemen dengan baik dan mandiri karena adanya gerakan dan insiatif dari masyarakat. Pembentukan struktur organisasi sadar wisata ini didasari oleh kebutuhan akan lembaga dan kelompok masyarakat sebagai pengelola wisata yang sebelumnya belum terbentuk di Kampung Topeng. Selain itu terdapat beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan dalam perencanaan kembali Kampung Topeng, yaitu sebagai berikut.
-
1. Melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada warga untuk mengembangkan pola pikir dan juga adaptasi pada lingkungan baru. Seperti memberikan kesadaran akan pentingnya Kesehatan, kebersihan, dan pendidikan
-
2. Memperbaiki lingkungan secara fisik, yaitu pada perlebaran aksesbilitas menuju Kampung Topeng, memperbesar parkiran, memperbaiki toilet warga, melakukan pengecatan rumah kembali, dan melakukan pembersihan lingkungan dari sampah yang tertimbun
-
3. Membuat dan memiliki sistem pertanian mandiri didalam kampung dengan menyediakan lahan untuk menanam sayuran, tanaman, tanaman obat, buah, dan aneka bahan makanan lainnya untuk persiapan kondisi urgensi
-
4. Supaya warga tidak kembali turun ke jalanan, perlu adanya pengembalian aktivitas wisata pada kampung agar lapangan pekerjaan didalam kampung terpenuhi
-
5. Diadakannya pendekatan, sosialisasi, dan penyuluhan untuk meningkatkan merubah pola pikir masyarakat dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebersihan, pengelolaan sampah, hidup sehat, dan juga pentingnya pendidikan
-
6. Pemerintah perlu memperhatikan kembali dan bekerja sama dengan masyarakat untuk pengembalian aktivitas wisata dan juga pembangunan berkelanjutan pada kampung
-
7. Melibatkan peran masyarakat dalam proses penyusunan rencana pembangunan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan. Serta berkolaborasi dengan pemerintah serta akademisi dalam pengembangan pariwisata
-
8. Masyarakat harus dapat melakukan kerja sama dengan komunitas, relawan, atau mahasiswa untuk melakukan pelatihan tentang pengelolaan wisata dengan mendampingi masyarakat dan memberikan pelatihan manajemen pariwisata
Kesimpulan
Kampung Kampung Topeng merupakan kampung wisata yang masyarakatnya berasal dari relokasi pengemis, gelandangan, pengamen, pemulung, dan lain-lain yang kemudian diberi pembinaan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Hasil analisa keberlanjutan pada aspek sosial ekonomi melalui SDGs, didapatkan jika terdapat indikator yang memiliki nilai sudah berkelanjutan pada tiga indikator, cukup berkelanjutan sebanyak dua indikator, dan belum berkelanjutan sebanyak enam indikator. Indikator sudah berkelanjutan adalah ketersediaan air, kesetaraan gender, dan partisipasi akademisi serta organisasi mahasiswa. Indikator cukup berkelanjutan adalah kemampuan akses pendidikan dan partisipasi pemerintah. Indikator belum berkelanjutan sangat mendominasi dengan indikator yaitu ketersediaan dan akses bahan makanan, ketersediaan lapangan pekerjaan, kemampuan untuk hidup sehat, pemanfaatan dan penggunaan energi ramah lingkungan, ketersediaan tempat tinggal yang layak, dan partisipasi masyarakat.
Secara keseluruhan, Kampung Topeng masih memiliki penilaian belum berkelanjutan, tetapi dapat berpotensi berkelanjutan jika mampu meningkatkan kualitas aspek sosial ekonominya. Pengaruh pandemi Covid-19 sangat berdampak besar terhadap keberlanjutan pariwisata pada Kampung Topeng yang semakin menurun. Aktivitas pariwisata yang berhenti menyebabkan tidak berkelanjutannya aspek sosial ekonomi pada Kampung Topeng. Pengaruh yang paling signifikan adalah aktivitas ekonomi yang berhenti dan menghilangnya lapangan pekerjaan di dalam kampung. Masyarakat pun mencari pekerjaan di luar tempat tinggal dan terdapat beberapa warga yang kembali menjadi gelandangan. Tentunya hal ini menyebabkan permasalahan sosial yang lama muncul kembali. Faktor penurunan keberlanjutan ini semakin menurun juga karena adanya pola pikir masyarakat yang masih serba instant dan tidak berpikir maju.
Partisipasi sosial pada pariwisata merupakan hal penting yang dapat menjadikan pariwisata berkelanjutan. Tingkat partisipasi sosial pada Kampung Topeng terbagi atas partispasi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pemerintah memiliki tingkat partisipasi perencanaan dan pengawasan dengan cara memberikan pikiran dan modal, tetapi kualitas partisipasinya menurun. Masyarakat memiliki tingkat partisipasi pelaksanaan dengan jenis partisipasi tenaga, pelayanan, dan jasa, tetapi kualitas partisipasinya sangat menurun. Partisipasi masyarakat yang rendah diakibatkan oleh tidak adanya struktur organisasi baik secara administratif dan organisasi untuk wisatanya, yang menjadikan masyarakat tidak terkoordinir dengan baik. Sedangkan akademisi dan mahasiswa memiliki tingkat partisipasi perencanaan dan pengawasan, dengan jenis pikiran dan tenaga, tetapi kualitas partisipasinya meningkat.
Daftar Pustaka
Alcoba, J., Mostajo, S. T., Ebron, R. A. T., & Paras, R.. (2017). Balancing Value CoCreation: Culture, Ecology, and Human Resources in Tourism Industry. IGI Global
Publisher: Handbook of Research on Strategic Alliances and Value Co-Creation in the Service Industry, pp 20.
Andriani, D. M. & Sunarta, I N. (2015). Pengelolaan Desa Wisata Belimbing Menuju Pariwisata Berkelanjutan Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali. Jurnal Destinasi Pariwisata Universitas Udayana, 3(1).
Aqidah, W. (2020a). Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Pendidikan Ekonomi Nonformal (Studi Kasus pada Masyarakat Wisata Kampung Topeng, Kelurahan Tlogowaru, Kota Malang). Jurnal Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, dan Ilmu Sosial, 14(2), 382-391.
Aqidah, W. (2020b). Transisi Kehidupan Ekonomi Masyarakat Wisata Kampung Topeng, Tlogowaru, Malang, Ejournal Universitas Islam Zainul Ahsan, 1(1), 146-157.
Arsito. (2004). Tradisi Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Yang Demokratis.
Bonetti, E., Simoni, M., & Cercola, R. (2014). Creative Tourism and Cultural Heritage: A New Perspective. IGI Global Publisher: Handbook of Research on Management of Cultural Products: E-Relationship Marketing and Accessibility Perspectives, pp 29.
Cahyani, S. D. & Aji, R. S. (2018). Strategi Pembangunan Berwawasan Lingkungan Kawasan Permukiman Segi Empat Emas 115 Tunjungan Surabaya, MINTAKAT: Jurnal Arsitektur, 1(2), 115-128.
Damara, S. L., Martono, S., & Riqqoh, A. K. (2019). Perancangan Identitas Visual Kampung 1000 Topeng Sebagai Upaya Brand Recognition, Jurnal Art Nouveau, 8(1).
Dewi, M. H. U. 2013. Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal di Desa Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali. Jurnal Kawistara, 3(2), 117-226.
Fennell, D. A. & Cooper, C. (2020). Sustainable Tourism: Principles, Contexts and Practices. Bristol, Blue Ridge Summit: Multilingual Matters, 198-234.
Figueiredo, E., & Raschi, A. (2012). Immersed in green? Reconfiguring the Italian countryside through rural tourism promotional materials. Advances in Culture, Tourism and Hospitality Research, 6, 17–44.
Herman. (2019). Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa Ulidang Kecamatan Tammerodo Kabupaten Majene. GROWTH: Jurnal Ilmiah Ekonomi Pembangunan, 1(1), 75-98
Horton, L. R. (2009). Buying Up Nature: Economic and Social Impacts of Costa Rica's Ecotourism Boom. Latin American Perspectives, 36(3), 93-107
Kominfo Jatim. (2021). Kampung Topeng Malang Bersama TKSK dan LKS Insan Sejahtera Bersih-bersih Kampung. Diakses dari http://kominfo.jatimprov.go.id
Kurniawan, F & Parela, K. A. (2018). Sociopreneurship Masyarakat Gusuran Dalam Membangun Konsep Kampung Wisata Tematik Topeng Malangan, Dialetika Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 2(2).
Mahendra Giri, A. (2016). Pelestarian Potensi Ruang Publik Sebagai Elemen Penting dalam Pembangunan Desa Pakraman Kendran Sebagai Desa Wisata. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal Of The Built Environment), 3(3).
Mulyadi, M. (2009). Partispasi Masyarakat dalam Pembangunan. Jakarta: Nadi Pustaka.
Pasaribu, I. L. & Simajuntak. B., (1992). Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Permana, R. W. (2018). Wisata Kampung Topeng Diharapkan Jadi Penumpang Ekonomi Warga Setempat. Merdeka.com. Diakses dari
https://m.merdeka.com/malang/kabar-malang/wisata-kampung-topeng-diharapkan-jadi-penumpang-ekonomi-warga-setempat-181031k.html
Rahman, F. A., Munajat, M. D. E., Wahyudin, U., Dienaputra, R. D., & Rachman, C. U. (2021). Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Di Desa Samangki Kecamatan Simbang Kabupaten Maros. Jurnal Kajian dan Terapan Pariwisata (JKTP), 2 (1)
Santos, N., Moreira, C. O., Ferreira, R., & Silveria, L. (2020). Sea Tourism Heritage in Portuguese Coastal Territory. IGI Global Publisher: Journal of Managing, Marketing, and Maintaining Maritime and Coastal Tourism, pp 29.
Santoso, F. P. (2017). Pelaksanaan Program “Desaku Menanti” Dalam Penanganan Gelandangan-Pengemis (GEPENG) Di Kota Malang (Studi Pada Dinas Sosial Kota Malang). Sarjana thesis, Universitas Brawijaya
Santoso, S. (1998). Partisipasi Komunikasi, Persuasi dan Disiplin Dalam Pembangunan. Alumni. Bandung.
Setianingtias, R., Baiquni, M., & Kurniawan, A (2019). Permodelan Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembamgunan , 27(2), 61-74.
Sims, R. (2009). Food, Place and Authenticity: Local Food and The Sustainable Tourism Experience. Journal of Sustainable Tourism, 17(3): 321–336
UNFOUNDATION. (2019). The Sustainable Development Goals In 2019: People, Planet, Prosperity In Focus. Diakses dari https://unfoundation.org/blog/post/the-sustainable-development-goals-in-2019-people-planet-prosperity-in-focus/
United Nations. (2021). The Sustainable Development Goals Report 2021.
UNWTO. (2005). Making Tourism More Sustainable - A Guide for Policy Makers (English version). Diakses dari https://doi.org/10.18111/9789284408214
UNWTO. Tourism and Sustainable Development Goals. Diakses pada Juli 2022, dari https://tourism4sdgs.org/tourism-for-sdgs/tourism-and-sdgs/
Wiyatiningsih., Oentoro, K., & Amijaya, S. (2022). Tren Wisata Sepeda Urban Masa Pandemi: Kesiapan Ruang di Perkampungan Bantaran Sungai Gajah Wong Yogyakarta. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal Of The Built Environment), 9(1), 37-50.
WTO. (2017). Tourism and the Sustainable Development Goals – Journey to 2030, Highlights.
Yani, A. (2021). Kampung Topeng Malang Tetap Berbenah Meski Sepi Karena Korona. Radar Malang. Diakses dari https://radarmalang.jawapos.com/malang-raya/kota-
malang/28/06/2021/kampung-topeng-malang-tetap-berbenah-meski-sepi-karena-korona/
Yoeti, O. A. (2008). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Zeng, L. (2022). Economic Development and Mountain Tourism Research from 2010 to 2020: Bibliometric Analysis and Science Mapping Approach. Sustainability, 14, 562.
124
SPACE - VOLUME 9, NO. 2, OCTOBER 2022
Discussion and feedback