Wilayah Pelayanan dan Aksesibilitas Taman Kota bagi Lansia di Kota Denpasar
on
RUANG
SPACE
WILAYAH PELAYANAN DAN AKSESIBILITAS TAMAN KOTA BAGI LANSIA DI KOTA DENPASAR
Oleh: I Gede Bintang Nararya Sena1, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra2, Tri
Anggraini Prajnawrdhi3
Abstract (Times New Roman 12pt, Multiple at 1.15-before 0-after 6)
The consistent annual increase in the number of mature population emphasizes the importance of humane and elderly-friendly urban planning. This type of planning requires an integrated approach that embraces three – but not limited – main urban elements, namely open space, settlement, and transportation. In its attempt to review available planning regulations and practices, this research studies elderly groups’ access to urban parks that are available across Denpasar City. Within, the service area is used as a tool to measure accessibility. The scale of this service area is analyzed based on a pareto distribution frequency of distance traveled before reaching a city park. This data is presented in a map using geospatial analysis which leads to the two categorizations of the primary and secondary service area. This study finds that Niti Mandala Renon City Park possesses the most extensive service area followed by Puputan Badung and Lumintang City Park. Mature park users go to these parks for both recreational and sport-related reasons. In doing so, they choose to travel by private modes of transportation. The elderly group also tends to visit with family member/s, especially when they aim for a park whose scale of the service area is extensive and that requires them to have a relatively long drive from home. This practice is frequently attributed to safety and cultural reasons.
Keywords: urban planning, City parks, accessibility, elderly
Abstrak
Pertambahan jumlah lansia yang konsisten setiap tahunnya menimbulkan kepentingan perencanaan kota yang ramah lansia. Berdasarkan prinsip perencanaan kota ramah lansia dan humanis, perencanaan kota perlu memadukan aspek ruang terbuka hijau, permukiman dan transportasi. Untuk dapat melakukan tinjauan mengenai perencanaan tersebut dilakukan penelitian mengenai aksesibilitas ruang terbuka hijau publik bagi lansia di Kota Denpasar dalam konteks perencanaan kota ramah lansia. Wilayah pelayanan merupakan salah satu cara untuk mengukur aksesibilitas ruang terbuka hijau. Hal tersebut ditelaah menggunakan analisis distribusi pareto frekuensi jarak tempuh lansia menuju taman kota yang diterjemahkan kedalam peta menggunakan analisis geospasial. Wilayah pelayanan dibagi menjadi wilayah pelayanan primer dan sekunder berdasarkan frekuensi data jarak tempuh lansia menuju taman kota. Penelitian menemukan bahwa taman kota dengan wilayah pelayanan paling luas adalah Taman Kota Niti Mandala Renon disusul Taman Kota Puputan Badung dan Taman Kota Lumintang. Seluruh lansia pengunjung taman kota merupakan lansia yang bertujuan untuk melakukan kegiatan olahraga rekreasi, dan memilih untuk melakukan perjalanan menggunakan moda transportasi pribadi. Taman kota dengan wilayah pelayanan yang luas dan jarak perjalanan yang jauh, lansia melakukan perjalanan dengan keluarga. kecenderungan ini dapat dikaitkan dengan keamanan dan budaya komunalitas lansia.
Kata kunci: perencanaan kota, taman kota, aksesibilitas, lansia
Pendahuluan (Times Newman 12pt, Bold, Multiple at 1.15-before 12-after 6)
Urbanisasi menimbulkan berbagai dampak positif bagi penghidupan manusia. Laju urbanisasi yang semakin pesat menyebabkan kualitas penghidupan masyarakat perkotaan yang semakin baik dan konsentrasi penduduk yang semakin banyak tinggal di perkotaan. Meningkatnya kualitas penghidupan masyarakat perkotaan turut pula berkontribusi pada meningkatnya angka harapan hidup rata-rata masyarakat perkotaan (Chiesura, 2004). Angka harapan hidup berkaitan dengan bertambahnya populasi masyarakat lanjut usia. Tingkat kesejahteraan lansia di Indonesia masih rendah meskipun usia harapan hidup yang semakin meningkat tiap tahunnya (Hermawati, 2015). Salah satu sarana penunjang kesejahteraan hidup lansia di kawasan perkotaan adalah fasilitas ruang terbuka hijau publik dengan bentuk taman kota, dimana taman kota dapat memberikan ruang untuk melakukan rekreasi yang berdampak positif terhadap kesehatan jasmani dan rohani pada kawasan perkotaan (van den Berg, Hartig, & Staats, 2007).
Pertumbuhan populasi lansia di Kota Denpasar dapat diperkirakan dengan memperhatikan data struktur penduduk Kota Denpasar berdasarkan kelompok usia. berdasarkan data Denpasar Dalam Angka Tahun 2021(BPS Kota Denpasar 2021) , penduduk Kota Denpasar dengan usia 50 hingga 59 tahun (pra-lansia) pada tahun 2020 sejumlah 91.588 jiwa, dan penduduk dengan usia 60 tahun ke atas (lansia) sejumlah 69.772 jiwa, dengan jumlsah penduduk Kota Denpasar sejumlah 725.314 jiwa. Data kependudukan ini menunjukkan bahwa diperkirakan dalam sepuluh tahun mendatang jumlah lansia di Kota Denpasar akan bertambah hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah populasi lansia saat ini. Jumlah penduduk lansia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun ini menimbulkan berbagai kebutuhan sarana penunjang kesejahteraan.
Kebutuhan sarana penunjang kesejahteraan bagi masyarakat dalam perencanaan kota diakomodasi dalam penyediaan fasilitas permukiman. Ukuran Jangkauan dapat digunakan untuk memperlihatkan kemampuan pelayanan fasilitas bagi permukiman di sekitarnya. Wilayah pelayanan fasilitas dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas. Pergerakan lansia cenderung tidak se-leluasa kelompok usia yang lebih muda. Faktor aksesibilitas taman kota bagi lansia dapat dilihat dari mobilitas lansia. Mobilitas lansia terkait bermacam-macam faktor, diantaranya pemilihan moda pergerakan lansia, teman perjalanan lansia, dan jarak tempuh lansia. Meskipun Pergerakan lansia yang sama-sama terbatas, terdapat keragaman pola pergerakan lansia dari negara ke negara. Penelitian mengenai wilayah pelayanan taman kota di Kota Denpasar telah dilakukan pada penelitian terdahulu namun belum mengkaitkan secara spesifik antara wilayah pelayanan dengan aksesibilitas pengunjung lansia dalam konteks perencanaan kota ramah lansia. Berdasarkan kekosongan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wilayah pelayanan dan aksesibilitas taman kota bagi lansia di Kota Denpasar.
Review Literatur
a. Perencanaan Kota Ramah Lansia
Lansia dapat ditentukan berdasarkan kelompok usianya. Definisi dari lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas dan telah mengalami penurunan fungsi fisik. (Undang
Undang No 13 Tahun 1998; Departemen Kesehatan RI, 2009; Kemenkes RI, 2017). Lansia dalam penelitian ini termasuk golongan lansia yang memiliki kebutuhan khusus (difabel) karena penurunan kemampuan fisik seiring bertambahnya usia dan golongan lansia yang masih mampu melakukan kegiatan pada umumnya.
Dalam konteks perencanaan kota bagi lansia seorang peneliti juga perlu mempertimbangkan kelompok usia yang menjadi sasaran perencanaan, terutama jika menyangkut fasilitas yang akan digunakan oleh kelompok usia tertentu, dimana terdapat perbedaan preferensi antara generasi (Sarkissian & Stenberg, 2013). Maka dari itu dalam penelitian ini peneliti akan memasukkan kelompok usia pra-lansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 50 hingga 59 tahun dalam objek penelitian. Tujuan dari pengambilan kelompok usia pra-lansia adalah untuk mendapatkan gambaran pengunjung lansia dalam waktu 10 tahun kedepan.
Menurut Buffel, Phillipson, dan scharf (2012) perencanaan kota ramah lansia muncul dari beberapa inisiatif kebijakan yang diluncurkan oleh WHO pada era tahun 1990 dan awal 2000. Tema inti yakni gagasan “active ageing” pada mulanya dikembangkan saat acara PBB tentang Year of Older People di tahun 1999 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Uni Eropa di tahun 1999 dan PBB tahun 2002. Sejarah gagasan konsep kota ramah lansia ditelusuri kembali hingga model pembangunan kota yang dibentuk berdasarkan gagasan mengenai kota berkelanjutan (sustainable cities) dan kota harmonis (harmonious cities).
Dalam perencanaan kota ramah lansia terdapat delapan dimensi yang merupakan aspek kunci dari lingkungan yang ramah lansia, yakni ruang terbuka hijau, transportasi, perumahan, partisipasi sosial, penghormatan dan keterlibatan sosial, partisipasi sipil dan pekerjaan, komunikasi dan informasi, serta dukungan masyarakat dan kesehatan (WHO -World Health Organization, 2007). Dari kedelapan aspek tersebut, untuk mewujudkan perencanaan kota yang harmonis, perlu memperhatikan aspek-aspek perencanaan ruang kota dan wilayah secara terpadu. Aspek-aspek Perencanaan ruang kota yang terpadu meliputi perencanaan permukiman dan transportasi, perencanaan ruang kota yang hijau, bersih, dan menyediakan infrastruktur kota yang perduli terhadap perempuan, anak-anak, orang lanjut usia (lansia) dan penyandang cacat (Wunas, 2018). Maka dari itu aspek perencanaan kota yang ramah lansia dapat ditinjau dari aspek perencanaan permukiman berupa hubungan antara perumahan, ruang terbuka hijau, dan transportasi.
Dalam teori pergerakan barang dan manusia, mobilitas dan aksesibilitas adalah dua hal yang saling terkait. Mobilitas merujuk kepada jumlah dan bagaimana pergerakan barang dan jasa terjadi dari satu guna lahan ke guna lahan lainnya, sedangkan Aksesibilitas merujuk pada tingkat kemudahan pergerakan barang dan jasa dari satu guna lahan ke guna lahan lainnya (Tamin, 2008). Mudahnya aksesibilitas antara guna lahan satu dan lain dibuktikan dengan tingginya mobilitas yang terjadi (Miro, 2005).
Contoh dari indikasi Tinggi-rendahnya aksesibilitas dapat dilihat dari indikator jarak, waktu, maupun biaya (Miro 2005; Tamin, 2008). Contoh indikator aksesibilitas berupa jarak adalah jika jarak antara dua guna lahan berdekatan, dapat dinyatakan bahwa aksesibilitas antara kedua tempat tersebut tinggi, begitu pula sebaliknya. Indikator aksesibilitas jarak tidak serta
merta menunjukkan aksesibilitas yang tinggi maupun rendah. Sekalipun indikator aksesibilitas yang semakin tinggi dengan jarak, waktu, dan biaya yang rendah, perlu juga diperhatikan faktor lainnya dalam aksesibilitas, diantaranya keamanan dan kenyamanan.
Mobilitas merujuk pada jumlah fenomena pergerakan dapat diinterpretasi menjadi indikator yang baik untuk mengetahui karakteristik pergerakan lansia. Annisa (2013) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kriteria yang dapat dianalisis untuk mengukur mobilitas lansia menuju taman kota, diantaranya jarak dan waktu tempuh dan moda transportasi. Menurut (Turel, Yigit, & Altug, 2007) jarak dan waktu tempuh ideal masyarakat lansia menuju taman adalah 5-10 menit berjalan kaki atau sekitar 220-400 m. meskipun begitu beberapa masyarakat lansia yang lebih sehat masih mampu berjalan sejauh 800 m atau sejauh 10 menit. Sedangkan (Fobker & Grotz, 2006) menyatakan bahwa jarak tempuh berjalan kaki yang mampu ditempuh oleh masyarakat lansia adalah 300-500 m dari permukiman penduduk. Teori-teori tersebut merupakan teori yang berasal dari studi dengan pola transportasi yang menggunakan asumsi pergerakan dilakukan dengan berjalan kaki dan angkutan umum.
Menurut (Tamin, 2008) Moda transportasi dapat dibedakan menjadi moda transportasi pribadi dan umum. Annisa (2013) menemukan bahwa pola aksesibilitas lansia menuju taman kota tergantung pada jarak taman kota relatif terhadap tempat tinggalnya. Moda transportasi pribadi menawarkan akses yang lebih leluasa namun penggunaannya cenderung menurun drastis seiring dengan menuanya lansia dan berkurangnya kemampuan untuk mengoperasikan kendaraan (Gardezi et al., 2006; Lord, Després, & Ramadier, 2011). Akses lansia di Indonesia terhadap moda transportasi pribadi menurut (Annisa, 2013) tidak tergantung pada kemampuan lansia untuk mengoperasikan kendaraan, karena struktur sosial lansia di Indonesia dimana kebanyakan lansia masih tinggal bersama sanak saudaranya dan memanfaatkan hubungannya bersama sanak saudaranya untuk mendapatkan akses terhadap moda transportasi pribadi.
Ciri intrinsik dari guna lahan yaitu kemampuannya untuk membangkitkan pergerakan transportasi. Pergerakan tersebut dapat dibedakan menjadi tarikan dan bangkitan berdasarkan asal perjalanan. Jika asal perjalanan tersebut berasal dari dalam guna lahan maka disebut sebagai bangkitan, dan jika berasal dari luar guna lahan maka disebut sebagai tarikan (Azis, 2018). Taman kota sebagai guna lahan sarana RTH Permukiman memiliki tarikan tertentu kepada permukiman sekitarnya. Taman kota sebagai guna lahan sarana RTH Permukiman memiliki tarikan tertentu kepada guna lahan permukiman sekitarnya.
Wilayah pelayanan taman kota dapat diketahui dari berdasarkan jarak tempuh dari tempat tinggal penduduk menuju taman kota dengan taman kota sebagai titik ukurnya(Retnaningsih, 2017; Tarigan, 2005). Wilayah Pelayanan dapat dibedakan menjadi wilayah pelayanan primer dan wilayah pelayanan sekunder. Hierarki wilayah pelayanan tersebut dirumuskan atas dasar jumlah asal lansia yang berkunjung dalam jarak tertentu. Setiap Taman Kota memiliki wilayah pelayanan yang berbeda-beda sesuai dengan tipologi pengunjung lansia. Solecki dan Welch (1995) menyatakan bahwa 60-80% Pengunjung yang melakukan kegiatan rekreasi di taman kota biasanya berasal dari radius 2 kilometer. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Woolley (2003), orang-orang yang bertemu di taman kota adalah mereka yang tinggal maupun bekerja di areal tersebut, dan menempuh perjalanan pendek sekitar 0,2 kilometer atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa taman kota melayani penduduk tingkat kota, namun mayoritas pengunjungnya merupakan komunitas lokal.
Fasilitas ruang terbuka hijau pada permukiman turut berpengaruh pada kesejahteraan dan kesehatan fisik lansia (Koohsari et al., 2015; Sugiyama & Ward Thompson, 2008). Kegiatan rekreasi merupakan kegiatan yang bisa digunakan sebagai pengisi waktu luang lansia. Berdasarkan kemampuannya, lansia pada umumnya cenderung memilih untuk melakukan kegiatan rekreasi pasif yang biasanya dilakukan bersama sanak saudaranya maupun rekreasi aktif berupa olahraga ringan, seperti berjalan di sekitar taman, atau melakukan kegiatan dengan komunitas sesama lansia (Sarkissian & Stenberg, 2013).
Pemanfaatan ruang terbuka tidak terlepas dari kepentingan sosial dan budaya komunalitas masyarakat (Wangsa & Dwijendra, 2019). Aspek komunalitas dalam pemanfaatan ruang terbuka hijau perkotaan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pembentukan dan konservasi identitas ruang terbuka hijau taman kota pada lingkup kecil dan identitas kota pada lingkup besar (Prajnawrdhi, Karuppannan, & Sivam, 2015). Perubahan hubungan sosial menjadi individualis akan mengalami hambatan dengan munculnya identitas komunal baru yang dibentuk pada ruang-ruang kota (Castells, 2011). Identitas komunal baru ini dibentuk dari kesamaan minat yang ditemukan, dipertahankan, lalu dipelihara dengan hubungan yang selalu berulang dalam jangka waktu tertentu sehingga mencetuskan makna komunal baru pada tiap anggota individu yang merasa tergabung di dalam lingkungan komunal tersebut. Taman kota selain memberikan manfaat lingkungan dan sosial budaya, juga memberikan manfaat ekonomi. Peningkatan harga lahan di sekitar taman kota karena kualitas lingkungan yang baik dengan hadirnya taman kota, dan peningkatan pendapatan dari pengunjung taman kota. Fungsi Ekonomi ini merupakan turunan dari Fungsi ekologis dan fungsi sosial taman kota yang baik. Jika Fungsi ekologis dan fungsi sosial taman kota terlaksana dengan baik, maka taman kota menimbulkan tarikan perjalanan dari penduduk di permukiman sekitar menuju taman kota. Tarikan ini menghadirkan peluang pendapatan bagi masyarakat dalam bentuk peluang untuk berdagang (Dwipa Tanaya, 2016; Nuraini, 2009) maupun mengadakan acara dan kegiatan yang menguntungkan, dan bagi pemerintah daerah dalam bentuk retribusi parkir dan pendapatan dari penyewaan tempat (Rosawatiningsih, 2019).
Metode
a. Pendekatan Penelitian dan Kebutuhan Data
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan bantuan kuantitatif (mixed method). Pendekatan kuantitatif digunakan saat proses analisis sebaran taman kota yang dikunjungi lansia serta analisis tipologi lansia pengunjung taman kota. Pendekatan kualitatif digunakan saat proses analisis hubungan tipologi pengunjung lanjut usia dengan sebaran taman kota dikaitkan dengan standar pelayanan taman kota.
Subjek dari penelitian ini adalah RTH Taman Kota di Kota Denpasar, dan Pengunjung RTH Taman Kota di Kota Denpasar dari segmen usia Lansia dan Pra- Lansia. Objek penelitian
berupa atribut yang dicari dari subjek penelitian lansia yang berkunjung adalah berupa asal domisili lansia, jenis kegiatan lansia di taman kota, moda transportasi yang digunakan menuju taman kota, dan teman perjalanan lansia menuju taman kota. Atribut yang dicari dari subjek penelitian taman kota adalah lokasi taman kota, akses jalan taman kota, luasan, dan wilayah pelayanan taman kota bagi lansia.
Lokasi penelitian meliputi taman kota di Kota Denpasar yang dikunjungi lansia, yaitu Taman Kota Puputan Badung, Taman Kota Lumintang, dan Taman Kota Niti Mandala Renon.
Berdasarkan kebutuhan dan sumber data yang dirumuskan dari subyek dan obyek penelitian, pengumpulan data yang bersumber dari lansia dilakukan dengan survei primer. Lansia yang dimaksud adalah pengunjung dengan usia diatas 50 tahun yang terdiri dari kelompok usia pra lansia (50 hingga 59 tahun) dan kelompok usia lansia (60 tahun keatas). Data survei primer diambil pada akhir pekan dan hari kerja, pada pagi dan sore hari. Pengumpulan sampel data dilakukan dengan teknik purposive sampling dan snowballing sampling kepada lansia yang mengunjungi taman kota. Purposive sampling bertujuan untuk menentukan sampel penelitian berdasarkan kriteria pengunjung lanjut usia. Snowballing sampling dilakukan untuk memperbesar jumlah sampel dengan cara merekrut sampel pengunjung lansia lain dari pengunjung lansia yang sudah ada. Survei Primer dilakukan dengan wawancara kepada subyek penelitian.
Jumlah minimal sampel yang digunakan dalam penelitian ditentukan dari pendekatan penelitian. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan campuran antara kualitatif dan kuantitatif, sehingga dasar jumlah minimal sampel akan menyesuaikan pada keinginan peneliti dan sifat dari distribusi data (Alwi, 2012). Teknik analisis data pada penelitian ini berupa analisis distribusi pareto yang tidak mengikuti kaidah distribusi normal. Data yang akan dianalisis menggunakan distribusi normal memperlukan rentang jumlah sampel minimal antara 20 hingga 30 (Agung, 2006). Berdasarkan pertimbangan tersebut dibuat jumlah minimal sampel penelitian sejumlah 20 orang pada masing-masing taman kota atau sejumlah 60 orang sampel keseluruhan.
Pengambilan data dilaksanakan pada akhir pekan dan hari kerja, pada pagi dan sore hari. Pengumpulan data bersumber dari lansia dilakukan dengan survei primer berupa wawancara non-formal menggunakan butiran-butiran pertanyaan kunci kepada subyek penelitian lansia pengunjung taman kota. Butiran pertanyaan kunci yang ditanyakan meliputi butir pertanyaan berikut :
-
1. Alamat tempat tinggal. Untuk mengetahui jarak tempuh lansia menuju taman kota dan wilayah pelayanan taman kota bagi lansia.
-
2. Kegiatan yang dilakukan di taman ini. Untuk mengetahui kegiatan pemanfaatan RTH taman kota bagi lansia.
-
3. Pilihan Moda Transportasi : Angkutan umum, Sepeda motor, Mobil, Sepeda, Jalan Kaki. Untuk mengetahui pilihan moda transportasi yang digunakan lansia untuk mengunjungi taman kota
-
4. Teman perjalanan : Keluarga, Sendiri, Rekan sesama lansia. Untuk mengetahui teman perjalanan lansia menuju taman kota.
Data Kegiatan lansia, pilihan moda transportasi, dan teman perjalanan lansia yang didapat dari hasil wawancara kemudian direkapitulasi kedalam tabel kategori masing-masing dan dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif. Data hasil analisis digunakan untuk mendukung narasi analisis wilayah pelayanan dan aksesibilitas taman kota bagi lansia di Kota Denpasar.
Data jarak tempuh lansia menuju taman kota didapat melalui proses pengolahan dengan bantuan perangkat lunak google map. Data alamat tempat tinggal dimasukkan kedalam perangkat lunak google map dengan titik keberangkatan alamat asal lansia dan titik tujuan pada taman kota yang dikunjungi lansia. Data jarak dikumpulkan dalam satuan kilometer dan digunakan dalam analisis distribusi jarak tempuh lansia yang kemudian menjadi dasar data analisis geospasial wilayah pelayanan taman kota bagi lansia.
Pengumpulan data kepada subyek penelitian taman kota didapat dari survei primer dan survei sekunder. Pengumpulan data survei primer kepada subyek penelitian taman kota berupa observasi kepada kondisi fasilitas taman kota, aksesibilitas taman kota, dan kegiatan yang dilakukan pada taman kota. Survei sekunder mengambil sumber data dari Dokumen Rencana Detail Tata Ruang Kota Denpasar Tahun 2014. Data yang diambil dari Dokumen Rencana Detail Tata Ruang Kota Denpasar Tahun 2014 adalah berupa data shapefile peta dasar Kota Denpasar dan Penggunaan Lahan Taman Kota di Kota Denpasar.
Analisis Wilayah Pelayanan Taman Kota Bagi Pengunjung Lansia dilaksanakan dengan metode analisis geospasial. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis buffer zone yang diukur dari lokasi taman kota. Teknik analisis buffer zone dalam metode analisis geospasial adalah teknik analisis yang mengidentifikasi hubungan antara suatu titik dengan area sekitarnya. Analisis buffer zone akan membentuk suatu area pelindung dalam jarak tertentu yang mengarah keluar dari satu titik dalam peta (Aqli, 2010). Buffer dapat dibentuk berjenjang untuk menunjukkan pengaruh suatu nilai terhadap area yang dilingkupinya (Demers, 2009). Pada penelitian ini buffer akan dibentuk berjenjang berdasarkan data tipologi pengunjung lanjut usia, dan data sebaran taman kota yang dikunjungi lansia di Kota Denpasar. Hasil dari analisis ini adalah peta wilayah pelayanan taman yang dikunjungi lansia yang digunakan untuk mendukung narasi analisis wilayah pelayanan dan aksesibilitas taman kota bagi lansia di Kota Denpasar.
Peta wilayah pelayanan taman kota bagi lansia dibentuk berdasarkan distribusi data jarak tempuh lansia. Data jarak tempuh lansia dibagi menjadi wilayah pelayanan primer dan wilayah pelayanan sekunder berdasarkan frekuensi data. Wilayah pelayanan primer didapat dari frekuensi data jarak tempuh yang paling banyak mempengaruhi rata-rata data pada analisis distribusi pareto, dan wilayah pelayanan sekunder didapat dari frekuensi data jarak tempuh yang paling sedikit mempengaruhi rata-rata data. Gambaran proses metode analisis wilayah pelayanan taman kota dapat dilihat pada Gambar 1.
Data
Analisis
Hasil
Gambar 1. Diagram Analisis Sumber: Rumusan Penelitian, 2021
Data, diskusi, dan hasil/temuan
Hasil dari survey berupa data sebaran RTH Taman Kota yang dikunjungi lansia dengan jumlah pengunjung lansia seperti pada Tabel 1. Didapat sampel lansia pengunjung taman kota sejumlah 103 orang pada seluruh taman kota dari target jumlah 60 orang. Jumlah minimal 20 orang sampel pada satu taman kota terpenuhi dan distribusinya adalah 38 orang pada Taman Kota Puputan Badung, 20 orang pada Taman Kota Lumintang, dan 45 orang pada Taman Kota Niti Mandala Renon.
Tabel 1. Data Jumlah Pengunjung Lansia Taman Kota Di Kota Denpasar
No |
Taman Kota |
Jumlah Sampel Pengunjung Lansia |
1 |
Puputan Badung |
38 |
2 |
Lumintang |
20 |
3 |
Renon |
45 |
Jumlah: |
103 |
Sumber: Survei Primer
Taman Kota di Kota Denpasar yang dikunjungi lansia adalah RTH Taman Kota Puputan Badung, Taman Kota Lumintang, dan Taman Kota Niti Mandala Renon. Ketiga taman kota berbentuk fasilitas RTH lapangan terbuka yang dilengkapi fasilitas untuk menunjang aktivitas rekreasi dan rata-rata dikunjungi seminggu sekali. Sebaran RTH Taman Kota tersebut terdapat pada Bagian Wilayah Perkotaan (BWP) Tengah wilayah Kota Denpasar.
Untuk mengetahui frekuensi jarak tempuh yang paling banyak membentuk rata-rata jarak tempuh, dilakukan analisis distribusi frekuensi dengan grafik distribusi pareto. Distribusi pareto berguna untuk menentukan frekuensi data yang kontribusinya paling banyak dalam menentukan nilai rata-rata (National Center for Education Statistics, 2016).
Berdasarkan analisis distribusi pareto jarak tempuh lansia. Frekuensi jarak tempuh paling banyak pada Taman Kota Puputan Badung adalah sejauh 0,1 hingga 2 km. Pada Taman Kota Lumintang frekuensi jarak tempuh yang paling banyak adalah pada jarak 0,3 hingga 1,2 km, dan 1,2 hingga 2,1 km. Pada Taman Kota Niti Mandala Renon, frekuensi jarak tempuh yang paling banyak adalah pada jarak 0,5 hingga 3,4 Km dan pada jarak 3,4 hingga 6,3 Km. temuan ini selaras dengan Solecki dan Welch (1995) bahwa 60-80% Pengunjung yang melakukan kegiatan rekreasi di taman kota biasanya berasal dari radius 2 kilometer. Hal
serupa juga diungkapkan oleh Woolley (2003), orang-orang yang bertemu di taman kota adalah mereka yang tinggal maupun bekerja di areal tersebut, dan menempuh perjalanan pendek sekitar 0,2 kilometer atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa taman kota melayani penduduk tingkat kota, namun mayoritas pengunjungnya merupakan komunitas lokal.
Berdasarkan hasil survey lansia pada Tabel 2 dapat diketahui berdasarkan jenis kegiatan, jarak tempuh, moda transportasi dan teman perjalanan. tipologi lansia yang berkunjung ke taman kota di Kota Denpasar seperti pada pada Tabel 2. Lansia yang tergolong kedalam tipologi kegiatan olahraga rekreasi, Jarak tempuh sejauh rata-rata 3 kilometer dari tempat tinggal, Moda transportasi menggunakan sepeda motor dengan teman perjalanan sendiri dan keluarga. terdapat perbedaan jarak tempuh lansia menuju taman kota pada masing-masing taman kota. Perbedaan jarak ini dicerminkan dalam wilayah pelayanan yang beragam.
Pilihan penggunaan sebagai fasilitas rekreasi olahraga seperti pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tipologi lansia pengunjung taman kota adalah golongan lansia yang masih mampu melakukan kegiatan secara mandiri dan aktif, seperti olahraga ringan. Golongan lansia yang memiliki kebutuhan khusus (difabel) karena penurunan kemampuan fisik seiring bertambahnya usia tidak ditemukan dalam sampel pengunjung lansia.
Tabel 2. Tabel Data Lansia Pengunjung Taman Kota
Taman Kota |
Klasifikasi Kegiatan |
Jumlah/ Persentasi |
Jangkauan Pelayanan (km) |
Moda Transport |
Jumlah/ Persentasi |
Teman Perjalanan |
Jumlah/ Persentasi | ||||
Primer |
Sekunder | ||||||||||
Puputan |
Olah Raga |
31 |
82% |
2 |
2-5,8 |
Jalan Kaki |
4 |
11% |
Sendiri |
27 |
71% |
Badung |
Rekreasi Kegiatan |
6 |
16% |
Sepeda |
3 |
87% |
Pasangan |
8 |
21% | ||
Ekonomi |
Motor |
3 | |||||||||
Lainnya |
1 |
3% |
Mobil |
1 |
3% |
Keluarga |
3 |
8% | |||
Lumintang |
Olah Raga |
20 |
100 |
2,1 |
2-3 |
Sepeda |
2 |
100 |
Sendiri |
7 |
35% |
Rekreasi |
% |
Motor |
0 |
% |
Keluarga |
7 |
35% | ||||
Teman |
6 |
30% | |||||||||
Niti Mandala |
Olah Raga |
45 |
100 |
6,3 |
6,3-20 |
Jalan Kaki |
1 |
2% |
Sendiri |
8 |
18% |
Renon |
Rekreasi |
% |
Sepeda |
3 |
80% |
Pasangan |
2 |
4% | |||
Motor |
6 |
Keluarga |
26 |
58% | |||||||
Mobil |
8 |
18% |
Teman |
9 |
20% |
Sumber: Hasil Survey, 2020
Jangkauan pelayanan dibagi menjadi jangkauan pelayanan primer dan sekunder yang bersumber dari distribusi frekuensi jarak tempuh pengunjung lanjut usia. Frekuensi jarak tempuh yang paling banyak berkontribusi dalam rata-rata jarak tempuh menjadi jangkauan pelayanan primer, dan yang paling sedikit menjadi jangkauan pelayanan sekunder.
Data teman perjalanan pada taman kota pada Tabel 2. Tabel dikaitkan dengan jenis kegiatan dapat menunjukkan indikasi rasa komunalisme yang masih tinggi pada pengunjung lansia. Meskipun tipologi pengunjung lansia paling banyak melakukan perjalanan sendiri, lansia pengunjung di Taman Kota Puputan Badung melakukan kegiatan bersama-sama dengan rekan sesama lansia yang ditemui di taman kota. Pada Taman Kota Lumintang dan Niti Mandala Renon, pengunjung lansia melakukan kunjungan paling banyak untuk melakukan kegiatan olahraga rekreasi secara komunal yaitu olahraga yoga. Fenomena komunalitas di
lingkungan perkotaan ini sejalan dengan gagasan Castells, (2011) dimana pada proses urbanisasi, hubungan sosial yang secara teoritis akan semakin menjadi hubungan sosial individualis malah akan mengalami hambatan dengan munculnya identitas komunal baru yang dibentuk pada ruang-ruang kota. Identitas komunal baru ini dibentuk dari kesamaan minat yang ditemukan, dipertahankan, lalu dipelihara dengan hubungan yang selalu berulang dalam jangka waktu tertentu sehingga mencetuskan makna komunal baru pada tiap anggota individu yang merasa tergabung di dalam lingkungan komunal tersebut.
Temuan wilayah pelayanan ini dapat ditinjau dari aspek standar pelayanan taman kota berupa wilayah pelayanan dan dari aspek aksesibilitas lansia. Aspek standar pelayanan taman kota berupa wilayah pelayanan ditelaah dari analisis distribusi pareto jarak tempuh lansia. Berdasarkan data dari distribusi pareto tersebut wilayah pelayanan primer dan sekunder masing-masing taman kota dapat dituangkan dalam bentuk peta wilayah pelayanan taman kota bagi pengunjung lansia di Kota Denpasar terhadap Bagian Wilayah Perkotaan (Gambar 2).
Gambar 2. Wilayah Pelayanan Taman Kota Bagi Lansia di Kota Denpasar Sumber: Hasil Analisis, 2021
Idealnya, jika taman tujuan terletak dekat relatif dengan tempat tinggal mereka akan memilih untuk berjalan kaki maupun menggunakan angkutan umum, jika taman tujuan relatif jauh maka lansia akan menggunakan moda transportasi kendaraan pribadi. Jika ditinjau dari aspek aksesibiltas lansia, keterbatasan dalam mengoperasikan kendaraan diatasi dengan melakukan perjalanan dengan keluarga (Annisa 2013) dan menggunakan moda kendaraan pribadi (Gong, Zheng, & Ng, 2016). Penyelesaian masalah pilihan moda transportasi pribadi ini sekalipun menawarkan solusi kepada lansia, dapat menimbulkan dampak sampingan berupa perjalanan diinduksi yang berpotensi memperluas fenomena urban sprawl (Aminah, 2007; Noland & Lem, 2002). Fenomena perjalanan diinduksi adalah fenomena bertambahnya perjalanan, umumnya terjadi pada pengguna moda transportasi pribadi yang disebabkan oleh penurunan jumlah harga maupun waktu tempuh yang diperlukan untuk berpindah menggunakan moda transportasi pribadi (Noland & Lem, 2002).
Jalan yang menjadi akses taman Kota Puputan Badung, Lumintang, dan Niti Mandala Renon adalah jalan dengan fungsi lokal dan jalan kolektor. dengan batas kecepatan maksimal 50 kilometer per jam, dengan kecepatan rata-rata nyatanya di lapangan berkisar antara 30-40 kilometer per jam. Secara teoritis jalan tersebut memenuhi standar keamanan jalan bagi lansia. Dapat diperhatikan pada kenyataannya terdapat indikasi bahwa taman kota dengan jalan akses satu arah seperti pada taman kota Puputan Badung memberikan rasa aman yang relatif lebih baik dari jalan akses dua arah yang ditemui pada Taman Kota Niti Mandala Renon dan Taman Kota Lumintang. Indikasi ini dapat dilihat dengan menghubungkan data jumlah pilihan moda transportasi dengan data teman perjalanan lansia pada Tabel 2. Tabel . Pada taman kota Puputan Badung dengan jalan akses satu arah, porporsi jumlah lansia yang melakukan perjalanan sendiri dengan moda transportasi pribadi dibandingkan dengan taman kota lainnya jauh lebih tinggi.
Dari penelitian mengenai wilayah pelayanan lansia ini dapat dilihat bahwa secara standar pelayanan, terdapat taman kota yang sudah memenuhi standar wilayah pelayanan. Karakteristik Taman Kota yang dikunjungi secara umum memiliki karakteristik yang serupa, yaitu taman kota yang digunakan sebagai fasilitas rekreasi olahraga. Kegiatan rekreasi yang dilakukan rata-rata adalah kegiatan rekreasi olahraga bersama komunitas dan keluarga dari lansia. Hal yang membedakan masing-masing taman adalah pola aksesibilitas dan mobilitas lansia. Ditemukan pola keamanan jalan akses menuju taman kota, kegiatan rekreasi komunal memiliki peran dalam jarak tempuh, pilihan moda transportasi, dan teman perjalanan lansia menuju taman kota berpengaruh terhadap wilayah pelayanan taman kota. Temuan pola aksesibilitas ini selaras dengan penelitian sejenis (Annisa, 2013; Bhattacharya, 2018; Lord et al., 2011; Whelan, Langford, Oxley, Koppel, & Charlton, 2006).
Pola mobilitas lansia menuju taman kota di Kota Denpasar ini merupakan temuan yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan kota ramah lansia di Kota Denpasar. Perencanaan kota ramah lansia layaknya harus mempertimbangkan keseimbangan antara aspek kemandirian lansia dan keamanan bagi lansia. Keseimbangan antara kemandirian dan keamanan ini tercermin dalam inti gagasan perencanaan kota ramah lansia “active ageing”. Active ageing dalam konteks aksesibilitas lansia menuju taman kota ini dapat diwujudkan dalam perencanaan ruang terbuka hijau dengan konektivitas yang baik terhadap permukiman sekitarnya. Konektivitas ruang terbuka hijau ini perlu memperhatikan tata letaknya terhadap jenis permukiman, karena jenis permukiman pada pinggiran kota dan permukiman di pusat kota memiliki karakteristik akses menuju ruang terbuka hijau yang berbeda (Kristianova, 2016). Permukiman pada pinggiran kota cenderung melakukan perjalanan menggunakan moda transportasi kendaraan bermotor untuk mengakses ruang terbuka hijau dengan alasan keamanan dan kebebasan bepergian (Lord et al., 2011).
Selain faktor konektivitas, jika memperhatikan temuan dari penelitian ini, faktor budaya komunalitas juga turut berperan dalam pola mobilitas lansia menuju taman kota. Sekalipun teman perjalanan menuju taman kota adalah perjalanan sendiri, kegiatan yang dilakukan oleh lansia di taman kota adalah rekreasi bersama komunitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya upaya untuk membentuk dan menguatkan budaya gotong-royong dan komunalitas baik pada komunitas lansia pada khususnya maupun pada komunitas perkotaan
pada umumnya karena kebutuhan akan identitas merupakan kebutuhan yang wajib untuk dipenuhi untuk menunjang keberlanjutan sosial.
Kesimpulan dan Saran(Times New Roman 12pt, Bold, Multiple at 1.15-before 12-after 6)
Secara standar pelayanan, terdapat taman kota yang sudah memenuhi standar wilayah pelayanan. Karakteristik taman kota yang dikunjungi secara umum memiliki karakteristik yang serupa, yaitu taman kota yang digunakan sebagai fasilitas rekreasi olahraga. Pilihan penggunaan sebagai fasilitas rekreasi olahraga ini menunjukkan bahwa tipologi lansia pengunjung taman kota adalah golongan lansia yang masih mampu melakukan kegiatan pada umumnya. Golongan lansia yang memiliki kebutuhan khusus (difabel) karena penurunan kemampuan fisik seiring bertambahnya usia tidak ditemukan dalam sampel pengunjung lansia.
Aksesibilitas ruang terbuka hijau dalam konteks perencanaan kota ramah lansia di Kota Denpasar terwujud dalam wilayah pelayanan yang bervariasi antar taman kota yang dikunjungi lansia. Penelitian ini menemukan dari hasil analisis aksesibitas lansia dalam wilayah pelayanan taman kota bahwa aksesibilitas lansia menuju taman kota belum sesuai dengan kaidah perencanaan kota ramah lansia. Prinsip kemandirian dan keamanan akses bagi lansia yang belum terpenuhi tercermin dari hasil penelitian berupa lansia pengunjung taman kota masih cenderung melakukan perjalanan menggunakan moda transportasi pribadi. Pilihan moda transportasi pribadi ini sekalipun memungkinkan kemandirian bagi lansia, tidak menjamin keamanan dan keselamatan lansia di perjalanan. Terdapat pola yang terindikasi mempengaruhi aksesibilitas lansia menuju taman kota, yaitu luasan taman kota, keamanan akses jalan menuju taman kota, kemandirian akses, dan budaya komunalitas pengunjung lansia. Pola yang mempengaruhi aksesibilitas ini perlu menjadi pertimbangan dalam perencanaan kota yang ramah lansia di Kota Denpasar.
Daftar Pustaka
Agung, I. G. N. (2006). Statistika penerapan model rerata-sel multivariat dan model ekonometri dengan SPSS. Yayasan Sad Satria Bhakti.
Alwi, I. (2012). Kriteria Empirik Dalam Menentukan Ukuran Sampel. Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA, 2(2), 140–148.
Aminah, S. (2007). Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 20, 35–52. Diambil dari
Annisa, H. (2013). Identifikasi Karakteristik Tempat Rekreasi yang Menarik untuk Dikunjungi Para Lansia dari Segi Penawaran. Journal of Regional and City Planning, 23(2), 103. https://doi.org/10.5614/jpwk.2012.23.2.2
Aqli, W. (2010). Analisa Buffer Dalam Sistem Informasi Geografis Untuk Perencanaan Ruang Kawasan. Analisa Buffer Dalam Sistem Informasi Geografis Untuk Perencanaan Ruang Kawasan, 6(2), 192–201.
https://doi.org/10.21831/inersia.v6i2.10547
Azis, R. (2018). Pengantar Sistem dan Perencanaan Transportasi. Deepublish.
Bhattacharya, T. (2018). Use of Public Transport by Older Women in Semi-urban West Bengal, India. Indian Journal of Gerontology.
BPS Kota Denpasar. (2021). Kota Denpasar Dalam Angka 2021. In Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. Denpasar.
Buffel, T., Phillipson, C., & scharf, T. (2012). Ageing in urban environments: Developing “age-friendly” cities. Critical Social Policy, 32(4), 597–617.
https://doi.org/10.1177/0261018311430457
Castells, M. (2011). The power of identity (Vol. 14). John Wiley & Sons.
Chiesura, A. (2004). The role of urban parks for the sustainability of cities. Advances in Architecture Series, 18, 335–344.
Demers, M. N. (2009). GIS for Dummies. Indiana. Wiley Publishing, Inc.
Departemen Kesehatan RI. Klasifikasi Umur Menurut Kategori. , Ditjen Yankes § (2009).
Dwipa Tanaya, I. (2016). Aktivitas Ekonomi Dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau Aktif Di Kota Denpasar. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 3(1). https://doi.org/10.24843/JRS.2016.v03.i01.p08
Fobker, S., & Grotz, R. (2006). Everyday mobility of elderly people in different urban settings: The example of the city of Bonn, Germany. Urban studies, 43(1), 99–118.
Gardezi, F., Wilson, K. G., Man-Son-Hing, M., Marshall, S. C., Molnar, F. J., Dobbs, B. M., & Tuokko, H. A. (2006). Qualitative research on older drivers. Clinical Gerontologist, 30(1), 5–22. https://doi.org/10.1300/J018v30n01_02
Gong, F., Zheng, Z.-C., & Ng, E. (2016). Modeling Elderly Accessibility to Urban Green Space in High Density Cities: A Case Study of Hong Kong. Procedia Environmental Sciences, 36, 90–97. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.09.018
Hermawati, I. (2015). Kajian tentang kota ramah lanjut usia. Kajian Tentang Kota Ramah Lanjut Usia, (April), 1–9.
Indonesia. Undang-undang Dasar Kesejahteraan Lanjut Usia. , 13/1998 § (1998).
Kemenkes RI. (2017). Analisis Lansia di Indonesia. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI, 1–2. Diambil dari
www.depkes.go.id/download.php?file=download/.../infodatin lansia 2016.pdf%0A
Koohsari, M. J., Mavoa, S., Villianueva, K., Sugiyama, T., Badland, H., Kaczynski, A. T., … Giles-Corti, B. (2015). Public open space, physical activity, urban design and public health: Concepts, methods and research agenda. Health and Place. https://doi.org/10.1016/j.healthplace.2015.02.009
Kristianova, K. (2016). Public Space Connectivity And Walkability In Suburban Neighbourhoods-Case Studies From Nitra And Košice, Slovakia. International Multidisciplinary Scientific GeoConference: SGEM, 2, 675–682.
Lord, S., Després, C., & Ramadier, T. (2011). When mobility makes sense: A qualitative and longitudinal study of the daily mobility of the elderly. Journal of Environmental Psychology, 31(1), 52–61. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2010.02.007
Miro, F. (2005). Perencanaan transportasi: untuk mahasiswa, perencana, dan praktisi. Penerbit Erlangga.
National Center for Education Statistics. (2016). Digest of education statistics, 2014 (Vol. 44). US Department of Health, Education, and Welfare, Education Division.
Noland, R. B., & Lem, L. L. (2002). A review of the evidence for induced travel and changes in transportation and environmental policy in the US and the UK. Transportation Research Part D: Transport and Environment, 7(1), 1–26.
https://doi.org/10.1016/S1361-9209(01)00009-8
Nuraini, C. (2009). Peran, Fungsi dan Manfaat Pekarangan sebagai Salah Satu Model Ruang Terbuka Hijau di Lingkungan Permukiman Padat Kota Studi Kasus : Pekarangan di Karang Kajen, Yogyakarta. Seminar Nasional “Identitas Kota-kota Masa Depan di Indonesia” “tomorrow’s succes is today’s strategies,” (49), 2.
Prajnawrdhi, T. A., Karuppannan, S., & Sivam, A. (2015). Preserving Cultural Heritage of Denpasar: Local Community Perspectives. Procedia Environmental Sciences, 28(SustaiN 2014), 557–566. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.07.066
Retnaningsih, S. (2017). Kajian Evaluatif Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Sampangan dan Taman Tirtoagung Di Kota Semarang. Pasca Sarjana Unika Soegijapranata.
Rosawatiningsih, N. (2019). Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (Rth) Taman Flora Surabaya. The Journal of Society & Media, 3(1), 68.
https://doi.org/10.26740/jsm.v3n1.p68-85
Sarkissian, W., & Stenberg, B. (2013). Guidelines for planning for older people in public open space. Australia: Nimbin NSW, 2480.
Solecki, W. D., & Welch, J. M. (1995). Urban parks: green spaces or green walls? Landscape and Urban Planning. https://doi.org/10.1016/0169-2046(94)00193-7
Sugiyama, T., & Ward Thompson, C. (2008). Associations between characteristics of neighbourhood open space and older people’s walking. Urban Forestry and Urban Greening. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2007.12.002
Survey METER. (2013). Satu Langkah Menuju Impian Lanjut Usia; Kota Ramah Lanjut Usia 2030; Kota Denpasar. In SurveyMETER. Yogyakarta: Survey METER.
Tamin, O. Z. (2008). Perencanaan, Permodelan, & Rekayasa Transportasi: Teori, Contoh Soal, dan Aplikasi. In Itb.
Tarigan, R. (2005). Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi. Jakarta (ID). Bumi Aksara.
Turel, H. S., Yigit, E. M., & Altug, I. (2007). Evaluation of elderly people’s requirements in public open spaces: A case study in Bornova District (Izmir, Turkey). Building and Environment, 42(5), 2035–2045.
van den Berg, A. E., Hartig, T., & Staats, H. (2007). Preference for nature in urbanized societies: Stress, restoration, and the pursuit of sustainability. Journal of Social Issues, 63(1), 79–96. https://doi.org/10.1111/j.1540-4560.2007.00497.x
Wangsa, I. M. L., & Dwijendra, N. K. A. (2019). Konflik Kepentingan Dalam Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pantai Padang Galak, Denpasar. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 6(2), 171–186.
Whelan, M., Langford, J., Oxley, J., Koppel, S., & Charlton, J. (2006). The elderly and mobility: A review of the literature.
Woolley, H. (2003). Urban open spaces. In Urban Open Spaces. https://doi.org/10.4324/9780203402146
136
SPACE - VOLUME 8, NO. 2, OCTOBER 2021
Discussion and feedback