KONSEP ARSITEKTUR RUMAH ADAT SUKU OSING

RUANG


SPACE


DI DESA KEMIREN, BANYUWANGI

Oleh: I Made Kriswikana Noor1, Ni Ketut Ayu Siwalatri2, Widiastuti3

Abstract

Osing Community of Kemiren Village, Gelagah District, Banyuwangi is an ethnic group of Java Island in Indonesia that still maintains and preserves its culture, especially of that pertains to its home. Osing’s traditional house has a unique concept that is different in comparison with traditional Javanese houses in general. This includes uniqueness in building orientation, spatial pattern, architectural forms, and the use of building materials. The purpose of this study is to conceptualize the architecture of Osing’s traditional house in terms of spatial patterns, forms, functions, structure, and building materials. This research uses qualitative research with an ethnographic approach. Study findings show that Osing traditional house is passed down from generation to generation. Its spatial layout has a cosmological orientation that rules a home should conform with a north-south axis forming a linear pattern and should not face a mountain. Home has 3 rooms, namely bale, jrumah, and pawon laid in a parallel and symmetrical spatial pattern. In this arrangement, jrumah is considered the center of the house as well as a private zone. In addition to this, a home is a representation of a binary concept - dark-light, male-female, public-private, left-right, and sacred-profane. Osing’s traditional house uses building materials that are locally available and adequately support its structure. The main considerations applied in selecting these materials are comfort and capacity to adapt to the surrounding environment.

Keywords: traditional house, spatial pattern, form, and function, architectural concept, Osing ethnicity

Abstrak

Suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Gelagah, Banyuwangi merupakan suku yang masih tetap menjaga dan melestarikan adat istiadat dan budaya, yaitu pada rumah adatnya. Rumah adat Suku Osing memiliki konsep yang unik dan berbeda dari rumah adat Jawa pada umumnya, baik dalam orientasi bangunan, pola ruang, dan bentuk arsitektur, serta material bangunan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis konsep arsitektur rumah adat yang ditinjau dari pola ruang, bentuk dan fungsi ruang, serta material dan struktur. Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif pendekatan etnografi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rumah adat Suku Osing mampu diwariskan secara turun-temurun. Tata letak rumah adat memiliki orientasi kosmologis yaitu cenderung ke arah utara-selatan dan rumah tidak boleh menghadap gunung. Dilihat dari skala makro, pola permukiman Suku Osing tersusun dengan pola linier. Pola ruang utama memiliki 3 ruang dengan fungsi masing-masing, yaitu bale, jrumah, dan pawon yang terbentuk dari pola ruang sejajar dan simetris. Jrumah merupakan sentral dan bersifat privat. Konsep ruang memperlihatkan unsur dualitas, yaitu gelap-terang, laki-laki-perempuan, publik-privat, kiri-kanan, dan sakral-profan. Material rumah adat merupakan material yang mudah didapati dan berada di sekitar desa dengan sistem struktur yang sederhana. Pemilihan material mengutamakan kenyamanan, dan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.

Kata kunci: rumah adat, pola ruang, bentuk dan fungsi, konsep arsitektur, Suku Osing

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman suku bangsa, adat-istiadat, bahasa, budaya, dan sebagainya. Begitu pula dengan rumah adat di masing-masing daerah yang masih berpegang teguh pada keaslian budaya dan arsitektur vernakular. Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang memiliki dasar-dasar mengenai filsafat, ekologi, teknologi, sosiologi, estetika, dan tata ritual secara lengkap, komprehensif dan mendalam yang mampu diwariskan secara turun-temurun (Haryanto, 2011).

Di era modernisasi ini, sebagian masyarakat cenderung kurang menghiraukan terhadap budaya rumah adatnya yang merupakan ciri khas daerahnya sendiri. Dalam perkembangannya, banyak rumah adat mengalami perubahan, bahkan tidak sedikit menghilang atau punah secara perlahan. Perubahan rumah adat atau permukiman dalam konteks perubahan kebudayaan tidak berjalan secara langsung dan menyeluruh, akan tetapi tergantung kedudukan komponen yang berubah dalam sistem kebudayaan secara keseluruhan (Rapoport, 1980). Di dalam rumah adat, ditemukan adaptasi tradisi dimana berkaitan dengan fungsi kebudayaan dan kepercayaan. Kebiasaan tingkah laku manusia dan adaptasi yang berbeda akan menanggapi lingkungan secara berbeda juga. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan ekonomi, sosial, budaya, dan faktor-faktor fisik (Setiawan, 1995).

Rumah adat yang menjadi objek pada penelitian ini, adalah rumah adat Suku Osing yang berada di Desa Kemiren, Kecamatan Gelagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Bentuk dan pola rumah adat Suku Osing merupakan proses adaptasi manusia terhadap kondisi iklim dan lingkungan (M. Rizqon Al Musafiri, 2016). Jika dibandingkan dengan Suku Osing di desa lainnya, Suku Osing Desa Kemiren masih memperlihatkan tata kehidupan sosial budaya yang mempunyai kekuatan nilai tradisional (Agus Suprijono, 2013). Hal inilah menyebabkan Desa Kemiren ditetapkan menjadi Cagar Budaya dalam melestarikan ke-Osingannya (Yudha Arif Nugroho, 2014). Dalam proses membangun rumah adat dan lingkungannya, Suku Osing memiliki aturan-aturan serta kepercayaan tertentu. Suku Osing memiliki keyakinan bahwa selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah memiliki ikatan kuat pada makna budaya dan fungsi sosial (Suprijanto, 2002). Suku Osing mempertahankan rumah adatnya pada bentuk dan fungsi ruang sebagai salah satu nilai budaya yang kuat, sehingga rumah adat Suku Osing menjadi objek penelitian yang menarik serta memiliki potensi untuk dipelajari, dijaga, dan dilestarikan. Nilai budaya rumah adat Suku Osing merupakan warisan budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup dan mampu bertahan dalam menghadapi arus modernisasi saat ini. Suku Osing meyakini bahwa rumah tidak hanya benda mati, namun memiliki nilai-nilai kehidupan yang terkandung pada setiap unsur bangunannya.

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana konsep arsitektur rumah adat Suku Osing di Desa Kemiren, ditinjau pada pola tata ruang, bentuk dan fungsi ruang, serta material dan struktur rumah adatnya.

Konsep Arsitektur Vernakular

Arsitektur vernakular merupakan bentuk hunian atau permukiman dari perwujudan hasil karya manusia secara turun-temurun dalam batas wilayah lingkungan tertentu, yang mewadahi aktivitas manusia (Rapoport, 1969). Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang dibangun oleh masyarakat tradisional, dimana merupakan warisan turun-temurun yang disampaikan apa adanya (Riany, 2014). Arsitektur vernakular merupakan konsep yang cenderung menonjolkan dan melestarikan potensi budaya, tradisi, dan sosial masyarakat di lingkungan sekitarnya (Pricillia Yolanda Wijaya, 2017). Sebagian besar konsep dasar bangunan arsitektur vernakular bersumber dari alam (kosmos) yang digambarkan melalui mitos-mitos, kepercayaan, dan agama (Suharjanto, 2014). Dapat dipahami bahwa konsep arsitektur vernakular merupakan suatu kajian yang mempelajari proses pembentukan sebuah hunian atau permukiman, yaitu mulai dari proses desain hingga pembentukan fisiknya, dimana hasil desain tersebut mampu beradaptasi dan menyesuaikan terhadap lingkungan disekitarnya, serta mampu diwariskan secara turun-temurun.

Rumah Adat

Rumah adat merupakan sebuah perwujudan konsep hidup sekaligus jati diri yang berpedoman pada tradisi maupun lingkungan sekitar berdasarkan tata cara dan nilai budayanya sendiri (Kusumawati, 2007). Rumah adat merupakan suatu bangunan memiliki ciri tradisional yang difungsikan sebagai tempat tinggal dan beraktivitas oleh masyarakat dalam wilayah tertentu (Mirza, 2018). Rumah adat merupakan representasi dari kebudayaan tertinggi dalam komunitas suku atau masyarakat (Nurman, 2017). Pembentukan rumah adat berdasarkan karakter budaya dan kondisi lokal dengan menganut pemahaman ideologi lokal, sehingga akan selalu berkaitan dengan tata cara hidup setempat pula (I Made Wirata, 2014). Rumah adat dibangun oleh kelompok masyarakat dengan cara yang sama tanpa atau sedikit mengalami perubahan bentuk. Rumah adat dibentuk berdasarkan tradisi adat istiadat dan lingkungan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Rumah adat memiliki ciri khas tersendiri dan mampu diwariskan secara turun-temurun pada struktur, bentuk, fungsi, dan cara pembuatannya, serta ragam hias yang terdapat didalamnya (Said, 2004). Dapat disimpulkan rumah adat merupakan bangunan tempat tinggal yang dihasilkan dari aktivitas penghuni dengan budayanya, kepercayaan, dan lingkungan sekitarnya, yang mampu diwariskan secara turun-temurun.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Metode kualitatif merupakan metode penelitian berlandaskan postpositivisme, yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (Sugiyono, 2017). Pendekatan etnografi merupakan model penelitian dengan observasi tertutup yang berpusat pada makna sosiologi terhadap fenomena sosial budaya di masyarakat (Emzir, 2011). Pendekatan etnografi mempelajari kehidupan manusia sehari-hari dalam ruang dan waktu manusia itu sendiri (Ronald E. Hallett, 2014). Penelitian etnografi merupakan gambaran prilaku masyarakat dengan budayanya, kebiasaannya, dan keyakinannya berdasarkan atas informasi yang telah dikumpulkan melalui penelitian lapangan (Harris, 2000). Tahapan yang perlu dilakukan

dalam penelitian etnografi dimulai dari rincian (breakdown), resolusi (resolution), dan akhir pertalian (coherence) (Bungin, 2007). Tahap analisis data pada penelitian ini secara berurutan yaitu mengorganisasikan data, membuat catatan, mendeskripsikan kasus, mengklarifikasikan data, dan mengintrepretasikan data (Creswell, 2014). Dapat disimpulkan bahwa pendekatan etnografi merupakan studi kualitatif terhadap masyarakat dengan tujuan mendeskripsikan keunikan budaya (kultural) dan prilaku lebih mendalam secara sistematis. Penelitian etnografi pada rumah adat Suku Osing ini dapat digambarkan yaitu suatu masyarakat yang memiliki keyakinan pada nilai budaya dan kebiasaan yang terkandung di dalamnya. Peneliti berperan aktif dalam pengumpulan data yaitu dengan wawancara terbuka kepada pemilik rumah, masyarakat ataupun tokoh masyarakat, dokumen tertulis, dan pengamatan langsung terhadap rumah adat Suku Osing.

Permukiman Suku Osing Desa Kemiren, Banyuwangi

Suku Osing merupakan salah satu masyarakat etnis yang berada di Banyuwangi dan merupakan bagian dari sub-etnis Jawa sabrang wetan yang memiliki kesamaan pada bagian tertentu dengan suku Jawa (Setyabudi, 2011). Keberadaan Suku Osing berkaitan erat dengan silsilah Blambangan (Scholte, 1927). Diawali dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar tahun 15 Masehi. Setelah kejatuhan Kerajaan Majapahit, orang-orang yang tersisa mengungsi ke beberapa tempat, diantaranya ke lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali. Tidak heran, Suku Osing memiliki kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, salah satunya terdapat persamaan pada arsitektur rumah adatnya, terutama pada hiasan dan konstruksi atap (Stoppelaar, 1927). Suku Osing merupakan masyarakat mayoritas yang berada di sembilan kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, yaitu Kecamatan Kabat, Gelagah, Kalipiro, Licin, Rogojampi, Songgon, Giri, Singojuruh, dan Banyuwangi. Terdapat 14 komunitas Suku Osing tersebar di sembilan kecamatan tersebut. Suku Osing di Desa Kemiren merupakan komunitas paling dominan yang berada Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi Sumber: Bappeda Kabupaten Banyuwangi, Modifikasi Peta Citra Satelit, 2020

Desa Kemiren terletak di kawasan strategis yaitu cukup dekat dengan wisata Kawah Wijen. Desa ini memiliki luas wilayah 117.052 meter persegi dan memanjang hingga 3 kilometer. Jumlah penduduk di Desa Kemiren berjumlah 25.692 jiwa dengan 1.113 Kepala Keluarga (Buku Inventoris Kemiren, 2019). Sebagian besar masyarakat Desa Kemiren mata pencahariannya adalah sebagai petani. Desa Kemiren dibagi menjadi dua dusun, yaitu Dusun Krajan dan Dusun Kedaleman.

Ruang lingkup permukiman meliputi makro, meso dan mikro (Dianing Primanita Ayuninggar, 2013). Skala makro meliputi sistem perdesaan Desa Kemiren, skala meso meliputi masing-masing titik rumah adat secara individual, dan skala mikro lebih menekankan pada komponen rumah adat Suku Osing. Dilihat dari berkembangannya, pembentukan pola permukiman Desa Kemiren akibat adanya pengaruh sosial, budaya, tata guna lahan, kondisi topografi, dan sistem kekerabatan yang terkandung didalamnya. Pola ruang permukiman yang terbentuk diantaranya adalah kawasan perumahan, lahan pertanian, pekarangan, dan kawasan wisata, serta sarana prasarana lainnya. Berdasarkan perkembangan permukiman yang terjadi dari tahun 1940 sampai dengan tahun 2020, permukiman Suku Osing cenderung mengarah ke barat. Terbangunnya jalan-jalan baru di dalam wilayah desa, maka permukiman masyarakat Suku Osing berkembang ke arah jalan-jalan baru tersebut (Gambar 2).

Gambar 2. Perkembangan permukiman Suku Osing tahun 1940 sampai dengan tahun 2020 Sumber: Nur, 2010 dan survey lapangan, 2020

Dilihat dari bentuknya, pola permukiman dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu pola memanjang, melingkar, persegi panjang, dan bentuk kubus (Ari, 2005). Berdasarkan hasil observasi, pola permukiman Suku Osing cenderung memanjang, yaitu berada di samping jalan atau sejajar jalan, dimana wilayah desa dikelilingi oleh lahan pertanian dan perkebunan yang cukup luas. Perkembangan permukiman mengarah pola linier pada dua sisi jalan utama Desa Kemiren (Gambar 3).

Gambar 3. Pola tata ruang permukiman Suku Osing memanjang dan berkembang linier Sumber: Modifikasi Peta Citra Satelit, 2020

Susunan permukiman Suku Osing dipengaruhi oleh faktor kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu lokasi rumah anak selalu berada di depan rumah orang tuanya atau dapat dikatakan rumah anak terletak di lahan yang paling dekat dengan jalan utama dan berlanjut dengan rumah orang tuanya (Gambar 4).. Hal ini dapat berlangsung hanya satu keturunan saja. Dengan demikian, maka lahan hunian Suku Osing mampu berkesinambungan tiap generasi keturunannya. Konsep arah rumah adat Suku Osing merupakan konsep secara turun-temurun diwariskan yang memiliki orientasi kosmologi dan memiliki arah hubungannya dengan alam lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil observasi, rumah adat Suku Osing cenderung ke arah utara-selatan atau diharuskan menghadap ke jalan (lurung). Hal ini sesuai dengan nilai kosmologi yang dianut oleh Suku Osing, yaitu rumah tidak boleh menghadap gunung dan laut (hulu-hilir).

Gambar 4. Konsep tradisi pembangunan rumah adat Suku Osing berdasarkan hubungan kekeluargaan

Sumber: Survey lapangan, 2020

Konsep tersebut hampir sama dengan tradisi masyarajat Hindu di Bali, yaitu arah nawa sanga dan tempat yang lebih tinggi dijadikan panduan dalam pendirian permukiman. Kemiripan tersebut cukup berdasar, karena nenek moyang Suku Osing merupakan penduduk Blambangan pada jamannya yang memeluk animisme dan Hindu-Budha.

Konsep Pola Tata Ruang Rumah Adat

Membangun rumah merupakan fenomena budaya. Bentuk suatu rumah adat cenderung dipengaruhi oleh sosial, budaya, kebiasaan, dan lingkungan sekitar. Perubahan rumah adat

tidak berlangsung spontan, namun bergantung terhadap perubahan elemen pada sistem kebudayaan yang dianut secara keseluruhan. Elemen rumah adat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1) elemen inti yang bersifat tetap dan tidak bisa dihilangkan; 2) elemen pinggiran yang cenderung mudah berubah; 3) elemen tambahan yang menjadikan bagian baru (Rapoport, 1969). Dikaitkan dengan teori diatas, konsep pola tata ruang utama pada rumah adat Suku Osing secara umum serupa dengan pola rumah tradisional Jawa lainnya yaitu dibagi menjadi tiga ruangan, diantaranya adalah bale, jrumah, dan pawon (Gambar 5). Namun yang membedakannya adalah rumah adat Suku Osing bersifat tertutup, yaitu tidak adanya jendela yang menyebabkan sirkulasi udara dan pencahayaan kurang dapat masuk dengan baik ke dalam ruangan. Untuk mengimbangi hal tersebut, maka penggunaan material yang sesuai sangat penting dalam penerapan pada rumah adat Suku Osing. Tiga ruangan utama tersebut selalu ada di setiap rumah adat Suku Osing. Terdapat amper (teras depan) dan ampok (ruang di kiri-kanan bangunan) yang berfungsi sebagai ruang tambahan atau penunjang (Gambar

Gambar 5. Pola Tata Ruang utama rumah adat Suku Osing Sumber: Survey lapangan, 2020

Gambar 6. Pola Tata Ruang utama dan ruang penunjang rumah adat Suku Osing Sumber: Survey lapangan, 2020

Amper dan ampok tidak selalu ada dalam rumah adat Suku Osing, tergantung dari kebutuhan penghuni rumah akan ruang-ruang tersebut. Pola ruang dalam rumah adat Suku Osing bersifat linier, terlihat dari posisi pintu masuk area amper, bale dan jrumah berada lurus dengan pintu bagian tengah.

Bale merupakan ruangan depan rumah berfungsi sebagai ruang tamu. Bale juga dapat difungsikan menjadi ruang untuk acara adat oleh penghuni. Dilihat dari fungsi ruang, bale

pada rumah adat Suku Osing merupakan area bersifat publik dan profan. Pada jaman dahulu, bale lebih diperuntukan kepada laki-laki untuk melindungi serangan dari luar. Pada area bale ini cahaya masih dapat masuk ke dalam ruangan, karena berada di depan dan lebih terbuka dibandingkan area lainnya.

Jrumah berada di tengah rumah yang berfungsi sebagai ruang keluarga dan hanya diperuntukkan bagi penghuni dan kerabat dekat saja. Area jrumah ini tidak memiliki jendela atau bukaan, sehingga cahaya tidak dapat masuk ke dalam ruangan. Dilihat dari dari susunan ruang, fungsi ruang, dan pola hubungan antar ruang, jrumah merupakan inti atau pusat (sentral) ruang yang memiliki sifat privasi dan sakral.

Pawon merupakan ruang yang berada paling belakang dan berfungsi sebagai tempat memasak. Selain difungsikan sebagai tempat memasak, area ini memiliki fungsi sebagai area untuk mempersiapkan acara selametan. Pawon juga difungsikan sebagai tempat mencuci, menyetrika, dan kegiatan rumah tangga lainnya. Terdapat akses pintu samping pada ruang ini, sehingga penghuni bisa mengakses pawon ini dari luar rumah. Berdasarkan fungsi ruang, pawon merupakan area pelayanan serta sebagai zona perempuan.

Sebagai ruang penunjang, Amper berada di bagian depan bangunan. Amper berfungsi sebagai area penerima tamu yang mampir sebentar, sebatas tetangga. Amper juga berfungsi sebagai pekarangan depan yang dapat ditanami tanaman hias dan pepohonan. Ampok berada disamping kiri dan kanan bangunan. Ampok memiliki fungsi sebagai ruang perlintasan antara area luar dengan area dalam.

Kebutuhan penambahan ruang oleh faktor eksternal seperti tingkat ekonomi, status sosial, dan efek modernitas memberikan pengaruh pada keputusan penambahan ruang-ruang baru pada rumah adat (Sabono, 2017). Dalam perkembangan rumah adat Suku Osing, masing-masing ruang utama dikembangkan oleh pemilik sesuai kebutuhan dan aktivitas di dalamnya. Masing-masing ruang tersebut berkembang menjadi beberapa ruang lain, namun tetap mengacu pada konsep tata ruang utama rumah adat Suku Osing (Gambar 7).

Gambar 7. Perkembangan pola ruang rumah adat Suku Osing Sumber: Survey lapangan, 2020

Jika dikaitkan dengan hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos, rumah tradisional Jawa memiliki 2 kategori yang berlawanan namun tetap saling mendukung dan melengkapi satu sama lainnya, yaitu sakral-profan, luar-dalam, publik-privat, kanan-kiri yang disebut dengan dualitas. Selain 2 kategori diatas, terdapat sentralitas (centrality) atau disebut dengan senthong yang merupakan pusat dalam pola tata ruang rumah tradisional Jawa (Tjahjono, 1990). Berdasarkan observasi dan analisis, selain sentralitas, rumah adat Suku Osing juga menganut prinsip dualitas, yaitu area gelap-terang, area laki-laki-perempuan, unsur publik-privat, kesimetrisan kiri-kanan, dan unsur sakral-profan. Area gelap-terang, dapat dilihat pada area amper dan bale sebagai unsur terang, sedangkan unsur gelap terdapat pada area jrumah dan pawon (Gambar 8). Dilihat dari area laki-laki-perempuan, yaitu pada area amper dan bale yang lebih diperuntukan kepada laki-laki sebagai area perlindungan, sedangkan pawon yang merupakan area yang diperuntukan untuk perempuan (Gambar 9). Unsur publik-privat, terdapat pada area jrumah berada di tengah yang memiliki unsur privasi, sedangkan area amper dan bale sebagai area publik (Gambar 10). Unsur dualitas kanan-kiri terdapat pada peletakan area ampok yang berada di sisi kiri dan kanan bangunan. (Gambar 11). Unsur sakral-profan, terdapat pada area jrumah merupakan inti yang bersifat sakral, sedangkan area bale bersifat profan (Gambar 12).



Gambar 8. Dualitas gelap-terang pada rumah adat Suku Osing

Sumber: Survey lapangan, 2020


Gambar 9. Dualitas laki-laki dan perempuan pada rumah adat Suku Osing

Sumber: Survey lapangan, 2020




Gambar 10. Dualitas publik-privat pada rumah adat Suku Osing

Sumber: Survey lapangan, 2020


Gambar 11. Dualitas kiri-kanan pada rumah adat Suku Osing

Sumber: Survey lapangan, 2020


Gambar 12. Dualitas sakral-profan pada rumah adat Suku Osing

Sumber: Survey lapangan, 2020

Konsep pola tata ruang pada rumah adat Suku Osing tergambar berdasarkan karakter, fungsi, dan hubungan ruang, serta tata letak yang memiliki makna. Berdasarkan kaitan makrokosmos dan mikrokosmos, jrumah menjadi sentral (central) dan memiliki hirarki tertinggi. Konsep pola tata ruang pada rumah adat Suku Osing memperlihatkan adanya teritori, baik dari segi aktivitas maupun fungsi ruang yang ada. Perkembangan pola tata ruang yang terbentuk berkembang disesuaikan dengan fungsi dan aktivitas pemilik yang dilakukan dalam rumah.

Konsep Bentuk dan Fungsi Rumah Adat

Rumah adat merupakan bangunan tempat tinggal yang dapat diwariskan secara turun-temurun, didalamnya terdapat struktur, memiliki bentuk, fungsi ruang, dan ragam hias dengan ciri khas tersendiri (Said, 2004). Status sosial pemilik rumah yang terlihat secara visual cenderung mempengaruhi arsitektur tradisional, umumnya dilihat dari bentuk atap. Bentuk rumah tradisional Jawa cenderung tidak memiliki garis melengkung. Terdapat struktur tiang penyangga berdiri diatas umpak yang merupakan kekuatan utama bangunan, sehingga memudahkan pengerjaan ketika bangunan ingin dipindahkan. Sistem tersebut dinamakan bedhol omah atau memindahkan rumah (Dakung, 1998).

Rumah adat Suku Osing memiliki bentuk arsitektural dan struktur konstruksi yang berbeda dan unik jika dibandingkan dengan rumah adat lainnya (Lani Senjaya, 2014). Berdasarkan bentuk atap, bentuk dasar rumah adat Suku Osing dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu rumah tikel, baresan dan cerocogan. Penggunaan tiga jenis atap pada rumah adat Suku Osing memperlihatkan bahwa terdapat hubungan kekeluargaan yang harmonis didalamnya (Nur, 2010). Rumah tikel merupakan bentuk yang paling lengkap dibandingkan dengan baresan dan cerocogan. Rumah ini memiliki atap bentuk kampung yang berjumlah 4 atap atau 4 rab (Gambar 13). Rumah tikel mampu menaungi keseleruhan pola ruang utama pada rumah adat Suku Osing, yaitu bale, jrumah, dan pawon. Rumah baresan merupakan rumah yang memiliki 3 atap atau 3 rab. Rumah baresan sering digunakan sebagai pawon jika ruang bale berbentuk tikel (Gambar 14). Rumah cerocogan merupakan jenis rumah adat Suku Osing yang paling sederhana, yaitu memiliki jumlah 2 atap atau 2 rab (Gambar 15). Saat ini jenis

rumah cerocogan jarang dijumpai di Desa Kemiren, mengingat rumah ini memiliki area terbatas dan cenderung sempit, sehingga jenis rumah cerocogan cenderung tidak mampu berdiri sendiri, umumnya dipadukan dengan 2 jenis rumah lainnya, yaitu rumah tikel atau baresan.


Gambar 13. Bentuk rumah tikel Sumber: Survey lapangan, 2020


Gambar 14. Bentuk rumah baresan Sumber: Survey lapangan, 2020

Gambar 15. Bentuk rumah cerocogan Sumber: Survey lapangan, 2020


Ketiga bentuk atap rumah adat Suku Osing mengambil konsep dasar dari bentuk atap tradisional Jawa sebagai sentral budayanya, hanya penamaannya berbeda dan bentuk konstruksi atap rumah adat Suku Osing lebih sederhana. Dalam perkembangannya, susunan rumah adat Suku Osing mempunyai sembilan kombinasi (Tabel 1).

Tabel 1. Kombinasi tipe rumah adat Suku Osing

No

Kombinasi tipe rumah          Jumlah bagian rumah

1

2

3

4

Tikel-tikel-cerocogan Tikel-baresan-cerocogan Tikel-cerocogan-cerocogan Tikel-cerocogan-tikel

5

6

7

Tikel-tikel

Tikel-baresan                                        2

Tikel-cerocogan

8

9

Tikel

Cerocogan

Sumber: Survey lapangan, 2020

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada pihak pemandu wisata Desa Kemiren, saat ini sebagian besar rumah adat Suku Osing menggunakan atap tikel (sekitar 40%), tikel-cerocogan (sekitar 35%), sisanya merupakan atap cerocogan dan baresan. Rumah adat Suku Osing tidak memiliki tingkatan struktur sosial penghuni. Dilihat dari skala besar, Suku Osing Desa Kemiren cenderung bersifat sederajat dan mewakili masyarakat biasa, yaitu tidak ada tingkatan turunan raja atau bangsawan seperti budaya Jawa pada umumnya. Dalam hubungan bermasyarakat, Suku Osing memiliki hak-hak yang sama. Dapat disimpulkan bahwa bentuk rumah adat Suku Osing merupakan bentuk dari golongan masyarakat biasa.

Material dan Struktur Rumah Adat

Pola ruang dan fungsi ruang tidak lepas dari struktur utama sebagai pembentuknya. Struktur bangunan merupakan susunan dari elemen bangunan yang menerima beban utama. Secara umum struktur pada bangunan memiliki pondasi, kolom, lantai, dan struktur kuda-kuda atap (Frick, 1997).

Material rumah adat Suku Osing secara turun-temurun merupakan material mudah diperoleh dan berada di sekitar desa. Komponen material yang digunakan pada rumah adat Suku Osing bersifat alami dan mudah tergantikan dalam kurun waktu tertentu. Penggantian material rumah adat dilakukan secara berkala yang sesuai dengan kebutuhan komponen rumah adatnya

Struktur utama pada rumah adat menggunakan material kayu, yaitu kayu bendo. Kayu bendo dipilih karena memiliki kekuatan yang baik dan materialnya tidak terlalu keras. Disamping itu, kayu ini memiliki bobot yang relatif ringan dan anti rayap. Selain digunakan pada struktur utama, kayu bendo juga digunakan pada kerangka dinding. Terdapat anyaman bambu berfungsi menutupi dinding dengan pengikat tali tampar berbahan sabut pohon aren.

Saka tepas merupakan tiang material kayu dengan 4 titik yang ditempatkan pada area cerocogan, sehingga membuat ruangan ini berbentuk persegi atau persegi panjang. Saka tepas dapat dikatakan sebagai struktur utama pada tiang. Sistem sambungan antara kayu tidak menggunakan paku melainkan sistem tanding. Hal tersebut menjadikan rumah adat Suku Osing mampu dibongkar pasang, yang dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya secara turun-temurun.

Jait cendek merupakan tiang pengikat yang terdapat di sebelah kanan dan kiri saka tepas. Jait dowo berfungsi untuk mengikat saka tepas pada bagian depan dan belakang. Ander merupakan tiang penyangga, kerangka atap, dan struktur penahan pada balok suwunan. Doplak merupakan ukiran yang terdapat dibawah ander dan memiliki motif yang berbeda-beda disetiap rumah. Salah satu motif khas Banyuwangi yang sering digunakan adalah motif gajah oling.

Ampik-ampik adalah dinding dengan bentuk segitiga berbahan papan kayu yang terletak di depan ander. Agar terlihat estetis dan memberikan kesan berbeda tiap masing-masing rumah, papan kayu ini dapat diberikan ukiran khas Suku Osing sebagai hiasan. Selain sebagai penambah estetika, ampik-ampik merupakan penguat struktur yaitu sebagai pengganti dari kaki kuda-kuda.

Balok suwunan merupakan struktur kayu yang letaknya dibagian teratas dari bangunan rumah yang berfungsi sebagai tumpuan ujung kasau. Balok suwunan dipasang membentuk limasan yang tegak lurus dengan ander. Balok lambang dalam konstruksi kuda-kuda rumah adat ini bisa juga disamakan dengan balok tarik, karena balok ini menjadi tumpuan ander dan suwunan. Fungsi balok lambang, selain sebagai balok tarik juga berfungsi sebagai balok pemikul pada balok pelaren yang dipasang lebih melebar, sehingga tumpuannya tidak simetris dengan pilar utama. Pikulan perlu ditambahkan bila bentangan lebar rumah lebih dari 6 meter, karena pembebanan pada balok suwunan terlalu berat, sehingga beban dapat terbagi merata pada struktur lainnya. Pikulan dipasang ditengah-tengah antara dua ander yang ditumpukan terhadap balok jait dowo yang dijepitkan di bawah balok pelaren. Glandar merupakan struktur balok penguat konstruksi utama yang penerapannya disatukan dengan balok lambang (Gambar 16).

Gambar 16. Struktur rumah adat Suku Osing pada bentuk cerocogan Sumber: Survey lapangan, 2020

Material pada lantai rumah adat Suku Osing menggunakan material tanah yang dipadatkan. Penggunaan material tanah dipilih karena bersifat alami, natural, dan pada siang hari tanah mampu menyejukkan ruangan (Gambar 17). Material lantai pada ruang dalam dibuat lebih tinggi dari pada area luar sekitar 15 sampai dengan 20 sentimeter untuk menjaga air hujan tidak masuk ke dalam ruangan.

Gambar 17. Material tanah sebagai lantai rumah adat Suku Osing

Sumber: Survey lapangan, 2020

Dinding sebagai lapisan penutup memiliki peranan penting dalam konsep rumah adat Suku Osing yang tertutup atau tidak adanya bukaan jendela. Dinding berbahan gedek berupa anyaman bambu membuat udara luar dapat masuk melalui rongga kecil pada gedek (Gambar 18). Terdapat jarak antara dinding gedek dengan lantai rumah yaitu antara 5 sampai dengan 10 sentimeter, sehingga rumah aman terhadap serangan hewan pengerat dan material dinding gedek mampu bertahan lama (Gambar 19).



Gambar 18. Material gedek pada dinding rumah adat Osing

Sumber: Survey lapangan, 2020


Gambar 19. Jarak antara dinding dengan lantai rumah

Sumber: Survey lapangan, 2020


Bukaan pada rumah adat Suku Osing sebagian besar hanya berada pada pintu. Namun dibeberapa rumah adat, terdapat juga bukaan pada pintu dan jendela. Dalam rumah adat, selain berfungsi sebagai jalan keluar-masuk, pintu juga berfungsi sebagai proteksi dari luar dan peningkatan privasi penghuni (Noble, 2007).

Elemen atap pada rumah adat Suku Osing sebagian besar menggunakan material genteng terakota atau tanah liat. Penggunaan genteng terakota digunakan karena memiliki beban yang cukup ringan, sehingga struktur atap mampu menopang beban atap genteng dengan baik. Namun di beberapa rumah adat, masih menggunakan alang-alang pada penutup atapnya. Mengingat permukiman Suku Osing berada pada iklim tropis, maka genteng terakota dan alang-alang sangat cocok digunakan karena memiliki daya serap yang baik terhadap panas.

Kesimpulan

Konsep permukiman Suku Osing merupakan konsep secara turun-temurun diwariskan yang memiliki arah hubungannya dengan alam lingkungan sekitar, yaitu cenderung ke arah utara-selatan atau diharuskan menghadap ke jalan (lurung). Hal ini sesuai dengan nilai kosmologi yang dianut oleh Suku Osing, yaitu rumah tidak boleh menghadap gunung dan laut (hulu-hilir). Susunan permukiman Suku Osing dipengaruhi oleh faktor kekeluargaan, yaitu lokasi rumah anak selalu berada di depan rumah orang tuanya.

Pola ruang utama menganut tiga ruang terbentuk dari pola ruang sejajar dan simetris, yaitu bale, jrumah, dan pawon. Jrumah merupakan inti rumah (sentral) dan bersifat privat. Pola ruang dalam rumah adat Suku Osing bersifat linier, yaitu dari posisi pintu masuk (area bale) berada sejajar dengan pintu di area jrumah dan area pawon. Selain menganut konsep

sentralitas, rumah adat Suku Osing menganut prinsip dualitas, yaitu gelap-terang, laki-laki-perempuan, publik-privat, kanan-kiri, dan privat-profan.

Bentuk rumah adat Suku Osing merupakan bentuk dari golongan masyarakat biasa. Bentuk dasar rumah adat Suku Osing dibedakan menjadi tiga yang ditentukan berdasarkan bentuk atap, yaitu rumah tikel, baresan, dan cerocogan, yang memberikan makna keharmonisan keluarga.

Material rumah adat Suku Osing secara turun-temurun merupakan material mudah diperoleh, berada di sekitar desa, dan mudah tergantikan dalam kurun waktu tertentu. Struktur utama pada rumah adat menggunakan material kayu bendo. Kayu bendo dipilih karena kuat, tidak disukai rayap, dan relatif ringan. Material pada lantai rumah adat Suku Osing menggunakan material tanah yang dipadatkan dengan ruang dalam dibuat lebih tinggi dari pada area luar sekitar 15 sampai dengan 20 sentimeter. Material dinding berbahan gedek berupa anyaman bambu membuat udara luar dapat masuk melalui rongga kecil pada gedek. Elemen atap pada rumah adat Suku Osing sebagian besar menggunakan material genteng terakota dan alang-alang yang menyesuaikan dengan iklim tropis.

Daftar Pustaka

Agus Suprijono, G. K. P. (2013). Konstruksi Sosial Remaja Osing Terhadap Ritus Buyut Cili Sebagai Civic Culture Untuk Pembentukan Jati Diri. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(2), 185-195.

Ari, I. R. D. (2005). Studi Karakteristik Pola Permukiman di Kecamatan Labang, Madura. Jurnal Aspi, 4(2), 78-93.

Bungin, B. (2007). Analisis data penelitian kualitatif. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Creswell, J. W. (2014). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dakung, S. (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Utama.

Dianing Primanita Ayuninggar, A. A., Dian Kusuma Wardhani. (2013). Sosial Budaya Pembentuk Permukiman Masyarakat Tengger Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Jurnal Tata Kota dan Daerah, 5(1), 25-36.

Emzir. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Pusat.

Frick, H. (1997). Seri Strategi Arsitektur 1- Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Harris, M. O. J. (2000). Cultural Antropology. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.

Haryanto, H. (2011). Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional pada Hotel Grand Hyatt Bali. Jurnal Modul, 11(2), 96-100.

I Made Wirata, N. P. S. (2014). Konsep Arsiktektur Rumah Adat Suku Sasak di Dusun Segenter, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, NTB. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 1(1), 51-64.

Kusumawati, L. (2007). Jejak megalitik arsitektur tradisional Sumba. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lani Senjaya, R. G. (2014). Fasilitas Wisata Budaya Osing di Desa Kemiren Banyuwangi. eDimensi Arsitektur Petra, 2(1), 343-350.

M. Rizqon Al Musafiri, S. U., I Komang Astina. (2016). Potensi Kearifan Lokal Suku Using Sebagai Sumber Belajar Geografi SMA di Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 1(10), 2040-2046.

Mirza, R. (2018). Rumah Adat Using Banyuwangi: Kajian Budaya dalam Media Pembelajaran Matematika. Paper presented at the Seminar Nasional Pendidikan, Budaya dan Sejarah (Prosiding: Dibalik Revitalisasi Budaya), Banyuwangi.

Noble, A. G. (2007). Traditional Buildings. New York: I.B. Tauris & Co. Ltd.

Nur, T. K. H. M. (2010). Pelestarian Pola Permukiman Masyarakat Using di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Tata Kota dan Daerah, 2(1), 59-73.

Nurman, N. (2017). Program Pelestarian dan Nilai Ekonomis Rumah Adat Masyarakat Osing. Indonesian Journal of Islamic Economics and Business, 2(2), 43-57.

Pricillia Yolanda Wijaya, S. A. P. (2017). Studi Rumah Adat Suku Osing Banyuwangi Jawa Timur. Paper presented at the Prosiding Simposium Nasional Rekayasa Aplikasi dan Perancangan Industri (RAPI) XVI, Surakarta.

Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Rapoport, A. (1980). Human Aspects of Urban Form: Towards a Man-Environment

Approach to Urban Form and Design. New York: Ergammon Press.

Riany, M. (2014). Kajian Aspek Kosmologi-Simbolisme Pada Arsitektur Rumah Tinggal

Vernakular di Kampung Naga. Jurnal Reka Karsa, 4(2), 1-12.

Ronald E. Hallett, K. B. (2014). Ethnographic Research in a Cyber Era. Journal of Contemporary Ethnography, 43(3), 306-330.

Sabono, F. (2017). Konsep Rumah Adat Tumbuh pada Rumah Adat Tradisional Dusun Doka, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Media Matrasain, 14(1), 34-48.

Said, A. A. (2004). Toraja Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional. Jogyakarta: Ombak.

Scholte, J. (1927). Gandroeng van Banjoewangie. Djawa: VII.

Setiawan, H. d. (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku: Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Yogjakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Setyabudi, I. (2011). Nilai Guna Ruang Rumah Tinggal Suku Using Banyuwangi dalam Kegiatan Sosial, Budaya dan Agama. Local Wisdom, 3(1), 01-08.

Stoppelaar, J. W. d. (1927). Balambangsch Adatrecht. Wageningen, Wageningen.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Suharjanto, G. (2014). Konsep Arsitektur Tradisional Sunda Masa Lalu dan Masa Kini. Jurnal Comtech, 5(1), 505-521.

Suprijanto, I. (2002). Rumah Tradisional Osing Konsep Ruang dan Bentuk. DIMENSI: Journal of Architecture and Built Environment, 30(1), 10-20.

Tjahjono, G. C. (1990). Center and Duality in Javanese Architectural Tradition; The Symbolic Dimension of House Shape in Kotagede and surroundings. (Disertasi). University of California at Barkeley, California.

Yudha Arif Nugroho, H. C. (2014). Pengelolaan Sumberdaya Air di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur Berbasis Kearifan Lokal. Lingkungan Tropis, 8(1), 59-67.

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Ibu Ni Ketut Ayu Siwalatri dan Ibu Widiastuti yang telah senantiasa membimbing dalam proses penelitian ini, serta Bapak Suhaimi selaku Ketua Adat Suku Osing Desa Kemiren yang telah memberikan informasi mengenai budaya rumah adat Suku Osing, sehingga artikel ini dapat diselesaikan dengan baik.

110

SPACE - VOLUME 8, NO. 2, OCTOBER 2021