Prediksi Kebutuhan Area Permukiman di Kota Ternate
on
RUANG
PREDIKSI KEBUTUHAN AREA PERMUKIMAN DI KOTA TERNATE
Oleh: Vrita Tri Aryuni1, Ramdani Salam2, Anif Farida3
Abstract
Ternate City is a densely populated area and has high population growth in comparison with other cities of North Maluku, Indonesia. Consequently, Ternate needs more areas dedicated for settlement than it currently has. In addressing this condition, this study aims at examining the scale of land needed to accommodate the escalating number of houses required by Ternate’s urban dwellers in 2025, 2030, and 2035. It adopts a quantitative method supported by relevant and available secondary data. The increase in population number is calculated based on an exponential growth calculation. Discussion within is developed based on an assumption that every household needs a minimum of 100 m2 for its home. This study shows that each district of Ternate has its own need for houses and scale of area that differ from one district to another. The southern part of Ternate City demonstrates the highest figure of 27.992 unit houses with an area of 279,92 hectares in 2025; 36.345 units of houses and an area of 363,45 hectares in 2030; and 4.962 units of houses with an area of 49,62 hectares in 2035. On the other side, Ternate Island shows the least figure of 3.113 units of houses with an area of 31,13 hectares in 2025; 3.928 units of houses with an area of 39,28 hectares in 2030; and 4.962 units of houses with an area of 49,62 hectares in 2035. On top of these, this study further recommends that the escalating needs for urban settlement should be well addressed in the urban plan formulated by the Local Urban Planning Office of the Ternate City, thus uncontrolled land conversion will not take place in the near future.
Keywords: population, land, settlement, needs projection
Abstrak
Kota Ternate merupakan daerah yang padat penduduk dan memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan kota-kota lain di Maluku Utara, sehingga membutuhkan lebih banyak permukiman. Tujuan penelitian yaitu untuk memprediksi kebutuhan lahan permukiman di Kota Ternate pada tahun 2025, 2030 dan 2035. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan data sekunder. Prediksi populasi penduduk dihitung dengan pertumbuhan eksponensial. Kebutuhan permukiman penduduk diperoleh dengan asumsi setiap rumah tangga membutuhkan luas minimal 100 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan lahan permukiman berbeda pada tiap kecamatan. Ternate Selatan membutuhkan jumlah rumah mukim terbanyak dan lahan permukiman terluas yaitu 27.992 unit dengan luas 279,92 ha pada tahun 2025, 36.345 unit dengan luas 363,45 ha pada tahun 2030, dan 47.805 unit dengan luas 478,05 ha pada tahun 2035. Pulau Ternate yang paling sedikit membutuhkan rumah mukim dan lahan permukiman tersempit yaitu 3.113 unit dengan luas 31,13 ha pada tahun 2025, 3.928 unit dengan luas 39,28 ha pada tahun 2030 dan 4.962 unit dengan luas 49,62 ha pada tahun 2035. Meningkatnya kebutuhan akan lahan permukiman tersebut sebaiknya diiringi penataan kota oleh Pemerintah Daerah setempat, agar tidak terjadi konversi lahan yang tidak terkendali di masa depan.
Kata kunci: populasi, lahan, area permukiman, prediksi kebutuhan
Pendahuluan
Manusia cenderung mengubah lahan untuk memenuhi kebutuhannya akan lahan. Pertumbuhan populasi dapat mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan memiliki dampak nyata terutama pada negara berkembang yang banyak mengubah hutan dan lahan sawah menjadi permukiman (Ricky et al., 2017; Taufan dan Ritohardoyo, 2018). Peningkatan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya menyebabkan ekspansi lahan dan menjadikannya asset untuk agribisnis, lahan perkotaan, serta daerah perkantoran modern (Sunella and Mamatha, 2016). Daerah perkotaan pada pinggiran kota dapat secara berubah secara bertahap menjadi daerah permukiman karena adanya ekspansi spasial oleh kepadatan penduduk dan aktivitas perkotaan. Hal ini akan diikuti dengan peningkatan nilai lahan secara ekonomis (Vitriana, 2017).
Perubahan daerah non terbangun menjadi daerah terbangun dapat menyebabkan perkembangan fisik kota yang tidak terkendali (Putri and Widayani, 2018). Hal ini dapat menyebabkan permasalahan lingkungan. Perubahan penggunaan lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun pada daerah lindung atau daerah penyangga dalam lingkup yang luas akan dapat memicu berkurangnya sumber daya dan pasokan airtanah, sedangkan pada daerah dengan lereng curam akan meningkatkan resiko erosi dan longsor. Dengan adanya trend penggunaan lahan dan prediksi populasi penduduk di masa mendatang maka kebutuhan lahan permukiman dapat diperkirakan. Data ini penting bagi perencanaan regional dan untuk mengurangi resiko perubahan penggunaan lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun pada daerah lindung dan penyangga.
Kota Ternate merupakan salah satu kota di bagian timur Indonesia yang memiliki perkembangan cukup cepat beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan populasi dan migrasi yang ada menjadikan kota ini semakin padat dengan luasnya yang hanya 5.655,94 km2 yaitu 3,88 % dari luas total keseluruhan provinsi, dan jumlah penduduk 18,51% dari total keseluruhan Provinsi Maluku Utara (Fatah, 2013; Badan Pusat Statistik, 2019). Ketersediaan fasilitasnya yang memadai menjadikan kota ini menjadi salah satu kota favorit untuk daerah permukiman di Provinsi Maluku Utara. Akan tetapi dengan semakin tinggi populasinya, mengakibatkan semakin tingginya kebutuhan akan lahan permukiman. Kota Ternate merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi sebesar 2.047,81 jiwa/km2 dibandingkan rata-rata Provinsi Maluku Utara yang hanya 38,54 jiwa/km2, selain itu memiliki pertumbuhan cukup tinggi sebesar 2,49% dari rata-rata Maluku Utara 2,11% (Badan Pusat Statistik, 2020). Dengan jumlah populasi ini maka membutuhkan lahan permukiman lebih luas. Hal ini dapat memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang. Ketersediaan lahan permukiman yang memadai menjadi salah satu permasalahan di Kota Ternate, dikarenakan adanya keterbatasan lahan permukiman yang tersedia dengan luas total daerah hanya 3,88 % dari luas total keseluruhan provinsi (Badan Pusat Statistik, 2019), dan berupa gunung api aktif yang memiliki lereng diatas 40% dan dikelilingi laut, sehingga pengembangan kawasannya banyak berada di wilayah pesisir (Umanailo dkk., 2017) sedangkan kawasan lindungnya mencapai 40,154 km2 (Basri, 2017). Sebagian daerah di kota ini merupakan daerah lereng gunung yang cukup curam, ataupun daerah yang rawan bencana sehingga menjadikan tidak seluruh daerahnya dapat dijadikan daerah permukiman. Kebutuhan lahan permukiman
yang semakin meningkat menyebabkan adanya perubahan lahan dari daerah non terbangun menjadi daerah terbangun (Umanailo dkk., 2017). Pembangunan dan perubahan lahan dari daerah perkebunan menjadi daerah permukiman semakin banyak ditemui di beberapa tempat, dimana pada tahun 2010 perkebunan seluas 8.745,65 Ha (Marasabessy, 2013) berkurang menjadi 4.829,93 Ha pada tahun 2020 (Sarihi dkk., 2020), sedangkan permukiman dari 1.380,18 Ha (Marasabessy, 2013) bertambah luas menjadi 2.226,73 Ha pada tahun 2020 (Sarihi dkk., 2020). Padahal lahan pertanian dan perkebunan merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan akan pangan dan perekonomian masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi kebutuhan lahan permukiman di Kota Ternate pada tahun 2025, 2030 dan 2035. Pentingnya prediksi kebutuhan lahan permukiman di masa yang akan datang untuk perencanaan kota oleh Pemerintah Daerah merupakan salah satu alasan pentingnya penelitian ini dilakukan. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan pihak terkait untuk perencanaan pengembangan Kota Ternate.
Kebutuhan Permukiman
Kunci kompetensi dari negara yang berhasil adalah kemampuannya dalam perencanaan jangka panjang dan jangka pendek. Perencanaan ini harus berdasarkan informasi yang baik tentang kondisi terkini dan variavel penting yang akan berubah di masa depan dan keyakinan akan prediksi masa yang akan datang. Salah satu variabel yang masuk dalam perencanaan lokal dan nasional adalah populasi penduduk. Seringkali proyeksi populasi penduduk digunakan untuk menghasilkan jumlah rumah tangga (Wilson and Rees, 2005). Proyeksi populasi penduduk berbeda berdasarkan pada cakupan geografisnya, waktu, tipe luaran dan penggunaannya. Pada perencanaan oleh pemerintah umumnya menggunakan proyeksi jangka panjang (O’Neill, et.al., 2001).
Lahan merupakan aset penting dimana seluruh kegiatan berlangsung (Sunella and Mamatha, 2016). Lahan dapat berubah menjadi sumberdaya yang langka karena lahan pertanian yang sangat luas dan tekanan demografis (Sunella and Mamatha, 2016). Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia yang dilakukan pada suatu lahan, dipengaruhi oleh ekonomi, populasi, budaya, dan politik (Thinnukool, et.al., 2014). Penyebab perubahan penutup lahan antara lain aktivitas yang secara langsung mempengaruhi lahan seperti pembangunan jalan yang dipengaruhi oleh kependudukan, ekonomis, politik, teknologi, institusional dan faktor budaya (Lesschen, et. al., 2005 dalam Morara, et. al., 2014).) Peningkatan populasi dan aktivitas manusia menyebabkan perluasan lahan dan tanah dipaksa untuk menjadi aset bagi agribisnis, lahan hutan, perkotaan dan kawasan bekerja modern. Pengukuran dan pemahaman terkait derajat dan penyebaran spasial penggunaan dan penutup lahan sangat penting bagi penelitian perubahan lingkungan dalam berbagai skala. Analisis ini akan menjadi alat yang sangat berharga untuk membangun produktivitas penutup lahan dan penggunaan daerah, serta untuk mengurangi efek negatif lingkungan dan sosial. Penutup lahan terkait dengan penggunaan terhadap lahan, contohnya adalah pertanian, permukiman, industri dan sebagainya (Sunella and Mamatha, 2016).
Pembangunan kota yang dinamis dicerminkan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pusat, dan distribusi pelayanan pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi(UU RI No. 26, 2007 dalam Putri dan Widayani, 2018). Permukiman merupakan suatu bentuk interaksi antara manusia (sebagai penghuni) dengan lingkungan sekitar tempat tinggal sebagai wadah sehingga nantinya akan membentuk suatu komunitas (Sastra, M.S. dan Marlina, E., 2006 dalam Tahir dan Nahdatunnisa, 2020). Faktor utama yang bepengaruh terhadap perkembangan permukiman adalah pertambahan penduduk, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan semakin banyaknya jenis kegiatan yang ada di masyarakat (Ilhami, 1990 dalam Damayanti dkk, 2019). Dengan adanya trend perubahan penggunaan lahan dan proyeksi jumlah penduduk di masa yang akan datang maka akan dapat diketahui kebutuhan lahan yang dibutuhkan untuk, rumah mukim per KK dan dihasilkan luas lahan permukiman per kecamatan di masa yang akan datang. Ini akan bermanfaat bagi dinas terkait untuk mempersiapkan perencanaan wilayah untuk mengurangi resiko perubahan lahan menjadi lahan terbangun pada daerah penyangga dan kawasan lindung. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah bertanggungjawab dalam pencegahan perubahan lahan pertanian menjadi jenis penggunaan lahan lainnya non pertanian yang cenderung merusak keseimbangan lingkungan (Dolly, et. al., 2018).
Metode
Wilayah penelitian merupakan sebagian Kota Ternate yang cukup padat penduduk, yaitu kecamatan yang ada di Pulau Ternate, Maluku Utara (Gambar 1). Daerah ini terdiri dari 5 kecamatan yaitu Ternate Utara, Ternate Selatan, Ternate Tengah, Ternate Barat dan Kecamatan Pulau Ternate, sedangkan Pulau Moti, Batang Dua dan Pulau Hiri tidak temasuk. Kota Ternate terdiri dari 59 kelurahan, dimana 14 kelurahan termasuk dalam wilayah Kecamatan Ternate Utara, 17 kelurahan termasuk dalam wilayah Ternate Selatan, 15 kelurahan masuk dalam wilayah Ternate Tengah, 7 kelurahan masuk dalam Ternate Barat, dan 6 kelurahan masuk dalam wilayah Pulau Ternate.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan data sekunder. Teknik pengumpulan datanya yaitu untuk data Kecamatan Ternate dalam Angka Tahun 2010 dan Tahun 2019 diperoleh dari Badan Pusat Statistik sedangkan Peta RBI Pulau Ternate diperoleh dari Badan Informasi Geospasial. Teknik pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan bantuan software. Perhitungan prediksi penduduk eksponensial, kepadatan penduduk dan kebutuhan permukiman diolah dengan software Ms. Excell 2013. Untuk menghasilkan peta prediksi digunakan bantuan ArcGIS 10.1 dari Peta Batas Administrasi dan data kependudukan yang diolah dengan MS. Excell. Analisis deskriptif dilakukan dengan cara mengkaji hasil prediksi kebutuhan lahan permukiman sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan lahan permukiman pada tiap kecamatan.
Gambar 1. Daerah Penelitian
Sumber: RBI Pulau Ternate
Prediksi populasi penduduk pada tahun 2025, 2030 dan 2035 dari setiap kelurahan dihitung dengan pertumbuhan eksponensial (Taufan dan Ritohardoyo, 2018 ) (rumus 1).
P = P0 x ert................( 1)
Dimana P adalah total populasi setelah waktu t, P0 adalah jumlah populasi awal, r kecepatan pertumbuhan (dalam persen), t rentang waktu (tahun), sedangkan e adalah Euler number (2,71828). Proyeksi populasi dihitung pada tahun 2025, tahun 2030 dan tahun 2035 pada setiap kelurahan. Berdasarkan jumlah penduduk dan luas area pada tiap kelurahan maka kepadatan penduduk dapat ditentukan dan kelas kepadatan penduduk didapatkan.
Berdasarkan data proyeksi penduduk, maka jumlah kebutuhan permukiman dan luas lahan permukiman tahun 2025, tahun 2030 dan tahun 2035 didapatkan. Prediksi kebutuhan lahan permukiman didapatkan berdasarkan asumsi bahwa setiap rumah tangga membutuhkan satu unit rumah berukuran 100 m2 (Taufan dan Ritohardoyo, 2018). Berdasarkan perhitungan ini maka kebutuhan permukiman tahun 2025, tahun 2030 dan tahun 2035 dapat ditentukan bersama dengan kelas kebutuhan permukiman. Data ini kemudian digunakan untuk menghasilkan Peta Kebutuhan Lahan Permukiman.
Hasil dan Pembahasan
Ketersediaan lahan permukiman merupakan salah satu masalah penting dalam kependudukan dan perencanaan kota. Kota Ternate merupakan salah satu daerah yang memiliki populasi tinggi di Provinsi Maluku Utara. Dengan peningkatan jumlah penduduk seiring dengan waktu, maka akan membutuhkan area permukiman yang semakin luas.
Data kepadatan penduduk didapatkan dari jumlah penduduk dan luas kelurahan. Semakin tinggi jumlah penduduknya pada daerah yang sempit maka akan memiliki kepadatan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang luas. Dengan adanya peningkatan jumlah
penduduk dari waktu ke waktu sedangkan lahan tidak semakin luas, maka kepadatan penduduknya pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kepadatan penduduk Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kepadatan Penduduk Pada Daerah Penelitian Pada Tahun 2018
No |
Kecamatan |
Jumlah Penduduk (jiwa) |
Area (km2) |
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) |
Tingkat Kepadatan Penduduk |
1. |
Ternate Utara |
55.981 |
13.92 |
4.022 |
tinggi |
2. |
Ternate Tengah |
63.960 |
13.26 |
4.824 |
tinggi |
3. |
Ternate Selatan |
78.300 |
20.22 |
3.872 |
tinggi |
4. |
Pulau Ternate |
8.720 |
17.39 |
501 |
sedang |
5. |
Ternate Barat |
9.326 |
33.88 |
275 |
rendah |
Total |
216.287 |
98.67 |
13.494 | ||
Rata-rata |
43.257 |
19.73 |
2.699 |
sedang |
Sumber: Kecamatan dalam Angka Tahun 2019 dan Analisis Data, 2019
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak, diikuti oleh Ternate Tengah. Berdasarkan luas, maka Kecamatan Ternate Barat merupakan kecamatan terluas, akan tetapi memiliki jumlah penduduk seperdelapan jumlah penduduk di Ternate Selatan. Kecamatan Ternate Selatan memiliki penduduk 78.300 jiwa, sedangkan Ternate Barat hanya memiliki penduduk 9.326 jiwa. Hal ini menunjukkan tidak meratanya distribusi penduduk. Pada Tabel 1 terlihat bahwa daerah Ternate Tengah memiliki kepadatan tertinggi dengan 4.824 jiwa/km2, sedangkan Ternate Barat 275 jiwa/km2.
Ternate Tengah memiliki jumlah penduduk tertinggi, tetapi dibandingkan dengan Ternate Barat luas daerahnya relatif sempit, yaitu hanya kurang dari setengahnya dan ini memicu kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Ternate Utara, Ternate Selatan dan Ternate Tengah memiliki kepadatan penduduk tinggi, sedangkan Ternate Barat termasuk rendah. Ternate Tengah merupakan pusat kota yang memiliki beberapa fungsi seperti pelayanan pemerintahan, niaga, perdagangan dan jasa, serta sebagai kawasan pemukiman (Umanailo dkk, 2017). Dengan fungsi dan fasilitas yang dimilikinya, kawasan ini merupakan kawasan favorit untuk bermukim sehingga menjadi kawasan terpadat di Kota Ternate.
Kebutuhan daerah permukiman dihasilkan dari proyeksi perhitungan rumah tangga di sebagian Kota Ternate, terkecuali Kelurahan Hiri, Batang Dua, dan Moti. Proyeksi ini digunakan untuk menentukan jumlah dari jumlah rumah tangga di masa yang akan datang yang membutuhkan rumah mukim. Proyeksi jumlah rumah tangga ini berdasarkan 4, 9 dan 14 tahun yang akan datang dengan rentang per 5 tahun, yaitu tahun 2025, 2030 dan 2035. Ini dilakukan untuk dapat memproyeksikan kebutuhan jangka pendek dan panjang yang berguna dalam penentuan perencanaan (O’Neill, et.al., 2001). Proyeksi ini untuk menunjukkan luasan area yang harus dipersiapkan dan dipertimbangkan dalam pengembangan perencanaan wilayah oleh instansi terkait. Perhitungan ini menggunakan asumsi bahwa setiap rumah tangga membutuhkan satu unit rumah dengan luas rumah 100 m2. Prediksi penduduk (rumah tangga) dan luas lahan permukiman ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Prediksi Kebutuhan Permukiman Sebagian Kota Ternate
No |
Kecamatan |
Jumlah Rumah Mukim yang Dibutuhkan (unit) | ||
2025 |
2030 |
2035 | ||
1 |
Ternate Utara |
18.589 |
23.595 |
30.355 |
2 |
Ternate Tengah |
21.671 |
27.431 |
35.056 |
3 |
Ternate Selatan |
27.992 |
36.345 |
47.805 |
4 |
Pulau Ternate |
3.113 |
3.928 |
4.962 |
5 |
Ternate Barat |
3.644 |
4.791 |
6.306 |
Total |
75.009 |
96.089 |
124.485 |
Sumber: Analisis Data, 2019
Tabel 3. Prediksi Kebutuhan Lahan Permukiman Sebagian Kota Ternate
No |
Kecamatan |
Kebutuhan Lahan Permukiman (ha) | ||
2025 |
2030 |
2035 | ||
1 |
Ternate Utara |
185.89 |
235.95 |
303.55 |
2 |
Ternate Tengah |
216.71 |
274.31 |
350.56 |
3 |
Ternate Selatan |
279.92 |
363.45 |
478.05 |
4 |
Pulau Ternate |
31.13 |
39.28 |
49.62 |
5 |
Ternate Barat |
36.44 |
47.91 |
63.06 |
Total |
750.09 |
960.89 |
1244.85 |
Sumber: Analisis Data, 2019
Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3, luas permukiman yang dibutuhkan berbeda untuk tiap kecamatan. Kecamatan yang membutuhkan lahan permukiman tertinggi adalah Kecamatan Ternate Selatan, disusul Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Utara, Ternate Barat, dan Pulau Ternate. Kecamatan Ternate Selatan diprediksi membutuhkan 27.992 unit rumah pada tahun 2025, meningkat 8.054 unit dibandingkan tahun 2018. Jumlah kebutuhan rumah mukim akan meningkat 16.407 unit pada tahun 2030 dan 27.867 unit pada tahun 2035. Kecamatan Ternate Selatan membutuhkan kawasan pemukiman terluas yaitu seluas 279,92 ha pada tahun 2025; 363,45 ha pada tahun 2030, dan 478,05 ha pada tahun 2035.
Ternate Selatan membutuhkan lahan permukiman tertinggi karena adanya jumlah penduduk yang paling tinggi. Walaupun cukup tinggi, luas lahannya lebih luas dibandingkan dengan Ternate Tengah sehingga kepadatan penduduknya lebih rendah (Tabel 1). Daerah ini juga merupakan daerah yang berdekatan dengan pusat kota di Ternate Tengah dan digunakan sebagai daerah pengembangan pembangunan (Umanailo dkk., 2017). Adanya keterbatasan lahan dengan tingkat pengembangan yang tinggi menjadikan daerah sekitar seperti Ternate Selatan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan karena populasinya yang cukup padat, serta merupakan pusat kegiatan dan perekonomian.
Pulau Ternate merupakan kecamatan yang memiliki kebutuhan permukiman terendah. Hal ini disebabkan rendahnya penduduk yang ada, akan tetapi kepadatan penduduk relatif sedang. Ini menunjukkan luas daerahnya tidak terlalu luas. Sebelum tahun 2015, kelurahan ini terdiri dari 13 desa, namun pada tahun 2015 terpecah menjadi Kecamatan Ternate Barat dan Kecamatan Pulau Ternate. Saat ini, kecamatan ini memiliki 6 desa, yaitu Desa Jambula, Kastela, Foramadia, Rua, Afe Taduma, dan Dorpedu, sedangkan Kelurahan
Kulaba, Bula, Tobololo, Togafo, Sulamada, Loto dan Takome yang termasuk dalam wilayah Ternate Barat. Jumlah prediksi kebutuhan rumah di Pulau Ternate pada tahun 2025 sebanyak 2.838 unit, meningkat 860 unit dari tahun 2018. Jumlah tersebut meningkat 1.675 unit pada tahun 2030 dan 2.709 unit pada tahun 2035. Luas pemukiman yang dibutuhkan pada tahun 2035 diperkirakan sebesar 49,62 ha. Daerah ini cukup jauh dari pusat kota dan tidak memiliki kelengkapan fasilitas kota, pelayanan serta pusat perdagangan, dan pelayanan pemerintahan. Dengan rendahnya jumlah penduduk, daerah ini tidak terlalu membutuhkan lahan permukiman yang terlalu luas, berkebalikan dengan Ternate Tengah yang sangat padat dan membutuhkan lahan permukiman yang cukup besar. Jaraknya yang cukup jauh dari pusat kota juga kurang mendukung untuk menjadi pendukung pengembangan pembangunan daerah pusat, maupun dalam mendukung penyediaan lahan permukiman dibandingkan Ternate Selatan yang relatif lebih dekat.
Gambar 2. Prediksi Kebutuhan Permukiman (unit) Sumber: Analisis Data, 2019
Gambar 3. Prediksi Kebutuhan Lahan Permukiman (ha) Sumber: Analisis Data, 2019
Meskipun Kelurahan Ngade, Kecamatan Ternate Selatan, memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk tertinggi dari tahun 2010 hingga tahun 2018 (0,09%), namun jumlah penduduk itu sendiri hanya sepertiga dari jumlah penduduk tertinggi yaitu Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan, yang memiliki 2.935 rumah tangga dan diperkirakan membutuhkan 4.700 unit rumah mukim pada tahun 2025, 6.580 unit pada tahun 2030 dan 9.210 unit pada tahun 2035. Disusul oleh Kelurahan Maliaro, Kecamatan Ternate Tengah dengan 1.978 rumah tangga pada tahun 2018. Kelurahan ini akan membutuhkan 2.641 unit rumah pada tahun
2025, 3.247 unit tahun 2030, dan 3.991 unit pada tahun 2035. Jumlah penduduk terendah dan paling membutuhkan permukiman adalah Kelurahan Dorpedu, Kecamatan Pulau Ternate. Kelurahan ini hanya memiliki 195 rumah tangga pada tahun 2018 dan akan membutuhkan 261 unit pada tahun 2025, 322 unit pada tahun 2030, dan 396 unit pada tahun 2035.
G ambar 4. Peta Prediksi Kebutuhan Lahan Permukiman Kota Ternate Tahun 2035 Sumber: Analisis Data, 2019 dan RBI Pulau Ternate
Berdasarkan Gambar 4, sebagian besar wilayah Tengah dan Ternate Selatan membutuhkan lahan pemukiman menengah hingga sangat luas, sedangkan sebagian besar Pulau Ternate dan Ternate Barat paling sedikit kebutuhannya. Kelurahan Kalumata membutuhkan lahan terluas untuk kawasan permukiman, sedangkan Kelurahan Fitu, Kayu Merah, Bastiong Karance, Tabona, Maliaro, Jati, Marikrubu, Salahuddin, Soa, Sangaji, Toboleu, Makassar Barat, dan Makassar Timur membutuhkan lahan permukiman yang luas. Sebagian besar wilayah di timur laut, timur, dan tenggara cenderung membutuhkan lahan permukiman sedang hingga luas, sisanya cenderung membutuhkan lahan permukiman sangat sedikit dan sedikit. Ternate Tengah memiliki sebagian besar fasilitas kota, pelayanan dan fungsi sebagai pusat kota, pusat perdagangan, dan pelayanan pemerintahan, maka daerah tersebut cenderung memiliki jumlah penduduk yang tinggi tersebut menyebabkan adanya sehingga sangat membutuhkan permukiman. Kepadatan penduduk daerah ini cukup tinggi, yaitu sebesar 4.824 jiwa/km2 yang menyebabkan kurangnya lahan tersedia. Daerah ini sebagai pusat Kota Ternate relatif cukup sempit, akan tetapi tingkat perkembangannya cukup tinggi sehingga dilakukan reklamasi yang digunakan untuk aktifitas perekonomian. Akan tetapi hal ini tidak mampu menahan laju pertumbuhan penduduk pada daerah ini, sehingga perkembangannya ke arah vertikal (Umanailo dkk., 2017). Umumnya harga tanah pusat kota cukup tinggi, maka permukiman juga berpindah ke daerah yang bersebelahan dengan pusat, yaitu Kelurahan Ternate Selatan dan Ternate Utara. Hal ini tampak dari kepadatan
penduduknya yang cukup tinggi dibandingkan Ternate Barat dan Pulau Ternate. Perkembangan kota telah dilakukan ke arah Ternate Selatan sehingga tidak hanya terkonsentrasi di Ternate Tengah (Umanailo dkk., 2017). Dengan adanya penghubung transportasi yang cukup baik antara daerah tersebut dan populasi penduduk yang cukup tinggi dapat menjadi pemicu dalam perubahan penutup lahan, selain faktor lain seperti ekonomis, politik, teknologi, institusional dan faktor budaya (Lesschen, et. al., 2005 dalam Morara, et. al., 2014).
Chi dang Wang (2017) mengemukakan daerah dengan jumlah populasi yang dapat diprediksi cenderung menjadi tempat bermukim yang diinginkan seperti area dengan transportasi umum yang dapat diandalkan, kesempatan kerja yang melimpah, akses yang mudah untuk bekerja, potensi pengembangan lahan yang tinggi, dan dekat dengan area dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Tempat-tempat tersebut biasanya cenderung mengalami pertumbuhan populasi yang stabil. Yasa (2016) menyatakan bahwa peningkatan jumlah penduduk menjadi faktor terjadinya perkembangan area permukiman. Pertumbuhan permukiman baru juga berada di sekitar fasilitas umum yang dibangun. Swanendri (2017) menambahkan bahwa jumlah penduduk yang terus bertambah tidak hanya mendorong penambahan kebutuhan lahan permukiman akan tetapi juga fasilitas umum lainnya. Perkembangan ini lambat laun jika tidak dikontrol dengan baik pada akhirnya akan merusak tatanan kehidupan daerah yang sudah ada beserta pola spasialnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat simpulkan bahwa kebutuhan lahan permukiman berbeda pada tiap kecamatan. Ternate Selatan membutuhkan jumlah rumah mukim terbanyak dan lahan permukiman terluas yaitu 27.992 unit dengan luas 279,92 ha pada tahun 2025, 36.345 unit dengan luas 363,45 ha pada tahun 2030, dan 47.805 unit dengan luas 478,05 ha pada tahun 2035. Pulau Ternate yang paling sedikit membutuhkan rumah mukim dan lahan permukiman tersempit yaitu 3.113 unit dengan luas 31,13 ha pada tahun 2025, 3.928 unit dengan luas 39,28 ha pada tahun 2030 dan 4.962 unit dengan luas 49,62 ha pada tahun 2035. Sebagian besar wilayah Tengah dan Ternate Selatan sangat membutuhkan lahan untuk pemukiman, terutama Desa Kalumata di Ternate Selatan, sedangkan Pulau Ternate dan Ternate Barat paling sedikit membutuhkan lahan permukiman. Meningkatnya kebutuhan akan lahan permukiman tersebut sebaiknya diiringi penataan kota oleh Pemerintah Daerah setempat agar tidak terjadi konversi lahan yang tidak terkendali.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2019). Ternate Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Ternate Kota Ternate. Ternate
Badan Pusat Statistik. (2019). Ternate Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Ternate Kota Ternate. Ternate
Badan Pusat Statistik. (2019). Ternate Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Ternate Kota Ternate. Ternate
Badan Pusat Statistik. (2019). Pulau Ternate Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Ternate Kota Ternate. Ternate
Badan Pusat Statistik. (2019). Ternate Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Ternate Kota Ternate. Ternate.
Badan Pusat Statistik. (2019). Provinsi Maluku Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Ternate.
Badan Pusat Statistik. (2020). Provinsi Maluku Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Ternate.
Basri, A. (2017). Kajian Aspek Penataan Ruang Terhadap Perkembangan Kota Ternate. Jurnal Arsitektur Archipelascape. 3(1), 37-46.
Chi, G., & Wang, D. (2018). Population Projection Accuracy: The Impact
Sociodemographics, Accessibility, Land Use and Neighbour Characteristics. Population Space and Place. 24, 1-11.
Damayanti, A.P., Hardiana, A., & Rahayu, P. (2019). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Permukiman Di Wilayah Pesisir Kabupaten Purworejo. Region : Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif. 14(2), 154-172.
Dolly, F. I., Kismartini, K., & Purnaweni, H. (2018). The Land Use Change From Agricultural to Non-Agricultural in Bungo Regency, Jambi Province, Indonesia. E3S Web of Conferences. ICENIS. 31.
Fatah, A. 2013. Angka Penduduk Migrasi Di Ternate Tinggi. Diakses dari https://ambon.antaranews.com/berita/19942/angka-penduduk-migrasi-di-ternate-tinggi pada tanggal 2 Februari 2019.
Marasabessy, F. (2013). Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Morara, M. K., MacOpiyo, L., & Kogi-Makau, W. (2014). Land Use, Land Cover Change in Urban Pastoral Interface. A Case of Kajiado County, Kenya. Journal of Geography and Regional Planning. 7(9), 192-202.
O'neill, B. C., Balk, D., Brickman, M., & Ezra, M. (2001). A Guide to Global Population Projections. Demographic Research, 4, 203-288.
Putri, D. A., & Widayani, P. (2018). Aplikasi Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografi Untuk Mengkaji Perubahan Penutup Lahan Dan Arah Perkembangan Lahan Terbangun di Kota Batu, Provinsi Jawa. Jurnal Bumi Indonesia, 7(3).
Ricky, E. R., & Barus, B. (2017). A Projection of Land Needed for Settlements and Conversion of Paddy Fields in Solok City. Journal of Regional and City Planning, 28(3), 186-203.
Sarihi, Y.R., Tilaar, S., & Rengkung, M.M.R. (2020). Analisis Penggunaan Lahan di Pulau Ternate. Spasial: Perencanaan Wilayah dan Kota. 7(3), 259-268.
Suneela, T., & G. Mamatha. (2016). Detection of Land Use and Land Cover Changes Using Remote Sensing and Geographical Information System (GIS) Techniques. International Journal of Electrical and Data Communication. 4(12),18-22.
Swanendri, N.M. (2017). Pola Spasial Permukiman Desa Pakraman Timbrah, Karangasem. Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment). 4(1):93-108.
Tahir, M.A., & Nahdatunnisa. (2020). Analisis Ketersediaan dan Pemenuhan Kebutuhan Prasarana dan Sarana Permukiman Di Kawasan Perkotaan. Jurnal Malige Arsitektur. 2(1), 20-29.
Taufan, E.R., & S. Ritohardoyo. (2018). Pengaruh Kebutuhan Lahan Perumahan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Sawah di Kabupaten Bantul. Jurnal Bumi Indonesia. 7(1), 1-13.
Thinnukool, O., Chuangchang, P., & Kongkraphan, K. (2014). Analyzing Land Use Change Using Grid-digitized Method. Songklanakarin Journal of Science and Technology. 36(2), 235-240.
Umanailo, H. A., Franklin, P. J., & Waani, J. O. (2017). Perkembangan Pusat Kota Ternate (Studi Kasus: Kecamatan Ternate Tengah). Spasial: Perencanaan Wilayah dan Kota. 4(3), 222- 233.
Vitriana, A., (2017). Increase in Land Value due to Spatial Transformation in the Northern Part of The Bandung-Cimahi Peri-urban Region. Journal of Regional and City Planning. 28(1), 70-80.
Wilson, T., & Rees, P. (2005). Recent Developments in Population Projection
Methodology: A Review. Population, Space and Place. 11, 337-360.
Yasa, I.K.D.K. (2016). Pola Perkembangan Permukiman Nelayan Di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu, Karangasem. Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment). 3(3), 305-318.
122
SPACE - VOLUME 8, NO. 2, OCTOBER 2021
Discussion and feedback