RUANG


SPACE


TRANSFORMASI SPASIAL PERI-URBAN DI SEKITAR SUNGAI CILIWUNG DAN KEBERLANJUTAN KEGIATAN WISATA BERBASIS SUNGAI

Oleh: Mega Sesotyaningtyas1, Wiwik D. Pratiwi2

Abstract

Peri-urban area has been developed into both residential and tourist development. However, such development has caused serious environmental degradation, as in the case of the development of a peri-urban area of the Ciliwung River. To address this condition, the Komunitas Ciliwung Depok has established Saung Pustaka Air (SPA) as an education and conservation based-tourism. This article aims to describe the spatial transformation taking place around the Ciliwung River in 2009-2019 and to analyze the evolution and the blueprint of the SPA as river-based tourism using the Tourist Area Life Cycle (TALC) Model. This study shows that the conversion from open space into built areas is very significant to note. Meanwhile, the TALC model shows that the SPA is in its "involvement" phase. Tourist facilities and the accessibility to the site are adequate, and both residents and government involvement in all tourism activities as well as development efforts. Various comprehensive policies and strategies need to be done to prevent environmental degradation around the Ciliwung River, especially in the downstream areas. The community also needs to be involved intensively in every environmental conservation activity and decision-making process.

Keywords: transformation; peri-urban; Sungai Ciliwung; tourism

Abstrak

Daerah peri-urban telah dibangun menjadi kawasan perumahan dan pariwisata. Namun, pengembangan kawasan yang semacam ini telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, seperti yang terjadi di Kawasan peri-urban Sungai Ciliwung. Untuk mengatasi hal ini, Komunitas Ciliwung Depok mendirikan Saung Pustaka Air (SPA) sebagai wisata konservasi dan eduksi. Berdasarkan hal ini, maka artikel ini bertujuan untuk menggambarkan transformasi spasial di sekitar Sungai Ciliwung tahun 2009-2019, serta menganalisis evolusi dan arah pengembangan SPA sebagai wisata berbasis sungai menggunakan model Tourist Area Life Cycle (TALC). Hasil studi menunjukkan bahwa transformasi spasial di sekitar sungai sangat signifikan, dari lahan terbuka atau kawasan hijau menjadi kawasan terbangun. Sedangkan, evolusi dan arah pengembangan destinasi wisata SPA berada pada tahap “involvement”. Tahap ini menunjukkan bahwa fasilitas wisata maupun aksesibilitas menuju lokasi telah memadai bagi wisatawan, bahkan penduduk lokal dan pemerintah daerah juga telah terlibat dalam kegiatan wisata dan upaya pengembangannya. Berbagai kebijakan dan strategi yang lebih komprehensif masih perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya degradasi lingkungan sekitar Sungai Ciliwung, terutama di bagian hilir sungai. Masyarakat sekitar juga perlu diikutsertakan secara intensif dalam setiap kegiatan pelestarian lingkungan dan pengambilan keputusan.

Kata kunci: transformasi; peri-urban; Sungai Ciliwung; wisata

Pendahuluan

Kawasan peri-urban cenderung diminati oleh para pengembang untuk mendirikan kawasan perumahan maupun destinasi wisata. Kecenderungan ini disebabkan oleh daya tarik kawasan peri-urban sebagai “open city” (Bryant, et al., 1982), yaitu suatu wilayah yang memiliki peluang besar dalam memilih berbagai lingkungan tempat tinggal, pekerjaan, gaya hidup, maupun spasial (Sari dan Winarso, 2007). Kawasan peri-urban juga digambarkan sebagai daerah yang letaknya di pinggiran kota yang bersifat dinamis dan terfragmentasi (Hornis dan Van Eck, 2008; Rauws dan van Dijk, 2011; Puscasu, 2012). Dari sudut pandang spasial, peri-urban adalah zona transisi antara kota dan desa (Webster, 2000; Weaver dan Lawton, 2001; Sari dan Winarso, 2007). Meskipun demikian, kawasan peri-urban juga memiliki tantangan sebagai tempat atau daerah dengan berbagai tekanan sosial dan dinamika perubahan sosial di dalamnya (Iaquinta dan Drescher, 2000).

Ketertarikan para pengembang terhadap kawasan peri-urban dapat mendorong timbulnya fenomena transformasi, baik fisik, teritorial, hingga budaya masyarakat setempat (Pratiwi, et al., 2019). Transformasi sendiri didefinisikan sebagai penambahan, pengurangan, dan perpindahan dari suatu elemen primer pada lingkungan binaan (Habraken, 1983). Transformasi dapat diamati melalui penafsiran sejarah (analisis diakronik) dan analisis jaringan/kondisi masa kini (analisis sinkronik) (Loeckx dan Vermeulen, 1986). Sedangkan, menurut Habraken (1983), transformasi dapat diamati berdasarkan tatanan bentuk, tatanan teritori, dan tatanan budaya.

Transformasi spasial di suatu kawasan juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor internal (penduduk setempat) dan ekternal. Faktor eksternal dapat berupa ekspansi industri, peningkatan kemudahan akses mencapai lokasi, dan pengembangan pariwisata (Pratiwi, et al., 2019). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya fenomena transformasi di kawasan destinasi wisata, yaitu banyak rumah-rumah penduduk yang merubah fisik dan fungsinya menjadi toko cinderamata, penginapan, café, atau rumah makan, restoran untuk para wisatawan, hingga perubahan fungsi lahan menjadi area parkir pengunjung atau tempat berkumpul untuk memancing, sebagai contoh (Pratiwi, et al., 2015; Latif, et al., 2019).

Transformasi fisik, teritori, hingga budaya yang timbul di dalam kawasan wisata juga dipicu oleh daya tarik keuntungan ekonomi yang cukup signifikan bagi pamerintah maupun penduduk setempat. Disamping sebagai sarana untuk relaksasi ataupun menambah wawasan (Prameswari, et al., 2018; Wiyono, et al., 2018), kawasan wisata juga dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara (Gunn, 1988), menciptakan multiplier effect (Walker dan Walker, 2011), dan meningkatkan pendapatan penduduk (Goeldner dan Ritchie, 2003; Mason, 2003; Henderson, et al., 2004; Rashid dan Bashir, 2004; Sesotyaningtyas dan Pratiwi, 2018).

Namun, di sisi lain, kegiatan pariwisata juga dapat menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan. Salah satu kawasan peri-urban yang mengalami transformasi spasial cukup tinggi dan memiliki dampak buruk bagi sekitarnya adalah kawasan sekitar Sungai Ciliwung. Intensitas pembangunan yang tinggi diduga menjadi penyebab kerusakan lingkungan di sekitarnya, seperti berkurangnya daerah resapan air, menurunnya fungsi ekosistem, hingga bencana banjir di bagian hilir sungai terutama Ibukota Jakarta (Asdak et al., 2018; Usop dan

Iskandar, 2020). Bahkan, kerusakan ekosistem dan bencana banjir ini telah berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta secara signifikan karena beban ekonomi yang harus ditanggung.

Untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang semakin parah, Komunitas Ciliwung Depok yang terdiri dari sekumpulan relawan lingkungan hidup membangun wisata konservasi dan eduksi ”Saung Pustaka Air”. Upaya dilakukan dengan cara mengajak masyarakat melestarikan lingkungan sekitar sungai melalui kegiatan edukasi dan wisata air. Selanjutnya, berdasarkan penjabaran tersebut, penelitian ini ingin menyampaikan gambaran pola perubahan kawasan sekitar Sungai Ciliwung serta evolusi dan arah pengembangan Saung Pustaka Air sebagai pariwisata alternatif berbasis sungai.

Metode

Penelitian ini bersifat kualitatif yang dikombinasikan dengan pendekatan spasial dengan pengumpulan data melalui observasi lapangan dan wawancara terhadap Komunitas Ciliwung Depok, pengunjung Saung Pustaka Air, dan masyarakat sekitar. Lokasi studi terdapat di Sungai Ciliwung bagian tengah, Kota Depok, dengan batas geografis 06023′50” LS – 060 25′20″ LS dan 106048′0” BT – 106050′30″ BT (lihat Gambar 1). Transformasi kawasan sekitar Sungai Ciliwung dianalisis berdasarkan pola perubahan penggunaan lahan selama 10 tahun (2009-2019) menggunakan Google Earth Pro, sehingga diharapkan dapat diperoleh bentuk dan penyebab perubahan. Sementara, evolusi dan arah pengembangan Saung Pustaka Air sebagai pariwisata alternatif berbasis sungai dianalisis menggunakan model Tourist Area Life Cycle (TALC). Pengambilan sampel responden dilakukan secara random pada pengunjung dan masyarakat sekitar.

Legenda

------BatasAdministrasi m≈ Rel KA                 ^H Kebun          ^H Bangunan Permukman

---Jalan              Q StasiunKA              FgSSrLadangPertanian HDanau 'i Sawah

---SungaiCiLiwung ♦ KomunitasCiIiwungDepok TanahKosong H Jembaian

Gambar 1. Lokasi Studi Sungai Ciliwung Kota Depok, Jawa Barat Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2019

Hasil dan Pembahasan

a.    Saung Pustaka Air: Pariwisata Alternatif Berbasis Sungai

Saung Pustaka Air (SPA) merupakan ruang edukasi bagi anak-anak putus sekolah, sekaligus wisata alternatif berbasis sungai bagi masyarakat sekitar maupun pengunjung dari luar. SPA didirikan oleh Universitas Indonesia bekerjasama dengan Komunitas Ciliwung Depok (KCD) sebagai salah satu bentuk upaya mengurangi dampak negatif perubahan pola tutupan lahan di sekitar Sungai Ciliwung terhadap lingkungan. Di dalam SPA, para pengunjung dan masyarakat dapat menikmati wisata air, seperti arung jeram (rafting), serta memperoleh edukasi tentang pelestarian lingkungan hidup di sepanjang Sungai Ciliwung.

(a) Basecamp/posko KCD            (b) Arung jeram/rafting           (c) Ruang edukasi

(d) Sekitar SPA (e) Kegiatan edukasi anak-anak        (f) Cinderamata

Gambar 2. Daya Tarik dan Fasilitas Wisata di Saung Pustaka Air di sekitar Sungai Ciliwung Sumber: www.instagram.com/komunitasciliwungdepok/?hl=id

Daya tarik wisata lainnya di sekitar SPA, yaitu arboretum bambu dan tanaman buah langka, pengolahan limbah sampah, dan edukasi satwa reptil di sekitar Sugai Ciliwung. Di posko KCD juga terdapat tenda yang menjual cinderamata yang berbahan dasar bambu, seperti tas, celengan, kotak jam tangan, kotak perhiasan, dan lain-lain. KCD juga memasarkan cinderamata handmade ke pengunjung yang datang, media sosial, hingga ke mancanegara seperti Filipina dan Thailand. Selain itu, wisatawan juga dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitar tepi sungai, sekaligus melakukan kegiatan yang bersifat perawatan lingkungan. Wisatawan maupun relawan juga dapat menyumbangkan buku-buku edukasi ke perpustakaan mini atau mengadakan aktivitas seni bagi anak-anak putus sekolah di sekitar DAS Ciliwung.

Wisatawan yang ingin memasuki SPA tidak dipungut biaya, namun pengelola menerapkan sistem donasi untuk biaya pemeliharaan dan operasional tempat wisata. Sedangkan, untuk toilet, KCD hanya menyediakan satu bilik, namun airnya jernih dan tidak berbau. Akses menuju SPA yang dikelola KCD cukup mudah karena dilewati berbagai moda transportasi publik dan berlokasi dekat dengan Stasiun Commuterline Depok Lama dan terminal bus.

Bahkan terdapat juga shuttle bus dengan rute Monas-Grand Depok City. Namun, bagi para wisatawan yang berkunjung menggunakan kendaraan pribadi, KCD tidak menyediakan tempat parkir. Para pengunjung dapat memarkirkan kendaraan di pinggir jalan raya atau di lapangan parkir futsal sebelah KCD. Kemudian, para pengunjung berjalan kaki menuruni tangga yang berada tepat di samping Sungai Ciliwung.

  • b.    Transformasi Spasial Peri-urban di Sekitar Sungai Ciliwung

Sungai Ciliwung memiliki luas sekitar 35.573 Ha (370,8 km2) dengan panjang sungai utamanya sekitar 124,1 km, serta mencakup wilayah administratif Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Provinsi DKI Jakarta. Seiring berjalannya waktu, kawasan sekitar Sungai Ciliwung mulai mengalami perubahan fisik dan alih fungsi kawasan di beberapa titik yang terjadi secara bertahap. Berdasarkan hasil temuan Ali, et al. (2016) ditunjukkan bahwa kawasan sekitar Sungai Ciliwung mengalami transformasi spasial yang cukup signifikan sepanjang tahun 1990 hingga 2014. Kawasan hijau dan daerah resapan telah berubah secara signifikan menjadi kawasan terbangun. Bahkan, luas badan air pada tahun 2014 telah berkurang 1,49% dari tahun 1990, area hijau menurun 0,28%, dan tanah kosong menurun 0,19% (lihat Tabel 1). Pada daerah hilir luas area terbangun meningkat sebesar 101,87 Ha dari tahun 1990 hingga 2014 (dari luas 5.463,88 Ha menjadi 5.565,79 Ha). Hal ini dapat dimengerti mengingat Sungai Ciliwung sangat dekat dengan Ibukota DKI Jakarta dan pusat kegiatan ekonomi, seperti Kota Depok, Bogor, dan Puncak (Jawa Barat).

Tabel 1. Perubahan Pola Tutupan Lahan

Tipe Tutupan Lahan

1990

Total (H 2000

)/Tahun 2010

2014

Badan Air

255,76

152,54

162,92

159,33

Kawasan Terbangun

5.463,88

5.530,75

5.539,75

5.565,79

Kawasan Hijau

481,53

511,64

475,16

463,61

Tanah Kosong

261

267,24

284,34

273,44

Total

6.462,17

6.462,17

6.462,17

6.462,17

Sumber: Ali, et al., 2016

Saat ini, tahun 2019, kawasan sekitar Sungai Ciliwung telah berkembang lebih pesat dibandingkan dengan tahun 2014. Alih fungsi lahan di sekitar sungai juga semakin tinggi dengan dominasi berupa kawasan permukiman dan beberapa di antaranya berupa kawasan wisata buatan. Hal ini nampak pada perubahan pola tutupan lahan yang diamati menggunakan Google Earth Pro (lihat Gambar 3) dengan rentang waktu perubahan dilihat selama 10 tahun (2009-2019).

Perubahan tutupan lahan dari lahan terbuka dan kawasan hijau menjadi kawasan terbangun nampak signifikan di sisi kanan sungai dibandingkan dengan sisi kiri sungai. Di sisi kanan sungai, permukiman penduduk dan bangunan umum semakin meningkat dan cukup padat. Sementara, di sisi kiri hanya terjadi di sekitar Stasiun Commuterline Citayam. Perubahan tutupan lahan di sekitar Sungai Ciliwung ini beberapa diantaranya menjadi destinasi wisata berbasis alam, seperti Depok Fantasi Waterpark, Taman Hutan Raya Pancoran, Curug Gentong, Kolam Renang Tirta Asri, dan Saung Pustaka Air.

Namun, perubahan kawasan sekitar sungai menjadi destinasi wisata nampaknya telah memberikan problematika tersendiri bagi Pemerintah Kota Depok. Di satu sisi, destinasi wisata mampu memberikan kemajuan bagi pertumbuhan ekonomi Kota Depok dan manfaat ekonomi bagi masyarakat di sekitar sungai. Tetapi di sisi lain, destinasi wisata juga berperan utama dalam penurunan kualitas lingkungan di sekitar sungai.



Gambar 3. Perubahan Pola Tutupan Lahan di Sekitar Sungai Ciliwung Kota Depok Tahun 2009 hingga 2019

Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2019

Hasil wawancara dengan warga sekitar SPA dan Komunitas Ciliwung Depok menemukan bahwa kegiatan wisata dapat memberikan tambahan finansial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dipicu oleh minat penduduk sekitar untuk ikut serta dalam usaha terkait wisata disamping mata pencaharian utamanya. Beberapa di antara mereka menyewakan perahu karet untuk menyusuri Sungai Ciliwung, menjual cinderamata hasil daur ulang, menyediakan toilet umum, membuka warung makan, hingga menyediakkan lahan parkir untuk para pengunjung. Di samping itu, Pemerintah Kota Depok juga cukup baik dalam mempromosikan destinasi wisata kepada masyarakat umum di luar Kota Depok.

Bagi Pemerintah Kota Depok, kegiatan wisata di SPA menjadi suatu bentuk terobosan untuk mengajak penduduk maupun para wisatawan untuk lebih dapat mengenal dan melestarikan Sungai Ciliwung dan kawasan sekitarnya. Hal ini menjadi penting karena alih fungsi kawasan hijau menjadi area terbangun di sekitar sungai cukup masif. Dampak yang dihasilkan juga memberikan kerugian cukup tinggi bagi perekonomian daerah, seperti banjir akibat limpasan air di bagian hilir sungai. Dengan adanya kegiatan edukasi di SPA, Pemerintah Kota Depok mengharapkan agar para pengembang dapat lebih memperhatikan pelestarian lingkungan dalam melakukan pembangunan.

  • c.    Potensi Pengembangan Wisata Berbasis Sungai: Tourist Area Life Cycle (TALC)

Untuk mengetahui keberlanjutan dan arah pengembangan wisata Saung Pustaka Air yang diinisiasi oleh Komunitas Ciliwung Depok, studi ini menggunakan Tourist Area Life Cycle (TALC) yang dikembangkan oleh Butler (1980; 2006). TALC adalah suatu konsep yang

diterapkan dalam pengembangan suatu destinasi wisata untuk mengetahui posisi fase life cycle destinasi tersebut. TALC juga menunjukkan bahwa seiring dengan berkembangnya suatu destinasi, maka perubahan lingkungan fisik dan sosiokulturalnya juga berubah, seperti perubahan sikap masyarakat sekitar atau tuan rumah di sekitar destinasi (Uysal, et al., 2012). Model ini telah banyak digunakan oleh berbagai penelitian di dunia yang disesuaikan dengan kondisi setempat (Kruczek, et al., 2018).

Arah pengembangan Saung Pustaka Air diamati berdasarkan 6 (enam) fase pengembangan kawasan wisata berdasarkan TALC, yaitu exploration, involvement, development, consolidation, stagnation, decline, dan rejuvenation. Indikator yang digunakan adalah jumlah pengunjung, kondisi infrastruktur, interaksi pengunjung dengan penduduk, karakter fisik dan sosiokultural, keuntungan ekonomi, dan pengalaman yang diperoleh pengunjung pada lokasi wisata yang diamati.

Tabel 2. Fase Arah Pengembangan Destinasi Wisata Berdasarkan Model TALC

Fase

Indikator

Exploration

Jumlah pengunjung sedikit, akses ke destinasi rendah, fasilitas belum sempurna, interaksi dengan masyarakat cukup tinggi, karakter fisik dan sosiokultural belum berubah, keuntungan ekonomi rendah, pengalaman pengunjung tinggi

Involvement

Jumlah pengunjung cukup banyak, penduduk lokal terlibat kegiatan wisata, pendapatan lokal meningkat, interaksi pengunjung dan penduduk mulai terbatas, ada infrastruktur dasar, ada upaya pemasaran dan periklanan untuk menarik wisatawan, pemangku kepentingan mulai meningkatkan fasilitas.

Development

Jumlah pengunjung meningkat signifikan (≥ penduduk lokal), keterlibatan penduduk dan kontrol pembangunan mulai menurun sementara perusahaan eksternal menyediakan fasilitas terkini, karakter fisik dan sosiokultural berubah, interaksi pengunjung dan penduduk rendah, permintaan pelayanan meningkat.

Consolidation

Pariwisata menjadi sektor utama, tingkat kenaikan pengunjung menurun meski jumlah total terus meningkat, kualitas hidup penduduk menurun, sikap negatif penduduk, upaya pemasaran dan iklan diperluas, timbul ketidakpuasan penduduk dengan wisatawan

Stagnation

Jumlah pengunjung mencapai puncak tertinggi, banyak fasilitas dan atraksi, penurunan lingkungan-sosial-ekonomi, daya tarik alam dan budaya asli hilang sehingga tergantikan dengan daya tarik buatan/impor, nilai wisata menurun.

Decline &

Pada tahap decline, destinasi wisata mengalami penurunan dan tidak mampu bersaing,

Rejuvenation

destinasi sudah tidak menarik, fasilitas dan akomodasi mulai diubah menjadi non-wisata, fasilitas wisatawan hilang, kelayakan fasilitas dipertanyakan, destinasi kehilangan fungsi wisata, kualitas hidup penduduk mencapai tahap kemunduran. Sedangkan, tahap rejuvenation adalah upaya pemulihan dan peremajaan kembali destinasi wisata, hingga mengembangkan sumber daya alam yang belum termanfaatkan.

Sumber: Butler, 1980; 2006; Uysal, et al., 2012

Berdasarkan Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kegiatan wisata di Saung Pustaka Air di sekitar Sungai Ciliwung berada pada tahap “Involvement” (lihat Gambar 5 di bawah). Hal ini ditandai oleh beberapa hal, antara lain 1) daya tarik wisata dan budaya lokal masih asli dan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya, misalnya di sepanjang bantaran sungai masih menggunakan pepohonan bambu asli; 2) penduduk lokal terlibat kegiatan wisata, seperti membuat cinderamata, menyediakan perahu karet untuk rafting, hingga mengelola sekitar bantaran sungai; 3) interaksi wisatawan dan penduduk lokal masih terbatas; 4) infrastruktur dasar dan fasilitas wisata memadai, seperti toilet bersih, tangga batu, dan akses yang mudah; 5) terdapat upaya pemasaran dan periklanan melalui sosial media; dan 6)

Pemerintah Kota Depok juga meningkatkan kondisi SPA dan mengembangkan pelestarian lingkungan melalui edukasi dan wisata air di sekitar Sungai Ciliwung.

Gambar 4. Tourist Area Life Cycle Saung Pustaka Air di sekitar Sungai Ciliwung, Kota Depok Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2019

Pada fase ini, jumlah pengunjung yang datang ke SPA tidak sedikit dan cukup ramai ketika musim kemarau dan weekend. Pada umumnya, para pengunjung adalah pecinta alam dan anak-anak sekolah. Namun, data jumlah pengunjung untuk wisata sungai sulit untuk digeneralisir, karena lokasinya tidak satu administrasi, tetapi lintas kelurahan, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi. Selain itu, artikel ini juga tidak mengargumenkan pentingnya jumlah kunjungan, tetapi bertujuan untuk mengaitkan materi wisata sungai dengan usaha melestarikannya menggunakan pariwisata.

Dengan demikian, untuk jumlah pengunjung SPA sebagai salah satu indikator dalam penentuan fase evolusi arah pengembangan dalam konsep TALC dapat diumpamakan dengan perbandingan antara jumlah pengunjung di Kebun Raya Bogor dengan SPA. Rata-rata jumlah pengunjung di Kebun Raya Bogor tahun 2019 adalah sekitar 92.000 orang/bulan, dengan rata-rata pengunjung di hari biasa 64.000 orang/bulan dan di hari libur atau hari raya mencapai 2 kali lipatnya (LIPI, 2020). Maka, untuk pengunjung SPA, rata-rata jumlah pengunjung adalah 1-1,5% orang/bulan (dari 64.000 pengunjung Kebun Raya Bogor).

Berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menangani masalah lingkungan di setiap daerahnya. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah melalui meningkatkan konsep wisata edukasi berbasis alam atau lingkungan di Kota Depok, menata kawasan Saung Pustaka Air, menyebarluaskan informasi kepada publik (promosi wisata), hingga mengikutsertakan masyarakat sekitar sungai untuk turut serta mendukung pelestarian lingkungan dan pengambilan keputusan terkait pengembangan wisata edukasi alam. Upaya ini diharapkan dapat menarik minat wisatawan dan meningkatkan kesadaran pentingnya menjadi lingkungan, terutama sungai.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan wisata dapat timbul melalui ketertarikan atau kepedulian suatu individu ataupun kelompok terhadap isu dan tantangan kondisi yang berkembang disekitarnya. Dalam hal ini, kegiatan wisata menjadi salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan lingkungan sekitarnya. Meskipun, secara bersamaan, hal ini juga

mendorong timbulnya fenomena transformasi spasial dan budaya yang terjadi secara alamiah terhadap individu atau kelompok tersebut melalui proses waktu.

Perubahan pola tutupan lahan di sekitar DAS Ciliwung Kota Depok dari lahan terbuka atau kawasan hijau menjadi kawasan terbangun nampak sangat signifikan di sisi kanan sungai dibandingkan dengan sisi kiri sungai. Sedangkan, evolusi dan arah pengembangan destinasi wisata Saung Pustaka Air sudah berada di tahap “Involvement”. Pada tahapan ini, penduduk lokal dan pemerintah daerah telah terlibat dalam kegiatan wisata dan upaya pengembangannya. Di samping itu, aksesibilitas menuju lokasi wisata juga memadai bagi para wisatawan, serta fasilitas wisata yang tersedia juga cukup baik.

Berbagai kebijakan dan strategi yang lebih komprehensif masih perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya degradasi lingkungan sekitar Sungai Ciliwung, terutama di bagian hilir sungai. Masyarakat juga perlu diikutsertakan dalam pelestarian lingkungan dan pengambilan keputusan dalam kegiatan pengembangan wisata. Upaya ini diharapkan dapat menarik minat wisatawan dan meningkatkan kesadaran pentingnya menjadi lingkungan, terutama sungai.

Daftar Pustaka

Ali, M., Hadi, S., & Sulistyantara, B. (2016). Study on land cover change of Ciliwung downstream watershed with spatial dynamic approach. Procedia - Social and Behavioural Sciences, 227, 52 – 59.

Asdak, C., Supian, S., & Subiyanto. (2018). Watershed management strategies for flood mitigation: A case study of Jakarta's flooding. Weather and Climate Extremes, 21, 117–122.

Bryant, C. R., Russwurm, L. H., & McLellan, A. G. (1982). The City’s Countryside: Land and Its Management in The Rural-Urban Fringe. New York: Longman Inc.

Butler, R. W. (1980). The Concept of a Tourism Areas Cycle of Evaluation: Implications for Management of Resources. Canadian Geographer, 24, 5–12.

Butler, R. W (Ed.). (2006). The Tourism Area Life Cycle Volume 1: Applications and Modifications. Clevedon: Channel View Publications.

Goeldner, C. R. & Ritchie, J. R. B. (2003). Tourism: Principles, Practices, and Philosophies (9th Ed.). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Gunn, C. A. (1988). Tourism Planning (2nd Ed.). New York: Taylor & Francis.

Habraken, N. J. (1983). Transformations of the Site. Cambridge: A Water Press.

Henderson, J., Yuzhen, C., Loke, F., & Teo, F. (2004). Widening Accommodation Choice: The Potential of Homestay in Singapore. ASEAN Journal on Hospitality and Tourism, 3, 1 – 9.

Hornis, W. & Van Eck, J. R. (2008). A Typology of Peri-Urban Areas in the Netherlands. Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie, 99, 619 – 628.

Iaquinta, D. L. & Drescher, A. W. (2000). Defining Periurban: Understanding Rural-Urban Linkages and Their Connectuon to Institutional Contexts. Working Paper.

Kruczek, Z., Kruczek, M., & Szromek, A R. (2018). Possibilities of Using the Tourism Area Life Cycle Model to Understand and Provide Sustainable Solution for Tourism Development in the Antarctic Region. Sustainability, 10,    1-16.

www.mdpi.com/journal/sustainability.

Latif, A. N. K. Pratiwi, W. D., & Samsirina. (2019). Analisis Perubahan Permukiman Akibat Pariwisata di Kawasan Wisata Situ Cileunca Kabupaten Bandung. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 8, 70 – 78.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2020). Jumlah Pengunjung Kebun Raya Bogor 2019. http://krbogor.lipi.go.id/id/Jumlah-Pengunjung-Kebun-Raya-Bogor-2019.

Loeckx, A., & Vermeulen, P. (1986). Note on the Methodology of Urban Analysis. Leuven: Katholieke Universiteit Leuven

Mason, P. (2003). Tourism Impacts, Planning and Management. New York: Routledge.

Prameswari, D. R., Ardhyanto, A., & Kusuma, H. E. (2018). Korespondensi Motivasi Pengunjung dan Karakteristik Desa Wisata. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 7, 24 – 31.

Pratiwi, W. D. et al. (2015). Transformasi Perumahan Permukiman dan Pariwisata: Komparasi di Jakarta dan Bandung, ISBN 978-602-70690-4-9. Bandung: ITB Press

Pratiwi, W. D. et al. (2019). Transformasi Fisik, Teritorial, dan Budaya dalam Permukiman. Bandung: ITB Press.

Pratiwi, W. D., Nagari, B. K., & Jamalianuri. (2019). Sustainable Settlement Development: Land

Use Change in Lakeside Tourism of Bandung in Equity, Equality, And Justice in Urban Housing Development. KnE Social Sciences, 883–897.

Puscasu, V. (2012). Peri-urban Area of Galati – Risk or Positive Alternative?. International Conference “Risk in Contemporary Economy” (XIIIth Edition). ISSN 2067-0532.

Rashid, Z. A. & Bashir, M. S. (2004). Economic Impact of Changing Tourist Profile in Malaysia: An Inter-Industrial Analysis. ASEAN Journal on Hospitality and Tourism, 3, 29 – 39.

Rauws, W. S. & van Dijk, T. (2013). A Design Approach to Forge Visions That Amplify Paths of Per-Urban Development. Environment and Planning B: Planning and Design, 40, 254 – 270.

Sari, M. K. & Winarso, H. (2007). Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Peri-Urban di Sekitar Pengembangan Lahan Skala Besar: Kasus Bumi Serpong Damai. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 18, 1 – 30.

Sesotyaningtyas, M. & Pratiwi, W. D. (2018). Pengembangan Pariwisata Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan di sekitar Pantai Kartini, Kabupaten Jepara. Tata Loka, 20, 410 – 419.

Usop, T. B. & Iskandar, D. A. (2020). Pengaruh Kegiatan Industri Terhadap Spasial dan Sosial Ekonomi di Desa Tumbang Marikoi. Kec. Damang Batu, Kab. Gunung Mas. Space, 7, 95 – 114.

Uysal, M., Woo, E., & Singal, M. (2012). Chapter 25: The Tourist Area Life Cycle (TALC) and Its Effect on the Quality-of-Life (QOL) of Destination Community. DOI 10.1007/978-94-007-2288-0_25. Springer Science+Business Media B.V.

Walker, J, R, & Walker, J, T (2011) Tourism Concept and Practice. New Jersey: Prentice Hall.

Weaver, D. B. & Lawton, L. J. (2001). Resident Perceptions in The Urban–Rural Fringe. Annals of Tourism Research, 28, 439 – 458.

Webster, D. (2000). On the Edge: Shaping the Future of Peri-urban East Asia, Working Paper.

Wiyono, B. P. A., Kusuma, H. E., Tampubolon, A. C., & Ardhyanto, A. (2018). Korespondensi antara Motivasi dan Jenis Wisata. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 7, 74 – 80.

26

SPACE - VOLUME 8, NO. 1, APRIL 2021