Perspektif Jalan Malioboro di Yogyakarta pada Era Revolusi Industri 4.0
on

PERSPEKTIF JALAN MALIOBORO DI YOGYAKARTA PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Oleh: Titien Saraswati1
Abstract
Malioboro Street is a well-known tourist destination in Yogyakarta. This is the main shopping boulevard in town enriched with plentiful vendors on its sides. In order to provide visitors with a more vibrant experience and a comfortable shopping area, this venue has gone through continuous and long-lasting improvement. To further increase the number of visitors, Malioboro also went through a major makeover which was completed at the end of 2018. However, within the current Industrial Revolution 4.0 whose one prominent part (among others) is online shopping, the competitiveness of Malioboro as a shopping boulevard should be approached from a different perspective. Taking this condition as its context, this study seeks to explore how Malioboro is seen fit to respond to the Industrial Revolution 4.0 era. Data collection was done by conducting physical observations, interviews, and closed-ended online questionnaires. Data analysis was carried by concurrently examining all data collected through various means. The study result demonstrates that despite the rapid growth of online shopping, the image of Malioboro as a unique shopping lane will continue to thrive including in the minds of the millennial generation.
Keywords: Malioboro, sidewalk, street vendor, millennial, Industrial Revolution 4.0
Abstrak
Jalan Malioboro di kota Yogyakarta telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Malioboro adalah shopping street utama di Yogyakarta, dengan ciri adanya PKL di kedua sisi trotoarnya. Malioboro telah selesai direnovasi pada akhir 2018, dengan tetap memberi ruang bagi PKL di kedua sisi trotoarnya. Meskipun selesai direnovasi, sampai sekarangpun masih dilakukan berbagai ide dan kreatifitas untuk membuat Malioboro semakin nyaman bagi wisatawan, dalam hal mengisi ruang-ruang Malioboro untuk berbagai event, baik yang terjadwal maupun dari kreatifitas pengunjung. Ini adalah kreatifitas jangka panjang, bahkan mungkin selamanya, agar wisatawan tetap tertarik dan senang mengunjungi Malioboro. Sudah banyak diketahui bahwa berbelanja sekarang, baik barang maupun kuliner, bisa dilakukan dengan memanfaatkan jasa pengantaran melalui jaringan internet yang marak saat Revolusi Industri 4.0 ini. Tujuan penulisan adalah untuk melihat lebih lanjut perspektif Malioboro pada era Revolusi Industri 4.0 ini. Metode mencari data dengan melakukan survei langsung di Malioboro, wawancara, dan memberikan kuesioner tertutup online pada masyarakat. Analisis dilakukan dengan menguji hasil wawancara dan kuesioner tertutup dengan situasi terkini di Malioboro. Kesimpulan yang didapat antara lain bahwa meskipun aktivitas perbelanjaan bisa dilakukan melalui internet, ternyata belanja dengan melihat langsung barang maupun kuliner di Malioboro tidak bisa ditinggalkan bahkan oleh generasi milenial.
Kata kunci: Malioboro, trotoar, PKL, milenial, Revolusi Industri 4.0
1
Pendahuluan
Jalan Malioboro (selanjutnya ditulis Malioboro) di Kota Yogyakarta sudah dikenal oleh banyak wisatawan domestik maupun mancanegara, sebagai shopping street utama di Kota Yogyakarta. Penataan dan revitalisasi Malioboro sudah selesai dikerjakan akhir tahun 2018, terutama di sidewalk atau trottoir atau trotoar di sisi timur dan barat Malioboro. Dengan tetap memberi ruang bagi pedagang kaki lima (PKL), trotoar itu ditempati oleh para PKL yang menjual barang-barang seperti batik dan pernak-pernik cindera mata khas Yogyakarta. Padahal fungsi trotoar atau sidewalk adalah untuk pejalan kaki (pedestrian) di manapun di dunia ini (Shirvani, 1985). Di situlah daya tarik Malioboro, semacam bazaar yang berada di trotoar. Wisatawan bisa membeli dan menawar barang-barang yang dijual di situ. Tawar-menawar barang ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Selain itu, PKL juga merupakan hal yang bersifat informalitas, yang merupaka sub-ordinasi dari formalitas, sehingga sering dianggap sesuatu yang menjadi “lawan” dari formalitas. Dalam beberapa kasus, informalitas digiring dalam kerangka legal aspek dan dianggap sesuatu yang illegal, seperti PKL itu, menurut Damajani (2007). Namun ini tidak berlaku untuk PKL Malioboro.
Belum ada aktivitas negatif dari revitalisasi Malioboro sampai saat ini, seperti vandalisme pada ruang jalan Malioboro. Ruang jalan Malioboro jelas peruntukannya, dilalui banyak orang, adanya atraksi yang menarik di ruang jalan Malioboro, sehingga tidak memungkinkan bagi terjadinya vandalisme. Seperti tulisan Analisa (2018) tentang vandalisme yang terjadi setelah revitalisasi di Kota Lama Semarang. Vandalisme karena adanya ruang jalan yang tidak jelas, jarang dilewati orang, terkesan gelap, seram, akan cenderung memberikan peluang terjadinya aktivitas negatif, salah satunya adalah vandalisme.
Sudah umum pula bahwa berbelanja sekarang ini, baik barang maupun kuliner, bisa dilakukan melalui jasa pengantaran melalui jaringan internet yang marak saat ini, dalam nuansa Revolusi Industri 4.0. Tujuan penulisan ini ialah untuk lebih lanjut melihat perspektif Malioboro pada era Revolusi Industri 4.0. Metode mencari data dengan melakukan survei langsung di Malioboro, wawancara, dan memberikan kuesioner tertutup online pada masyarakat. Analisis dilakukan dengan menguji hasil wawancara dan kuesioner tertutup dengan situasi terkini di Malioboro.
Tinjauan Pustaka
Menurut Shirvani (1985), trotoar (pedestrian ways) adalah untuk pedestrian atau pejalan kaki. Dia mengatakan trotoar merupakan elemen esensial dalam perancangan perkotaan. Trotoar adalah fasilitas untuk kenyamanan maupun elemen pendukung untuk perdagangan (retailing) dan vitalitas ruang-ruang perkotaan. Namun di Malioboro, pendapat Shirvani (1985) tersebut tidak berlaku. Trotoar Malioboro justru ditempati oleh para pedagang kaki lima (PKL) dan direstui oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
Revolusi Industri dari tulisan Savitri (2019) ialah perubahan besar dan radikal terhadap cara manusia memproduksi barang. Setiap perubahan besar yang terjadi selalu diikuti oleh perubahan besar dalam bidang ekonomi, politik, bahkan juga militer dan budaya. Yang jelas, ada jutaan pekerjaan lama menghilang, dan pekerjaan baru muncul. Hilangnya atau berkurangnya sebuah pekerjaan akan otomatis mengubah banyak aspek dalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan Revolusi Industri 4.0 saat ini, adanya sistem siber-fisik, internet of things (IoT), big data, cloud computing, machine learning/artificial intelligence (AI). Ini yang sedang terjadi saat ini (Savitri, 2019): (1) Semua komputer tersambung ke jaringan bersama, ukuran komputer semakin kecil atau yang kita kenal sebagai smartphone, IoT saat semua komputer di pabrik tersambung ke internet sehingga bila ada masalah di lini produksi bisa langsung diketahui saat itu juga, di manapun kita (pemilik pabrik) berada; (2) Terciptanya 1001 sensor baru dan 1001 cara untuk memanfaatkan informasi yang didapat dari sensor-sensor tersebut yang merekam apapun selama 24 jam. Karena begitu banyaknya ragam maupun jumlah data baru, hal ini sering disebut sebagai big data; (3) Cloud computing: perhitungan-perhitungan rumit butuh komputer besar dan canggih. Namun karena sudah terhubung dengan internet dan ada banyak data yang bisa dikirim melalui internet, semua perhitungan tersebut bisa dilakukan di tempat lain, bukannya di satu tempat/pabrik; (4) Artificial intelligence dan machine learning: mesin yang memiliki kemampuan untuk belajar, melakukan koreksi yang tepat untuk memperbaiki kesalahannya, ini masih terbatas untuk tugas-tugas tertentu.
Menurut Stephens-Davidowitz (2018), big data bisa dikatakan sebagai ini: di manapun yang terjadi orang tidak semata menekan atau memutar tombol, tapi meng-ketik-kan serangkaian karakter dengan triliunan variasi untuk mengungkapkan pikiran mereka dengan kecepatan yang tak terhingga. Lebih dari itu, mereka meninggalkan jejak-jejak digital dalam bentuk yang mudah dihimpun dan dianalisis.
Metode
Metode penelitian yang dipakai mendeskripsikan tentang lokasi penelitian dan waktu survei, cara mengoleksi data, dan cara menganalisis data. Semuanya dituliskan di bawah ini.
Malioboro berada di jantung Kota Yogyakarta, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.). Survei telah dilakukan dengan mengunjungi Malioboro selama 12 kali (mulai bulan September 2018 sampai Februari 2019, dua hari setiap bulan) pada pagi sampai siang hari sekitar jam 09:30 w.i.b. sampai jam 13:00 w.i.b., selain malam hari yang berlangsung beberapa kali saja. Waktu pada jam tersebut dipilih karena terdapat banyak pengunjung Malioboro untuk berbelanja dan makan siang atau makan malam. Begitu pula banyak PKL dan pemilik toko-toko di situ sedang aktif melakukan kegiatan komersial.
Data PKL maupun yang terkait dengan pertanyaan penelitian di Malioboro, dilakukan survei langsung di Malioboro termasuk wawancara dengan PKL, pemilik toko-toko, dan pengunjung Malioboro. Data lain didapat dengan mewawancarai orang-orang yang relevan, termasuk Jogoboro. Jogoboro ialah para petugas yang menjaga ketertiban Malioboro. Jogo dari bahasa Jawa, artinya jaga; sedangkan boro akronim dari Malioboro (Saraswati, 2016). Observasi dilakukan langsung pada situasi di Malioboro ketika para PKL berjualan di kedua sisi trotoar Malioboro, maupun saat tidak ada PKL sama sekali di Malioboro pada tiap hari Selasa Wage. Selain itu, jajak pendapat atau kuesioner tertutup online (online closed-ended questionnaires) juga dilakukan melalui media sosial Facebook tentang trotoar Malioboro
yang ditempati oleh para PKL. Jajak pendapat ini berlaku untuk public, sehingga pemakai Facebook yang bukan friend dari penulispun bisa mengisi jajak pendapat ini. Ini terbukti dari hasil jajak pendapat yang telah direkam. Respondennya ialah mereka yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, atau pernah tinggal di Yogyakarta, atau telah mengunjungi Yogyakarta. Mereka diminta untuk memilih salah satu dari jawaban yang sesuai dengan opini mereka, yaitu memilih: (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, atau (b) Malioboro tanpa PKL sama sekali.
Data yang didapat kemudian dianalisis secara kualitatif, meliputi menganalisis PKL, menganalisis saat tidak ada PKL sama sekali pada hari Selasa Wage, dan menganalisis hasil kuesioner tertutup (closed-ended questionnaires) tentang Malioboro dengan atau tanpa PKL. Semua saling dihubungkan sehingga kesimpulannya dapat dituliskan.
Hasil Survei dan Diskusi
Di Malioboro sekarang ini, berbagai ide dan kreativitas untuk membuat Malioboro semakin menarik bagi wisatawan sedang dilakukan. Antara lain saat hari Minggu, yaitu Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau car-free-day. Hari Bebas Kendaraan Bermotor itu dimulai pertama kali di Jakarta pada tahun 2001, kemudian diikuti oleh kota-kota besar di Jawa, salah satunya Yogyakarta (Saraswati, 2013). Aktivitas itu penting karena bisa memotong pemakaian energi dan mengurangi gas beracun dalam jumlah besar di kawasan itu. Sehingga udara di kawasan itu menjadi lebih bersih dan lebih sehat.
Salah satu aktivitas saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Malioboro, telah dilakukan flashmob singkat tarian tradisional Jawa atau pertunjukan tradisional Jawa lainnya di jalur kendaraan Malioboro, baik pagi, siang, maupun malam hari. Hal ini sudah banyak diketahui orang, karena viral di media sosial, seperti flashmob mataya wanara (tarian para kapi atau laskar kera dari ceritera Ramayana) oleh Departemen Seni dan Budaya atau Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pada bulan Juni 2019 yang lalu. Flashmob ini sekaligus mempromosikan adanya Gelar Budaya Jogja 2019 dalam pertunjukan wayang orang Catur Sagatra, yaitu 4 (catur) pertunjukan bersama dari 2 Kraton dan 2 Kadipaten yang dilaksanakan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada bulan Juli 2019 yang lalu. Ini adalah pertunjukan epos Ramayana yang dibagi rata dalam Catur Sagatra, yaitu wayang orang dari Pura Mangkunegaran, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (oleh KHP Kridhamardawa), Pura Pakualaman, Kraton Surakarta Hadiningrat. Selain itu, di trotoar Malioboro juga ada pertunjukan musik dari kreativitas dan spontanitas pengunjung. Pengunjungpun berjoged-ria meramaikan event itu.
Pada setiap hari Selasa Wage, tidak ada PKL yang berjualan di Malioboro selama 24 jam. Para PKL justru membersihkan Malioboro untuk kenyamanan mereka sendiri serta pengunjung. Hari Selasa Wage ditunjukkan pada Gambar 1, yaitu tanggal 01 Oktober 2019.

Gambar 1. Kalender Bulan Oktober 2019
Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019
Para PKL melakukan itu dengan sukarela, tidak digaji, dan mereka rela tidak mendapatkan penghasilan sehari penuh saat hari Selasa Wage itu. Itu hanya berlangsung 35 hari sekali. Jadi kalau hari Selasa Wage jatuh pada tanggal 27 Agustus 2019, maka hari Selasa Wage berikutnya jatuh pada tanggal 01 Oktober 2019 (seperti ditunjukkan Gambar 1 di atas), berikutnya pada tanggal 05 November 2019, dan seterusnya. Ini karena orang Jawa memberlakukan kalender Jawa atau sistem Pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi) ke kalender Gregorian (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu) yang berlaku universal. Kalender Gregorian bulan Oktober 2019 seperti Gambar 1 di atas, dengan dilengkapi sistem Pancawara.
Di bawah ini ditunjukkan foto-foto kegiatan masyarakat dalam mengisi ruang-ruang Malioboro untuk berbagai aktivitas dan kreativitas, baik merupakan event-event terjadwal maupun spontanitas pengunjung. Ada Jathilan (pertunjukan kuda lumping) bersama Polisi (Gambar 2), ada gamelan dengan para penabuhnya dan pesinden (yang menyanyikan tembang Jawa) pada Gambar 3.

Gambar 2. Pertunjukan Jathilan bareng Polisi Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019

Gambar 3. Gamelan dengan Pesinden Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019
Berikutnya gambar di bawah ini tentang keramaian dan kegiatan pada malam hari di Malioboro, baik terjadwal maupun spontanitas dan kreativitas pengunjung. Mereka spontan berjoged-ria diiringi musik dari bambu yang dimainkan oleh anak-anak muda generasi milenial (Gambar 4). Selain itu, di depan Pasar Beringharjo dipasang tenda-tenda untuk berjualan yang dilengkapi dengan lampu-lampu (Gambar 5). Sehingga Malioboro semakin regeng atau hidup.


Gambar 4. Saat Malam Hari, Berjoged-ria Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019
Gambar 5. Malam di Depan Pasar Beringharjo Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019
Di bawah ini ditunjukkan foto-foto Malioboro dengan PKL di trotoar sisi timur maupun barat. Sebagian sisi timur (Gambar 6) ialah para PKL yang menjual kuliner, sedangkan sisi barat para PKL yang menjual berbagai pernak-pernik cinderamata khas Yogyakarta (Gambar 7), seperti kain batik, baju batik, berbagai tas, sepatu, sandal, dompet, penggantung kunci dan sebagainya yang di toko pasti harganya lebih mahal.

Gambar 6. Sisi timur Malioboro dengan PKL Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019

Gambar 7. Sisi barat Malioboro dengan PKL Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019
Khusus PKL kuliner, pengunjung bisa langsung menikmati kuliner yang dijual seperti mie bakso, mie ayam, es teler, ayam goreng, nasi goreng dan sebagainya baik siang maupun malam hari. Para PKL juga menyediakan kursi-kursi plastik untuk duduk menikmati kuliner, dapat juga duduk pada bangku-bangku yang telah disediakan Pemerintah Kota Yogyakarta di trotoar untuk duduk sambil menikmati kuliner. Membuat tampilan tenda PKL menjadi
lebih menarik bisa mengajak pengunjung Malioboro untuk mampir, seperti yang diteliti oleh Pribadi (2018) pada para PKL di kota kecil Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Berikutnya di bawah ini foto-foto Malioboro tanpa PKL di trotoar sisi timur (Gambar 8) maupun sisi barat (Gambar 9). Ini terjadi, seperti telah disebutkan di depan, pada saat hari Selasa Wage, tiap 35 hari sekali. Tidak ditemukan penjualan kuliner maupun cinderamata khas Yogyakarta pada hari itu, selama 24 jam. Trotoar sepi, lebih lega, lebih luas, namun tidak ada hiruk-pikuk transaksi komersial.


Gambar 9. Sisi barat Malioboro tanpa PKL Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019
Gambar 8. Sisi timur Malioboro tanpa PKL Sumber: Dokumentasi Saraswati, 2019
Tabel 1 di bawah ini hasil jajak pendapat atau kuesioner tertutup online (online closed-ended questionnaires) di Facebook.
Tabel 1. Hasil Jajak Pendapat tentang Malioboro dari 104 Responden
Aspek |
Malioboro ada PKL tertata baik |
Mal’boro tanpa PKL sama sekali | ||
Jumlah orang |
Persen |
Jumlah orang |
Persen | |
1. Responden |
76 |
73,08% |
28 |
26,92% |
Laki-laki: 35 |
L 46,05% |
Laki-laki: 16 |
L 57,14% | |
Perempuan: 41 |
P 53,95% |
Perempuan: 12 |
P 43,86% | |
2. Arsitek/ mahasiswa |
52 |
68,42% |
14 |
50% |
arsitektur |
Laki-laki: 29 |
L 55,77% |
Laki-laki: 11 |
L 78,57% |
Perempuan: 23 |
P 44,23% |
Perempuan: 3 |
P 21,43% | |
3. Usia > 50 tahun |
29 |
38,16 |
16 |
57,14% |
Laki-laki: 13 |
L 44,83% |
Laki-laki: 10 |
L 62,50% | |
Perempuan: 16 |
P 55,17% |
Perempuan: 6 |
P 37,59% | |
4. Usia < 50 tahun |
47 |
61,84 |
12 |
42,86 |
Laki-laki: 21 |
L 44,68% |
Laki-laki: 6 |
L 50% | |
Perempuan: 26 |
P 55,32% |
Perempuan: 6 |
P 50% | |
5. Tinggal di Yogyakarta/ |
22 |
28,95% |
14 |
50% |
D.I.Y. |
Laki-laki: 10 |
L 45,45% |
Laki-laki: 7 |
L 50% |
Perempuan: 12 |
P 54,55% |
Perempuan: 7 |
P 50% | |
6. Tinggal di luar |
54 |
71,05% |
14 |
50% |
Yogyakarta/ D.I.Y. |
Laki-laki: 21 |
L 38,89% |
Laki-laki: 5 |
L 35,71% |
Perempuan: 33 |
P 61,11% |
Perempuan: 9 |
P 64,29% | |
7. Tinggal di luar negeri |
5 |
6,58% |
2 |
7,14% |
Laki-laki: 2 |
L 40% |
Laki-laki: 0 |
L 0% | |
Perempuan: 3 |
P 60% |
Perempuan: 2 |
P 100% |
Sumber: Hasil Survei Saraswati, 2018
Jajak pendapat itu dilakukan mulai hari Minggu 18 Nopember 2018 sampai Sabtu 24 Nopember 2018 (7 hari, sesuai ketentuan Facebook), yang melibatkan 104 responden. Seperti telah dituliskan di depan, responden ialah mereka yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, atau pernah tinggal di Yogyakarta, atau telah mengunjungi Yogyakarta. Mereka diminta untuk memilih salah satu dari jawaban yang sesuai dengan opini mereka, yaitu memilih: (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, atau (b) Malioboro tanpa PKL sama sekali. Dari 104 responden tersebut, yang setuju dengan pilihan (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik sebanyak 76 orang (73,077%), sedangkan yang setuju dengan pilihan (b) Malioboro tanpa PKL sama sekali sebanyak 28 orang (26,923%). Terlihat bahwa masyarakat lebih setuju bila di Malioboro ada PKL, yang jumlahnya hampir 3 kali lipat dari pada yang tidak setuju. Itulah ciri khas Malioboro, bila trotoar tanpa PKL maka Malioboro akan sama saja dengan shopping street di manapun.
Dari Tabel 1 tersebut dapat didiskusikan sebagai berikut.
Dari 104 responden, yang setuju dengan pilihan (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, sejumlah 76 orang atau 73,08% dari 104 responden. Sedangkan yang setuju dengan pilihan (b) Malioboro tanpa PKL sama sekali sebanyak 28 orang atau 26,923% dari 104 responden. Hasil survei ditunjukkan pada diagram pie-chart atau Gambar 10 di bawah ini. Ini yang paling penting, karena, seperti telah dituliskan di depan, bila shopping street Malioboro tanpa PKL maka Malioboro akan sama dengan shopping street di manapun di dunia. Ini adalah karakter Malioboro. Pendapat Shirvani (1985) tidak berlaku di sini, seperti yang telah diteliti oleh Saraswati (2016).
Jumlah responden lebih banyak yang memilih (a)
Gambar 10. Jumlah Responden
Sumber: Hasil Survei Saraswati, 2018
Dari jumlah responden itu, maka yang akan dibahas ialah yang memilih (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik. Karena adanya PKL ini karakter Malioboro. Sedangkan yang memilih (b) Malioboro tanpa PKL sama sekali, tidak akan dibahas di sini.
Kebanyakan yang memilih (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, adalah perempuan 41 orang, atau 53,95% dari 76 orang. Sedangkan laki-laki hanya 35 orang (atau
46,05%) dari 76 orang, ditunjukkan pada diagram pie-chart atau Gambar 11 di bawah ini. Ini merupakan indikasi bahwa perempuan tertarik dengan Malioboro yang dapat memuaskan selera belanja maupun kuliner yang dijual PKL. Juga ini merupakan tanda yang umum diketahui, bahwa perempuan lebih suka berbelanja dari pada laki-laki. Apalagi bila belanjanya disertai tawar-menawar, yang bisa dilakukan bila membeli barang pada PKL. Dari hasil wawancara, jaman milenial ini, meski ada Go-food dan Gojek, perempuan lebih suka berbelanja dengan melihat barangnya. Bila ada yang melakukan belanja online atau online shopping, kemungkinan lebih karena mencari kepraktisan dalam berbelanja. Sehingga online shopping ini dalam jaman Revolusi Industri 4.0 belum tentu bisa mengalahkan berbelanja dengan melihat langsung barang maupun kulinernya.
Gambar 11. Pemilih (a) Lebih Banyak Perempuan Sumber: Hasil Survei Saraswati, 2018
Dari sejumlah yang memilih (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, terdapat 52 orang (atau 68,42% dari 76 orang) yang mempunyai latar belakang pendidikan arsitektur atau sedang kuliah arsitektur, baik S1, S2 maupun S3. Ini ditunjukkan pada diagram piechart atau Gambar 12 di bawah ini.
Lebih banyak berlatar belakang pendidikan arsitektur
Gambar 12. Latar Belakang Pendidikan Sumber: Hasil Survei Saraswati, 2018
Ini surprised bahwa yang memilih (a) kebanyakan berlatar belakang pendidikan arsitektur. Kemungkinan responden yang berlatar-belakang pendidikan arsitektur lebih memahami dinamika lingkungan perkotaan (urban) dari pada mereka yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan arsitektur. Sehingga bisa dikatakan bahwa latar belakang pendidikan arsitektur berperan dalam penilaian terhadap adanya PKL di Malioboro. Juga mereka dapat membandingkan berbagai shopping street di dunia melalui komputer maupun smartphone mereka, memakai informasi yang didapat dari sensor-sensor yang merekam apapun selama 24 jam, atau disebut big data, seperti yang dikatakan Stephen-Davidowitz (2018) maupun Savitri (2019). Dan mereka memikirkannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan pengetahuan arsitektur serta urban design-nya.
Responden yang berumur di atas 50 tahun yang setuju dengan pilihan (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, ada 29 orang (atau 38,16% dari 76 orang), sedangkan responden yang berumur kurang dari 50 tahun yang setuju dengan pilihan (a) sebanyak 47 orang (atau 61,84% dari 76 orang), ditunjukkan pada diagram pie-chart atau Gambar 13 di bawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa generasi yang lahir sekitar tahun 1970-an (saat survei ini mereka berumur 49 tahun dan di bawahnya) adalah generasi milenial. Generasi milenial ialah generasi yang lahir tahun 1980-an, 1990-an, atau awal 2000-an. Mereka sangat mengapresiasi dan merasa nyaman dengan adanya PKL di trotoar Malioboro. Generasi milenial tumbuh sebagai generasi yang akrab dengan internet dan tidak dapat membayangkan dunia tanpa internet. Namun mereka masih tertarik dengan status quo Malioboro sebagai shopping street dengan PKL-nya. Sehingga bisa dikatakan bahwa generasi milenial masih setuju dengan adanya PKL di Malioboro.
Sumber: Hasil Survei Saraswati, 2018
Responden yang memilih (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, kebanyakan tinggal di luar Yogyakarta, sebanyak 54 orang (atau 71,05% dari 76 orang). Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia. Sedangkan responden yang memilih (a) dan tinggal di Yogyakarta hanya 22 orang (atau 28,95% dari 76 orang). Hal ini ditunjukkan pada diagram pie-chart atau Gambar 14 di halaman berikutnya. Ini merupakan indikasi yang menarik. Mereka yang tinggal di luar Yogyakarta sudah tahu Malioboro dari kunjungan ke Malioboro, atau pernah tinggal di Yogyakarta, serta dari internet sebagai informasi realtime saat mereka sudah di luar Yogyakarta. Ini seperti yang dikatakan Savitri (2019) bahwa semua
komputer tersambung ke jaringan bersama, ukuran komputer semakin kecil atau yang kita kenal sebagai smartphone.
Domisili responden lebih banyak di luar Yogyakarta
Gambar 14. Domisili Responden
Sumber: Hasil Survei Saraswati, 2018
Yang menarik pula, yang tinggal di luar Yogyakarta, lebih tepatnya di luar negeri, ada 5 orang (atau 6,58% dari 76 orang dari keseluruhan responden yang memilih (a), atau 9,26% dari 54 orang dari yang tinggal di luar Yogyakarta). Ini ditunjukkan pada diagram pie-chart atau Gambar 15 di bawah ini. Mereka bertempat tinggal di Amerika Serikat, Australia, dan Timor Leste. Mereka pernah tinggal di Yogyakarta atau mengunjungi Malioboro saat mereka berlibur ke Yogyakarta. Dari temuan ini dapat dikatakan bahwa PKL pada trotoar Malioboro telah diketahui banyak orang, bahkan sampai ke luar negeri. Ini juga didukung adanya internet sebagai informasi realtime yang dapat diakses dari smartphone mereka di negara masing-masing, karena seperti yang dikatakan Savitri (2019) bahwa semua komputer tersambung ke jaringan bersama.
Sumber: Hasil Survei Saraswati, 2018.
Yang menarik adalah dari aspek keseluruhan pada Tabel 1 di depan. Secara keseluruhan, dari aspek nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7 dari Tabel 1 di depan, yang memilih (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, jumlahnya kebanyakan perempuan (memilih 131 kali). Sedangkan aspek nomor 2 (berlatar-belakang pendidikan arsitektur) yang memilih (a) Malioboro ada PKL yang tertata baik, jumlahnya kebanyakan laki-laki (29). Kemungkinan disebabkan bila membicarakan Malioboro yang notabene area shopping street dan adanya PKL di trotoar, maka perempuan lebih tertarik hal itu dari pada laki-laki. Perempuan lebih suka berbelanja dari pada laki-laki, seperti pada bahasan aspek nomor 1 (Jumlah responden). Ini merupakan bukti dari pendapat Karen Pine seorang psikolog dari Universitas
Hertfordshire, Inggris, yang menemukan bahwa 79% perempuan mengatakan bahwa berbelanja dapat menghibur diri mereka, pada
https://www.kompasiana.com/desisachiko/552e4f866ea8343c438b4593/jangan-heran-kenapa-wanita-suka-belanja (diakses pada 16 Agustus 2019). Lebih lanjut dikatakan bahwa perubahan biochemical dalam tubuh perempuan juga mempengaruhi keinginan berbelanja. Dorongan kuat untuk berbelanja kemungkinan adalah suatu usaha untuk melawan emosi negatif yang diciptakan oleh perubahan hormon atau dari keinginan bawah sadar untuk membuat diri mereka tampil lebih menarik. Belanja menciptakan relaksasi dalam otak perempuan. Ini berlaku universal tentang biochemical perempuan.
Selain itu, dari http://www.votecamejo.com/pengetahuan/alasan-mengapa-wanita-suka-berbelanja (diakses pada 16 Agustus 2019) mengatakan sebuah fakta psikologis yang menjelaskan bahwa perempuan yang suka berbelanja memiliki rasa percaya diri yang lebih dan mood yang bagus dibanding perempuan yang tidak suka berbelanja. Hal ini tercermin pula dari pendapat Shipman dan Kay (2010) yang mengatakan bahwa seberapa hebatpun pencapaian perempuan atau sebagai perempuan yang berhasil, perempuan cenderung tidak percaya pada dirinya sendiri, semua menderita gejala kurang percaya diri.
Mengapa tidak percaya diri meskipun sebagai perempuan yang berhasil? Menurut Dweck (2017) seorang psikolog dari Stanford University, mengatakan bahwa secara alami perempuan memang ingin tampil sempurna. Dalam penelitiannya terhadap 5.000 orang di Inggris, dikatakan bahwa 4 dari 10 perempuan selalu berdiet atau mengkhawatirkan berat badan. Ini artinya perempuan sangat mempedulikan penampilan. Dan penampilan ini bisa dilakukan dengan berbelanja barang-barang yang memperkuat penampilan dirinya.
Hal itu juga bisa dilihat dari pendapat Brizendine (2006) seorang neuropsychiatrist bahwa perempuan mengucapkan 20.000 kata setiap harinya untuk berkomunikasi dibandingkan dengan laki-laki yang hanya mengucapkan 7.000 kata. Kemampuan berkomunikasi ini membuat perempuan sering berinteraksi dengan perempuan lain. Dalam proses interaksi inilah perempuan melihat apa yang dipakai perempuan lain. Ketika berada di komunitas yang anggotanya banyak memakai barang tertentu atau barang branded, maka perempuanpun terpengaruh untuk belanja barang yang sama. Apalagi barang branded, yang dianggap bisa mendukung citra perempuan di hadapan publik karena hanya sedikit orang yang mampu membelinya.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan saling keterkaitannya sebagai berikut. Dalam hal ketertarikan pada topik Malioboro dengan PKL atau tidak, kebanyakan yang setuju dengan PKL ada di Malioboro adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memang tertarik untuk berbelanja. Sedangkan bila dikaitkan dengan perspektif Malioboro pada era Revolusi Industri 4.0, maka kemajuan teknologi itu belum tentu bisa membuat ketertarikan perempuan dan generasi milenial untuk melakukan belanja online atau online shopping pada barang maupun kuliner di Malioboro. Malioboro masih tetap menarik untuk didatangi dan dikunjungi saat makalah ini ditulis. Revolusi Industri 4.0 sedang berlangsung dan berjalan saat ini, masih belum selesai, dan masih ditunggu bagaimana dan sejauh apa
nanti dampaknya terhadap Malioboro ke depannya. Untuk itulah dibutuhkan penelitian lanjutan, bisa 1, atau 2, atau 3 tahun ke depan untuk melihat dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap shopping street Malioboro. Berkaca dari cepatnya kemajuan teknologi, penulis melihat kemungkinan bahwa 1 atau 2 atau 3 tahun ke depan pasti hasilnya akan berbeda dari pada hasil penelitian saat makalah ini ditulis.
Daftar Pustaka
Analisa, F. C. K. (2018). Dampak Revitalisasi terhadap Aktivitas Vandalisme di Kawasan Kota Lama Semarang. KOMPOSISI: Jurnal Arsitektur, 12(2), 97-103.
Brizendine, L. (2006). The Female Brain. New York: Broadway Books.
Damajani, R. R. D. (2007). Informalitas dalam Formalitas pada Ruang Terbuka Publik. Studi Kasus: Lapangan Gasibu, Bandung. DIMENSI Jurnal Teknik Arsitektur, 35(2), 164171.
Dweck, C. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. London: Little, Brown Book Group.
Pribadi, G.H. (2018). Potensi Wisata Kuliner di Kota Muntilan. Studi Kasus: Wisata Kuliner di Koridor Jalan Veteran. KOMPOSISI: Jurnal Arsitektur, 12(1), 15-26.
Saraswati, T. (2013). Managing Green Architecture Through Life Style. Journal of Architecture & Environment, 12(2), 183-191.
Saraswati, T. (2016). The Role of Community Participation in Supporting the Life of Malioboro Street in Yogyakarta, Indonesia. Proceedings of Great Asian Streets Symposium 2016. Crossroad: Asian Streets in the Dynamic of of Change, halaman 18-23. Singapore: National University of Singapore.
Savitri, A. (2019). Revolusi Industri. Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0. Yogyakarta: Penerbit Genesis.
Shipman, C. & Kay, K. (2010). Womenomic. Membuat Aturan Main Sukses Anda Sendiri. Jakarta: Penerbit Tiga Kelana.
Shirvani, H. (1985). The Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold Company.
Stephens-Davidowitz, S. (2018). Everybody Lies. Big Data dan Apa yang Diungkapkan Internet tentang Siapa Kita Sesungguhnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih penulis ucapkan kepada Fakultas Arsitekur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, yang telah memberikan persetujuan dan biaya untuk melakukan penelitian di Jalan Malioboro. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada asisten penulis David T. Tabelak, S.T. yang membantu penulis melakukan survei di Jalan Malioboro. Juga kepada teman-teman virtual yang ikut berpartisipasi pada jajak pendapat online di Facebook, terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk mengisi closed-ended questionnaires. Tak lupa terima kasih sebesar-besarnya kepada para relawan saat penulis melakukan survei di Jalan Malioboro, baik itu pengunjung Malioboro maupun para Jogoboro dan para PKL yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tanpa mereka, penelitian ini tidak akan bisa dituliskan hasilnya.
200
SPACE - VOLUME 6, NO. 2, OCTOBER 2019
Discussion and feedback