Dinamika Fungsi Ruang di Bale Banjar Titih Denpasar, Bali
on
DINAMIKA FUNGSI RUANG DI BALE BANJAR TITIH DENPASAR, BALI
Oleh: Putu Ayu Hening Wagiswari1, Nyoman Widya Paramadhyaksa2, Gusti Ayu Made Suartika.3
Abstract
The existence of public space has an important role in city development. In Bali, bale banjar (bale: a hall; banjar: a neighborhood association) is known as a place for various socio-cultural activities. Every member of a banjar is tied up by certain moral values, consensus, codes, and traditions which are all contained in a set of banjar awig-awig (rules). Bale banjar is one of many unique traditions in built form that remains intact in Bali. This article explains the dynamic functions of spaces available in a bale banjar. Two main research problems discussed within are the dynamic functions of spaces in a bale banjar throughout different periods in history and also the determining factors affecting this dynamic. In its process of unveiling both of these phenomenons, this research uses qualitative method with a phenomenology approach and selects Banjar Titih as a case study. The study result finds that the dynamic functions of a bale banjar demonstrate that as times go by, there is a tendency for the bale Banjar Titih to have more complex types and uses of spaces. This is due to mainly to the following factors, including the growing number of the banjar members; the shifting view from that which sees bale banjar as a socio-cultural center of the community into a view that sees bale banjar as a space to bring in financial profits/contribution; and change in people's people way of interactions. To date members of the Banjar Titih cope well with this shift as to how the spaces in their bale banjar have been modified from time to time to suit changes in many determining factors.
Keywords: dynamic, functions of space, bale banjar
Abstrak
Keberadaan ruang publik memiliki peran penting dalam perkembangan sebuah kota dalam mewadahi kegiatan masyarakat. Di Pulau Bali dikenal dengan adanya bale banjar sebagai wadah masyarakat dalam melakukan kegiatan sosio kultural. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh warga banjar terikat oleh nilai moral, hukum dan kebudayaan yang diatur dalam awig-awig banjar. Bale banjar merupakan wujud budaya yang telah mempertahankan eksistensi masyarakat Bali hingga saat ini. Artikel ini membahas tentang dinamika fungsi ruang bale banjar. Fokus permasalahan yang diangkat adalah bagaimana proses terjadinya dinamika fungsi ruang bale banjar dari periode awal hingga periode modern serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Dalam mengungkap fenomena ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil survey lapangan ditemukan bahwa Banjar Titih merupakan salah satu banjar yang mengalami dinamika fungsi ruang. Adapun hasil temuan menunjukkan adanya kecenderungan merubah fungsi ruang bale banjar dari bentuk yang sederhana menjadi modern karena disebabkan oleh faktor pertumbuhan penduduk, faktor ekonomi dan faktor pola pikir masyarakat. Fenomena dinamika fungsi ruang bale Banjar Titih merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena relevan dengan dasar ilmu planologi. Warga Banjar Titih mampu mengelola fungsi ruang bersinergi dengan fungi utamanya sebagai ruang publik sehingga dinamika fungsi ruang yang terjadi dapat bermanfaat bagi warga banjar.
Kata kunci: dinamika, fungsi ruang, bale banjar
Pendahuluan
Bali merupakan sebuah pulau yang sarat akan budaya dan tradisi. Hal tersebut tidak terlepas dalam aspek sosialnya. Dalam perkembangan sebuah kota keberadaan ruang publik memiliki peran yang penting dalam mewadahi kegiatan masyarakat. Desa pekraman di Bali dibangun berdasarkan konsep Tri Hita Karana yang menjadi landasan dasar umat Hindu. Pertama adalah konsep Pura Kahyangan Tiga yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan. Kemudian hubungan antar manusia dengan manusia yang terlihat dari setiap masyarakat banjar memiliki kedudukan dan peran yang sama dalam aturan adat. Terakhir adalah konsep hubungan manusia dengan lingkungan yang berkaitan dengan batas wilayah desa pekraman, struktur dan pola desa serta permukiman yang mewujudkan konsep tri mandala.
Sebuah desa pekraman terdiri dari beberapa banjar. Banjar terbagi menjadi dua yaitu banjar adat dan banjar dinas. Komunitas banjar adat di Bali merupakan salah satu unsur penunjang keberlangsungan kehidupan masyarakat Bali yang selaras antara adat, tradisi dan budaya (Adhika, 2015). Banjar adat dibedakan menjadi dua jenis yaitu banjar baru dan banjar kuno. Banjar baru yaitu kelompok masyarakat yang individunya berasal dari tempat lain kemudian membentuk komunitas banjar sedangkan banjar kuno masyarakatnya merupakan masyarakat asli wilayah tersebut.
Bale Banjar merupakan salah satu perwujudan ruang publik di Bali. Bale banjar diwujudkan dengan bangunan terbuka yang digunakan warga banjar untuk mewadahi aktivitas sosialnya. Setiap aktivitas yang dilakukan terikat hukum moral dan adat yang diatur dalam awig-awig. Bale banjar berfungsi sebagai tempat musyawarah, mewadahi kegiatan adat, agama dan kegiatan sosial lainnya (Windhu, 1985). Pada umumnya sebuah bale banjar terdiri dari beberapa bangunan suci (sakral) yaitu pura banjar, bale paruman, dan bale kulkul. Bale banjar terletak pada posisi yang strategis yaitu pada sudut persilangan jalan atau di tengah-tengah lingkungan permukiman agar mudah dalam pencapaian.
Denpasar adalah ibukota provinsi Bali yang memiliki nilai historis yang tinggi. Perkembangan kota Denpasar ditandai dengan penjajahan kolonial Belanda pada tahun 1908. Pengaruh penjajahan kolonial Belanda dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu faktor kependudukan, faktor ekonomi dan faktor perubahan pola pikir masyarakat menjadi lebih modern. Faktor-faktor tersebut menyebabkan terjadinya dinamika fungsi ruang bale banjar. Bertambahnya penduduk menjadikan permintaan ekonomi semakin meningkat. Lahan bale banjar yang terbatas tidak mampu lagi menampung aktivitas sosial warga banjar. Kemudian bale banjar yang awalnya merupakan bangunan wantilan mengalami dinamika pada fungsi-fungsi ruangnya sebagai wujud dari bertambanya aktivitas sosial di bale banjar.
Dinamika fungsi ruang bale banjar tersebut terjadi di beberapa bale banjar di Denpasar, salah satunya Banjar Titih yang terletak di Desa Dauh Puri Kangin Kecamatan Denpasar Barat. Sebagai banjar kuno yang berada di pusat kota Denpasar keberadaan dan perkembangan Banjar Titih sangat menarik untuk diteliti. Banjar Titih terdiri dari tiga
banjar yang terletak didalam satu lokasi bale banjar. Lokasi Banjar Titih yang berada di pusat kota Denpasar merupakan wilayah tujuan urbanisasi pada awal periode kolonial yang menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk di wilayah Banjar Titih. Terkait dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari proses dinamika fungsi ruang bale banjar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan dalam penelitian ini karena perlunya untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi secara langsung di lapangan. Fenomenologi mendiskripsikan suatu fenomena dengan murni, apa adanya dan tidak memanipulasi data. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Setidaknya ada 4 proses inti dalam penelitian fenomenologi yaitu : epoche, phenomenological reduction, imaginative variation dan synthesis of meaning and essences.
Data didapat melalui survey lapangan dan mendapatkan fenomena dinamika fungsi ruang di Banjar Titih. Selayaknya dilakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait seperti penglingsir banjar, kelian banjar, dan krama banjar. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Pada konsep epoche peneliti membedakan wilayah data (subjek) yang didapat tentang dinamika fungsi ruang dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden.
Selanjutnya adalah proses phenomenological reduction yaitu proses menggambarkan hasil wawancara mengenai apa yang dilihat, dirasakan dan dialami responden. Untuk mengetahui faktor penyebab dinamika fungsi ruang bale Banjar Titih dilakukan komparasi data di lapangan dengan hasil wawancara pihak terkait untuk kemudian dilakukan analisa. Tahap analisa disebut imaginative variation yaitu tahap pencarian makna dengan membuat sistematika berbagai kemungkinan, memahami faktor-faktor penyebab munculnya fenomena dengan cara membuat klaster dan label, memvalidasi data dengan mempertimbangkan struktur secara keseluruhan dan mendeskripikan secara terstruktur hasil dari validasi. Tahap selanjutnya dilakukan synthesis of meaning and essences yaitu data yang diperoleh dihubungkan dengan teori. Hasil dari analisis tersebut kemudian disajikan dalam bentuk narasi dan gambar. Pada akhirnya akan diperoleh keluaran tentang bagaimana proses dinamika fungsi ruang dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika fungsi ruang bale Banjar Titih.
Teori
a. Teori Lokasi (Place Theory)
Teori lokasi (place theory) adalah teori yang terletak pada pemahaman hubungan karakteristik manusia terhadap nilai sosial budaya, historis serta lingkungan terhadap ruang
fisik perkotaannya. Space akan menjadi place jika terdapat makna kontekstual dari budaya daerahnya (Roger Trancik, 1986). Sebuah place memiliki ciri khas tertentu yang berarti bagi lingkungannya berupa benda konkret (bahan, rupa, tekstur dan warna) dan benda abstrak (asosiasi sosio kultural).
Menurut Kevin Lynch (1960) ciri khas fisik yang yang kuat menjadi pembentuk keberhasilan place. Terdapat beberapa aturan pembentukan sebuah place yaitu legibility, identity dan imageability. Adapun legibility (kejelasan) adalah makna/meaning dari suatu obyek sehingga mempunyai arti baik secara fungsi maupun emosi. Selanjutnya identity (identitas) yaitu identifikasi dari suatu obyek yang mampu membedakan dengan obyek lainnya. Kemudian imageability (kualitas) adalah kemampuan mendatangkan kesan.
Tiap kota memiliki karakteristik dan ciri khasnya masing-masing. Citra sebuah kota tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Perkembangan Denpasar sebagai sebuah kota merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat Bali yang masih menjunjung tinggi nilai adat dan budaya.
Ruang publik adalah sebuah wadah untuk beraktivitas bagi masyarakat di lingkungannya secara individu atau berkelompok. Sebagai sebuah tempat ruang publik difungsikan sebagai sarana untuk mencapai kesepakatan, tujuan maupun komunikasi antara beberapa kepentingan. Menurut Carr (1992), Ruang publik adalah ruang umum untuk bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan fungsional ataupun kegiatan lainnya untuk mengikat komunitas, baik sehari-hari maupun berkala.
Ruang publik memiliki beberapa tipologi. Menurut Camona, dkk (2003) tipologi ruang publik terdiri dari external public space, internal public space dan external and internal “quasi” public space. Adapun external public space yaitu ruang luar yang dapat diakses publik seperti taman kota dan jalur pejalan kaki. Kemudian terdapat internal public space berupa fasilitas umum yang dikelola pemerintah seperti rumah sakit dan kantor pos. Selanjutnya external and internal “quasi” public space yaitu berupa fasilitas umum yang dikelola oleh sektor privat dan terikat oleh batasan dan aturan yang harus dipatuhi seperti bale banjar, restoran dan mall. Fungsi ruang publik adalah sebagai salah satu elemen kota yanng memilliki fungsi sebagai wadah interaksi sosial masyarakat, ekonomi rakyat, dan tempat apresiasi ruang budaya.
Dinamika ruang terjadi karena keinginan manusia untuk membentuk ruang sesuai kebutuhannya. Menurut Marcus & Cameron dalam Adnya, Sawitri (2017) perubahan keinginan dalam kelompok menyebabkan ide penguasaan ruang. Ruang bersama (shared space) berubah menjadi ruang terbagi (divided space). Proses dinamika ruang selalu bersifat fleksibel dan dinamis agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi. Dinamika ruang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu a) karakter individu pengguna ruang; karakter masyarakat penghuni ruang; c) faktor teknologi yang terkait langsung dengan bentuk arsitektural.
Bale banjar terdiri dari dua kata yaitu bale dan banjar. Banjar berasal dari kata banjah yang berarti sejajar. Pemaknaan kata sejajar berarti bahwa banjar adalah sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sejajar (sama). Banjar berada satu tingkat dibawah desa adat dan dipimpin oleh kelian banjar. Dalam sistem pemerintahannya banjar dibedakan menjadi banjar adat dan banjar dinas. Banjar adat memiliki fungsi mengatur hal yang bersifat tradisi dan keagamaan sedangkan banjar dinas mengatur hal yang bersifat administrasi.
Didalam organisasi suatu banjar terdapat kelompok sosial lainnya seperti sekehe, subak/krama carik, tunggalan sanggah/kawitan,sekehe teruna, dan kelompok sosial lainnya. Banjar dibedakan menurut jumlah anggotanya. Banjar di Bali dibedakan menjadi dua yaitu banjar besar yang anngotanya terdiri lebih dari 50 kepala keluarga, dan banjar kecil yang anggotanya kurang dari 50 kepala keluarga (Adhika, Made 2015). Secara umum struktur organisasi banjar di Bali terdiri dari a) kelian banjar yaitu pimpinan dalam sebuah banjar. Biasanya terdiri lebih dari satu orang; b) penyarikan yaitu juru tulis yang membantu tugas kelian banjar; c) kesinoman atau juru arah bertugas membantu kelian banjar untuk mepengarah/menyampaikan pesan kepada seluruh anggota banjar. Anggota kesinoman adalah seluruh anggota banjar.
Bale banjar berfungsi untuk mewadahi aktivitas sosio kultural dan keagamaan. Menurut Waterson (1990:6) dalam Prabawa (2006), dalam Arsitektur Tradisional Bali, bale berarti pavilliun (bangunan yanng digunakan untuk fungsi spesifik) tanpa tembok (inwalled building). Selain itu keberadaan bale banjar difungsikan untuk menjajarkan suatu masalah dan diselesaikan dengan sangkep (musyawarah). Kesejajaran dicerminkan dalam tatanan ruang bale banjar. Seluruh bangunan kecuali bale kulkul dan pura memiliki level yang sama. Selain berfungsi sebagai tempat musyawarah, bale banjar merupakan bangunan yang multi fungsi mewadahi kegiatan adat maupun kegiatan sosial yang melibatkan anggota banjar. Pada bale banjar terdapat bangunan inti yang bersifat sakral (suci) yaitu pura, bale kulkul dan bale sangkep/bale paruman. Sedangkan untuk memfasilitasi kegiatan sosial lainnya terdapat ruang tambahan seperti aula, panggung, dan gudang.
Gambaran Umum Banjar Titih
Banjar Titih terletak di Desa Dauh Puri Kangin Kecamatan Denpasar Barat. Batas-batas wilayah Banjar Titih secara geografis (Gambar 1 dan Gambar 2) yaitu sebelah utara berbatasan dengan wilayah Desa Dauh Puri Kaja yang merupakan wilayah Banjar Lelangon, batas timur adalah Kelurahan Dangin Puri yang termasuk wilayah Banjar Abasan, kemudian sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pemecutan dan merupakan wilayah Banjar Alangkajeng, adapun batas disebelah selatan adalah Kelurahan Dauh Puri dan termasuk wilayah Banjar Suci.
Aksesibilitas masyarakat Banjar Titih berada di jalan utama Jalan Sumatra, yang merupakan akses utama jalan penghubung dipusat Kota Denpasar. Nama Banjar Titih sendiri diambil dari lokasi banjar yang berada di tengah-tengah (titik pusat) dari empat
pempatan agung di Denpasar. Pempatan agung yang dimaksud adalah Pempatan Pemecutan, Pempatan Majelangu, Pempatan Catur Muka dan Pempatan suci.
Gambar 1. Peta Batas Wilayah Banjar Titih Sumber: Arsip Banjar Titih Tengah, 2017
Gambar 2. Wilayah Banjar Titih
Sumber: Arsip Banjar Titih Tengah, 2017
Pada periode kolonial Banjar Titih terpisah menjadi tiga banjar yaitu Banjar Titih Tengah, Banjar Titih Kaja dan Banjar Titih Kelod. Krama Banjar Titih yang aktif dihitung berdasarkan sistem mapekuren (kepala keluarga). Jumlah krama yang aktif hingga tahun 2018 yaitu di Banjar Titih Tengah berjumlah 107 kepala keluarga, Banjar Titih Kaja 85 kepala keluarga dan Banjar Titih Kelod 63 kepala keluarga.
Dinamika Fungsi Ruang Bale Banjar Titih
Banjar Titih didirikan dengan konsep Tri Hita Karana sebagai landasan dasarnya. Terdapat konsep hubungan manusia dengan manusia atau sukerta tata pawongan yang berarti bahwa setiap krama banjar memiliki kedudukan dan peran yang sama dalam aturan adat, hal tersebut diwujudkan dalam konsep masyarakat banjar. Kemudian konsep sukerta tata palemahan yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam konsep bale banjar, batas banjar dan pemukiman. Adapun hubungan manusia dengan Tuhan atau sukerta tata agama diwujudkan keberadaan pura banjar.
Pada periode awal Banjar Titih berdiri di masa pemerintahan Puri Denpasar. Banjar Titih terletak disebelah barat wilayah Puri Denpasar. Pada awal berdiri bale Banjar Titih berupa wantilan tempat mayarakat banjar melakukan sangkep (musyawarah). Terdapat tiga ruangan di dalam wantilan bale banjar yaitu bale paruman/sangkep, bale kulkul dan pura banjar (Gambar 3). Banjar Titih terletak di tengah-tengah permukiman masyarakat banjar agar memudahkan pencapaian dan komunikasi.
Gambar 3. Denah Bale Banjar Titih Periode Awal Sumber: Analisis Penulis, 2017
Kekalahan Puri Denpasar pada perang puputan badung tahun 1908 merupakan awal kependudukan kolonial Belanda di Denpasar. Pada periode ini masyarakat Denpasar mengalami masa transisi di berbagai aspek. Kolonial Belanda menguasai sistem pemerintahan sehingga pemegang kekuasaan tertinggi tidak lagi terletak pada puri. Kemudian aspek sosial berupa penataan kependudukan yang menyebabkan bertambahnya masyarakat pendatang di wilayah Banjar Titih. Perubahan dalam aspek perubahan pola pikir yang cenderung modern dan ekonomis terlihat pada pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, pasar, sekolah, rumah sakit hingga bangunan bale banjar yang cenderung mengadopsi gaya barat. Terdapat kecenderungan penambahan fungsi-fungsi yang bernilai ekonomis seperti penambahan aula yang difungsikan menjadi area pedagang buah dan taman kanak-kanak (Gambar 4). Adapun pada periode kolonial, Banjar Titih mengalami pemisahan menjadi tiga banjar yaitu pemisahan Banjar Titih Kaja pada tahun 1927 dan pemisahan Banjar Titih Kelod tahun 1937.
Gambar 4. Denah Bale Banjar Titih Periode
Kolonial
Sumber: Analisis Penulis, 2017
Pada periode modern sekitar tahun 1980an, bale Banjar Titih direnovasi menjadi tiga lantai (Gambar 5). Dalam bale Banjar Titih terbagi menjadi tiga wilayah yaitu Banjar Titih Tengah, Banjar Titih Kaja dan Banjar Titih Kelod. Meningkatnya jumlah masyarakat Banjar Titih menyebabkan terbatasnya lahan untuk membangun bale banjar baru bagi Banjar Titih Kaja dan Banjar Titih Kelod. Maka dari itu, setelah diadakan paruman (musyawarah) yang melibatkan krama ketiga banjar, kelian banjar dan pengayom dari ketiga banjar, didapatlah keputusan untuk menggunakan bale Banjar Titih secara bersama-sama. Ruang-ruang yang bersifat sakral (suci) seperti bale kulkul, pura banjar, dan bale paruman dikelola oleh masing-masing banjar. Area dari masing-masing banjar ditandai dengan tiang saka sebagai batas ruang masing-masing banjar. Selain itu, penggunaan bale banjar secara bersama-sama diharapkan mampu tetap menjalin hubungan yang baik dan menyatukan ketiga banjar di masa mendatang.
Keterangan
1 BaleKulkul
2 Merajan
3 Bale Pesamuan
4 area Supber buah
5 panggung
6 gudang
7 tαlet
Gambar 5. Denah Bale Banjar Titih Periode Modern Sumber: Penulis, 2017
Analisis Dinamika Fungsi Ruang Bale Banjar Titih
Dinamika ruang bale Banjar Titih terjadi karena keinginan masyarakat banjar yang untuk membentuk sebuah ruang bale banjar yang sesuai dengan kebutuhannya. Dari penjabaran proses terjadinya dinamika ruang bale Banjar Titih dapat dilihat bahwa penyebab terjadinya perubahan ruang pada bale banjar adalah: a) pemisahan terjadi karena adanya karakter individu yang didorong dengan pemikiran atas kesamaan soroh (keturunan); kemudian b) beberapa individu membentuk kelompok dengan karakter yang sama sepakat untuk memisahkan diri menjadi Banjar Titih Kaja dan Banjar Titih Kelod; serta c) terdapat faktor-faktor pendorong penyebab pemisahan yaitu faktor kependudukan, faktor pemikiran
dan faktor ekonomi. Setelah pemisahan dilakukan, tiap banjar mulai memenuhi kebutuhan masyarakat banjar dengan menambah fungsi-fungsi ruang yang dapat dikomersilkan.
Proses dinamika terjadi dalam sepuluh tahapan. Tahapan pertama secara makro telah terjadi privatism process dan clustering process dalam pemisahan masyarakat Banjar Titih menjadi tiga, terjadi tahap inclusion – exclusion process pada fungsi ruang bale banjar. Pada tahap ini menyebabkan adanya ‘batas’ sehingga wilayah bale banjar terbagi menjadi dua kelompok yaitu Banjar Titih Tengah sebagai banjar asli yang didominasi oleh kesamaan sifat/homogenity dan Banjar Titih Kaja serta Banjar Titih Kelod yang cenderung memisahkan diri karena memiliki perbedaan sifat/diversity.
Gambar 6. Bale Sangkep sebagai Area Suci
Sumber: Penulis, 2017
Gambar 7. Bale Kulkul sebagai Area Suci
Sumber: Penulis, 2017
Gambar 8. Pura Banjar sebagai Area Suci
Sumber: Penulis, 2017
Kemudian terdapat beberapa proses yaitu categorization process kelompok yang memisahkan diri mulai mengadakan proses penggolongan ruang. Pada tahap ini karena terbatasnya wilayah untuk mendirikan bale banjar yang baru, diputuskan bagi ketiga banjar untuk membagi area bale banjar Titih menjadi tiga bagian, pada tahap ini juga terjadi proses classification process dimana masyarakat Banjar Titih Kaja dan Titih Kelod mulai beradaptasi dan melakukan aktivitas di area banjar yang baru.
Tahapan secara mikro selanjutnya terdapat labelling process dimana tiap banjar yang terpisah menentukan jenis ruang-ruang yang digunakan untuk beraktivitas. Pada tahap ini tiap banjar memiliki ruang sakral (suci) seperti bale paruman, pura banjar dan bale kulkul (Gambar 6 – 8). Sedangkan area aula, panggung dan gudang digunakan secara bersama oleh Banjar Titih Tengah, Banjar Titih kaja dan Banjar Titih Kelod (Gambar 9).
Gambar 9. Area Panggung Milik Ketiga Banjar Sumber: Penulis, 2017
Area banjar dipisahkan oleh tiang saka sebagai penanda dan batas antar ruang dan memperjelas fungsi ruang (Gambar 10), tahap ini disebut bordering process. Pada tahap ini juga dilakukan pemberian tanda atau marking process dan pemisahan antara ruang yang bernilai sakral dan ruang profan. Pura Banjar terletak di sebelah timur dan dikelilingi oleh tembok penyengker. Adapun bale kulkul letaknya terpisah dengan bangunan bale banjar sedangkan bale paruman terletak di lantai dua.
Gambar 10. Tiang Saka sebagai Batas Ruang Sumber: Penulis, 2017
Area panggung, aula dan gudang banjar merupakan area yang bersifat profan. Pada awal tahun 1980 area ini disewakan kepada salah satu warga Banjar Titih Tengah untuk dikomersilkan menjadi gudang buah (Gambar 11). Polarization process atau pengelompokkan ruang untuk disewakan awalnya menyebabkan kesenjangan sosial antar krama banjar karena area aula yang digunakan lebih banyak ke bagian milik Banjar Titih Kelod dan Banjar Titih Tengah. Berdasarkan keputusan paruman, hasil sewa gudang buah dikelola secara adil oleh Kelian Banjar Titih Tengah dan kelian Banjar Titih Kelod. Area aula yang dikomersilkan termasuk dalam environmental change process yang menunjukkan upaya untuk meningkatkan tatanan hidup bagi seluruh masyarakat banjar dari segi ekonomi.
Gambar 11. Area Pedagang Buah Sumber: Penulis, 2017
Kesimpulan
Terdapat sepuluh proses tahapan dalam terjadinya dinamika fungsi ruang Bale Banjar Titih. Secara makro dinamika fungsi ruang terbagi atas tahapan privatism process, clustering process dan inclusion-exclusion process. Pada tahap ini masyarakat Banjar Titih didorong atas faktor persamaan dan perbedaan pemikiran sehingga beberapa individu membentuk kelompok dan mendirikan banjar baru. Selanjutnya tahap dalam penggolongan ruang terdapat categorization process dan kemudian clasification process. Adapun pada tahap ini didorong atas faktor kependudukan dimana lahan di wilayah Banjar Titih tidak memadai untuk membuat bale banjar baru sehingga terbentuk tiga area banjar dalam satu lokasi.
Tahapan secara mikro dimulai dari tahap labelling process, bordering process dan marking process pada tahap ini proses pembagian ruang-ruang bale banjar sudah jelas. Tiap banjar memiliki area sakral berupa pura banjar, bale kulkul dan bale paruman. Sedangkan untuk area yang digunakan bersama adalah area aula, panggung dan gudang yang bersifat profan. Selanjutnya pada polarization process dan enviromental change process adalah penyewaan area aula kepada masyarakat banjar untuk berdagang buah. Pada tahap ini terdapat faktor ekonomi sadalah faktor pendorong bagi masyarakat banjar untuk meningkatkan dan menyeimbangkan kualitas hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Penelitian yang dilakukan hanya terbatas pada dinamika fungsi ruang Bale Banjar Titih Desa Dauh Puri Kangin Kecamatan Denpasar Barat. Untuk menyempurnakan penelitian tentang dinamika fungsi ruang bale banjar dapat dilakukan dengan mengkaji banjarbanjar lain di Denpasar. Tidak menutup kemungkinan untuk mengkaji dinamika fungsi ruang pada kelompok masyarakat dengan etnis dan karakter ruang yang berbeda.
Daftar Pustaka
Adhika, M. (2015). Banjar dan Konsep Komunitas Di Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Adnya, S. (2017). Tipologi Perkembangan Pemanfaatan Lahan Bale Banjar dan faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Seminar Nasional Space 3: Universitas Gajah Mada
Ardhana, I. K. (2004). DENPASAR: Perkembangan dari Kota Kolonial hingga Kota Wisata. Paper presented at the Konferensi International I Sejarah Kota (The First International Conference on Urban History), Surabaya.
Asikin, D., Antariksa., Wulandari, L. D. (2016). Dinamika Ruang Arsitektur Pada Permukiman Migram Madura di Kelurahan Kotalama Malang. Prosiding Temu Kuliah IPLBI 2016.
Bali Media Info. (2012). Sejarah Asal Usul Banjar di Bali. Diunduh dari:
http://www.balimediainfo.com/2015/01/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-di-bali.html, 25 Mei 2016.
Carr, S., Stephen, C., Francis, M., Rivlin, L. G., & Stone, A. M. (1992). Public space: Cambridge University Press.
Craib, I. (1992). Teori – Teori Sosial Modern. Jakarta : CV. Rajawali.
Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar Tahun 2016.
Haryadi, & Setiawan, B. (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku: Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Hendriatiningsih, S., Budiartha, A., & Hernandi, A. (2008). Masyarakat dan Tanah Adat di Bali (Studi Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali). Jurnal Sosioteknologi, 7(15), 517-528.
Hendra, P. (2011). Peranan Desa Adat di Bali. Retrieved from: http://arcaban.blogspot.co.id/2011/12/peranan-desa-adat-di-bali.html, 25 Mei 2016.
Lynch, K. (2004). The Image Of The City. Massachusetts: The MIT Press. Cambridge.
Moeryadi, D. (2009). Pemikiran Fenomenologi Menurut edmund Husserl. Retrieved from: jurnalstudi.blogspot, 18 November 2018.
Mayda, Y. (2015). Sistem Banjar Di Bali. Retrieved from: http://maydayanti.blogspot.co.id/2015/06/sistem-banjar-di-bali.html, 25 Mei 2016.
Rustiadi, E. (2009). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Suryawati, P. (2018). Reaktualisasi Fungsi Bale Banjar di Kota Denpasar. DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan, 1(18), 62-70.
Trancik, R. (1986). Finding Lost Space. New York: Van Nostrand
Windari, R. A. (2013). Korelasi Yuridis Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Terhadap Keajegan Alam Bali. Media Komunikasi FIS, 11(1).
Windu, O. (1985). Bangunan Tradisional Bali serta Fungsinya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wirawan, A. A. B. (2011). Sejarah Kota Denpasar : Dari Kota Keraton menjadi Kota (1788-2010). Denpasar : Bappeda Kota Denpasar dan Universitas Udayana.
Yudantini, M. (2017). Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Budaya.
Seminar Heritage IPLBI 2017. Denpasar : Universitas Udayana
Yusuf, A W. (1997). Pranata Pembangunan. (Tesis Magister), Universitas Parahyangan, Bandung.
Narasumber
Agung Ngurah, personal interview 25 Februari 2018.
Agus Suhendra, personal interview 20 Juli 2017
Made Mangku, personal interview 20 Februari 2018.
Made Oka R, personal interview 20 Desember 2018.
Ngurah Gede Sayoga, personal interview 20 Desember 2018
Nyoman Djenami, personal interview 25 Juli 2017.
158
SPACE - VOLUME 6, NO. 2, OCTOBER 2019
Discussion and feedback