Tipologi Perubahan Elemen Sekitar Pura Tambang Badung, Denpasar
on
TIPOLOGI PERUBAHAN ELEMEN
SEKITAR PURA TAMBANG BADUNG, DENPASAR
Oleh: Anak Agung Kresna Mahadhipa1, I Nyoman Widya Paramadhyaksa2, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra3
Abstract
It is a common spatial formation of various centers during the monarchy era in Indonesia, in which a palace is located in close proximity to a sacred complex - the center for royal ritual activities. Puri Pemecutan as part of Badung Kingdom of Bali's past also has a royal sacred spatial entity called Pura (Temple) Tambang Badung, a highly respected site. However, various spatial changes have occurred within its immediate outer area which is classified as a residential zone. Such a development is viewed as a serious disturbance to the sacred attributes of this temple. The development and operation of the surrounding residential area have been claimed to intrude both physical and non-physical elements of the temple. This article is a summary of a study that aims to examine the typology of spatial changes taking place within Pura Tambang Badung's surrounding areas. This study applies a qualitative method with a historical approach to reconstruct past images. Data collection is done by a study of relevant literature, observation, and interviews. In its final stage, this study draws a thorough typology of spatial changes by considering three groups of determining elements, which are: first, the core determining elements which include banyan trees and road nodes; second, the peripheral determining elements which include road lanes, shrines of temple territories, open spaces of outer temples, temple bear houses, and bale banjar buildings; and third, the additional determining elements that include temple land which is now the Pasah Pemecutan Market area.
Keywords: typology, change, element, royal temple, castle
Abstrak
Dalam pengetahuan tata ruang pusat kota kerajaan di Indonesia lazimnya dikenal adanya bangunan kediaman penguasa wilayah yang berlokasi tidak jauh dengan kompleks bangunan suci kerajaan sebagai pusat kegiatan ritual keagamaan. Puri Pemecutan sebagai salah satu bagian Kerajaan Badung pada masa kerajaan di Bali juga memiliki bangunan suci kerajaan yang bernama Pura Tambang Badung. Tapak pura ini sangat disakralkan oleh penguasa pada masanya. Seiring perkembangan zaman, berbagai perubahan keruangan telah terjadi di sekitar area tapak pura kerajaan ini. Area pura yang sakral menjadi seperti membaur dengan ruang profan permukiman penduduk. Artikel ini merupakan rangkuman dari sebuah penelitian yang bertujuan mengkaji gambaran tipologi perubahan elemen sekitar Pura Tambang Badung. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan pendekatan historis untuk merekonstruksi gambaran elemen sekitar pura pada masa lalunya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literatur, observasi, dan wawancara. Temuan akhir penelitian menunjukkan pola kecenderungan bahwa fenomena perubahan ruang yang terjadi di sekitar tapak Pura Tambang Badung adalah bertumpu pada upaya proteksi ruang sakral yang berupa area pura dan elemen-elemen pendukungnya atas penurunan kualitas akibat pencemaran dari area permukiman yang bersifat profan di sekitarnya. Perubahan elemen yang terjadi ditipologikan berdasarkan atas elemen inti yang meliputi pohon beringin dan simpul jalan; elemen pinggiran yang meliputi jalur jalan, penyengker teritori pura, ruang terbuka teritori luar pura, rumah pengemong pura, dan bangunan bale banjar; elemen tambahan meliputi tanah milik pura yang saat ini sudah menjadi area Pasar Pasah Pemecutan.
Kata kunci: tipologi, perubahan, elemen, pura kerajaan, puri
Pendahuluan
Tata ruang kota tradisional Bali pada umumnya dibentuk dan dibangun oleh penguasa atau raja pada saat mendirikan pusat-pusat kerajaan pada masa lalu (Paramadhyaksa, 2014). Pola tata ruang kota tradisional di Bali membentuk pola Catuspatha yang terbentuk dari perpotongan sumbu kaja-kelod (utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat) (Dwijendra, 2003). Kedudukan Catuspatha pada zaman kerajaan di Bali merupakan pusat ibu kota kerajaan yang dimaknai juga sebagai zona pusat negara. Pada area ini terdapat berbagai elemen tata ruang kota diantaranya, puri sebagai pusat pemerintahan; pura kerajaan sebagai tempat persembahyangan keluarga raja dan masyarakat; wantilan sebagai pusat budaya atau hiburan; pasar sebagai pusat perekonomian kota; dan alun-alun sebagai ruang terbuka hijau kota (Putra, 2005).
Pura kerajaan atau pura penataran memang didirikan demi kesejahteraan dan kelangsungan kerajaan. Pura ini terdiri dari banyak bangunan untuk bermacam kegiatan ritual keagamaan. Di tempat tersebut raja dan rakyatnya datang bersama-sama untuk melakukan persembahyangan (Hadiwijono, 2008). Keberadaan pura kerajaan ini terdapat di banyak kota di Bali seperti di Denpasar, Tabanan, Bangli, bahkan Klungkung. Tiga buah puri utama yang terdapat di Kota Denpasar masing-masing bernama Puri Agung Denpasar, Puri Pemecutan, dan Puri Agung Kesiman memiliki pura utama yang berstatus sebagai pura kerajaannya, yaitu Pura Satria, Pura Tambang Badung, dan Pura Pengerebongan (Gelebet, 1986). Eksistensi pasangan Puri Pemecutan dan Pura Tambang Badung adalah pasangan puri-pura yang memiliki karakteristik dan relasi yang masih terjalin relatif kuat hingga saat ini.
Secara fisik tata ruang sekitar dan tata bangunan dalam area tapak pura, sudah banyak terjadi perkembangan dan perubahan seiring perkembangan zaman saat ini. Perubahan ini sejalan dengan gambaran perkembangan kondisi pemerintahan di wilayah Kota Denpasar yang sebelumnya menerapkan sistem kerajaan yang bertumpu pada kekuasaan puri, tetapi saat ini sudah bergeser ke arah sistem pemerintahan secara nasional. Kedudukan dan wibawa puri pada masa sekarang juga sudah jauh berbeda dengan yang berlaku pada zaman kerajaan dulu. Perubahan tersebut juga berdampak pada eksistensi dan kedudukan Pura Tambang Badung sebagai pura kerajaan yang dikelola oleh Puri Pemecutan.
Area sekitar pura ternyata mengalami perubahan yang cukup signifikan seiring perkembangan zaman saat ini. Bangunan rumah penduduk mulai banyak berkembang memenuhi area-area terbuka sekitar tapak yang pada masa lalunya cenderung kosong. Pura Tambang Badung pun pada masa sekarang seperti “tersatukan” dengan wilayah permukiman warga yang berbeda jauh dengan gambaran masa lalunya. Berdasarkan informasi Mangku Bandem (2018), Pura Tambang Badung pada masa lalunya digambarkan memiliki jarak berupa ruang terbuka yang cukup luas dengan bangunan-bangunan profan permukiman penduduk. Berdasarkan gambaran tersebut, maka muncul suatu gagasan untuk melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengkaji gambaran tipologi perubahan elemen sekitar Pura Tambang Badung pada masa kerajaan dulu dan pada masa sekarang.
Tinjauan Teori
Tipologi merupakan konsep untuk mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas kesamaan sifat-sifat dasar dengan cara memilah atau mengklasifikasikan keragamaan bentuk dan kesamaan jenis (Moneo, 1979). Menurut Sulistijowati (1991), pengenalan tipologi mengarah pada upaya untuk mengkelaskan, mengelompokkan atau mengklasifikasikan berdasarkan aspek atau kaidah tertentu. Aspek tersebut antara lain: (a) fungsi yang meliputi penggunaan ruang, struktural, simbolis; (b) geometrik yang meliputi bentuk, prinsip, tatanan; dan (c) langgam yang meliputi periode, lokasi atau geografi, politik atau kekuasaan, etnik dan budaya.
Elemen pembentuk ruang dalam suatu tapak dapat dikatakan mengalami perubahan apabila terjadi: (1) penambahan (addition) yaitu penambahan suatu elemen dalam suatu tapak sehingga terjadi perubahan; (2) pengurangan (elimination) yaitu pengurangan suatu elemen dalam suatu tapak sehingga terjadi perubahan; dan (3) pergerakan/perpindahan (movement) yaitu perubahan yang disebabkan oleh perpindahan atau pergeseran elemen pembentuk ruang pada suatu tapak (Habraken, 1982). Menurut Rapoport (1983), perubahan elemen dapat dikelompokkan menjadi: (1) elemen inti (core element) yang sulit berubah, bersifat tetap atau tidak bisa dihilangkan dan menjadi identitas pemilik arsitektur tersebut; (2) elemen pinggiran (peripheral element) merupakan bagian yang tidak terlalu penting dan mudah berubah; dan (3) elemen tambahan (new element) yaitu elemen-elemen tambahan yang menjadi bagian baru.
Keberadaan elemen-elemen di sekitar tapak Pura Tambang Badung dapat diidentifikasikan dengan elemen-elemen pembentuk identitas suatu wilayah atau area yang meliputi: (a) elemen jalur jalan (path); (b) simpul jalan (nodes); (c) batas wilayah (edges); dan (d) penanda area (landmark) (Lynch, 1960). Elemen-elemen di sekitar pura tersebut tidak lepas dari keberadaan elemen yang bersifat sakral dan elemen yang bersifat profan. Elemen yang sakral menurut Durkheim (1992) adalah elemen yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan, sedangkan elemen yang profan adalah elemen tempat larangan-larangan tersebut diterapkan dan harus tetap dibiarkan berjarak dari hal-hal yang sakral. Perubahan elemen di sekitar/berbatasan langsung dengan objek sakral dapat mempengaruhi nilai kesakralan bangunan atau objek sakralnya, seperti perubahan radius jarak dengan bangunan terdekat dan daya pandang bangunan terdekat ke arah bangunan/objek sakralnya (Djatmiko, 2015).
Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan historis. Penelitian dengan pendekatan historis bertujuan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif (Suryabrata, 2002). Penelitian ini diawali dengan upaya merekonstruksi gambaran fisik elemen sekitar pada masa kerajaan dulu. Gambaran fisik tersebut disusun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan para narasumber seperti pemangku pura, raja puri, serta para penglingsir atau tetua puri yang ditentukan dengan teknik purposive sampling.
Data tersebut selanjutnya dikomparasikan dengan gambaran kondisi Pura Tambang Badung saat ini yang menghasilkan gambaran tipologi perubahan elemen keruangan yang terjadi di sekitar tapak pura. Temuan fenomena lapangan tersebut selanjutnya dialogkan dengan berbagai macam teori untuk menghasilkan temuan akhir penelitian. Hasil kajian final selanjutnya dirangkum dalam bentuk simpulan hasil penelitian yang disusun melalui penalaran secara induktif.
Materi amatan dan batasan bahasan dalam penelitian ini hanya terfokus pada aspek dan elemen-elemen yang bersifat keruangan yang terkait dengan keberadaan Pura Tambang Badung tersebut. Dalam konteks penelitian kualitatif, istilah elemen sekitar yang dimaksud adalah tidak mengacu pada adanya pembatasan jarak radius yang jelas. Hal ini berdasar pada kualitas gambaran relasi yang termuat dalam hubungan antara ruang atau elemen keruangan di sekitar objek pura tersebut pada masa lalu dan pada masa sekarang. Batasan waktu perubahan yang dikaji adalah berdasarkan informasi data tertua yang diingat oleh informan.
Lokasi Pura Tambang Badung
Kompleks Pura Tambang Badung berlokasi di Jalan Gunung Batur, Denpasar sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Bangunan bersejarah milik Puri Pemecutan ini berada sekitar 300 meter di barat kompleks Puri Pemecutan serta sekitar 250 meter ke arah barat dari area pempatan agung Pemecutan. Kompleks bangunan pura ini memiliki batasan area: (a) sebelah utara berbatasan dengan wilayah permukiman warga; (b) sebelah timur berbatasan dengan Jalan Gunung Batur; (c) sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Gunung Batur, sebuah pertigaan jalan, dan area Pasar Pasah Pemecutan; serta (d) sebelah barat berbatasan dengan permukiman warga wilayah Banjar Kerandan. Pada masa sekarang, kompleks pura yang disebut sebagai pura kerajaan yang dikelola Puri Pemecutan ini memiliki lahan sekitar 6.134 meter persegi.
Gambar 1. Lokasi Pura Tambang Badung
Sumber: diolah dari RTRW Kota Denpasar 2010 – 2030 dan Google Earth
Sejarah, Fungsi, dan Wujud Arsitektural Pura Tambang Badung
Menurut Darmanuraga dan Phalgunadi (2016), sejarah keberadaan Pura Tambang Badung ini tidak lepas dari peran Kyai Anglurah Pemecutan Sakti atau Raja Pemecutan III yang berjanji kepada Ida Hyang Parama Kawi (Tuhan Yang Maha Esa), bahwa apabila suatu ketika Beliau mampu membesarkan Kerajaan Badung, maka Beliau akan membangun sebuah kompleks pura pemujaan Ida Hyang Bhatari Danu dan Ida Hyang Mahadewa sebagai kompleks bangunan suci pemujaan tempat memohon kemakmuran dan pengikat kerukunan dan kesatuan seluruh masyarakat Kerajaan Badung. Pada masa inilah kemudian dikenal sebagai era berdirinya sebuah Pura Penataran Badung yang selanjutnya lebih dikenal masyarakat umum dengan sebutan Pura Tambang Badung (pura tali pengikat [wilayah] Badung). Upacara piodalan atau hari peringatan pendirian Pura Tambang Badung ditetapkan pada hari Purnama Kadasa atau pada hari terjadinya bulan purnama kesepuluh pada bulan April dalam setiap tahunnya.
Sejak masa lalunya, Pura Tambang Badung menjadi bangunan suci tempat Raja Pemecutan dan sanak keluarganya beserta warga kerajaan datang melakukan ritual dan persembahyangan bersama. Pura ini menjadi lokasi upacara persembahyangan pada saat penobatan seorang raja baru di lingkungan Puri Pemecutan. Beberapa bagian dari rangkaian ritual ini juga dapat disaksikan oleh warga kerajaan dalam area Pura Tambang Badung. Pura ini juga menjadi lokasi pelaksanaan upacara Ngerebeg yang dilakukan dua kali dalam setahunnya, yaitu setiap hari Sugihan Jawa dan Purnama Kadasa. Upacara ritual ini dilaksanakan dengan cara melakukan arak-arakan secara bersama oleh seluruh masyarakat Badung dengan membawa senjata tajam semacam keris dan tombak mengelilingi wilayah kota Kerajaan Badung. Ritual ini bertujuan agar seluruh senjata tradisional milik warga tersebut tetap terpelihara dan tersiagakan demi menjaga keamanan masyarakat, lingkungan, dan wilayah kerajaan.
Dalam perkembangannya saat ini, upacara Ngerebeg tersebut hanya dilakukan pada saat kegiatan piodalan di Pura Tambang Badung, yaitu pada hari Purnama Kadasa. Dalam pelaksanaannya saat ini, warga peserta prosesi membawa senjata tombak dan keris melakukan arak-arakan mengelilingi kompleks Pura Tambang Badung sejumlah tiga kali dengan arah yang berlawanan dengan arah putaran jarum jam. Upacara Ngerebeg ini bertujuan agar senjata-senjata yang masih tersimpan dan pernah digunakan pada saat Perang Puputan Badung (1906) tidak melukai atau tidak menjadi pemicu munculnya perang di kemudian hari. Banyak warga masih meyakini bahwa senjata-senjata tersebut cukup bertuah dan selalu ingin mencari korban.
Gambar 2 menggambarkan area Pura Tambang Badung yang terbagi atas tiga mandala (tiga area), yaitu (a) area Nista Mandala pura sebagai area dengan tingkat sakralitas terendah yang berada di zona paling timur tapak pura, dalam area ini terdapat sebuah meriam bernama gora gori dan sebuah artifak; (b) area Utama Mandala pura sebagai area dengan tingkat sakralitas tertinggi yang berada di area paling barat tapak pura, yang di dalamnya terdapat berbagai bangunan suci pelinggih pokok pura; serta (c) area Madya Mandala pura sebagai area bernilai menengah yang berada di antara area Nista Mandala
dan Utama Mandala pura, yang di dalamnya hanya terdapat bangunan wantilan (bangunan pertemuan).
Permukiman Warga
Pemangku’M
Pura L
Banjar Keranda
Permukiman Warga
Permukiman Warga
Jl. Gunung Batur'►
Banjar Pemedilan
Jl. Gunung Batur
Keterangan :
Alur Upacara Ngerebeg :
: Utama Mandala
: Madya Mandala
: Nista Mandala
Gambar 2. Pembagian Mandala dan Alur Upacara Ngerebeg di Pura Tambang Badung
Elemen Sekitar Pura pada Masa Lalu
Informasi tertulis dan lisan yang diperoleh, kompleks bangunan Pura Tambang Badung hanya disebutkan berdiri dalam masa pemerintahan Kyai Anglurah Pemecutan III yang memimpin Puri Pemecutan pada tahun 1718-1813. Sebagaimana disajikan dalam Gambar 3, pura ini dibangun di atas sebidang lahan berbentuk dasar persegi panjang seluas sekitar 9.120 meter persegi. Tapak pura terbagi atas tiga area atau tiga mandala. Area Nista Mandala pura ini terdapat sebuah bangunan bale banjar (balai masyarakat tradisional) yang dikelola oleh kelompok masyarakat Banjar Wargi Pemedalan. Bangunan ini berada di area pintu keluar (Bali: pemedalan) kompleks pura. Sekitar bangunan bale banjar tersebut juga terdapat bangunan-bangunan permukiman penduduk yang tersebar hingga ke sekitaran kompleks bangunan Puri Pemecutan. Sebelah barat tapak pura, terdapat area permukiman warga yang termasuk wilayah organisasi masyarakat Banjar Wargi Pangrondan serta hamparan area persawahan warga. Banjar ini dikenal sebagai banjar yang mengemban tugas menjaga keamanan Pura Tambang Badung.
KETERANGAN :
-
1 : Catus Patha
-
2 : Puri Pemecutan
-
3 : Jineng
-
4 : Bencingah
-
5 : Bale Lantang
-
6 : Bale Kulkul
-
7 : Pasar Pasah
-
8 : Pura Tambangan Badung
-
9 : Telaga
-
10 : Setra Badung
-
11 : Banjar Wargi di Pemedalan
-
12 : Banjar Wargi Pangrondan
-
13 : Banjar Tlaga di
Gendongane
-
14 : Rumah Warga
Gambar 3. Wilayah Puri Pemecutan pada Masa Lalu dan Elemen Sekitarnya Sumber: Hasil Rekonstruksi berdasarkan Wawancara dan Studi Literatur
Menurut Mangku Bandem (2018), pada masa lalu area sekitar Pura Tambang Badung yang terbentang dari area Pasar Pasah Pemecutan hingga ke lokasi bangunan bale kulkul (bangunan kentongan suci) di dekat Catuspatha Puri Pemecutan, merupakan area milik Puri Pemecutan. Area ini berbatasan langsung dengan area Setra Badung (pekuburan Badung). Lahan tersebut dalam perkembangannya, kemudian beralih fungsi menjadi area pasar dan permukiman penduduk oleh Puri Pemecutan. Pura Tambang Badung pada masa lalu berada tepat di pertemuan rurung kelod (jalan selatan) yang sekarang dikenal sebagai Jalan Gunung Batur dan rurung kauh (jalan barat) yang saat ini dinamai Jalan Gunung Merapi. Kedua jalan selebar enam meter ini difungsikan sebagai akses jalan utama menuju ke kompleks Pura Tambang Badung ini. Bagian tepi selatan tapak pura terdapat satu ruas jalan setapak sempit menuju ke wilayah permukiman warga Banjar Wargi Pangrondan beserta lahan persawahan.
Lahan kompleks Pura Tambang Badung pada masa lalu hanya dibatasi dengan elemen tembok penyengker setinggi sekitar 1 meter yang berfungsi sebagai pembatas teritori pura sekaligus elemen pemisah antara area pura yang sakral dan area permukiman warga yang profan. Wilayah luar teritori primer tersebut masih terdapat ruang terbuka yang cukup luas mengelilingi lahan pura. Ruang terbuka ini seperti menjadi semacam ruang teritori sekunder yang memberi jarak antara area pura dengan area permukiman warga. Titik simpul pertemuan rurung kelod dan rurung kauh terbentuk semacam pertigaan yang menjadi titik lokasi pelaksanaan beberapa kegiatan ritual pura. Sebelah tenggara tapak pura tumbuh sebatang pohon beringin (Lat. Ficus benjamina). Pohon ini dalam
perkembangannya tumbuh membesar dan dikelola pihak puri bersama warga setempat sebagai pohon sakral yang beberapa bagiannya dijadikan material kelengkapan kegiatan ritual di Pura Tambang Badung. Selain memuat makna sebagai elemen sakral, pohon beringin ini menjadi semacam penanda keberadaan kompleks bangunan Pura Tambang Badung (Mangku Bandem, 2018).
Elemen Sekitar Pura pada Masa Sekarang
Tapak Pura Tambang Badung saat ini masih tetap terbagi atas tiga mandala utama seperti saat pertama kali didirikan dengan berbagai bangunan suci di dalamnya. Luas area tapak pura pada masa sekarang sudah mengalami penyusutan menjadi kurang lebih 6.134 meter persegi. Hal ini disebabkan karena sebagian lahan pura yang berada di bagian utara area Nista Mandala, sudah difungsikan sebagai lahan rumah tinggal keluarga para pengemong (pengelola internal pura). Rumah para keluarga pengemong yang bernilai profan tersebut juga sudah dipisahkan dengan lahan tapak pura yang bernilai sakral dengan adanya tembok penyengker baru setinggi sekitar 2,5 meter, serta satu ruas gang selebar satu sampai dua meter yang ada di sisi utara tapak pura. Bangunan Banjar Wargi Pemedalan yang dulunya berada di area Nista Mandala pura, pada masa sekarang sudah dipindahkan ke seberang jalan serta menjadi lebih dikenal sebagai bangunan Banjar Pemedilan (Gambar 4). Konsep pemisahan elemen permukiman yang profan dari area pura yang sakral menjadi salah satu pertimbangan utama dipindahkannya bangunan balai masyarakat ini ke lokasinya seperti sekarang.
Gambar 4. (kiri) Persimpangan Jalan dan Banjar Pemedilan; (kanan) Ruas gang dan Rumah Pengemong Pura
Pertigaan yang dulunya terbentuk dari pertemuan rurung kelod dan rurung kauh, kini seperti menjadi sebuah perempatan jalan yang mempertemukan jalan-jalan: (a) Jalan Gunung Merapi (rurung kauh); (b) Jalan Gunung Batur (rurung kelod); (c) ruas Gang I yang menuju rumah para pengemong; serta (d) ruas Jalan Gunung Batur pengembangan yang sekarang sudah dibangun tembus ke Jalan Gunung Batukaru dan wilayah Banjar Kerandan (dulu: Banjar Wargi Pangrondan). Area lokasi pohon beringin dan sakralitasnya masih tetap dipertahankan, hingga sekarang. Pohon beringin yang tumbuh di lokasi tersebut sekarang adalah pohon baru yang ditanam sekitar 15 tahun yang lalu, menggantikan pohon beringin sebelumnya yang telah mati. Wujud pohon beringin pengganti yang lebih kecil dari pada pohon beringin sebelumnya seperti menyebabkan
penurunan kekuatan keberadaannya sebagai sebuah penanda tapak seperti pada masa sebelumnya (Gambar 5).
Gambar 5. (kiri) Jalan Gunung Batur Pengembangan; (kanan) Pohon beringin di sebelah Tenggara Tapak Pura
Area tapak pura yang dulunya dipisahkan oleh ruang-ruang terbuka sebagai elemen teritori sekunder dengan area permukiman warga, kini juga sudah mengalami perubahan. Area sekitar tapak pura sekarang hanya dikelilingi oleh satu ruas gang dengan lebar yang bervariasi antara satu sampai dua meter sebagai pemisah dengan lingkungan permukiman sekitarnya. Gang yang mengelilingi tapak pura ini pada hari-hari khusus difungsikan sebagai jalan untuk prosesi ritual Ngerebeg pada saat hari piodalan di Pura Tambang Badung. Selain itu, eksistensi ruang pemisah antara teritori tapak pura yang sakral dan permukiman warga yang profan juga diyakini warga dapat meminimalisir dampak negatif yang dapat terjadi terhadap para penghuni rumah yang pekarangannya berbatasan langsung dengan tapak sebuah bangunan suci seperti pada Pura Tambang Badung ini.
Lahan-lahan milik puri di sepanjang Jalan Gunung Batur menuju tapak pura, pada masa sekarang sudah banyak difungsikan dan disewakan sebagai bangunan-bangunan pendukung kebutuhan permukiman masyarakat setempat, seperti Pasar Pasah Pemecutan, peken sengol (‘pasar malam’), toko-toko, warung makan, dan kios pedagang canang dan perlengkapan upacara ritual Hindu (Gambar 6). Dana sewa dan parkir di pasar tersebut masuk ke kas puri yang selanjutnya digunakan untuk kegiatan ritual pura, perbaikan maupun perawatan pura. Kegiatan penjualan canang sari dan perlengkapan upacara Hindu lainnya adalah kegiatan perdagangan yang sudah ada sejak zaman dulu di antara jenis aktivitas perdagangan lainnya. Kegiatan ini terkait keberadaan Pura Tambang Badung di wilayah ini sebagai bangunan suci yang sering dikunjungi untuk kegiatan persembahyangan oleh keluarga puri dan masyarakat umum (Mangku Bandem, 2018).
G ambar 6. (kiri) Peken Sengol; (kanan) Kios Pedagang Canang dan Perlengkapan Upacara
Gambaran Perubahan Elemen Sekitar Pura
Pura Tambang Badung merupakan sebuah pura kerajaan yang berada di suatu wilayah dalam area kota kerajaan pada masa lalu. Dalam konteksnya sebagai elemen kota kerajaan, fenomena keruangan yang berlaku di area sekitar pura ini dapat dicermati dengan menggunakan elemen keruangan kota dan elemen keruangan yang berupa konsep kearifan lokal yang keberadaanya masih terkait dengan keberadaan tapak Pura Tambang Badung. Elemen-elemen keruangan tersebut memiliki karakter sebagai elemen pembatas teritori dan sakralitas pura; elemen pendukung fungsi tapak; maupun elemen lain yang masih berhubungan dengan fungsi tapak sebagai area sakral Hindu dalam wilayah permukiman yang profan di sebuah kota kerajaan. Dalam tahap pembahasan juga dilakukan studi komparatif tentang perubahan gambaran elemen-elemen tersebut pada masa lalu dan pada masa sekarang (Gambar 7 dan Tabel 1).
: Rumah
Pengemong Pura
: Banjar Pemedalan/ Pemedilan
⅛( : Banjar Pangrondan/
Kerandan
: Pasar Pasah Pemecutan
Gambar 7. (kiri) Area Sekitar Pura pada Masa Lalu; (kanan) Area Sekitar Pura pada Masa Sekarang Sumber: Hasil Rekonstruksi Berdasarkan Wawancara dengan Mangku Bandem (2018)
Tabel 1. Gambaran Perubahan Elemen Sekitar Tapak Pura Tambang Badung
No. |
Elemen Keruangan |
Wujud pada Masa Lalu |
Wujud pada Masa Sekarang | ||
a. |
Jalur jalan (Path) |
|
Rurung kelod Rurung kauh Jalan setapak menuju wilayah permukiman warga Banjar Wargi Pangrondan |
|
Jalan Gunung Batur Jalan Gunung Merapi Jalan Gunung Batur (lanjutan) menuju wilayah Banjar Kerandan Jalan Gunung Batur (lanjutan) menuju Setra Badung (elemen keruangan yang baru) Gang I di sebelah utara tapak pura (elemen keruangan yang baru) |
b. |
Simpul jalan (Nodes) |
6. |
Pertigaan (simpul pertemuan rurung kelod; rurung kauh; dan jalan setapak menuju permukiman warga Banjar Wargi Pangrondan) |
6. |
Perempatan (pertemuan Jalan Gunung Batur dan akses menuju Jalan Gunung Batukaru; Jalan Gunung Merapi; dan Gang I |
c. |
Penanda pura (Landmark) |
7. |
Pohon beringin lama yang tumbuh di tenggara tapak pura |
7. |
Pohon beringin baru pengganti yang ditanam di tenggara tapak pura |
d. |
Elemen batas wilayah/ teritori primer pura (Edges) |
8. |
Tembok penyengker pura setinggi 1 meter |
8. |
Tembok penyengker pura dibangun baru, setinggi 2,5 meter |
e. |
Elemen batas wilayah/ teritori sekunder pura (Edges) |
9. |
Ruang terbuka di sisi utara dan barat tapak pura |
9. |
Jalan dan gang sekeliling tapak pura selebar 1-2 meter, pemisah tapak pura dan permukiman warga |
f. |
Elemen keruangan yang profan dalam tapak pura yang sakral |
10. 11. |
Bangunan bale kulkul milik Banjar Wargi Pemedalan ada di sekitar gerbang keluar tapak pura, difungsikan untuk kegiatan kemasyarakatan dan pura Lahan hak guna pakai para pengemong (pengelola internal) pura ada di luar tapak pura |
10. 11. |
Bangunan bale kulkul Banjar Pemedilan dipindah ke luar tapak pura, difungsikan untuk kegiatan kemasyarakatan dan pura Lahan hak guna pakai para pengemong (pengelola internal) pura dipisah dari tapak pura dengan gang dan tembok penyengker |
g. |
Lahan pendukung aktivitas pura yang dikelola puri |
12. |
Tanah kosong duen (‘milik’) Pura Tambang Badung yang dikelola keluarga puri |
12. |
Area Pasar Pasah Pemecutan; toko; warung makan; warung pedagang canangsari dan perlengkapan upacara; pasar malam (peken sengol) |
Catatan: posisi masing-masing elemen keruangan sekitar tapak pura dapat dilihat pada gambar peta (Gambar 7) sesuai urutan nomor yang tertera pada tabel 1.
Elemen jalur jalan (path) yang ada di sekitar tapak pura mengalami perubahan berupa penambahan jumlah jalur jalan ke tapak pura. Apabila pada masa lalunya hanya terdapat tiga akses jalan di sekitar tapak, yaitu rurung kelod; rurung kauh; dan jalan setapak di sebelah selatan pura dari material permukaan berupa tanah asli, maka pada saat ini telah terjadi penambahan elemen pada jalan setapak di sebelah selatan pura dan satu jalur gang (Gang I) di utara tapak pura. Area tapak pura juga menjadi terkelilingi oleh gang yang akan difungsikan pada saat pelaksanaan ritual upacara Ngerebeg. Rurung kelod; rurung kauh; dan jalan setapak di sebelah selatan pura pada masa sekarang sudah berubah material menjadi jalan beraspal yang dibangun pemerintah.
Elemen nodes di sekitar tapak Pura Tambang Badung pada masa lalu adalah berupa sebuah pertigaan yang terbentuk dari pertemuan ruas rurung kelod, rurung kauh, dan jalan setapak di selatan pura. Pada saat ini simpul yang terbentuk mempertemukan ruas Jalan Gunung Batur dan pengembangan jalan menuju Jalan Gunung Batukaru; Jalan Gunung Merapi; dan Gang I. Sama dengan pada masa lalunya, di simpul ini juga menjadi lokasi berbagai kegiatan ritual pada hari-hari upacara.
Berdasarkan gambaran informasi yang diperoleh, keberadaan pohon beringin yang tumbuh besar pada masa lalunya di tenggara tapak pura layaknya dapat diposisikan sebagai elemen penanda di wilayah ini. Pohon beringin besar sebelumnya itu kini telah digantikan dengan pohon beringin baru yang lebih kecil yang secara tidak langsung sudah menurunkan tingkat keberadaannya sebagai sebuah landmark di wilayah ini. Pohon ini tetap menjadi elemen sakral yang pada saat ini telah dilengkapi dengan bangunan suci pelinggih dan tembok penyengker yang memperkuat eksistensinya sebagai sebuah elemen sakral.
Elemen pembatas teritori pura (edges) yang sakral di Bali umumnya berupa tembok penyengker dengan material batu alam/bata. Mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Laurens (2004), maka elemen ini menjadi dapat diidentifikasikan sebagai elemen pembatas teritori primer dari area pura yang sakral dengan area sekitar pura yang profan. Wujud fisik tembok penyengker yang terbangun saat ini 1,5 meter lebih tinggi dari pada tembok pada masa lalunya. Faktor keamanan dan perkembangan permukiman sekitar menjadi dasar perubahan wujud fisik pembatas teritori pura ini.
Pada masa lalu, tapak pura juga seperti dibatasi dengan keberadaan beberapa tanah kosong di utara dan barat tapak yang memisahkan tapak pura yang sakral dengan area permukiman yang profan. Beberapa bagian tanah kosong tersebut sekarang sudah dibangun menjadi area permukiman. Area kosong yang sebelumnya berfungsi sebagai elemen pemisah tersebut kini hanya tersisakan menjadi satu ruas gang yang memiliki fungsi sebagai jalur jalan akses ke wilayah permukiman dan jalur jalan untuk kegiatan prosesi ritual Ngerebeg. Elemen ini berdasar tipologi yang dikemukakan oleh Laurens (2004) dapat dimaknai sebagai elemen pembatas teritori sekunder pura dari yang sebelumnya berupa ruang terbuka luas, kini telah berubah menjadi hanya sebentuk ruas jalan sempit berupa gang.
Elemen-elemen profan yang terkait dengan aktivitas permukiman penduduk, seperti bangunan bale kulkul di arah timur laut tapak, dan bangunan rumah tinggal para pengemong dipindahkan dan dipisahkan dari area tapak pura yang sakral. Dalam konteks ini terlihat upaya pemurnian nilai tapak pura sebagai tapak yang bersifat sakral yang dijauhkan dari segala elemen keruangan yang bersifat profan.
Lahan duwen (‘milik’) Pura Tambang Badung di arah tenggara tapak pura, pada masa sekarang masih tetap dikelola oleh pihak puri. Jika pada masa lalunya tanah ini cenderung dibiarkan kosong, pada masa sekarang difungsikan sebagai area pasar tradisional untuk keperluan masyarakat umum. Pada tahun 1980-an, area ini juga pernah menjadi lokasi berdirinya bangunan hiburan rakyat, berupa bioskop kelas menengah. Dana pemasukan dari pasar maupun bioskop tersebut masuk ke kas puri untuk difungsikan sebagai biaya kegiatan ritual dan perbaikan maupun perawatan Pura Tambang Badung ini. Lahan kosong
milik puri yang terdapat di selatan Rurung Kelod (sekarang: Jalan Gunung Batur), saat ini difungsikan sebagai berbagai bangunan komersil sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat kota pada masa sekarang. Di antara semua jenis fungsi komersil di area ini, bangunan warung pedagang canangsari dan perlengkapan upacara ritual merupakan jenis kegiatan perdagangan yang berlangsung dari masa lalu hingga sekarang. Jenis aktivitas perdagangan semacam ini mendukung keberadaan Pura Tambang Badung sebagai bangunan sakral Hindu sejak masa lalu.
Tipologi Perubahan Elemen Sekitar Pura
Seiring perkembangan zaman, keberadaan elemen-elemen keruangan yang ada di sekitar tapak Pura Tambang Badung telah mengalami perubahan dengan berbagai macam faktor. Sejalan dengan teori perubahan ruang yang dikemukakan Habraken (1982), ruang secara umum beserta elemen yang ada di dalamnya dapat dikatakan telah mengalami perubahan apabila telah terjadi penambahan elemen; pengurangan elemen; atau pergerakkan maupun perpindahan elemen itu sendiri. Dalam konteks tipologi perubahan tersebut, menurut Rapoport (1983) dikemukakan bahwa perubahan dapat dikategorikan dari elemen yang sulit berubah atau bersifat tetap (elemen inti/core element); elemen yang mudah berubah (elemen pinggiran/peripheral element); dan elemen tambahan yang menjadi bagian baru (elemen tambahan/new element). Gambaran tipologi perubahan elemen keruangan di sekitar tapak pura tersebut digambarkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Gambaran Tipologi Perubahan Elemen Sekitar Tapak Pura Tambang Badung
No. |
Elemen Keruangan |
Perubahan Ruang |
Elemen yang B |
erubah Tambahan | |||
Penam -bahan |
Pengurangan |
Perpindahan |
Inti |
Pinggiran | |||
1. |
Jalur jalan (Path) |
• |
• | ||||
2. |
Simpul Jalan (Nodes) |
• |
• | ||||
3. |
Pohon beringin (Landmark) |
• |
• | ||||
4. |
Penyengker teritori pura (Edges) |
• |
• | ||||
5. |
Ruang terbuka teritori luar pura |
• |
• | ||||
6. |
Rumah pengemong pura |
• |
• | ||||
7. |
Bangunan bale banjar |
• |
• | ||||
8. |
Tanah duen pura (milik pura) |
• |
• |
Berdasarkan Tabel 2, kedelapan elemen keruangan yang ada di sekitar tapak Pura Tambang Badung dapat ditipologikan menjadi tiga kelompok elemen yaitu, elemen inti (core element); elemen pinggiran (pheripheral element); dan elemen tambahan (new element). Pengelompokkan ini berdasarkan dari keberadaan elemen sekitar pura terhadap pengaruh perubahan yang terjadi dari masa kerajaan dahulu hingga pada masa saat ini. Kelompok elemen inti (core element) terdapat dua elemen keruangan yang termasuk di dalam kelompok ini yaitu, simpul jalan (nodes) dan pohon beringin (landmark). Kelompok elemen pinggiran (pheripheral element) terdapat lima elemen keruangan yaitu, jalur jalan (path); penyengker teritori pura (edges); ruang terbuka teritori luar pura; rumah pengemong pura; dan bangunan bale banjar. Elemen tambahan (new element) hanya
terdapat satu elemen keruangan yang termasuk di dalamnya yaitu tanah duen pura (milik pura) yang ada di sekitar Pura Tambang Badung.
Seluruh elemen keruangan yang teridentifikasi mengalami perubahan wujud fisik yang cukup mendasar di sekitar tapak Pura Tambang Badung berdasarkan teori perubahan yang dikemukakan oleh Rapoport (1983), pada dasarnya adalah elemen-elemen pinggiran atau peripheral yang mudah mengalami perubahan seperti ruas jalan, tembok penyengker, ruang terbuka, rumah pengemong pura, dan bale banjar. Elemen yang bersifat inti seperti pohon beringin dan simpul jalan merupakan elemen yang sulit berubah dan cenderung bersifat tetap yang masih dijaga kesakralannya hingga saat ini. Tanah milik pura yang dikelola oleh pihak puri yang saat ini sudah menjadi area pasar, toko dan permukiman penduduk merupakan elemen tambahan yang menjadi elemen baru di dalam tata ruang area sekitar Pura Tambang Badung pada saat ini.
Fenomena keruangan yang ada di sekitar tapak Pura Tambang Badung berdasar pada pertemuan antara ruang yang bersifat sakral dan ruang yang bersifat profan. Berkenaan tentang keberadaan ruang sakral dan ruang profan tersebut, dalam teori sakral dan profan yang dikemukakan oleh Emile Durkheim (1992) yang menyebutkan bahwa area yang bersifat profan selalu tetap dibiarkan berjarak dari area yang bersifat sakral. Jarak yang dimaksud dalam konteks ini dapat berupa ruang terbuka atau pun elemen pembatas, semacam tembok pagar sebagai teritori pemisah antara area yang bersifat sakral dengan area yang bersifat profan.
Bangunan Banjar Wargi Pemedalan yang selanjutnya bernama Banjar Pemedilan serta rumah para pengemong adalah elemen-elemen yang bersifat profan. Elemen ini dipisahkan dari area pura yang sakral dengan cara dipindahkan; pembangunan tembok penyengker yang lebih tinggi; dan pemberian ruang berupa Gang I. Fenomena seperti ini sejalan dengan pendapat Djatmiko (2015) yang menyebutkan bahwa perubahan kualitas ruang di area sekitar atau yang berbatasan langsung dengan ruang sakral akan mempengaruhi nilai kesakralan dari objek sakralnya tersebut. Elemen yang bersifat profan di sekitar area pura yang sakral dipisahkan dan diberikan jarak untuk tetap menjaga nilai kesakralan Pura Tambang Badung.
Area sakral Pura Tambang Badung pada masa lalu memiliki teritori atau batas wilayah/area yang cukup luas berupa ruang terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Laurens (2004), teritori ditandai dengan konkrit/nyata atau simbolik yang terwadahi berupa taman, dinding, batu, dan yang lainnya yang berkaitan dengan area pembatas. Pada saat ini teritori Pura Tambang Badung semakin menyempit dan hanya menyisakan ruang berupa gang yang pada hari-hari tertentu digunakan sebagai jalur upacara Ngerebeg. Teritori lainnya ditandai dengan penambahan tembok penyengker pura yang dibangun lebih tinggi sekitar 2,5 meter dari masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya intervensi pembangunan yang semakin pesat yang menyebabkan semakin dekatnya area yang bersifat profan ke area yang bersifat sakral, sehingga nilai sakralitas pura harus lebih diproteksi dari gangguan-gangguan luar.
Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka dapat dirangkum beberapa simpulan hasil penelitian ini sebagai berikut.
Apabila dibandingkan antara gambaran kondisi masa lalu dan kenyataan pada masa sekarang, fenomena perubahan elemen di sekitar tapak Pura Tambang Badung adalah bertumpu pada upaya proteksi suatu area sakral berupa tapak pura kerajaan dengan elemen-elemen sakral pendukungnya dari penurunan kualitas sakralitas akibat adanya berbagai aktivitas di area permukiman sekitar yang profan. Upaya proteksi tersebut relatif tidak terlihat berdampak secara signifikan pada terjadinya perubahan elemen-elemen keruangan yang bersifat inti, melainkan perubahan tersebut cenderung lebih terlihat berdampak pada terjadinya perubahan elemen-elemen yang tergolong sebagai elemen pinggiran atau tambahan. Perubahan elemen keruangan di sekitar tapak Pura Tambang Badung dapat ditipologikan menjadi tiga kelompok elemen yaitu, elemen inti (core element) yang meliputi simpul jalan (nodes) dan pohon beringin (landmark); elemen pinggiran (pheripheral element) meliputi jalur jalan (path), penyengker teritori pura (edges), ruang terbuka teritori luar pura, rumah pengemong pura, bangunan bale banjar; dan elemen tambahan (new element) yaitu tanah duen pura (milik pura) yang ada di sekitar Pura Tambang Badung.
Pura sebagai elemen yang sakral seharusnya lebih diproteksikan sakralitasnya dari pencemaran ruang profan yang berada di sekitarnya baik dengan penataan area sekitarnya maupun pengadaan elemen pembatas teritori yang lebih jelas dengan melakukan manajemen pengelolaan pura yang melibatkan banyak pihak terkait. Untuk meminimalisir perubahan keruangan yang dapat menurunkan nilai sakralitas pura, hendaknya perubahan tersebut dapat dilakukan dengan menyasar area-area yang memiliki nilai sakralitas terendah seperti jaba sisi pura yang bersifat pinggiran, sedangkan jeroan dan jaba tengah pura yang bersifat inti harus tetap dijauhkan dari elemen-elemen yang bersifat profan.
Daftar Pustaka
Darmanuraga, A. A. N. P., Phalgunadi, I. G. P. (2016). Sejarah Pura Tambangan Badung – Linggih Bhatari Danuh dan Mahadewa sebagai Tempat Pemujaan Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Denpasar: Yayasan Kerti Budaya.
Djatmiko, A. (2015). Persepsi dan Respon Perubahan Ruang Sakral. Jurnal Planologi Unpas, 2(3), 195-222.
Durkheim, E. (1992). Sejarah Agama: The Elementary Form of the Religious Life. New York: Free Press.
Dwijendra, N. K. A. (2003). Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Permukiman Natah, 1(1), 8-24.
Gelebet, I. N. Dkk. (1986). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Habraken, N. J. (1982). Transformation of The Site. Cambridge: Massachusetts.
Hadiwijono, H. (2008). Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Laurens, J. M. (2004). Arsitektur Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo.
Lynch, K. (1960). The Image of The City. Cambridge: MIT Press.
Moneo, R. (1979). On Typology. Journal Oppositions, 13, 23-45.
Paramadhyaksa, I. N. W. (2014). Perwujudan Konsep Kerajaan Sorga pada Pusat Kota Kerajaan di Bali. Jurnal Forum Arkeologi, 27(2), 145-154.
Putra, I. G. M. (2005). Catuspatha: Konsep, Transformasi, dan Perubahan. Jurnal Permukiman Natah, 3(2), 62-101.
Rapoport, A. (1983). Development, Culture Change, and Supportive Design. University of Winconsin: Milwaukee.
Sulistijowati. (1991). Tipologi Arsitektur pada Rumah Kolonial Surabaya (Studi Kasus: Perumahan Plampitan dan Sekitarnya). Surabaya: Fakultas Teknik dan Perencanaan ITS.
Suryabrata, S. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya. (2011). Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Daftar Informan
Mangku Bandem. 52 Tahun. Banjar Pemedilan Denpasar. Diwawancarai tanggal 29 September 2018.
146
SPACE - VOLUME 6, NO. 2, OCTOBER 2019
Discussion and feedback