EKSISTENSI LAHAN TERLANTAR DI KAWASAN

RENON DENPASAR

Oleh: Marthin Gunardhy1, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra2, Ni Made Yudantini3

Abstract

As cities grow in their complexity, space-land becomes an increasingly invaluable and (could be as well) an inaccessible resource for all different causes. While this statement is true, this study finds that various plots of land in Renon Area of Denpasar City have not been used at their maximum uses and consequently fall into the category of neglected land. This study identifies characteristics of the so called neglected land found in Renon Area and determining factors that trigger its existence. Authors view that the existence of the abandoned land eventually implies an ineficiency in the utilization of urban area, as well as contributes negatively toward the image of Renon being the Civic Centre of Bali Province. This study uses qualitative research method. Observation, direct documentation and interviews have been carried out in data collection process. It finds there are four types of the neglected land: a. land with natural vegetation and was not maintained; b. land with vacant buildings; c. land with building debris; and d. land with semi-permanent buildings that were used for temporary purposes. Factors that cause the birth of these four categories of neglected land include those pertaining to: socio-economic, physical conditions/location, and government policy/administrative issues. Authors expect that these findings will be of a pivotal beginning that leads to the stipulation of either strategies or policy as to how an abandoned land in town can be utilized for the benefits of a wider group, especially that of the public. Both government and urban planners will have a strategic role in making it happened.

Keywords: function, vacant land, land utilization, Renon Area

Abstrak

Perkembangan pembangunan Kota Denpasar yang menonjol akan berjalan dengan baik apabila berada diatas lahan yang sesuai dengan fungsi dari peruntukan lahan dan berjalan secara berkesinambungan. Fenomena yang terjadi di Kawasan Renon Denpasar terdapat puluhan lahan yang tidak difungsikan ataupun dimanfaatkan dengan maksimal sehingga terjadinya lahan terlantar. Penelitian ini mengidentifikasikan karakteristik lahan terlantar dan faktor-faktor penyebab terjadinya lahan terlantar di Kawasan Renon Denpasar. Eksistensi lahan terlantar dapat berdampak buruk pada turunnya potensi pemanfaatan lahan, maupun implikasi terhadap citra kota di Kawasan Renon Denpasar. Teori tipologi, karakteristik lahan terlantar dan penggunaan lahan digunakan dalam pendekatan kajian teori. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sebagai sumber data dilakukan observasi, dokumentasi langsung dan data hasil wawancara informan pemilik lahan terlantar serta masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan tipologi lahan terlantar pada Kawasan Renon adalah lahan dengan tumbuh-tumbuhan alami dan tidak terawat, lahan dengan bangunan yang terbengkalai, lahan dengan puing-puing bangunan, dan lahan dengan bangunan semi permanen yang difungsikan untuk kegiatan temporer.Faktor penyebab terjadinya lahan terlantar diantaranya: faktor sosial-ekonomi,faktor kondisi fisik / lokasi,faktor kebijakan / administrasi pemerintah. Hasil penelitian yang berupa pengidentifikasian tipologi dan penyebab dari lahan terlantar ini dapat memberikan implikasi yang signifikan terhadap pengembangan kebijakkan pemerintah, dan bagi perencana serta perancang kota dalam mencari manfaat terbaik dalam pemanfaatan lahan terlantar demi kepentingan semua pihak.

Kata kunci : fungsi, lahan terlantar, pemanfaatan lahan, Kawasan Renon

Latar Belakang

Kota Denpasar mempunyai luas wilayah sekitar 12.780 ha, seperti kota besar lainnya Denpasar tumbuh dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di Bali (Wirawan, 2011). Kota Denpasar juga berkembang menjadi pusat perkembangan bisnis, pendidikan dan pemerintahan. Pertumbuhan Kota Denpasar juga dipengaruhi oleh perkembangan global dan teknologi (Yudantini, 2017). Denpasar mengalami perkembangan yang lebih menonjol dalam segi aktivitas ekonomi melalui perdagangan dan jasa, hal ini didukung oleh perkembangan dan kelajuan pembangunan di segala bidang. Perkembangan tersebut, disisi lain menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan seperti penggunaan lahan yang kurang optimal sesuai fungsinya (Wirawan, 2011).

Jumlah penduduk yang tinggal di Kota Denpasar berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, diproyeksikan akan meningkat sebanyak 21,4% untuk jenis kelamin laki-laki dan 147,9% untuk jenis kelamin perempuan pada tahun 2020 (Statistik, 2014). Perkembangan kota yang cepat, terutama pada lokasi yang strategis menjadikan daya tarik tersendiri bagi kegiatan investasi, salah satunya dalam bentuk lahan di perkotaan (Santoso, 2008). Investasi dalam bentuk pengembangan infrastruktur, kegiatan komersil, dan lainnya membantu peningkatan ekonomi kota, akan tetapi terdapat juga investasi yang bersifat spekulatif, terutama pada lahan yang diperjual-belikan tanpa digunakan sesuai dengan fungsinya. Hal ini yang akhirnya akan menyebabkan permasalahan tersendiri bagi perkotaan, berupa lahan terlantar perkotaan (Ariastita, 2008). Menurut I Wayan Gomudha, ahli tata ruang Bali mengatakan, cukup banyak lahan yang telantar di wilayah Kota Denpasar, selain tanah yang dibiarkan oleh pemiliknya, ada juga gedung milik pemerintah yang ditinggalkan (Kusumaputra, 2011).

Terjadinya lahan terlantar merupakan bagian dari penggunaan lahan yang kurang optimal. Penyebab, akibat, dan pengendalian dari perubahan pemanfaatan lahan telah menjadi topik yang sangat penting dalam komunitas saat ini. Kawasan Renon selain merupakan kawasan yang terkenal di Kota Denpasar, terdapat juga zona kawasan pemanfaatan ruang yang mewakili fungsi-fungsi kota yaitu, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan sosial budaya, dan kawasan permukiman. Fenomena yang terjadi di Kawasan Renon Denpasar saat ini terdapat banyak lahan yang tidak difungsikan ataupun dimanfaatkan dengan maksimal sesuai dengan peruntukannya. Penelantaran lahan dapat menyebabkan dampak fisik seperti penurunan estetika suatu kawasan, dampak sosial dan hukum berupa terjadinya pertikaian karena pnyerobotan lahan dan penggusuran, serta dampak ekonomi berupa penurunan potensi penerimaan PAD, PBB, dan IMB, serta hilangnya potensi kesempatan kerja masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan karakteristik dan faktor-faktor penyebab terjadinya lahan terlantar di Kawasan Renon Denpasar. Kedua tujuan penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan eksistensi lahan terlantar yang ada di Kawasan Renon Denpasar, sehingga hasilnya dapat dijadikan acuan dan masukkan dalam penelitian lanjutan maupun perencanaan kawasan terhadap lahan terlantar, terutama dalam pengembangan dan pemanfaatan potensi lahan terlantar.

Kajian Pustaka

Menurut Kaiser (1995) lahan terlantar adalah sebidang lahan yang di atasnya secara fisik tidak terdapat bangunan, akan tetapi berpotensi untuk digunakan. Sementara itu menurut Kivell (1993) lahan terlantar adalah lahan yang menurut pemerintah daerah setempat belum dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu fungsi yang mengacu pada rencana wilayah. Lahan terlantar dapat berbentuk properti berupa tanah atau bangunan yang tidak dipergunakan. Definisi ini ditegaskan kembali oleh Von Schéele (2016) bahwa lahan terlantar adalah tanah atau lapangan yang terbengkalai, kebun liar diantara kawasan perumahan atau di samping jalan, area bekas kawasan industri yang sudah mati, lokasi bekas pembongkaran di pusat perkotaan, tempat-tempat sempit yang kering dan teduh dibawah kolong jembatan. Supriyanto (2010) menguraikan kriteria untuk menentukan lahan yang telah ditelantarkan berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, PP No.36 Tahun 1998, dan PP No.11 Tahun 2010, adalah lahan yang tidak diusahakan, dipergunakan atau dimanfaatkan sesuai dengan kedaannya sifat dan tujuan dari pemberian hak atas dasar penguasaan lahan tersebut. Pengertian ini senada dengan Bourne (1976) yang mendefinisikan lahan terlantar sebagai lahan yang tidak dihuni pemiliknya, padahal secara fisik dapat dihuni. Berdasarkan pengertian lahan terlantar di atas, maka lahan terlantar adalah lahan yang belum atau tidak difungsikan sesuai dengan fungsinya dan mempunyai potensi untuk dikembangkan, dengan karakter yang bervariasi, mulai dari lahan kosong, kebun liar, areal bekas industri yang terbengkalai, lokasi bekas pembongkaran kota, gedung terbengkalai, dan karakter lainnya yang mungkin terdapat dalam kawasan objek penelitian.

Karakteristik lahan terlantar di Indonesia dapat ditelaah lebih dalam dengan bersumber dari Buku Petunjuk Tata Cara Kerja Pengukuran Tanah BPN 1992. Dalam (Ariastita, 2008) buku tersebut memuat bahwa lahan terlantar sebagai lahan tidak terbangun yang sudah diperuntukkan atau diberi haknya tetapi tidak diusahakan sesuai dengan hak yang diberikan/ditelantarkan. Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar, menjelaskan definisi tentang lahan terlantar, yaitu lahan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Berdasarkan definisi karakteristik di atas, dapat disimpulkan karakteristik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengkaji dari lokasi-lokasi lahan terlantar berdasarkan kondisi fisik lahan, kesesuaian fungsi dengan rencana tata ruang dan sifat hak atas tanah serta aktivitas maupun pemanfaatan yang dilakukan pada lahan tersebut.

Persoalan lahan terlantar pada dasarnya adalah penyebab yang melatar-belakangi munculnya lahan terlantar. Berkaitan dengan hal tersebut Kivell (1993) merumuskan penyebab lahan terlantar menjadi penyebab umum dan spesifik. Penyebab umum merupakan faktor-faktor makro/general yang melatarbelakangi terjadinya lahan terlantar. Sedangkan penyebab spesifiknya adalah turunan dari faktor-faktor makro tersebut. Penyebab spesifik dan klasifikasi persoalan lahan terlantar diantaranya faktor ekonomi, faktor kondisi fisik/lokasi, dan faktor kebijakan/administrasi pemerintah. Sementara itu Kim (2018) mengatakan bahwa penyebab terbentuknya lahan terlantar adalah dikarenakan

oleh faktor: perkembangan kota, ekonomi dan industri, proses pembentukkan kota baru, pusat kota lama yang ditinggalkan, nilai ekonomis sebuah lahan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang lahan terlantar yang berada di Kawasan Renon Denpasar. Penelitian dimulai dengan studi literatur mengenai lahan terlantar dan karakteristiknya serta mengenai kawasan penelitian. Observasi lapangan dilakukan secara menyeluruh pada kawasan penelitian untuk mengalisa karakteristik lahan terlantar. Dokumentasi kondisi fisik lahan terlantar, serta kegiatan yang berlangsung dilaksanakan bertujuan untuk mendapatkan gambar-gambar selama proses observasi. Wawancara diadakan kepada pemilik lahan, pengguna lahan, pemerintah setempat, serta masyarakat disekitar lahan terlantar guna menggali lebih dalam mengenai penyebab terjadinya lahan terlantar di Kawasan Renon.

Kawasan Renon (Gambar 1) dipilih karena didalamnya teradapat kawasan pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, kawasan pusat sosial-budaya dan kawasan permukiman yang mewakili fungsi-fungsi karakteristik Kota Denpasar. Terdapat banyak titik sebaran lahan terlantar berada disepanjang jalan kolektor primer baik pada lingkar luar kawasan, maupun di dalam kawasan penelitian.

Gambar 1. Kawasan Renon

Sumber: diolah dari data Dispenda Kota Denpasar Tahun 2018,

Kawasan Renon berada dalam wilayah empat desa, yaitu Desa Dauh Puri, Desa Dangin Kelod, Desa Sumerta Kauh, Desa Sumerta Kelod. Luas wilayah penelitian sebesar 147 Hektar, dengan panjang sekitar 1,96 KM dan lebar sekitar 0,76 KM. Penelitian dilakukan pada ruas-ruas jalan kolektor primer yang mencakup Jalan Cok Agung Tresna, Jalan Prof. Moch Yamin, Jalan Raya Puputan Niti Mandala, Jalan Letda Tantular, Jalan Tantular Barat, Jalan Cut Nyak Dien, Jalan S. Parman, Jalan Basuki Rahmat, Jalan Dr. Muwardi,

Jalan Kapten Tantular, Jalan Penjaitan, Jalan Kusuma Atmaja, dan Jalan Juanda dengan total panjang jalan adalah 9,54 KM.

Hasil dan Pembahasan

Rencana Pemerintah terkait memanfaatkan beberapa spot lahan terlantar di Kawasan Renon sebenarnya sudah tersusun. Sementara itu hal tersebut belum terealisasi, motivasi ini menjadikan sebuah perencanaan yang baik untuk memanfaatkan lahan terlantar menjadi sektor pendukung fungsi dari kawasan tersebut. Perencanaan memanfaatkan lahan terlantar dibagi menjadi empat blok pengembangan, diantaranya:

  • a.    Rencana Umum Blok Pengembangan I

Daerah Blok 1 belum mencerminkan fungsi kawasan secara umum dimana pada kawasan ditetapkan sebagai kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Bali. Guna lahan pada blok ini didomisasi oleh fungsi perdagangan dan jasa. Sebagai fungsi penunjang kawasan pada blok pengembangan I struktur peruntukan lahan adalah peruntukan mix-use fungsi komersial, dengan dominasi sebagai fungsi pedagangan dan jasa. Selain itu pada kawasan juga diarahkan sebagai gerbang masuk kawasan pusat pemerintahan Provinsi Bali dari arah barat kawasan. Adapun rencana pengunaan lahan pada kawasan adalah perdagangan dan jasa, serta perkantoran (eksisting), selain itu juga sebagai sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan sarana penunjang lainnya (Gambar 2).

Gambar 2. Peta Rencana Guna Lahan Blok I Kawasan Renon Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Kota Denpasar Tahun 2018

Intensitas pemanfaatan lahan pada kawasan dibagian dalam direncanakan dengan kepadatan rendah sedangkan pada bagian luar atau pada jalur utama jalan kepadatan yang direncanakan adalah kepadatan tinggi pada fungsi perdagangan dan jasa. Sistem sirkulasi pada blok I dapat dilalui melalui jalur utama kawasan.

  • b.    Rencana Umum Blok Pengembangan II

Daerah Blok II belum mencerminkan fungsi kawasan secara umum dimana pada kawasan ditetapkan sebagai kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Bali. Guna lahan pada blok ini didomisasi oleh fungsi perdagangan dan jasa. Blok pengembangan II memiliki potensi sebagai blok pengembangan pendukung atau fasilitas penunjang kawasan pusat pemerintahan. Namun untuk memberikan citra kawasan perlu pentaaan agar kawasan blok II dapat harmonis mendukung kawasan pusat pemerintaah. Adapun rencana pengunaan lahan pada kawasan adalah perdagangan dan jasa (Gambar 3).

Gambar 3. Peta Rencana Guna Lahan Blok II Kawasan Renon Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Kota Denpasar Tahun 2018

Intensitas pemanfaatan lahan pada kawasan direncanakan adalah kepadatan tinggi pada fungsi perdagangan dan jasa. Pada guna lahan perdagangan dan jasa tipologi bangunannya adalah tipologi deret dengan tetap mencirikan arsitektur Bali. Bangunan menghadap arah jalan utama dengan sistem sirkulasi pada blok dua dapat dilalui jalur-jalur utama jalan kawasan yaitu jalan Cok Agung Tresna. Rencana sirkulasi diarahkan pada kriteria antara lain, Sistem sirkulasi yang mampu menjamin kelancaran, keamanan dan kenyamanan pergerakan (traffic) sepanjang ruas jalan pada kawasan perencanaan.

  • c.    Rencana Umum Blok Pengembangan III

Daerah Blok III belum mencerminkan fungsi kawasan secara umum dimana pada kawasan ditetapkan sebagai kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Bali. Tata guna lahan pada blok ini didomisasi oleh fungsi perdagangan dan jasa. Blok pengembangan III memiliki potensi sebagai blok pengembangan pendukung atau fasilitas penunjang kawasan pusat pemerintahan. Namun untuk memberikan citra kawasan perlu pentaaan agar kawasan blok satu dapat harmonis mendukung kawasan pusat pemerintahan. Adapun rencana pengunaan lahan pada kawasan adalah perdagangan dan jasa dan sarana penunjang lainnya (Gambar 4).

Gambar 4. Peta Rencana Guna Lahan Blok III Kawasan Renon Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Kota Denpasar Tahun 2018

Pada guna lahan perdagangan dan jasa, tipologi bangunannya adalah tipologi deret dengan tetap mencirikan arsitektur Bali. Rencana sirkulasi diarahkan pada kriteria antara lain, Sistem sirkulasi yang mampu menjamin kelancaran, keamanan dan kenyamanan pergerakan (traffic) sepanjang ruas jalan pada kawasan perencanaan. Perencanaan area tata hijau pada blok III harus memperhatikan keberadaan vegetasi eksisting. Konsep penataan seminimal mungkin tidak merubah tanaman eksisting. Tata hijau di area blok III direncanakan di area sempadan jalan, tanah provinsi yang difungsikan sebagai area publik.

  • d.    Rencana Umum Blok Pengembangan IV

Blok pengembangan IV sebagai blok pengembangan pendukung atau fasilitas penunjang kawasan pusat pemerintahan. Namun untuk memberikan citra kawasan perlu pentaaan agar kawasan blok satu dapat harmonis mendukung kawasan pusat pemerintaah. Sebagai fungsi penunjang kawasan pada blok pengembangan IV struktur peruntukan lahan adalah peruntukan mix use fungsi komersial, dengan dominasi sebagai fungsi permukiman pedagangan dan jasa skala kota. Selain itu pada kawasan juga diarahkan sebagai gerbang masuk kawasan pusat pemerintahan provinsi Bali dari arah timur kawasan. Rencana pengunaan lahan pada kawasan adalah perdagangan dan jasa skala kota, permukiman kepadatan rendah dan sarana penunjang lainnya (Gambar 5).

Penataan dibagian dalam kawasan harus dibatasi untuk mencegah adanya bangunan liar yang tumbuh. Sistem sirkulasi pada blok empat dapat dilalui melalu jalur jalur utama jalan kawasan. Rencana sirkulasi diarahkan pada kriteria antara lain, Sistem sirkulasi yang mampu menjamin kelancaran, keamanan dan kenyamanan pergerakan (traffic) sepanjang ruas jalan pada kawasan perencanaan.

Gambar 5. Peta Rencana Guna Lahan Blok IV Kawasan Renon

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Kota Denpasar Tahun 2018

  • 1.    Karakteristik Lahan Terlantar di Kawasan Renon Denpasar

Dari hasil observasi dan dokumentasi terdapat 39 lokasi lahan terlantar pada Kawasan

Renon (Gambar 6).

Gambar 6. Peta Sebaran Lahan Terlantar di Kawasan Reno

Lahan terlantar yang dimaksud memiliki unsur-unsur diantaranya: terdapat pemegang hak atas tanah/lahan (subyek), terdapat tanah yang tidak difungsikan sesuai peruntukan tanahnya (obyek), terdapat jangka waktu tanah tersebut tidak dimanfaatkan (3 tahun dari diterbitkan sertifikat dari tanah tersebut), terdapat perbuatan yang sengaja tidak memanfaatkan tanah yang dimiliki sesuai dengan peruntukan, terdapat akibat yang ditimbulkan.

Berdasarkan peta sebaran lahan terlantar yang terdapat di Kawasan Renon dengan pendataan secara fisik terbangun ataupun tidak terbangun. Pengamatan terhadap lahan terlantar juga dilakukan dari pendekatan status perolehan tanah ijin lokasi. Pemegang ijin lokasi diwajibkan melakukan pembebasan/pengusaan terhadap lahan sesuai dengan luas lahan yang telah disepakati dan selanjutnya dimanfaatkan sesuai dengan ijinnya. Akan tetapi, pembebasan tanah ini seringkali terhambat, sehingga perolehan lahannya tidak sesuai dengan kewajibannya. Kondisi ini mengindikasikan adanya lahan terlantar, karena pemegang ijin lokasi tidak memanfaatkan lahannya sesuai dengan dasar penguasaannya. Kondisi lahan terlantar milik perorangan yang secara fisik tidak terbangun dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kondisi Lahan Terlantar Milik Perorangan

Pada gambar di atas merupakan lahan terlantar dengan nomor #1 pada peta sebaran lahan terlantar di Kawasan Renon. Lokasi tersebut menggambarkan lahan terlantar yang berada tepat didepan lapangan Renon yang tidak dimanfaatkan oleh pemilik sudah hampir 5 (lima) tahun terakhir terlantar, luas lahan tersebut 13 are. Lahan ini merupakan salah satu lahan milik perorangan yang tidak terdapat struktur bangunan sebelumnya dengan kata lain pada lahan terlantar ini hanya terdapat semak-semak liar.

Gambar 8. Kondisi Lahan Terlantar Milik Pemerintah

Gambar 8 menggambarkan kondisi lahan terlantar di Kawasan Renon, pada peta sebaran lahan terlantar digambarkan pada lokasi nomor #4, sesuai peruntukan lahan ini difungsikan sebagai kawasan bangunan pemerintah, namun kondisi di lapangan dibiarkan terlantar begitu saja dan hanya terdapat puing-puing sisa bangunan berupa atap bekas. Hal ini menggambarkan sebagai kawasan pusat pemerintahan di Kawasan Renon, belum sepenuhnya meggunakan fungsi lahan sesuai dengan peruntukan.

Gambar 9. Kondisi Lahan Terlantar yang Terdapat Bangunan

Fenomena lainnya yang terjadi dilapangan adalah terdapatnya bangunan yang sudah jadi dan sudah pernah dimanfaatkan fungsinya untuk tempat perdagangan dan jasa, akan tetapi hal ini tidak dapat berjalan dengan baik sehingga kondisi dari lahan yang sudah terdapat bangunan tersebut kini terlantar begitu saja. Pilihan yang diambil oleh pemilik lahan adalah menyewakan lahan beserta bangunan yang terdapat pada lahan tersebut (Gambar 9).

Gambar 10. Lahan Terlantar yang Dimanfaatkan Untuk Kegiatan Temporer

Pemanfaatan lahan terlantar oleh masyarakat sekitar juga banyak dilakukan pada objek penelitian yang dilakukan (Gambar 10), selain dimanfaatkan untuk tempat berjualan seperti durian, jeruk dan jenis buah lainnya tak jarang pula akibat dari adanya pedagang di tepi jalan secara liar ini mengakibatkan para pembeli memarkirkan kendaraan pada badan jalan, terutama pada saat menjelang hari raya agama Hindu. Penjualan buah pinggir jalan sangat laris dibeli oleh masyarakat, hal ini dikarenakan harga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan harga ditempat lain. Pemanfaatan juga banyak dilakukan untuk tempat usaha seperti tempat tambal ban, warung kaki lima, jual helm, dan tempat-tempat kecil yang tidak permanen lainnya. Para pedang yang memanfaatkan tanah tersebut mengaku sudah minta ijin kepemilik tanah, sehingga mereka leluasa mendirikan tempat usahanya, dengan catatan ketika tanahnya laku terjual dikemudian hari dan siap dibangun oleh pemilik yang baru mereka harus bersedia pindah.

Berdasarkan keragaman lahan terlantar baik dari unsur fisik, biologis dan sosial budaya, serta melihat dari keberadaan vegetasi, bangunan yang tidak terdapat aktivitas, proses konstruksi yang terbengkalai, dan aktivitas termporer yang terjadi di atas lahan terlantar, tipologi lahan terlantar di Kawasan Renon dapat diklasifikasikan kedalam beberapa tipologi seperti pada Tabel 1 berikut.

Lahan dengan bangunan yang terbengkalai

Lahan dengan puing-puing bangunan dan konstruksi yang terbengkalai

Lahan dengan bangunan semi permanen, yang difungsikan untuk kegiatan temporer, baik untuk kegiatan ekonomi atau tempat tinggal sementara.



Lahan terlantar yang terdapat puing-puing bangunan yang terbengkalai, bangunan setengah jadi, lahan yang sudah dipadatkan



Lahan terlantar yang terdapat bangunan kosong belum digunakan atau difungsikan, sebelumnya difungsikan sebagai kegiatan ekonomi.


atau diolah akan tetapi tidak ada kelanjutan konstruksi. Lahan terlantar dengan bangunan semi-permanen yang difungsikan sementara sebagai tempat berjualan atau tempat tinggal, dan yang terkadang difungsikan pada jam-jam tertentu seperti tempat berjualan helm, warung kopi, dll.


Luas lahan = 8.500 m2 Lokasi lahan = 6 lokasi (3,5,7,16,18,20)

Luas lahan = 14.530 m2 Lokasi lahan = 8 lokasi (4,10,11,13,17,19, 30,34)

Luas lahan = 8.250 m2 Lokasi lahan = 5 lokasi (2,6,15,27,29)


Tabel 1. Tipologi Lahan Terlantar di Kawasan Renon Denpasar

Kategori

Gambar        Karakteristik

Deskripsi

Lahan dengan tumbuh-tumbuhan alami dan tidak terawat

Lahan terlantar yang terdapat tumbuhan alami dan tidak terawat ini ^⅛^""¾ mengakibatkan penurunan estetika kawasan.

Luas lahan = 86.000 m2 Lokasi lahan = 20 lokasi (1,8,9,12,14,21,22, 23,24,25,26,28,31, 32,33,35,36,37,38, 39)

Dari 39 lahan terlantar yang terdapat pada Kawasan Renon, sebanyak 20 lokasi merupakan lahan dengan tumbuh-tumbuhan alami dan tidak terawat, tipologi ini mendominasi karakteristik lahan terlantar di Kawasan Renon. Lahan dengan bangunan yang terbengkalai dan tidak difungsikan terdapat di 6 titik lokasi, lahan ini merupakan bangunan yang dulunya digunakan untuk kegiatan ekonomi, akan tetapi saaat ini masih belum atau tidak lagi digunakan. Lahan dengan puing-puing bangunan atau proses kontruksi yang terbengkalai terlihat di 8 lokasi lahan terlantar. Terdapat pula lahan dengan bangunan semi permanen, yang saat ini digunakan untuk kegiatan temporer sebagai tempat berjualan dan atau tempat tinggal sementara, tipologi lahan ini terdapat di 5 lokasi pada Kawasan Renon. Berikut tabel perbandingan luasan lahan terlantar di Kawasan Renon (Tabel 2).

Tabel 2. Perbandingan Luasan Lahan Terlantar di Kawasan Renon Denpasar

Tipologi Lahan Terlantar

Luas Lahan (m2)

Luas Lahan (%)

Jumlah

Lokasi (titik)

Jumlah Lokasi (%)

Lahan dengan tumbuh-tumbuhan alami dan tidak terawat

86.000 m2

73,33%

20 titik

51,28%

Lahan dengan bangunan yang terbengkalai

8.500 m2

7,03%

6 titik

15,38%

Lahan dengan puing-puing bangunan dan konstruksi yang terbengkalai

14.530 m2

7,25%

8 lokasi

20,51%

Lahan dengan bangunan semi permanen, yang difungsikan untuk kegiatan temporer

8.250 m2

12,39%

5 lokasi

12,82%

Total

117.280 m2

100%

39 lokasi

100%

Lahan dengan tumbuh-tumbuhan alami sebagai tipologi lahan terlantar mendominasi dari sisi luasan lahan maupun jumlah sebaran lokasi. Lahan terlantar ini memiliki ciri-ciri khusus berupa terdapatnya pohon alami, serta pohon liar. Lahan terlantar ini jika tetap dibiarkan akan memperburuk citra kota, penanganan dapan dilakukan dengan penataan sebagai taman kota ataupun sebagai urban farming sehingga dapat citra kota dapat terangkat kembali. Lahan dengan bangunan yang terbengkalai dan puing-puing dapat dikerjasamakan dengan investor yang ini melakukan investasi sehingga terjadinya solusi bersama yang menguntungkan antara pemilik lahan dan investor tersebut. Lahan dengan bangunan semi permanen, yang difungsikan untuk kegiatan temporer harus ditertibkan dan dibuat pusat kegiatan-kegiatan untuk usaha kecil baik di lahan pemerintah maupun bekerjasama dengan pemilik tanah yang lahannya masih terlantar, sehingga dapat lebih tertata dengan baik.

  • 2.    Faktor Penyebab Terjadinya Lahan Terlantar di Kawasan Renon, Denpasar

Terdapat beberapa hal yang berpengaruh dalam terjadinya lahan terlantar di Kawasan Renon, Denpasar. Penelusuran terhadap faktor-faktor yang berpengaruh tersebut dilakukan melalui wawancara kepada pemilik tanah yang bersangkutan yang berperan dalam pengambilan keputusan adanya lahan yang tidak dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan fungsinya. Masing-masing informasi yang didapatkan memiliki pandangan mengenai faktor yang membuat terjadinya lahan terlantar.

Dari hasil pemaparan masing-masing narasumber terdapat sub bahasan faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya lahan terlantar. Setiap narasumber memiliki pendapat masing-masing mengenai faktor yang berpengaruh. Pendapat-pendapat dari narasumber yang memiliki kesamaan maksud dan arti dijadikan satu sub bahasan, selanjutnya sub bahasan tersebut di atas yang berpengaruh dalam terjadinya lahan terlantar di Kawasan Renon, Denpasar dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu a) Faktor sosial-ekonomi, b) Faktor fisik/lokasi, dan c) Fator administrasi/kebijakan. Secara rinci penyebab spesifik terjadinya lahan terlantar akan dijabarkan sebagai berikut:

  • a.    Faktor Sosial-Ekonomi

Terjadinya lahan terlantar akibat faktor ekonomi dalam lokasi penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya spekulasi pemilik lahan, hal ini dipengaruhi oleh adanya persaingan yang tidak sempurna dari pasar lahan dan ditunjang oleh kondisi makro ekonomi seperti tingkat inflasi dan suku bunga. Hal yang juga mendukung adanya inflasi adalah ikatan emosional antara pemilik lahan dengan lahannya serta keterbatasan modal, hal ini pada dasarnya saling memiliki keterkaitan. Ikatan emosional menyebabkan lahan ditahan oleh pemiliknya, akan tetapi dikarenakan keterbatasan modal, pengembangan lahan tidak dapat dilakukan. Jadi kedua penyebab ini pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi. Selanjutnya, ada penyebab spesifik terjadinya lahan terlantar yaitu kegiatan investasi. Motif berinvestasi berarti pemilik akan memanfaatkan sendiri lahannya untuk tujuan jangka panjang sampai batas waktu yang tidak ditentukan sehingga pemilik tidak merasa keberatan kalau saat ini lahannya tidak difungsikan sama sekali. Motivasi pemilik seperti ini lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi, dengan asumsi harga lahan akan semakin meningkat dikemudian hari.

  • b.    Faktor Kondisi Fisik/Lokasi

Terjadinya lahan terlantar akibat kondisi fisik/lokasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya permintaan terhadap lahan hal ini disebabkan berkaitan dengan karakteristik persil (fisik, lokasi, dan lingkungan). Calon pengguna tidak menyukai persil tersebut meskipun harga/nilai lahannya rendah. Sehingga hal ini berlangsung ke calon pengguna berikutnya juga memiliki persepsi sama terkait hal tersebut, hasilnya lahan akan terlantar bahkan tidak terurus lagi. Penyebab ini lebih dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik/lokasi dimana keberadaan dari lahan tersebut.

  • c.    Faktor Kebijakan/Administrasi Pemerintah

Terjadinya lahan terlantar akibat faktor kebijakan/adminstrasi dalam lokasi penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengeluaran ijin yang berlebihan, adanya hambatan dari rencana kota, dan kesulitan adminstratif untuk memanfaatkan lahan terlantar. Ketiga hal ini disebabkan karena bertentangan dengan kebijakan atau prosedur administrasi pemerintah sehingga pemanfaatan lahan menjadi terhambat. Hal ini juga merupakan faktor yang menjadi hambatan pemilik lahan ataupun calon pengguna lahan untuk memanfaatkan maupun mengfungsikan lahan terlantar tersebut karena terhambat dalam proses administrasi pemerintah.

Kesimpulan

Melihat data dan analisis yang telah dilakukan pada bagian hasil dan pembahasan, terdapat beberapa kesimpulan mengenai karakteristik dan faktor penyebab terjadinya lahan terlantar di Kawasan Renon Denpasar. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Renon sudah tersusun untuk memanfaatkan beberapa lokasi lahan terlantar di Kawasan Renon, akan tetapi hal tersebut belum terealisasi. Tipologi lahan terlantar pada Kawasan Renon adalah lahan dengan tumbuh-tumbuhan alami dan tidak terawat, lahan dengan bangunan yang terbengkalai, lahan dengan puing-puing bangunan, dan lahan dengan bangunan semi permanen yang difungsikan untuk kegiatan temporer. Lahan terlantar yang berukuran luas dapat dimanfaatkan dan ditata sebagai ruang terbuka kota sebagai

pendukung citra kota yang baik, serta dapat digunakan sebagai urban farming. Pendayagunaan lahan terlantar yang terdapat bangunan serta puing dapat bekerja sama dengan investor agar tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Tipologi lahan terlantar yang digunakan sebagai kegiatan temporer harus ditata dengan baik sesuai zona pemanfaatan dan dapat bekerjasama dengan pemilik dan pemerintah dalam pengelolaannya.

Keberadaan lahan terlantar di Kawasan Renon Denpasar disebabkan oleh faktor sebagai berikut; (a) faktor sosial-ekonomi, yang dapat disebabkan oleh relokasi kegiatan, spekulasi lahan, keterbatasan modal, investasi, dan tidak laku dijual; (b) faktor fisik/lokasi, yang disebabkan karena karakteristik fisik / lokasi yang tidak sesuai; (c) faktor kebijakan / administrasi pemerintah, yang disebabkan karena adanya hambatan dalam kebijakan / administrasi pemerintah.

Daftar Pustaka

Ariastita, P. G. (2008). Lahan Kosong: Potensi Konfik Pertahanan di Perkotaan dan Resolusinya. Jurnal Penataan Ruang (3)1. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Bourne, L. S. (1976). Urban Structure and Land Use Decisions. Annals of the Association of American Geographers.

Kaiser, E. J., Godschalk, D. R., & Chapin, F. S. (1995). Urban Land Use Planning, 4. University of Illinois Press Urbana, IL.

Kim, G., Miller, P. A., & Nowak, D. J. (2018). Urban Vacant Land Typology: A Tool for Managing Urban Vacant Land. Sustainable Cities and Society, 36. Elsevier.

Kivell, P. (1993). Land and the City: Patterns and Processes of Urban Change. London: Routledge.

Kusumaputra, R. A. (2011). Banyak Lahan di Denpasar Terbengkalai. Retrieved from Https://travel.kompas.com/read/2011/04/12/15252330/banyak.lahan.di.denpasar. terbengkalai

Santoso. (2008). Profit Berlipat Dengan Investasi Tanah & Rumah. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Statistik, B. P. (2014). Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi 2010 -2035. Retrieved from https://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persen-tase-penduduk-daerah-perkotaan-menurut-provinsi-2010-2035.html.

Supriyanto, S. (2010). Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundangan Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 10(1), 51-59.

Von Schéele, C. (2016). The void: Urban wasteland as political space. (Doctoral Dissertation) Lund University.

Wirawan, B. W., Mantra, I. B. G. W., Eddy, I. W. T., Sukiada, I. W., & Pidada, I. B. J. S. (2011). Sejarah Kota Denpasar: Dari Kota Keraton Menjadi Kota (1788-2010). Denpasar

Yudantini, N. M., Darma, K. A. S., & Wiryawan, W. (2017). Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Budaya. B177 - B184. Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI)

84

SPACE - VOLUME 6, NO. 1, APRIL 2019