Proses Terbentuknya Teritorialitas pada Permukiman Padat Penghuni di Kampung Jawa, Denpasar
on

PROSES TERBENTUKNYA TERITORIALITAS PADA PERMUKIMAN PADAT PENGHUNI DI KAMPUNG JAWA, DENPASAR
Oleh: Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani 1
Abstract
Territoriality is a pivotal element in the study of architecture. It relates to functions that personify one's spatial behaviour in achieving a desired level of privacy. Territoriality works in parallel with a sense of belonging as well as one's controlling and defensive attitudes toward a supposedly claimed spatial context. In the populated urban settlement of the overly crowded Kampung Jawa of Denpasar City, access to space becomes a privilege its occupants hold dearly. The growing population has consequently escalated its demand for space that has no practical resolution given the amount of land available. In turn, this has affected people's manner in sharing, adapting, and conceiving their space. Grounded by such in such conditions, this study aims at identifying various territorial phenomena that take place in Kampung Jawa, as well as the spatial and social adaptations associated with each observed territorial setting. The study implements a qualitative approach and explains its findings in a descriptive manner. Primary data was collected through on-site observation and depth interviews conducted by a group of key informants. In summary, the study concludes that given a desired level of privacy, spatial containment has a direct influence on behaviour and encourages flexibility in how space is deployed and functions.
Keywords: territoriality, over-populated settlement, Kampung Jawa, Denpasar City
Abstrak
Teritorialitas merupakan salah satu aspek penting dalam bidang ilmu arsitektur karena berkaitan dengan fungsi dari teritori sebagai sebuah perwujudan dari perilaku keruangan seseorang untuk mencapai privasi tertentu. Teritorialitas sangat identik dengan rasa kepemilikan, upaya kontrol, dan mekanisme defensif terhadap suatu tempat atau ruang. Pada permukiman padat penghuni di perkotaan, khususnya pada kawasan permukiman Kampung Jawa Denpasar, ruang menjadi sesuatu yang sangat berharga. Fakta tersebut mempengaruhi perilaku masyarakat dalam berbagi dan memaknai sebuah ruang. Tingginya kebutuhan terhadap ruang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan yang cukup, memicu terjadinya fenomena-fenomena teritorialitas di lingkungan permukiman yang menarik untuk dikaji. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana proses terbentuknya teritorialitas di kawasan studi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan menampilkan data-data primer hasil observasi dan wawancara di lapangan serta membandingkannya dengan teori yang terkait. Secara umum dari hasil penelitian dapat disimpukan bahwa tekanan lingkungan berupa keterbatasan ruang sangat mempengaruhi teritorialitas yang terbentuk di permukiman, serta nilai fleksibilitas yang terkandung dari ruang tersebut.
Kata kunci: teritorialitas, permukiman padat, Kampung Jawa, Kota Denpasar
1
Pendahuluan
Pembangunan Kota Denpasar yang semakin pesat sebagai imbas dari perkembangan pariwisata di Bali ternyata tidak sepenuhnya berdampak merata pada penataan dan pembangunan kawasan permukiman. Salah satu kawasan permukiman di Kota Denpasar yang kurang tertata dengan baik adalah permukiman Kampung Jawa. Menurut sejarahnya, Kampung Jawa muncul seiring masuknya umat Islam ke Pulau Dewata pada abad ke XVI. Umat Islam kala itu kesulitan untuk memiliki tempat tinggal dan tempat ibadah, padahal jumlahnya sudah cukup banyak. Kemudian pada tahun 1890-an, umat Islam diijinkan untuk menempati sebuah area di sekitar Kampung Tangsi asrama militer Belanda oleh penguasa pemerintahan saat itu. Dahulu tempat tersebut merupakan bekas hutan belantara yang dikenal dengan Hutan Wanasari, sebagai asal muasal dari nama Dusun Wanasari. Di lokasi itu juga terdapat sebuah tempat ibadah umat Hindu atau pelinggih.
Seiring berjalannya waktu, jumlah warga muslim kian bertambah, dan lahan yang ditempati tidak lagi mencukupi. Atas kebaikan pemerintah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Raja Pemecutan pada masa itu, diberikanlah tanah/lahan yang lebih luas lagi untuk dijadikan tempat tinggal serta dibangun tempat ibadah yang lebih besar untuk umat Islam, termasuk kesediaan umat Hindu yang merelakan tempat sucinya (pelinggih) dipindah. Tanah yang diberikan oleh raja itulah yang kini berkembang menjadi permukiman dan dikenal dengan Kampung Jawa.
Keberadaan Kampung Jawa yang semakin hari semakin padat, tidak diimbangi dengan penataan dan luas lahan yang cukup. Oleh karena tekanan lingkungan yang tinggi tersebut, warga menjadi termotivasi secara spasial dengan menciptakan “ruang-ruang baru” guna memenuhi kebutuhan masing-masing. Perilaku spasial warga permukiman Kampung Jawa ditandai dengan adanya upaya penguasaan (okupasi) dan perluasan (ekspansi) lahan dengan memanfaatkan ruang-ruang yang ada di sekitar rumahnya, baik lahan sisa maupun ruang-ruang publik demi mengakomodasi kepentingan individu maupun kelompok. Seiring berjalannya waktu, aktivitas warga tersebut semakin mengaburkan nilai-nilai batas antara ruang milik (legal) dan ruang bukan milik antar warga.
Fakta tersebut menarik untuk dikaji karena proses ini merupakan bagian dari hubungan perilaku interpersonal masyarakat dengan lingkungan, dalam membangun sebuah teritori untuk kepentingan tertentu di luar teritori legalnya. Kajian ini memperlihatkan bagaimana teritorialitas dapat terbentuk pada permukiman Kampung Jawa sebagai akibat dari perilaku spasial warga masyarakat. Fenomena ini merupakan salah satu masalah yang perlu segera ditemukan solusinya dalam pengembangan kota, karena selain rawan memicu terjadinya konflik sosial, perilaku warga dalam memperluas teritori yang tidak bijak juga dapat memperburuk visual kawasan.
Dalam ranah ilmiah, sebenarnya Kampung Jawa Denpasar kerap beberapa kali menjadi lokus penelitian baik mengenai masalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota maupun mengenai masalah sosial masyarakatnya. Namun hingga saat ini belum ada yang mengkaji mengenai teritorialitas pada kawasan permukiman Kampung Jawa yang sesungguhnya merupakan salah satu aspek penting untuk diteliti dalam bidang keilmuan arsitektur. Karena dalam teritorialitas terkandung prinsip organisasi ruang yang dibutuhkan
dalam sebuah perencanaan lingkungan binaan (arsitektural) agar sesuai dengan kebutuhan dan perilaku penggunanya, sehingga ruang yang terbentuk kelak mampu mewadahi segala aktivitas seluruh pelaku kegiatan.
Secara keseluruhan, penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk menjawab beberapa rumusan masalah, yaitu mengenai apa saja fenomena teritorialitas yang terjadi di permukiman Kampung Jawa dan bagaimanakah proses terbentuknya teritorialitas tersebut sebagai dampak dari tekanan lingkungan yang ada. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi pihak-pihak terkait untuk menentukan rumusan dan arahan yang efektif dalam pengembangan dan pembangunan kawasan permukiman setempat yang dapat menunjang kepentingan dan kebutuhan ruang sebagai wadah aktivitas penduduk Kampung Jawa agar lebih fungsional dan terencana di masa depan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi lapangan maupun physical mapping. Pada penelitian ini, pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive, yaitu dengan memilih informan yang mengetahui kondisi internal dan eksternal permukiman Kampung Jawa sehingga dapat memberikan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh peneliti.
Wawancara dilakukan pada pihak-pihak yang dianggap berkompeten dan berkaitan langsung dengan penelitian yang dilakukan, guna memperkuat data-data lapangan sesuai dengan kriteria yang ada. Kriteria pemilihan informan tersebut antara lain; (1) pihak yang berperan sebagai pelaku kegiatan/civitas yang membentuk teritori terutama penghuni permukiman; (2) pihak yang memiliki informasi yang dibutuhkan peneliti seperti camat, kepala lingkungan/ketua RT, hingga tokoh masyarakat setempat; serta (3) pihak yang bersedia secara sukarela untuk diwawancarai. Pemilihan informan dari warga permukiman dibatasi berdasarkan kelompok usia, yaitu informan dengan rentang usia dewasa (25-60 tahun), dengan jumlah 5-10 KK per RT, dari total 4 RT sebagai fokus penelitian.
Sementara untuk observasi lapangan difokuskan pada rumah warga, ruang bersama, lingkungan permukiman, dan area-area yang memenuhi kriteria pemilihan kasus sebagai berikut; (1) terdapat pemanfaatan ruang publik; (2) terdapat pemanfaatan lahan sisa; (3) terdapat perluasan area rumah tinggal; (4) terdapat aktivitas yang memicu teritorialitas. Physical mapping dilakukan dengan mempetakan rumah-rumah di lingkungan permukiman sehingga dapat memperjelas gambaran permukiman.
Teritorialitas
Teritorialitas berasal dari kata teritori. Hall (1971) mengungkapkan bahwa teritori merupakan suatu daerah yang dikuasai, yang ditampilkan dalam perilaku khas oleh suatu organisme guna mempertahankan diri dari serangan anggota spesies lainnya. Pada intinya, teritori adalah satu area yang dimiliki dan dipertahankan, baik secara fisik maupun non-fisik. Teritori biasanya dipertahankan oleh sekelompok penduduk yang memiliki kepentingan yang sama dan bersepakat untuk mengontrol areanya (Haryadi, 1996).
Sementara definisi tentang teritorialitas cenderung lebih kompleks. Beberapa ahli mengungkapkan definisi yang berbeda mengenai teritorialitas itu sendiri, namun pada dasarnya memiliki makna yang sama. Misalnya, Edney (2005) mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi, dan identitas. Halim (2005) juga mengungkapkan bahwa teritorialitas memiliki lima ciri/karakteristik yang tegas, yaitu; berwujud ruang; dikuasai, dimiliki atau dikendalikan oleh seorang individu atau kelompok; berfungsi untuk memuaskan beberapa kebutuhan (misalnya status); ditandai baik secara konkrit atau simbolik; dan dipertahankan atau setidaknya orang merasa tidak senang bila dimasuki atau dilanggar dengan cara apapun oleh orang asing.
Dalam terminologi perilaku, pembagian teritori sangat berkaitan dengan apa yang disebut sebagai privasi manusia. Untuk itu, Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi dan kemungkinan pencapaian. Tiga kategori tersebut yaitu; primary territory (bersifat privat), secondary territory (bersifat semi privat) dan public territory (bersifat publik).
Primary territory (teritori primer) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya. Tempat-tempat tersebut bersifat sangat pribadi, dan hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang sudah akrab atau mendapat izin khusus dari pemiliknya. Secondary territory (teritori sekunder) adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidak sepenting teritori primer dan terkadang berganti pemakai atau berbagi penggunaan dengan orang asing. Dapat dikatakan juga sebagai suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala. Sedangkan public territory (teritori publik) adalah suatu area yang digunakan dan dapat dimasuki oleh siapapun (terbuka untuk umum) akan tetapi tetap harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.
Selain Altman, Widjaja (2007) juga membagi teritori berdasarkan tiga aspek utama pembentuk teritorialitas, yaitu; legalitas (teritori legal), aktivitas (teritori fungsional), dan persepsi (teritori perseptual). Legalitas berkaitan dengan bukti-bukti legal bahwa seseorang memang memiliki hak penguasaan yang mutlak atas penggunaan suatu tempat. Rapoport (1977) menyebut teritori legal ini sebagai juridiction space. Aspek aktivitas (teritori fungsional), berkaitan dengan kegiatan masyarakat pada area tertentu. Dalam teritori fungsional, segala macam aktivitas dapat berlangsung atau dilangsungkan pada ruang-ruang di dalam tanah milik maupun di area luar sekitar lingkungan rumah, karena teritori fungsional belum tentu merupakan ruang milik secara legal. Kemudian aspek persepsi (teritori perseptual), didasarkan dari adanya suatu kebutuhan dan hasrat ingin memiliki dari individu atau kelompok tertentu terhadap suatu ruang sesuai dengan kepentingannya.
Dalam mekanisme pembentukan teritori, perilaku dasar teritorialitas diklasifikasikan ke dalam empat bagian, yaitu antara lain berupa; penguasaan tempat (dominasi), kontrol akses, pelanggaran dan penjagaan tempat serta penandaan batas. Penguasaan tempat dapat berupa penguasaan area yang secara sah menjadi hak miliknya maupun dapat mengarah terhadap
ekspansi ke area-area yang bukan termasuk teritori legalnya. Sementara kontrol akses diartikan sebagai mekanisme pengaturan batas antara orang yang satu dengan lainnya melalui penandaan atau personalisasi untuk menyatakan bahwa tempat tersebut ada yang memiliki (Altman, 1975). Kemudian pelanggaran dan penjagaan tempat berkaitan dengan adanya upaya mengintervensi atau mengambil alih kekuasaan terhadap suatu teritori yang kemudian memicu adanya reaksi penjagaan, ataupun perlawanan berupa agresi. Penandaan batas sangat erat kaitannya dengan upaya personalisasi, yang mana menurut Altman (1975) bahwa personalisasi merupakan klaim kepemilikan individu, atau kelompok terhadap suatu tempat, melalui tanda-tanda yang mencerminkan identitas diri yang dilakukan baik secara konkrit (wujud fisik) atau simbolik (non fisik).
Dalam proses pembentukan teritorialitas, perbedaan kepentingan berperan di dalamnya. Maksudnya adalah, perbedaan kepentingan akan membentuk teritorilitas yang berbeda pula. Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman teritori antara lain; faktor personal, berkaitan dengan karakteristik/kepribadian seseorang; faktor situasional, berkaitan dengan kondisi fisik serta sosial; dan faktor budaya, berkaitan dengan latar belakang budaya individu/kelompok tersebut (Altman, 1975).
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka teritorialitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya penguasaan lahan/wilayah yang lebih luas oleh penghuni permukiman, guna mengakomodasi aktivitas sehari-hari baik secara personal maupun berkelompok untuk fungsi-fungsi tertentu dengan berbagai upaya kontrol dan pengawasan. Kontrol tersebut dapat diartikan sebagai sebuah pengaturan batas antara individu yang satu dengan yang lainnya dengan penandaan atau personalisasi untuk menyatakan bahwa area tersebut ada yang memiliki.
Gambaran Umum Teritorialitas di Kampung Jawa Denpasar
Kampung Jawa merupakan bagian dari Dusun Wanasari, salah satu wilayah di Denpasar Utara yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi mencapai 5.445 jiwa dengan mayoritas masyarakat Muslim yang berasal dari Madura, Jawa, dan beberapa daerah lain. Kampung Jawa berada di sekitar Jalan Maruti dan Jalan Ahmad Yani, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Lumintang, sebelah timur dengan Puncak Sari, sebelah barat berbatasan dengan Desa Pemecutan Kaja, dan sebelah selatan berbatasan dengan Wangaya Kaja. Penelitian difokuskan pada kawasan permukiman yang berada di sekitar bantaran Tukad Badung, meliputi RT 1, RT 3, RT 6 dan RT 7. Pemilihan fokus penelitian disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan yang memiliki kepadatan tertinggi.
Gambar 1. Peta Permukiman Kampung Jawa Denpasar Sumber : dikembangkan dari data Bappeda Denpasar, 2017
Gambar 2. Kondisi Eksisting Permukiman Kampung Jawa Denpasar Sumber : Observasi, Januari 2017
Secara umum kondisi permukiman cenderung sama, jarak antar rumah sangat rapat satu sama lain dengan ruang-ruang yang terbatas. Lahan terbuka yang ada di kawasan studi hanya sebatas ruang sirkulasi, seperti gang dan jalan lingkungan, maupun lahan-lahan sisa di tepi sungai. Tidak ada ruang publik khusus yang mewadahi aktivitas bersama bagi masyarakat setempat, seperti lapangan atau ruang terbuka lain, fasilitas sosial dan fasilitas umum juga amat terbatas di keempat lokasi tersebut.
Berdasarkan observasi di lapangan, terdapat kecenderungan perluasan area teritori oleh warga Kampung Jawa ke lahan yang berada disekitar huniannya untuk mewadahi segala kebutuhan yang tidak tertampung dalam teritori legal masing-masing penghuni. Perluasan area umumnya lebih banyak dilakukan oleh warga yang tidak memiliki pekarangan atau warga yang tidak memiliki batas teritori yang jelas seperti tembok atau pagar pembatas. Dari empat lokasi yang diamati, RT 7 merupakan permukiman dengan aktivitas ekspansi teritorial terbanyak. Hal ini juga berkaitan dengan status kepemilikan lahan di RT 7 yang masih merupakan lahan sewa, dengan mayoritas penghuni merupakan kalangan menengah ke bawah. Di permukiman ini juga masih dapat ditemukan rumah-rumah semi permanen dengan fasilitas ruang yang sangat minim. Luas hunian yang ditempati tergantung dari kesanggupan penghuni untuk menyewa lahan. Sementara biaya pembangunan rumah, ditanggung masing-masing penghuni. Harga sewa lahan berkisar Rp. 500-600 ribu/tahun untuk ukuran lahan paling standar (± 4 x 5 m), sementara lahan yang lebih luas (sekitar ± 10 x 12 m) disewakan seharga Rp. 1,2 juta/tahun.
Sementara di tiga lokasi lainnya, ekspansi teritorial tetap ditemukan namun dalam jumlah yang lebih sedikit. Masyarakat di permukiman ini berasal dari golongan middle class dengan penghasilan rata-rata Rp. 2 juta ke atas. Status kepemilikan lahan juga merupakan milik masing-masing penghuni sehingga kondisi rumah di lokasi ini umumnya lebih layak dibandingkan rumah-rumah di RT 7, dan tidak ada lagi ditemukan rumah-rumah semi permanen.
Pada keempat lokasi, ditemukan perilaku spasial pembentuk teritorialitas yang di kelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama adalah ekspansi teritorial, kedua adalah privatisasi ruang publik, dan ketiga adalah fenomena ruang privat yang dipublikkan. Ekspansi teritorial umumnya dilakukan pada area-area sekitar rumah yang mudah dijangkau,
seperti ruang-ruang sisa antar rumah, lahan sisa di tepi sungai atau gang-gang di sisi rumah. Privatisasi ruang publik umumnya di dominasi untuk kebutuhan parkir, menjemur, berjualan, bermain, atau berbincang-bincang antar warga. Ruang publik yang digunakan pada kasus ini adalah area gang sekitar permukiman. Sementara fenomena ruang privat yang dipublikkan ditemukan pada area-area milik pribadi warga seperti mushola maupun pekarangan rumah warga, namun ada juga pemanfaatan area parkir sekolah yang seharusnya menjadi hak civitas akademik untuk kepentingan warga lain yang membutuhkan.
Gambar 3. Ekspansi Teritorial di Lokasi Penelitian Sumber : Observasi, Januari 2017
Gambar 3 memperlihatkan beberapa contoh ekspansi teritorial yang terjadi di lokasi penelitian. Pada gambar A terjadi ekspansi yang dilakukan salah satu warga dengan membuat kanopi dan meletakkan barang-barang pribadi di badan jalan. Fungsi ruang di bawah kanopi yang dibuat pemilik rumah tidak jauh berbeda dengan teras dan juga sebagai area parkir. Terdapat kursi kayu yang biasa digunakan untuk duduk-duduk dan bersantai beserta beberapa barang lain milik penghuni. Pada gambar B, pemilik rumah mengambil sebagian lahan yang ada di bantaran sungai untuk menyimpan perabot rumah tangga, kandang ayam, bangku serta untuk jemuran. Sebagian besar rumah tinggal di permukiman setempat tidak memiliki teras, sehingga pemilik rumah menggantikannya dengan bangku yang terbuat dari bambu atau kayu untuk area duduk-duduk dan bersantai saat waktu luang.
Gambar C menunjukkan perluasan area teritori ke arah pinggiran/bantaran sungai dengan membangun pondokan untuk aktivitas potong hewan (kambing). Hal ini ditujukan untuk memudahkan pemilik membersihkan sisa darah hewan yang dipotong dengan memanfaatkan aliran sungai. Tidak adanya tindakan khusus dari pemerintah membuat fenomena ini mudah ditemukan di sekitar permukiman. Padahal, aktivitas tersebut dapat mencemari sungai karena limbah sisa memotong hewan biasanya dibiarkan begitu saja terbawa arus sungai.
Sementara pada gambar D, memperlihatkan pemilik rumah mengambil sedikit bagian dari gang/jalan lingkungan untuk meletakkan barang-barang dan perabot rumah tangga yang tidak tertampung di dalam rumah. Hal ini terjadi secara kontinue dan tidak pernah dipermasalahkan oleh tetangga sekitar. Namun, pemilik rumah juga memiliki kesadaran dan inisitaif sendiri untuk tidak membiarkan barang-barangnya menutupi lebih banyak dari bagian jalan agar tidak menggangu sirkulasi warga yang lain.
Fenomena yang kedua adalah privatisasi ruang publik. Tidak banyak area publik yang ada di kawasan permukiman Kampung Jawa, sehingga privatisasi ruang publik umumnya hanya
menyangkut area sirkulasi di permukiman seperti jalan atau gang-gang permukiman. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa beberapa ruang publik dimanfaatkan sebagai area untuk berjualan, menjemur pakaian, parkir kendaraan dan area bermain bagi anak-anak. Hal ini terjadi karena minimnya ruang luar (pekarangan) legal yang dimiliki penghuni dan sulitnya akses menuju rumah penghuni, dikarenakan kontur tanah yang tidak sama rata ataupun sempitnya gang permukiman, sehingga sulit diakses kendaraan bermotor.
Gambar 4. Privatisasi Ruang Publik di Lokasi Penelitian Sumber : Observasi, Januari 2017
Fenomena selanjutnya adalah mengenai ruang-ruang yang mengalami pergeseran nilai dari privat menjadi publik. Gambar 5 merupakan contoh kasus dimana ruang privat berubah fungsi menjadi ruang publik. Mushola milik warga yang seharusnya menjadi ruang privat untuk beribadah anggota keluarga mengalami pergeseran nilai ruang secara fungsional, dimana terdapat sharing value dalam ruang tersebut yang diperuntukkan bagi warga lain (publik) di luar anggota keluarga penghuni rumah (pemilik mushola) tanpa mengubah dominasi dan kontrol penuh dari pemilik sesungguhnya. Selain mushola, pekarangan dan toilet pribadi beberapa warga juga merupakan ruang-ruang yang memiliki sharing value di dalamnya karena kerap digunakan untuk publik. Berdasarkan hasil wawancara, dikatakan bahwa hal ini dapat terjadi karena tingginya rasa kekeluargaan dan empati warga masyarakat yang merasa senasib-sepenanggungan sehingga bersedia secara sukarela membagi ruang miliknya untuk warga lainnya.
Gambar 5. Ruang Privat yang Dipublikkan di Lokasi Penelitian Sumber : Observasi, Januari 2017
Bila dikaitkan dengan teori teritori yang didasarkan pada derajat privasi, kasus tersebut menujukkan adanya perubahan bentuk teritorial. Ruang-ruang privat dikategorikan dalam teritori primer, ruang semi privat masuk dalam kategori teritori sekunder dan ruang publik masuk dalam kategori teritori publik. Maka, mushola tersebut mengalami perubahan dari teritori primer menjadi teritori publik. Sementara teritori sekundernya (teras rumah) tidak mengalami perubahan apapun.
Teritori Primer
Teritori primer warga permukiman dalam penelitian ini adalah zona yang sifatnya sangat pribadi dan hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat dan akrab atau telah mendapat ijin khusus dari penghuninya. Teritori primer dimiliki secara eksklusif dalam relatif waktu yang permanen dengan kontrol sepenuhnya dipegang oleh penghuni. Semakin tinggi tingkat privasi yang dimiliki ruang tersebut, maka semakin tinggi pula kontrol terhadapnya. Kontrol disini dapat dilakukan dengan penandaan batas, maupun pengawasan dan penjagaan secara langsung. Biasanya teritori primer dianggap sebagai identitas seseorang. Oleh karena tingkat privasinya yang sangat tinggi, apabila terjadi pelanggaran pada teritori ini akan mengakibatkan adanya perlawanan dari pemiliknya.
Ruang-ruang yang masuk ke dalam teritori primer adalah ruang-ruang dalam rumah yang hanya boleh diakses oleh penghuni, misalnya kamar tidur, kamar mandi, dll. Dengan demikian, bangunan rumah dan ruang-ruang di dalamnya juga dapat dikatakan sebagai pusat teritori. Fakta di lapangan menunjukkan hal yang sependapat dengan yang diungkapkan Altman (1975) bahwa dalam teritori primer terdapat dominasi, kontrol dan rasa kepemilikan yang sangat tinggi. Hal tersebut diperkuat dengan status legalitas yang dimiliki masing-masing penghuni.
Namun, pada beberapa kasus terdapat pengecualian, yang mana terdapat ruang-ruang yang masuk ke dalam teritori primer mengalami pergeseran fungsi menjadi teritori publik, seperti penggunaan mushola pribadi untuk kepentingan bersama, meskipun dominasi dan kontrol masih dipegang pemilik mushola sebagai salah satu bentuk pertahanan terhadap teritorinya. Hal ini menujukkan bahwa terdapat faktor-faktor tertentu yang dapat menyebabkan konteks ruang publik-privat dalam permukiman ini menjadi sangat relatif, salah satunya hubungan kekeluargaan yang kuat antar warga sekitar dan rasa senasib-sepenanggungan. Fakta tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Laurens (2004), bahwa terdapat aspek sosial yang terkandung dalam ruang yaitu bagaimana manusia dapat berbagi dan membagi ruang dengan sesama. Salah satu faktor yang mendorong manusia untuk mau berbagi ruang adalah hubungan kedekatan individu/kelompok penguna.
Teritori Sekunder
Pada lingkungan permukiman padat perkotaan, seperti Kampung Jawa sering terjadi bias/mengaburnya batas antar rumah yang satu dan rumah yang lain dikarenakan minimnya batas fisik teritorial dan posisi rumah yang sempit dan berdekatan. Hal ini sekaligus akan mengaburkan batas antara zona teritori primer/sekunder dengan zona teritori publik dalam teritorialitas domestik rumah. Teritori sekunder adalah tempat atau zona yang dimiliki dan dapat digunakan bersama oleh sejumlah atau sekelompok orang yang saling mengenal.
Kontrol terhadap zona teritori ini bersifat tidak penuh dan tidak sekuat pada teritori primer. Altman (1975) menyatakan area ini sebagai area semi publik dan pengaturannya menggunakan norma tidak tertulis. Pada teritorialitas domestik rumah secara umum, teras dan pekarangan masuk dalam kategori teritori sekunder. Dalam zona teritori sekunder juga terdapat kontrol dan personalisasi oleh penghuni dengan memberikan sistem penandaan dan batas teritori yang tegas, seperti adanya pagar/dinding pembatas, penempatan tanaman, atribut rumah tangga, membedakan level lantai dll. Hal ini sebagai bentuk antisipasi terhadap adanya invasi dari pihak-pihak yang tidak diinginkan.
Jika bicara dalam konteks legalitas, maka teritori sekunder merupakan ruang-ruang yang berbatasan langsung dengan teritori primer dan teritori publik, baik berupa pelataran rumah, pekarangan, teras ataupun batas tepi rumah. Namun dalam beberapa kasus yang terjadi pada penelitian ini, teritori sekunder cenderung mengarah pada ruang-ruang yang telah diklaim kepemilikannnya di luar teritori legal, yang didapatkan melalui proses ekspansi teritorial, dan kemudian dipertahankan berdasarkan kesepakatan. Kesepakatan yang ada disini bersifat tidak tertulis, lebih kepada pemahaman dan kesadaran masing-masing warga dalam bertetangga dan bermasyarakat.
Teritori Umum
Menurut Altman, teritori umum/publik adalah zona yang terbuka untuk umum, penggunanya memiliki hak yang sama terhadap area tersebut. Kepemilikan terhadap zona ini sangat terbatas dan bersifat temporer, kontrol terhadapnya pun tidak begitu kuat. Zona ini memiliki derajat privasi terendah dan dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan yang berlaku dalam masyarakat dimana teritori tersebut berada. Berdasarkan fakta di lapangan, teritori publik adalah zona yang kerap mengalami gangguan/intevensi oleh warga masyarakat di permukiman ini.
Gangguan tersebut berupa pemanfaatan ruang publik yang berlebihan untuk kepentingan pribadi/kelompok. Area gang/jalan sekitar rumah tinggal penghuni masuk dalam zona teritori publik, dan sebagian besar menjadi wadah untuk area ekspansi teritorial bagi warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan ruang yang tidak terpenuhi dalam teritori legalnya. Proses ekspansi dilakukan warga dengan melakukan personalisasi terhadap ruang-ruang publik yang dianggap potensial. Biasanya dilakukuan dengan menata perabot rumah tangga disekitar ruang tersebut, membuat kanopi, ataupun menjadikan ruang publik tersebut sebagai area parkir pribadi. Dalam beberapa kondisi, zona teritori publik juga digunakan untuk menghelat acara tertentu oleh sekelompok warga, seperti pernikahan maupun acara-acara lainnya.
Berdasarkan hasil observasi lapangan, dominasi dan kontrol teritori terkuat di permukiman ini umumnya terjadi pada zona yang memiliki batasan ruang yang jelas dan tegas, seperti pada teritori primer (ruang-ruang dalam rumah). Mengingat tidak banyak warga yang memiliki pagar pembatas yang tegas sehingga agak meyulitkan dalam proses kontrol ruang diluar teritori primer, dengan kata lain semakin jelas batas teritori yang dimiliki semakin tinggi kontrol yang diberikan.
Selain itu, luas teritori primer juga bersifat tetap, artinya teritori ini berdasarkan pada nilai legalitas. Seberapa banyak ruang legal dalam rumah yang dimiliki warga, sebesar itu pula besar zona teritori primernya. Meskipun pada kondisi tertentu, zona teritori primer warga (seperti mushola) juga digunakan untuk kepentingan publik namun tidak mengurangi esensi kepemilikan, dominasi dan kontrol pemiliknya.
Sementara zona teritori sekunder dan publik cenderung bersifat lebih fleksibel, dapat berkembang maupun menyusut sesuai kondisi di lapangan. Ruang-ruang pada zona teritori sekunder warga di permukiman Kampng Jawa dapat diperoleh dan berkembang melalui proses ekspansi pada area teritori publik. Sementara zona teritori publik dapat menyusut akibat pemanfaatan untuk kepentingan tertentu yang secara kontinue dilakukan warga, sehingga berdampak pada terganggunya fungsi aktual dari ruang tersebut. Jika dianalogikan, maka dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:
Gambar 6. Analogi Teritori Primer, Sekunder dan Publik di Lokasi Penelitian
Proses Pembentukan Teritorialitas
Pembentukan teritorialitas di permukiman Kampung Jawa sangat dipengaruhi oleh kebutuhan masing-masing penghuni dan kondisi eksisting rumah tinggal. Maksudnya adalah apabila kebutuhan ruang melebihi kapasitas teritori legal yang dimiliki, maka akan menimbulkan keinginan untuk memperluas area (ekspansi) teritori oleh warga dengan melakukan klaim atas ruang-ruang diluar teritori legalnya, baik terhadap ruang publik maupun ruang sisa sekitar rumah sesuai dengan ketersediaan ruang berdasarkan kondisi eksisting rumah tinggal masing-masing.
Semakin banyak aktivitas yang tidak dapat diwadahi pada teritori legal, maka semakin tinggi pula keinginan untuk melakukan ekspansi teritorial ke area-area bukan milik. Hal ini diperkuat dengan pengakuan warga yang menyayangkan jika ruang-ruang luar yang ada di sekitar rumah tidak dimanfaatkan mengingat luas lahan dan daya tampung rumahnya yang tidak seberapa untuk menyimpan perabot rumah tangga maunpun memarkirkan kendaraan.
Terbentuknya teritorialitas pada permukiman padat perkotaan berawal dari adanya tekanan lingkungan (environment press) yang kemudian memunculkan dua proses sebagai implementasi hubungan manusia terhadap lingkungannya, yakni proses individual dan proses sosial (Laurens, 2004). Proses individual memunculkan respon berupa perilaku spasial, dapat berupa ekspansi teritorial maupun privatisasi ruang publik. Sementara proses sosial memicu adanya respon emosional warga masyarakat dalam berbagi dan memaknai ruang. Hal ini dapat dilihat dari adanya ruang-ruang dalam teritori primer yang beralih fungsi
untuk kepentingan publik. Untuk lebih jelasnya, proses terbentuknya teritorialitas dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Proses Terbentuknya Teritorialitas di Permukiman Kampung Jawa
Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa mekanisme pembentukan teritorialitas melalui proses ekspansi, privatisasi ruang publik maupun peralihan fungsi ruang privat menjadi publik memiliki motif-motif tertentu dibaliknya. Dari motif-motif tersebut kemudian menghasilkan produk fisik hingga akhirnya teritorialitas itu sendiri terbentuk. Pada ekspansi dan privatisasi ruang publik, produk fisik berfungsi untuk memenuhi beberapa motif sehingga membentuk teritori di luar teritori legal yang dapat dikendalikan secara ekslusif oleh masing-masing pelaku kegiatan yang melakukan intervensi terhadap ruang-ruang tersebut. Sementara pada ruang privat yang dipublikkan, motif-motif yang ada cenderung bersifat inisiatif dari pemilik teritori legal sehingga yang terjadi hanyalah pergeseran nilai ruang, sementara dominasi, kontrol/pengendalian tetap dipegang penuh oleh pemiliknya.
Dalam ekspansi teritorial, terdapat kecenderungan seolah-olah terjadi penyatuan secara fungsional antara ruang milik dan ruang bukan milik. Dalam beberapa kasus, penguni memiliki pembatas fisik yang berada antara area milik (legal) dan area bukan milik (non legal), namun ketersediaan batas tersebut tidak sepenuhnya mengindikasikan ruang-ruang diluar teritori legal tidak akan difungsikan untuk keperluan tertentu oleh warga. Dari hasil wawancara dengan penghuni di permukiman, dikatakan bahwa ruang-ruang sekitar rumah tinggal secara otomatis akan dianggap sebagai bagian dari teritorinya secara fungsional. Meskipun sewaktu-waktu pemilik lahan (pemerintah atau pihak lain) dapat meminta mengosongkan atau menertibkan area tersebut, warga dengan berat hati akan bersedia
melakukannya. Penghuni juga mengungkapkan bahwa ruang-ruang bukan milik yang berada dekat dengan rumah tinggal akan mendapatkan perhatian dan prioritas lebih dibanding dengan ruang-ruang bukan milik yang posisinya berada lebih jauh. Ruang-ruang di luar teritori legal yang dijadikan sebagai tempat kandang ternak juga cenderung mendapatkan kontrol lebih daripada ruang-ruang yang digunakan untuk menyimpan berang-barang hasil memulung walaupun keduanya sama-sama berada sangat dekat dari pusat teritori legal (bangunan rumah tinggal).
Hal tersebut menujukkan bahwa sense of territory terhadap ruang-ruang di luar teritori legal terbentuk karena faktor situasional (Laurens, 2004), seperti jarak antara teritori legal dengan ruang-ruang bukan milik serta tingkat kepentingan/kebutuhan terhadap ruang tersebut. Semakin jauh dari teritori legal, maka kontrol dan sense of territory terhadap ruang tersebut akan semakin berkurang. Begitu juga dengan tingkat kepentingannya, semakin rendah derajat kepentingannya maka kontrol dan sense of territory terhadap ruang tersebut juga akan semakin berkurang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa batas dan cakupan spasial dari area ekspansi tersebut bersifat sangat fleksibel.
Dalam konsep ekspansi teritorial di kawasan permukiman Kampung Jawa juga dapat dilihat bahwa bangunan rumah menjadi pusat orientasi dari ekspansi itu sendiri. Maksudnya adalah, arah ekspansi umumnya ditentukan ada tidaknya ruang di sekitar rumah yang potensial untuk dikuasai. Jika memungkinkan, ekspansi bahkan dapat dilakukan diseluruh sisi rumah. Selain sebagai pusat orientasi, bangunan rumah juga memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan penghuni, karena seluruh kegiatan penghuni berawal dari sini, karena itulah bangunan rumah dapat dikatakan sebagai pusat teritori.
Batas teritori rumah adalah batas-batas yang ditentukan secara legal, fungsional dan perseptual. Batas legal adalah batas-batas yang berada dalam teritori legal, bersifat eksplisit dan permanen. Dapat berupa dinding, pintu, pagar, maupun batas-batas masif lainnya. Sementara batas fungsional dan perseptual lebih fleksibel, bersifat implisit dan temporer. Dalam artian, klaim terhadap ruang tersebut tidak selalu berlangsung sepanjang waktu, tergantung kepentingan masing-masing penghuni, serta jarang ditandai secara tegas dengan menempatkan unsur pembatas fisik (masif) atau fix element. Melainkan lebih berdasarkan pada peletakan barang (semi fixed element), rutinitas penggunaan ruang tersebut untuk berkegiatan (non fixed element) dan respon emosional terhadap bentuk-bentuk gangguan yang terjadi pada area tersebut.
Gambar 8. Konsep Teritorialitas di Permukiman Kampung Jawa
Gambar 8 menunjukkan konsep terbentuknya teritorialitas di kawasan permukiman Kampung Jawa. Teritorialitas tersebut berawal dari adanya upaya pemanfaatan semua ruang potensial yang berada di sekitar rumah penghuni (teritori legal) yang kemudian secara perseptual dianggap sebagai bagian dari teritorinya, dan secara fungsional digunakan untuk mengakomodasi kegiatan/aktivitas sehari-hari. Hal ini sesuai pendapat Widjaja (2007) bahwa teritorialitas dibentuk dari tiga aspek utama, yakni legalitas, aktivitas dan persepsi. Dengan demikian, konsep teritorialitas yang ada di permukiman Kampung Jawa dapat juga dapat dipisahkan dalam tiga kategori, yakni teritori legal, teritori fungsional dan teritori perseptual. Teritori legal adalah area atau wilayah yang secara sah menjadi hak penghuni untuk dimiliki dan dikuasai. Sedangkan teritori fungsional adalah keseluruhan wilayah yang difungsikan menjadi domain kegiatan dari penghuni, sementara teritori perseptual adalah area bukan milik yang dipersepsikan sebagai bagian dari teritori legal dari penghuni. Pada Gambar 8 juga dapat dilihat bahwa perilaku teritorialitas masyarakat di permukiman Kampung Jawa menyebabkan penyempitan ruang-ruang publik dan ruang-ruang terbuka lain yang merupakan lahan sisa tak terpakai oleh pemiliknya. Ruang yang seharusnya menjadi jalur sirkulasi mengalami intervensi oleh penguni dengan kegiatan ekspansi yang dilakukan, sehingga cukup mengurangi lebar jalan yang sebenarnya sudah cukup sempit.
Jika dikaitkan dengan teori yang diungkapkan Altman, maka secara umum teritori legal tersebut masuk ke dalam teritori primer. Hal ini berkaitan dengan kontrol dan tingkat privasi tertinggi berada pada zona ini. Namun pada kasus rumah warga yang memiliki area pekarangan, area tersebut masuk ke dalam teritori sekunder. Karena tingkat privasi dan kontrol penghuni terhadap area pekarangan tidaklah sekuat bagian dalam rumah. Ini berarti tidak semua teritori legal masuk ke dalam zona teritori primer. Sementara teritori fungsional mencakup keseluruhan zona yang menjadi area aktivitas penghuni, baik zona teritori primer maupun teritori sekunder. Bahkan tidak menutup kemungkinan, teritori umum/publik juga masuk ke dalamnya. Hal ini dikarenakan sifat teritori fungsional dinilai berdasarkan dari aktivitas penghuni yang terjadi pada ruang tersebut.
Teritori perseptual menyangkut ruang-ruang hasil ekspansi penghuni terhadap ruang-ruang di sekitar rumahnya, baik pada area publik atau lahan sisa yang tidak digunakan pemiliknya. Semakin jauh dari teritori legal, kontrol ruang perseptual tersebut akan semakin berkurang. Begitu juga dengan tingkat kepentingannya, jika fungsi yang diwadahi tidak begitu penting maka kontrol yang diberikan juga cenderung rendah. Ruang-ruang pada teritori perseptual sifatnya sangat relatif, karena secara legalitas ruang tersebut bukan lah hak penghuni, sehingga kontrol dan tingkat privasi di dalamnya juga tidak pasti. Meskipun begitu, secara umum jika harus dilihat berdasarkan tingkat privasinya, teritori perseptual cenderung masuk ke dalam teritori sekunder.
Kesimpulan
Pembentukan teritorialitas di permukiman Kampung Jawa berawal dari adanya tekanan lingkungan (environment press) yang muncul akibat tidak berimbangnya antara luas lahan dengan kepadatan penduduk di lingkungan permukiman. Dalam keterbatasan tersebut, warga permukiman meresponnya melalui proses individual dan proses sosial. Proses individual dilakukan warga melalui upaya yang mengarah kepada perilaku spasial, ditandai
dengan adanya upaya pemanfaatan semua ruang potensial yang berada di sekitar rumah penghuni (teritori legal) yang kemudian secara perseptual dianggap sebagai bagian dari teritorinya, dan secara fungsional digunakan untuk mengakomodasi kegiatan/aktivitas sehari-hari penghuni.
Sementara dalam proses sosial, warga bereaksi dengan upaya untuk berbagi dan memaknai ruang, sehingga ruang tidak lagi hanya sebagai suatu wadah untuk beraktivitas, tetapi juga wadah untuk mempererat hubungan antar warga masyarakat di tengah kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Dalam proses sosial, hubungan kedekatan antar warga, rasa kekeluargaan yang tinggi serta rasa senasib-sepenanggungan mempengaruhi keputusan warga dalam berbagi ruang. Fakta tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Laurens (2004) bahwa terdapat aspek sosial yang terkandung dalam ruang sehingga manusia dapat berbagi dan membagi ruang dengan sesamanya.
Seluruh proses tersebut pada akhirnya berdampak pada fleksibilitas ruang di permukiman Kampung Jawa. Ketika teritorialitas terbentuk, ruang-ruang yang ada di permukiman Kampung Jawa menjadi sangat fleksibel dan relatif akibat adanya upaya okupasi (penguasaan area) warga terhadap ruang-ruang di luar teritori legal, baik berupa ekspansi teritorial maupun privatisasi ruang publik. Bahkan ruang-ruang yang ada pada teritori primer yang sifatnya privat juga tidak luput dari pergeseran nilai, sehingga dapat diakses oleh publik. Konfigurasi, dimensi dan fungsi ruang dalam permukiman dapat berubah sewaktu-waktu jika mendesak dan diperlukan. Kebutuhan penghuni yang selalu meningkat, tidak diimbangi dengan ketersediaan ruang seringkali memicu perilaku spasial untuk menciptakan ruang-ruang baru melalui berbagai upaya penguasaan lahan. Ruang publik-privat dan tingkat privasi dalam konteks teritorialitas di permukiman padat Kampung Jawa menjadi tidak pasti, tergantung dari bagaimana warga memperlakukan dan memaknai ruang tersebut. Dengan demikian, lebih mudah mengkategorikan teritori pada area permukiman Kampung Jawa ke dalam aspek pembentuknya, meliputi zona teritori legal, teritori fungsional dan teritori perseptual.
Meskipun hasil observasi menunjukkan hampir tidak ada konflik sosial yang terjadi akibat klaim ruang yang dilakukan warga, tetapi dengan ketidakpastian tersebut, sangat sulit untuk mendapatkan sebuah kawasan permukiman yang ideal. Ruang publik-privat saling tumpang tindih mengaburkan nilai-nilai ruang yang sesungguhnya. Fungsi aktual dari ruang tersebut juga dapat terganggu. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk menata permukiman, melakukan pengawasan berkala, dan memberikan solusi atas keterbatasan ruang yang dimiliki warga sehingga semua aktivitas dapat berlangsung pada tempatnya. Dengan demikian kedepannya diharapkan pengembangan permukiman Kampung Jawa dapat sejalan dengan semakin berkembangnya Pulau Bali sebagai tujuan wisata dunia.
Daftar Pustaka
Altman, I. (1975). The Environment and Social Behavior. Monterey, CA: Wadsworth.
Edney, J. J. (1976). Human Territoriality: Environmental Psychology, People and Their Physical Setting. Eds: Prohansky, Harold M. Et.all. Holt. Rinehart and Winston. New York.
Hall, E. (1966). The Hidden Dimention. New York: Doubleday.
Halim, D. (2005). Psikologi Arsitektur: Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta: Grasindo. Haryadi, B. S. (1996). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Yogjakarta: Gajah Mada Press. Kusnadi & Widjaja. (2017). The Perceptual Territory Model in The Water Houses on Stilts Found in The Heritage Area on The Kuin Riverbank in Banjarmasin. Jurnal RISA (Riset Arsitekur), 01(03), 1-17.
Laurens, J. M. (2004). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: Grasindo.
Rapoport. (1977). Human Aspects of Urban Form: Toward a Man-Environment Aprroach to Urban Form and Design. New York: Pergamon Press.
Widjaja, P. (2007). Teritorialitas Domestik Rumah Pada Dua Kampung Kota di Bandung. Bandung: Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
106
SPACE - VOLUME 5, NO. 1, APRIL 2018
Discussion and feedback