RUANG


SPACE


SUMBER AIR DALAM RUANG BUDAYA MASYARAKAT DESA TOYOMERTO SINGOSARI, MALANG

Oleh: Ema Yunita Titisari1, Antariksa2, Lisa Dwi Wulandari3, Surjono4

Abstract

In the end of Majapahit period, Buddhism built a sacred building near Sumberawan water source in Toyomerto village, with aims to strengthen the efficacy and ‘transform’ the water to be tirta amerta (sacred water). In addition to the holiness of the water and the use of the water for ritual ceremony, Sumberawan water is also used for irrigation and the daily needs of the villagers. Every year the villagers commemorate Slametan Banyu (ceremony for the water). This study highlights significance of the water source in the cultural space of Toyomerto Village, and the efforts to maintain its sustainability. This study used qualitative-descriptive methods with anthropological-historic and anthropological- ecology approaches. From the data, discourse analysis examined the water resources from the perspective of cultural attributions. The result shows that the effort of Toyomerto villagers in maintaining sustainability of the water source do not merely result from physical effort but also by transcendental commitment. The establishment of the temple, myths, and folklores are believed by the people to prevent the water source from damage. In conclusion, water sustainability should be maintained for a balance of vertical-transcendental and horizontal-social relationships.

Keywords: water resources, rites, cultural space

Abstrak

Pada akhir era Majapahit, umat Budha mendirikan bangunan suci di dekat sumber air Sumberawan Desa Toyomerto dengan tujuan untuk memperkuat khasiat air dan mengubahnya menjadi tirta amerta. Selain bermakna suci dan digunakan untuk upacara ritual, air Sumberawan juga digunakan untuk mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat desa. Setiap tahun, mereka mengadakan Slametan Banyu. Kajian ini menyoroti sumber air dalam ruang budaya masyarakat Desa Toyomerto, khususnya dikaitkan dengan upaya menjaga kelestarian sumber air. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan antropologi-historis dan antropologi-ekologi. Data-data dianalisis dengan teknik analisis wacana. Wacana yang dianalisis adalah sumber air dari perspektif budaya. Hasil kajian menunjukkan upaya masyarakat Desa Toyomerto dalam menjaga kelestarian sumber air tak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga secara transendental. Pendirian candi di sumber air, mitos, dan cerita-cerita rakyat yang dipercaya kebenarannnya oleh masyarakat mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan sumber air. Kelestarian sumber air dijaga dengan jalan menjaga keseimbangan hubungan vertikal-transendental dan horisontal-sosial.

Kata kunci: sumber air, ritual, ruang budaya

Pendahuluan : Sustainable Development dan Sumber Air Desa Toyomerto

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah menjadi isyu penting dalam tiga dasawarsa terakhir. Isyu ini muncul bersamaan dengan kekhawatiran mengenai kehidupan generasi yang akan datang akibat kelangkaan sumber daya dan kerusakan lingkungan yang kian parah. Pada tahun 1987, Komisi Brundtland dari PBB mencetuskan gagasan mengenai sustainable development, yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tetapi tidak mengabaikan kebutuhan generasi mendatang (Bruntland, 1987; World Commission on Environment and Development, tt). Fokus pembangunan beralih, dari perlindungan terhadap lingkungan menjadi keberlanjutan (Brandt 2002 dalam Finkbeiner 2010). Konsep keberlanjutan ini terdiri dari tiga dimensi penting, yaitu: lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Meskipun banyak yang menyepakati, tetapi tidak sedikit juga yang mengkritiknya. Baker et al (1997) menyatakan bahwa ada kontradiksi antara keterbatasan bumi dan sistem aturan alamiah yang juga terbatas, dengan sifat ekspansif masyarakat industri. Sifat ekspansif dalam masyarakat industri inilah yang ‘dicurigai’ menyamarkan tujuan sebenarnya dari konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, yakni kepentingan ekonomi.

Pandangan yang cukup menarik mengenai pembangunan berkelanjutan disampaikan Seymour (1989) dan O’Riordan (1984) dalam Baker et al (1997) dari sudut pandang ecocentric. Menurut ecocentrisme, manusia adalah bagian dari alam. Manusia berada di dalamnya, bukan di atasnya. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu cara yang didesain untuk membantu masyarakat dengan mengijinkan alam mengatur parameter perilaku ekonomi, atau dengan kata lain parameter alam-lah yang mengatur kegiatan sosial, politik, dan ekonomi. John Seymour (dalam Baker et al, 1997) mengatakan:

“We are a part of nature. That is the primary condition of our existence. And only when we recognise this will we awake from the evil dream that has led us down the path of self-destruction for the last two or three hundred years. That is the dream that we, mankind, ‘can conquer nature’. For only when we abandon this dream will we realise again that you cannot conquer something of which you are apart”.

Dua atau tiga abad yang lalu, saat industri menjadi mimpi jutaan umat manusia, berangsur-angsur negara-negara agraris memaksa’ diri berubah menjadi negara industri. Ekonomi yang berada di ujung tombak industrialis telah menyulap ratusan hektar sawah menjadi perumahan, pabrik, dan lahan tidur; hutan-hutan menjadi lahan gambut penyulut bencana saat musim kemarau; bahkan mengubah gunung dan bukit menjadi lembah karena dikeruk kekayaannya. Cita-cita mewariskan alam untuk anak cucu hanyalah mimpi jika manusia tidak pernah menyadari batas kebutuhan dan keinginannya dan menjadikan alam sebagai budaknya (Baker et al 1997).

Kesadaran terhadap batas kebutuhan (kecukupan) dan pencegahan kelangkaan yang didasari pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari kosmis (alam) telah diajarkan oleh masyarakat yang belum mengenal budaya industri. Maka pembangunan berkelanjutan menggali kearifan lokal dalam mengembangkan konsep-konsep praktisnya. Kajian ini menggelar salah satu kearifan budaya, khususnya berkaitan dengan kelestarian sumber air.

Desa Toyomerto yang termasuk bagian dari Kecamatan Singosari Kabupaten Malang terletak di kaki Gunung Arjuno. Desa ini memiliki beberapa sumber air, antara lain Sumberawan, Kedung Biru, dan Watu Gede. Ketiganya menjadi patirtan (sumber air yang disucikan/disakralkan) sejak jaman Kerajaan Singosari. Sumber air Sumberawan sekaligus menjadi sumber air bersih untuk irigasi dan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat desa dan sekitarnya. Sumber air ini memiliki debit air yang besar. Pemerintah Belanda telah membuat pintu-pintu air, dam, dan saluran-saluran untuk mendistribusikan air dari Sumberawan ke Kostrad Divisi Infanteri 2 Singosari. Kini selain Kostrad, Lanud Abdurrahman Saleh dan BLK Singosari juga memanfaatkan air dari Sumberawan untuk kebutuhan mereka.PDAM Singosari menambah jaringan pipa distribusi untuk memperluas jangkauan distribusi air Sumberawan.

Didasari oleh rasa syukur atas nikmat air bersih dari Sumberawan, masyarakat Desa Toyomerto menggelar upacara Slametan Banyu setiap tahun. Selain tradisi Slametan Banyu, terdapat kepercayaan yang masih kuat di kalangan masyarakat mengenai khasiat air Sumberawan sebagai tirta amerta. Beragam cerita rakyat muncul sehubungan dengan keyakinan ini. Demikian pula larangan dan mitos-mitos mengenai kejadian-kejadian terkait sumber air Sumberawan. Sebuah bangunan suci berbentuk stupa yang ada di tempat ini memperkuat keyakinan sebagian khalayak. Konon candi Budha tersebut dibangun untuk mensucikan air sumber.

Kajian ini berupaya mengangkat nilai-nilai di balik tradisi dan kepercayaan mengenai sumber air Sumberawan dalam rangka menggali kearifan lokal masyarakat dalam melestarikan sumber air. Penurunan debit dan kualitas air Sumberawan yang saat ini mengalami penurunan menjadi peringatan untuk mulai mengendalikan kegiatan dan pengelolaannya mengingat kemanfaatannya sebagai sumber air bersih masih sangat signifikan dan makin luas.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan pendekatan historis-antropologis dan pendekatan antropologi-lingkungan. Pendekatan historis antropologis dilakukan untuk memahami makna budaya dari berbagai tradisi terkait sumber air dari sudut pandang historis (Ihromi, 2006). Proses pemaknaan suatu objek oleh kelompok komunitas melalui rentang masa dengan mencermati alur kesejarahan sebagai konteksnya. Untuk itu, pendekatan antropologis dalam kajian ini ditinjau dalam konteks sejarahnya (Cahyono, 2012). Pendekatan antropologi-lingkungan digunakan untuk memahami sistem pengetahuan lokal tradisional dan cara mereka menggunakannya untuk beradaptasi dengan lingkungan demi kelangsungan hidupnya (Triyoga, 2010). Dengan pendekatan antropologi-lingkungan diharapkan dapat diketahui kearifan masyarakat lokal dari perspektif budaya dalam melestarikan sumber air untuk kehidupannya, khususnya sumber air Sumberawan. Konteks kedua pendekatan ini adalah ruang budaya sebagai bagian dari tata lingkungan dan kegiatan bermukim.

Data-data diperoleh dengan cara observasi dan wawancara mendalam. Data-data juga digali dari beberapa kitab kuno dan cerita rakyat yang mendukung mitos dan kepercayaan

mengenai sumber air. Untuk mendukung terbentuknya gambaran mengenai kedudukan sumber air dalam ruang budaya masyarakat, peneliti menganalisis dengan cara membandingkan kedudukan sumber air Sumberawan dengan beberapa sumber air lain di Nusantara. Sumber data yang digunakan adalah hasil-hasil penelitian terdahulu. Fokus yang diamati adalah hal-hal yang berkaitan dengan tradisi-budaya seperti upacara adat atau ritual, keyakinan mengenai air dan sumber air, larangan, mitos, dan cerita rakyat yang berkaitan dengan sumber air tersebut. Analisis dilakukan dengan teknik analisis wacana untuk mengetahui ‘pesan’ yang ada di dalamnya.

Konsep Gunung Suci dan Air Suci

Dalam kitab Tantu Panggelaran, dikisahkan Bhatara Guru berkehendak menjadikan Yawadwipa (pulau Jawa) sebagai tempat tinggal manusia. Yawadwipa belum bisa dihuni karena masih sering berguncang. Untuk itu Bhatara Guru memerintahkan para dewa, bidadari, resi, perempuan dari surga, dan manusia setengah dewa untuk memindahkan gunung Mahameru dari Jambudwipa (India) ke Jawadwipa. Pemindahan gunung ini diikuti dengan kepindahan para dewa yang tinggal di puncaknya (Setyani, 2011). Gunung Mahameru diletakkan di ujung barat Pulau Jawa. Pulau Jawa tidak seimbang, bagian timurnya mencuat. Lalu para dewa memindahkan ujung atas Mahameru ke sebelah timur, menjadi Ardhi Pawitra (Gunung Penanggungan). Dalam proses pemindahan tersebut, serpihan gunung Mahameru tercecer menjadi Gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuno, Kemukus, dan Semeru. Atas kepercayaan masyarakat Jawa pada mitos ini, gunung-gunung tersebut dianggap bernilai suci sebagaimana Gunung Mahameru. Banyak petilasan sakral untuk bersemedi dan berdoa yang ditemukan di lerengnya.

Gambar 1. Posisi Candi Sumberawan terhadap gunung-gunung di sekitarnya

Sumber: Google Earth

Kesucian gunung membuat apa-apa yang ada bersamanya pun bersifat suci. Air yang berasal dari mata airnya dan mengalir ke sungai-sungai mewarisi kesuciannya (Cahyono 2017). Hutan menjadi pangkalnya. Di lereng Gunung Penanggungan banyak sumber-sumber air yang hingga kini masih disakralkan, antara lain Wilahan (Belahan) dan Jolotundo. Demikian pula dengan Gunung Arjuno. Di lerengnya banyak ditemukan bangunan suci keagamaan dan sumber-sumber air. Beberapa sumber air dikunjungi oleh Prabu Hayam Wuruk dalam perjalanan ziarahnya (tersurat dalam Kitab Negara Kertagama). Sumber-sumber air itu

antara lain: Polaman (di Lawang), Mbiru atau Kedung Biru, Kasurangganan atau Sumberawan, dan Watu Gede.

Gunung (giri) dan hutan (wana) adalah suatu kesatuan sebagai asal atau titik pangkal air yang mengalir melalui sungai-sungai (kalen) di bawahnya. Gunung yang suci (baik dalam kepercayaan Hindu, Budha, maupun Jawa (animisme dan dinamisme) merupakan tempat bersemayamnya dewa-dewa (Hindu, Budha) atau leluhur (Jawa). Aliran air yang melalui kalen adalah ‘kepanjangan’ dari gunung-gunung tersebut. Sungai dan sumber air, sebagai titik awal keluarnya air beserta telaga atau kolam tempat tergenangnya air sebelum mengalir ke sungai-sungai, merupakan tempat yang juga ‘suci’.

Dalam Kitab Negara Kertagama, Sumberawan disebut dengan Kasurangganan yang berarti taman surga atau taman bidadari (nimfa). Bidadari atau dalam budaya Jawa disebut apsari, digambarkan sebagai wanita berparas cantik yang tinggal di kahyangan (puncak gunung atau langit, sesuatu yang berkonototasi ‘atas’). Bidadari juga digambarkan sebagai sosok yang suci, perawan yang tak pernah tua. Sebagai sosok dambaan manusia, bidadari dihadiahkan kepada mereka yang melakukan kebaikan besar. Tugas bidadari adalah menyampaikan pesan dari para dewa kepada manusia. Kadang ia diutus dewa turun ke bumi untuk menguji keteguhan orang-orang yang bertapa. Dalam cerita rakyat Jawa, tujuh bidadari digambarkan turun ke bumi dan mandi di telaga. Konon pelangi adalah jejak para bidadari yang turun dari langit. Sumberawan atau Kasurangganan menjadi salah satu tempat yang diyakini masyarakat sebagai telaga tempat turunnya bidadari dari surga. Nama populernya sekarang, yaitu Sumberawan muncul karena kondisi alamiahnya. Sumber air Sumberawan membentuk telaga/rawa-rawa yang dalam bahasa lokal disebut Rawan. Sumberawan berasal dari kata sumber dan rawan.

Kepercayaan Hindu dan Budha yang melemah di era akhir Majapahit menjadi sebab bangkitnya kembali kepercayaan Jawa lama. Hal ini mendorong munculnya tempat-tempat pemujaan arwah leluhur di lereng-lereng gunung. Marsudi (2015) menyebutnya sebagai kebangkitan kembali tradisi megalithik dalam format yang baru (neo-Megalithik). Tradisi megalithik tidak terbatas pada pemujaan ruh leluhur dengan artefak berupa batu-batu besar (menhir, dolmein, sarkofagus) saja, tetapi juga obyek yang lebih kecil dan upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan ruh leluhur.

Di lereng Gunung Arjuno ditemukan banyak peninggalan-peninggalan neo-megalithik, antara lain: Punden Batik Madrim, Goa Antaboga, Punden Rahtawu, Artefak Puthuk Lesung, Dewi Kunthi, Reco Semar, Punden Makutha Rama, Punden Wesi, dan Candi Sepilar. Selain punden dan arca, juga ditemukan lesung dan patirtan. Menurut Djafar (2014) peninggalan-peninggalan tersebut diperkirakan dibuat sekitar abad XIV-XV. Artefak-artefak di atas digunakan untuk sarana pemujaan ruh leluhur, dewa gunung, atau agama Resi (Keresiyan). Pada prakteknya, pemujaan tersebut tidak harus dilakukan sendiri-sendiri tetapi bisa diwadahi oleh satu situs karena pemujaan kepada ruh leluhur sulit dipisahkan dengan pemujaan kepada dewa gunung (Marsudi 2015). Menurut kepercayaan Jawa, ruh leluhur yang sudah meninggal dianggap sebagai dewa dan bersemayam di gunung-gunung atau tempat yang tinggi (disebut danyang). Dari Tantu Panggelaran dan keyakinan mengenai kesucian Gunung Arjuno muncul beragam cerita rakyat dan mitos yang menguatkan makna

suci Gunung Arjuno. Cerita ini masih dipercaya oleh masyarakat. Beberapa titik ditandai sebagai tempat mistis yang harus dihindari oleh para pendaki gunung jika tak ingin tersesat.

Sebagai bagian dari Gunung Arjuno, sumber air Sumberawan mewarisi kesucian sifatnya. Limpahan airnya membentuk telaga. Sesuai dengan keyakinan mengenai gunung, danyang, dewa, bidadari, dan telaga, maka representasi Telaga Sumberawan sangat sesuai dengan gambaran mengenai telaga para bidadari. Hawa yang sejuk, pemandangan yang indah, air yang jernih-melimpah, laksana taman surga tempat para bidadari bercengkerama. Nama Kasuranggan pun disematkan pada tempat ini.

Gambar 2. Lay out Plan Candi Sumberawan Sumber: Ema

Gambar 3. (dari kiri ke kanan) Candi Sumberawan; bagian dalam bilik Kolam Amerta; Kolam Amerta; dan Kolam Sumber Penguripan

Tirta Amerta Sumberawan

Orang Jawa membedakan tirta dengan banyu. Secara harafiah keduanya berarti air. Tirta adalah air yang bersifat suci atau sakral dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan sakral. Banyu adalah air yang bersifat profan dan biasanya digunakan untuk keperluan yang juga bersifat profan. Kolam atau telaga tempat menampung tirta disebut patirtan. Patirtan digunakan untuk membersihkan diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. Beberapa sumber air yang juga berfungsi sebagai patirtan antara lain: Songgoriti, Jalatunda, Wendit, Candi Tikus, dan Sumberawan. Pada tempat-tempat keluarnya air ini dibuat bangunan suci atau patung yang mengucurkan air (Jaladwara) untuk memperkuat sifat kesucian air (Cahyono 2017). Di Sumberawan terdapat candi Budha berbentuk stupa yang konon dibangun untuk mentransformasi air sumber menjadi tirta amerta.

Candi Sumberawan ditemukan sekitar tahun 1904 (Wurianto 2009). Kisah penemuan candi ini dikemas dalam cerita rakyat dengan setting jaman Belanda. Alkisah, seorang pemburu

mengejar babi hutan buruannya. Babi hutan tersebut sudah tertembak dan luka kakinya, tetapi masih bisa lari ke dalam hutan. Di dalam hutan itu ada telaga berair jernih. Babi hutan lari menuju telaga dan lukanya terbasahi oleh air telaga. Ajaib, lukanya sembuh seketika sehingga ia dapat berlari lebih kencang dan tak tertangkap oleh sang pemburu.

Kisah babi hutan dan air telaga Sumberawan dilatarbelakangi oleh keyakinan masyarakat mengenai khasiat air Sumberawan. Menilik eksistensinya sebagai salah satu tempat ziarah Prabu Hayam Wuruk sebagaimana tertulis dalam Kitab Negarakertagama, maka keyakinan mengenai khasiat air Sumberawan mestinya sudah ada sejak sebelum jaman Belanda. Jika ditinjau dari masa pendirian candi, yakni sekitar abad XIV dan setelah perjalanan ziarah Prabu Hayam Wuruk, maka keyakinan mengenai kesucian telaga Sumberawan (Kasurangganan) pun mestinya sudah ada sejak sebelum abad XIV. Hal ini dikuatkan oleh penuturan narasumber kunci. Menurut juru kunci Candi Sumberawan, seorang putri bernama Dewi Singowati, adik dari Ratu Ken Dedes seringkali memimpin kegiatan spiritual di sumber air Sumberawan. Dewi Singowati mewarisi tugas ayahnya sebagai pemimpin keagamaan. Selain Dewi Singowati, Resi Patmoaji, seorang pemuka agama di masa Singosari juga menjalankan lelaku dan muksya di tempat ini.

Nama desa tempat sumber air ini berada memperkuat bukti keyakinan masyarakat terhadap air Sumberawan. Desa ini bernama Toyomerto. Toponim Toyomerto berasal dari kata toya dan merta (Titisari 2016). Toya dalam bahasa Jawa halus berarti air atau tirta, sedangkan merta berasal dari kata amarta yang berarti kehidupan. Tirta dan toya adalah bahasa Jawa halus/krama. Tingkatan bahasa ini mengindikasikan bahwa air Sumberawan memiliki derajat tinggi. Toyomerto berarti air kehidupan. Artinya sama dengan tirta amerta. Latar belakang penamaan suatu tempat berhubungan dengan adanya hal-hal yang khas sebagai identitas tempat tersebut. Toponim memberi gambaran mengenai latar belakang sejarah, sesuatu, dan peristiwa-peristiwa yang ingin diabadikan atau diingat. Pelacakan toponim membantu menelusur latar belakang kesejarahan dan kondisi awal saat tempat itu terbentuk (Suliyati 2012).

Air identik sebagai sesuatu yang ‘menghidupkan’ atau sumber kehidupan. Toyomerto bermakna air kehidupan, air yang memberi kehidupan atau menghidupkan. Toyomerto juga identik dengan tirta amerta. Tirta amerta adalah saripati kehidupan, air yang dapat membuat peminumnya terhindar dari malapetaka termasuk kematian. Para dewa dan bidadari yang mengkonsumsi tirta amerta adalah gambaran sosok-sosok yang abadi, tidak pernah sakit, cantik, awet muda, sakti, serta memiliki derajat dan kedudukan yang tinggi/mulia. Khasiat inilah yang ingin didapatkan oleh mereka yang melakukan ritual batin di Sumberawan (Titisari 2017). Saat ini di dekat candi Sumberawan dapat dijumpai sanggar kecil untuk meditasi, tumpukan reruntuhan batu candi yang ditata sebagai altar, dan dua kolam yang disebut dengan kolam Sumber Penguripan (Jawa: sumber penghidupan). Sanggar, altar, dan kedua kolam merupakan bangunan baru. Fasilitas kegiatan spiritual baru yang ditambahkan ini menunjukkan bahwa kepercayaan mengenai tirta amerta Sumberawan dan kekuatan magis Kasurangganan masih hidup hingga saat ini.

Sumber Air Sumberawan, Punden, Mitos, dan Ritual-Ritualnya

Selain memiliki sifat suci, air kehidupan juga memiiki daya kesuburan. Kesuburan adalah syarat kelangsungan kehidupan. Konsep kesatuan antara gunung, hutan, dan air, kemudian ditambah dengan candi, jaladwara atau elemen pen-suci lainnya sebagai penyempurna kesucian dan daya kesuburan air. Air ini kemudian mengalir melalui sungai (kalen) dan dimanfaatkan untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari manusia. Dengan demikian, tanaman, hewan, dan manusia mendapatkan manfaat dari kesucian dan kesuburan dari air tersebut.

Desa-desa pada umumnya dibangun di sekitar sumber air. Secara keruangan, terdapat jarak yang memisahkan area hunian dengan sumber air. Orang Jawa meyakini bahwa di setiap sumber air ada ‘penunggu’nya. Pemberian jarak tersebut dimaksudkan agar antara yang hidup dan yang sudah meninggal tidak saling mengganggu. Sumber air dapat berupa sungai, telaga, atau kolam (sendang) yang dinaungi pohon besar. Punden dibangun di dekat sumber air. Punden adalah makam leluhur pendiri desa (sing mbabat alas). Secara rutin masyarakat desa mengadakan upacara ritual ke punden dan sumber air. Terdapat banyak larangan dan mitos berkaitan dengan sumber air ini.

Ritual-ritual yang dilakukan di sumber air ditujukan untuk kelestarian sumber air. Selain ritual, ada banyak mitos dan cerita rakyat yang berhubungan dengan asal mula, larangan-larangan, dan sangsi. Di Sumberawan, kisah yang dituturkan dari generasi ke generasi berhubungan dengan kesakralan hutan, gunung, telaga dan khasiat air. Di Desa Setren Wonogiri, ada ritual susuk wangan, keyakinan tentang kesakralan hutan Girimanik (ditandai oleh adanya Pertapaan Girimanik, umbul/mata air Silamuk, air terjun Manik Maya, Teja Maya, dan Candra Maya, serta beberapa sendang/telaga). Tradisi Susuk Wangan berarti membersihkan saluran air, sebuah upaya untuk menjaga kelestarian Umbul Silamuk. Upaya ini dikemas dalam kegiatan religius sekaligus perwujudan rasa syukur yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat Desa Setren (Wiganingrum, 2013). Tradisi dan kepercayaan yang hampir sama juga terdapat di Tuk Serco, sumber air di Desa Purwogondo Kendal (Siswadi et al 2011). Sumber air ini disakralkan oleh masyarakat lokal dan dijadikan tempat lelaku. Masyarakat desa setempat mengadakan selamatan dan ritual di sumber air ini setiap tahun. Demikian pula yang berlaku di Polaman Lawang dan Sumberingin Pakis Malang (Wurianto 2009), sendang Pokak di Klaten (Purwaningsih 2007), Desa Nglebur Blora (Setiyono 2009), tradisi Ngguyang Cekathak di Sendang Rejoso Kudus (Anonim 2012), dan lain-lain. Kesamaan tradisi tersebut menunjukkan penghargaan terhadap air dan sumber air bukan tradisi yang bersifat lokal.

Kesamaan unsur-unsur budaya yang berkaitan dengan ke-sumber air-an adalah:

  • -    Legenda atau cerita rakyat tentang penemuan atau terjadinya sumber air

  • -    Keyakinan adanya kekuatan gaib (ruh leluhur) penunggu sumber air

  • -    Dalam ruang permukiman, sumber air terletak di luar area hunian.

  • -    Keyakinan akan kesucian dan khasiat air

  • -    Tradisi melakukan upacara ritual setiap tahun (biasanya bulan Sura)

  • -    Mitos dan cerita rakyat yang memperkuat keyakinan mengenai khasiat air.

  • -    Larangan dan sangsi

  • -    Adanya patung, jaladwara, punden, atau bangunan suci.

  • -    Sumber-sumber air sebagai tempat untuk lelaku

  • -    Penggunaan air sebagai sumber air bersih

Dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya, unsur-unsur budaya sumber air yang dijumpai di sumber air Sumberawan adalah:

  • -    Sumberawan berada di kaki Gunung Arjuno yang merupakan salah satu gunung suci di Jawa, tempat bersemayamnya dewa dan ruh leluhur. Kesucian Gunung Arjuno dijelaskan dalam kitab Tantu Panggelaran dan dibuktikan dengan banyaknya bangunan suci atau petilasan di lerengnya.

  • -    Sejalan dengan poin pertama, dalam Kitab Negarakertagama Telaga Sumberawan disebut Kasurangganan (taman bidadari). Salah satu tugas bidadari adalah penghubung antara dewa dan manusia. Maka, Kasurangganan dapat dimaknai sebagai ‘jembatan’ antara dunia tempat tinggal manusia dan surga dewa-dewa. Eksistensinya di dalam Kitab Negara Kertagama menunjukkan bahwa fungsi telaga sebagai tempat ritual sudah tumbuh sejak jaman Singosari.

  • -    Karena keluar dari gunung yang suci dan sehubungan dengan sifat telaga sebagai Kasurangganan, maka air Sumberawan adalah tirta amerta, air kehidupan dengan khasiat keabadian.

  • -    Masyarakat meyakini adanya ruh-ruh leluhur yang menjaga sumber air (antara lain Dewi Singowati dan Resi Patmoaji)

  • -    Ada mitos dan cerita rakyat yang menguatkan khasiat air dan telaga Sumberawan

  • -    Di lokasi sumber air terdapat candi Budha (Candi Sumberawan). Konon candi digunakan untuk mentransformasi air sumber menjadi tirta amerta. Candi diasosiasikan sebagai Gunung Mandara, gunung yang dipakai para dewa dan raksasa untuk memutar Samudera Mantana dalam proses mengeluarkan tirta amerta dari dasarnya (cerita ini dimuat dalam kitab Adiparwa, kitab pembuka kisah Mahabharata).

  • -    Di dekat candi terdapat dua makam yang tak bernama yang terawat. Menurut juru kunci candi, para pemain kuda lumpinglah (jaran kepang) yang metrekno (merawat) makam tersebut. Terdapat bangunan kayu kecil untuk bersemedi, tumpukan batu reruntuhan puncak candi sebagai altar, dan dua kolam yang ditata untuk kegiatan ritual. Elemen-elemen tersebut menunjukkan bahwa tempat ini digunakan untuk lelaku hingga kini.

  • -    Tidak ada punden pendiri desa seperti halnya ditemukan di sumber-sumber air lainnya. Fungsi punden desa diwakili oleh candi. Jadi selain sebagai bangunan keagamaan umat Budha, candi juga punden bagi sumber air (berfungsi untuk mentransformasi air) sekaligus punden desa. Fungsi candi sebagai punden sumber air ini didasari oleh (1) fungsi candiadalah untuk mentransformasi air telaga menjadi tirta amerta, (2) tidak seperti stupa pada umumnya, candi Sumberawan tidak memiliki relung untuk menyimpan relik, abu jenazah, dan juga tidak ada arca untuk pemujaan, (3) orientasi pada saat pemujaan adalah meghadap candi, tidak menghadap gunung.

  • -    Tradisi Bersih Desa dan Slametan Banyu dilakukan pada bulan Sura. Menurut narasumber, di masa lalu keduanya dilakukan secara terpisah. Slametan Banyu dilakukan saat musim kemarau. Ini menunjukkan bahwa Slametan Banyu ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur (selamet) sekaligus permohonan agar debit air terus melimpah mencukup kebutuhan masyarakat.

Ritual ini diikuti oleh seluruh penduduk desa dan dipimpin oleh kamituwo. Ritual dimulai dari sebelah timur perempatan desa. Arak-arakan membawa tumpeng, hasil bumi, buah-buahan, kue-kue, jajanan, dan bibit pohon. Makanan yang dibawa diusahakan/dimasak bersama dan nantinya dimakan bersama-sama. Arak-arakan menuju sumber air. Selesai melakukan doa bersama dan menanam bibit pohon sebagai simbol upaya melestarikan hutan dan mata air, sebagian peserta upaca menceburkan diri ke telaga, lalu kembali ke desa. Tujuan upacara ritual ini adalah menyampaikan rasa syukur dan memohon agar desa mereka dijauhkan dari malapetaka, diberi kemakmuran dan kesejahteraan, sekaligus membersihkan diri. Air sumberawan dimasukkan ke dalam kendi dan dibawa ke desa sebagai simbol pen-suci.

  • -    Ada larangan dan sangsi, misalnya: melakukan tindakan kriminal dan asusila, mencuci peralatan memasak dan membuang sampah di dalam kolam Sumber Penguripan, dan menebang pohon.

  • -    Sumber air berjarak sekitar 250 meter dari kampung terdekat. Dahulu aksesnya berupa jalan setapak di pinggir sungai dan sawah sehingga tak banyak yang menjangkau lokasinya. Akses yang baru berupa jalan tanah selebar 2,5meter baru dibuka sekitar 6 tahun yang lalu. Kini sumber air Sumberawan lebih banyak pengunjungnya dan lebih beragam kegiatan yang dilakukan di sana.

Menurut Ariani (2003), tradisi slametan yang dilakukan oleh orang Jawa bertujuan agar tercapai keselarasan kosmos. Dengan melakukan selamatan mereka merasa tenteram dan tenang karena selametan berarti menjalalankan pesan leluhur dan menjaga hubungan baik dengan mereka. Orang Jawa meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal tetap ‘hidup’ dan tinggal bersama mereka. Ruh leuhur memiliki peran signifikan dalam menjaga desa. Menurut Rukmi et al (2014), leluhur membantu manusia melakukan kontak eksistensial dengan Gusti (Tuhan). Bagi para pelaku kegiatan ritual, manusia yang berada di ruang terbatas tak akan sanggup menjangkau Tuhan di ruang yang tak terbatas. Untuk itu manusia memerlukan leluhur, yang keterjangkauannya dengan manusia dan kedekatannya dengan Gusti dapat memenuhi kerinduan primordial manusia (Rukmi et al 2014). Selain menjalin keterhubungan dengan leluhur dan Tuhan, selametan juga merekatkan hubungan horisontal-sosial (Purwadi 2005). Dapat dilihat di sini bahwa selametan yang ditujukan untuk kelestarian sumber air (alam) dilakukan dengan cara menjalin hubungan vertikal-transendental (dengan Tuhan dan leluhur) dan hubungan horisontal-sosial. Keseimbangan hubungan vertikal dan horisontal ini adalah upaya menjaga keseimbangan kosmos. Dengan selamatan penduduk desa berharap mendapatkan keselamatan.

Dalam pemikiran modern, mitos dan cerita rakyat adalah sesuatu yang tidak rasional sehingga dianggap fiktif, tidak nyata, atau dongeng sehingga seringkali diabaikan. Masyarakat tradisional yang lebih banyak menggunakan ‘rasa’ dibanding rasio, menganggap mitos dan cerita itu sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Mereka tidak berani melanggar pesan dan larangan yang ada di dalam mitos-mitos tersebut. Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan akibat pelanggaran larangan disampaikan secara berulang-ulang sebagai peringatan. Mitos dan cerita rakyat ini terbukti efktif dalam mencegah kerusakan-kerusakan sumber air Sumberawan dan lingkungan sekitarnya.

Pencegahan kerusakan sumber air diperkuat oleh adanya candi sebagai monumen suci. Masyarakat bisa saja mengabaikan larangan dan mitos. Tetapi dengan adanya bangunan suci yang secara visual dapat ditangkap dengan jelas, pencegahan itu menjadi lebih efektif. Demikian halnya dengan keberadaan punden, bangunan suci, atau patung di sumber-sumber air yang lain. Jarak yang memisahkan sumber air dengan area hunian (permukiman) membuat area sumber air sepi dari pengunjung. Secara bersama-sama: mitos, cerita rakyat, legenda, punden, bangunan suci, ritual, selametan, dan jarak, menghadirkan sumber air sebagai lokasi yang angker, wingit, atau sakral. Secara psikologis, hal-hal tersebut dapat mencegah seseorang untuk melakukan hal-hal terlarang yang sebenarnya adalah upaya-upaya melestarikan sumber air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Sejalan dengan perubahan pemikiran dari religio-magis menjadi saintifik, rasional, dan teknologis, maka perlahan-lahan upaya tradisional untuk menjaga kelestarian sumber air ini mulai memudar. Dominasi kapitalisme telah meng-komodifikasi ritual dan peninggalan-peninggalan kuno sehingga perlahan-lahan menghapus pesan-pesan yang tersirat di dalam berbagai tradisi masyarakat agraris-tradisional (Setiawan, 2017). Pelestarian sumber air tinggal menjadi upaya-upaya teknis yang seringkali melupakan unsur keseimbangan kosmis, sedangkan ritual-ritual tradisional tinggal menjadi ‘atraksi budaya’ komoditas pariwisata.

Kesimpulan

Tatkala kesadaran bahwa diri adalah bagian dari sesuatu, maka upaya-upaya untuk menyelaraskan diri dengan dinamika gerak perubahan sesuatu menjadi bagian dari dinamika itu sendiri. Masyarakat agraris-tradisional dengan kekuatan falsafah pengetahuan religio-magisnya melakukan ritual, menciptakan mitos dan cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi dan menjadi bagian dari keyakinannya, untuk menyelaraskan diri dengan dinamika kosmis. Keseimbangan dalam hubungan vertikal-transendental dan horisontal-sosial menjadi kunci bagi kelestarian alam, dan selanjutnya kelestarian kehidupan. Dalam kasus sumber air Sumberawan, para pendahulu mewariskan tradisi Slametan Banyu, Slametan Sumber, dan Bersih Desa bersama-sama dengan mitos air amerta, cerita rakyat mengenai khasiat air Sumberawan, keyakinan mengenai Kasurangganan, dan artefak candi Sumberawan sebagai ‘alat’ dan strategi untuk menjaga kelestarian sumber air.

Daftar Pustaka

Anonim. (2012). Ngguyang Cekathak, Ritual Melestarikan Air. Kompas Desember 2012 Dalam Kumpulan Berita Digilib Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL). http://www.ampl.or.id/digilib/read/-ngguyang-cekathak-ritual-melestarikan-air/22123

Ariani, C. (2003). Upacara Bersih Dusun Gua Cerme, Desa Selopamioro Kabupaten Bantul sebagai Wujud Solidaritas Sosial. Patra Widya, 4(1).

Baker, S. (Ed.). (1997). The politics of sustainable development: theory, policy and practice within the European Union. London & New York: Routledge

Bruntland, G. H. (1987). Our Common Future: The World Commission on Environment and Development. Oxford, UK: Oxford University Press.

Cahyono, M. D. (2012). Vulkano-Historis Kelud: Dinamika Hubungan Manusia–Gunung Api. Kalpataru, 21(2), 85-102.

Cahyono, M.D. (2017). Pratipa (Prasawya Tirtha Pawitra): Tirthayatra Mengitari Ardi Suci Penangungan,       Patembayan       Citralekha.       Retrived       from

https://patembayancitraleka.wordpress.com/2017/03/15/prasawya-tirtha-pawitra/. 15 Maret 2017.

Djafar, H. (2012). Masa Akhir Majapahit Girindhawarddhana dan Masalahnya. Jakarta: Komunitas Bambu Depok

Finkbeiner, M., Schau, E. M., Lehmann, A., & Traverso, M. (2010). Towards Life Cycle Sustainability Assessment. Sustainability, 2(10), 3309-3322.

Ihromi. (2006). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.

Marsudi, M. (2015). Bangkitnya Tradisi Neo-Megalithik di Gunung Arjuno. Jurnal Sejarah dan Budaya, 9(1), 79-87.

Purwadi. (2005). Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwaningsih, E. (2007). Air, Makna, dan Tradisi. Jurnal Jantra, 2(3), 125-130.

Rukmi, W. I., Djunaedi, A., Sastrosasmito, S., & Ahimsa-Putra, H. S. (2014). Situs Majapahit Trowulan: Menuju Tersambungnya Ruang Absolut. Jurnal Studi Sosial, 6(1), 59-64.

Setiawan, I. (2017). Ritual dalam Dekapan Pariwisata: Wacana dan Praktik Hegemonik Pasca Reformasi. Retrived from http://matatimoer.or.id/2017/07/31/ritual-dalam-dekapan-pariwisata-wacana-dan-praktik-hegemonik-pasca-reformasi/. 25 Juli 2017.

Setiawan, I. (2017). Ritual dalam Dekapan Pariwisata: Wacana dan Praktik Hegemoni Pasca Reformasi. Matatimoer Institute for Cultural Studies and Community Development. Retrived from http://matatimoer.or.id/2017/07/31/ritual-dalam-dekapan-pariwisata-wacana-dan-praktik-hegemonik-pasca-reformasi/

Setiyono, B. (2016). Tarian Ritual, Pesta Kolektif, dan Konservasi Lingkungan dalam Upacara Manganan di Blora. Gelar, Jurnal Seni dan Budaya, 7(2), 117-124.

Setyani, T. I. (2011). Meniti Sinkretisme Teks Tantu Panggělaran. Jurnal Kawistara. 1(2), 103-112.

Siswadi, S., Taruna, T., & Purnaweni, H. (2011). Kearifan Lokal dalam Melestarikan Mata Air (Studi Kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal). Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(2), 63-68.

Titiek Suliyati, T. (2012). Melacak Sejarah Pecinan Semarang Melalui Toponim. Retrived from http://eprints.undip.ac.id/34059/. 4 Juli 2017

Titisari, E.Y., Antariksa, Wulandari, L.D., Surjono. (2016). Makna Kultural Situs Sumberawan: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI Malang, I063-I068.

Titisari, E.Y., Antariksa, Wulandari, L.D., & Surjono. (2017). Intangible Cultural Heritage Candi Sumberawan dalam Perspektif Kosmologi. Proseding Temu Ilmiah IPLBI Cirebon, C017-C022

Triyoga, L.S. (2010). Merapi dan Orang Jawa: Persepsi dan Kepercayaannya. Jakarta: Gramedia

Wiganingrum, A., & Wahyuni, S. (2013). Nilai Kearifan Upacara Tradisional Susuk Wangan sebagai Bentuk Solidaritas Sosial dan Pelestarian Lingkungan di Desa Setren Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri. Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS. Jurnal Candi-Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 5(1).

Wiganingrum, A., & Wahyuni, S. (2013). Nilai Kearifan Upacara Tradisional Susuk Wangan Sebagai Bentuk Solidaritas Sosial Dan Pelestarian Lingkungan Di Desa Setren Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri. Jurnal Candi-Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 5(1).

World Commission on Environment and Development (WCED). (2017). Report of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future. Retrived from http://www.un-documents.net/wced-ocf.htm. 10 Juni 2017.

Wurianto, A. B. (2012). Aspek budaya pada upaya konservasi air dalam situs kepurbakalaan dan mitologi masyarakat Malang. Jurnal Humanity, 4(2).

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kemenristekdikti yang telah memberi dukungan bagi penelitian ini melalui Program Penelitian Disertasi Doktor Tahun 2017

90

SPACE - VOLUME 5, NO. 1, APRIL 2018