RUANG


SPACE


KONTRIBUSI PENCAHAYAAN BUATAN TERHADAP KUALITAS VISUAL BANGUNAN PADA MALAM HARI OBJEK STUDI: BANGUNAN-BANGUNAN BERSEJARAH DI KAWASAN SIMPANG LIMA, SEMARANG

Oleh: Ariani Mandala1, Vania Sheila2

Abstract

Historical buildings frequently appear distinctive in their architectural style and ornament. These buildings have an emotional impact and forms of association to eye-witnesses. While such distinction is apparent in daytime, after dark, artificial lighting plays a critical role in conserving and transforming images. The study explores the visual qualities of historical buildings in Simpang Lima, Semarang: Lawang Sewu Building, Wisma Perdamaian, and Mandala Bhakti Museum. As landmarks of the city of Semarang, historical buildings in this area have a variety of artificial lighting systems imposed on their facade. The following paper compares building visual qualities around Simpang Lima over a 24 hour period regarding the subjective perception of the viewer. The overall impression was that significant degradation of visual quality occurred at night across all subjects. Therefore, lighting systems – lighting techniques, luminance level and choice of light colour – have played an important role in reducing the visual quality of historical buildings. Observations are made as to how this situation could be improved.

Keywords: visual quality, artificial lighting, the area of Simpang Lima Semarang

Abstrak

Bangunan-bangunan bersejarah umumnya memiliki langgam arsitektur yang khas dan detail ornamen khusus sehingga memberikan impresi tersendiri bagi pengamat. Keunikan arsitekturnya dapat dengan mudah dieksplorasi pada saat terpapar cahaya di siang hari. Pada malam hari, pencahayaan buatan mengambil peran dalam menghadirkan kualitas visual bangunan bersejarah tersebut. Pencahayaan buatan berpotensi meningkatkan kualitas visual, dan sebaliknya juga dapat melemahkan bila tidak diaplikasikan dengan tepat. Penelitian ini akan mengeksplorasi kualitas visual bangunan-bangunan bersejarah di Kawasan Simpang Lima, Semarang mencakup Gedung Lawang Sewu, Wisma Perdamaian, dan Museum Mandala Bhakti. Kawasan tersebut menarik untuk diteliti karena merupakan salah satu landmark kota Semarang dan bangunan di sekitarnya memiliki variasi sistem pencahayaan buatan pada fasadnya. Analisis dilakukan dengan membandingkan kualitas visual bangunan di Kawasan Simpang Lima pada siang hari dan malam hari berdasarkan observasi di lapangan, dookumentasi objek, dan penilaian persepsi visual responden. Ditemukan penurunan kualitas visual pada malam hari terdapat pada seluruh objek studi yang diteliti. Kontribusi sistem pencahayaan buatan terutama aspek teknik pencahayaan, luminasi dan warna cahaya berperan besar dalam mereduksi kualitas visual bangunan.

Kata kunci: kualitas visual; pencahayaan buatan; Kawasan Simpang Lima Semarang

Pendahuluan

Aktivitas di luar bangunan meningkat pada saat sore dan malam hari bagi masyarakat kota. Beragam kegiatan sosial-budaya, olah-raga, maupun hiburan banyak dilakukan disaat jam kerja selesai. Peran pencahayaan buatan pada malam hari umumnya dikategorikan untuk memenuhi kebutuhan fungsional (bertujuan untuk kejelasan melihat berkaitan dengan aspek keamanan dan keselamatan) atau dekoratif (menambah nilai estetika bangunan/kawasan). Joel (2006) dikutip oleh Rankel (2014) menegaskan bahwa pencahayaan berperan besar untuk membentuk harmonisasi antara kebutuhan fungsional dan keindahan dalam konteks kota. Urban lighting, selain berpotensi untuk meningkatkan daya jual kawasan maupun bangunan juga dapat memberi penambahan kualitas visual pada citra kawasan kota di malam hari.

Kawasan Simpang Lima merupakan salah satu citra penting untuk Kota Semarang. Simpul Tugu Muda dan bangunan-bangunan di sekelilingnya memiliki nilai historis yang mendukung keberadaan Simpang Lima. Bangunan–bangunan bersejarah di kawasan ini memiliki karakter yang khas melambangkan langgam arsitektur pada jamannya. Karakteristik khas pada bangunan-bangunan bersejarah akan membentuk suatu citra yang tidak dimiliki oleh bangunan atau kawasan lain. Ketika siang hari, karakteristik pada bangunan-bangunan bersejarah dapat menghadirkan citra visual yang kuat karena terpapar cahaya matahari yang merata. Elemen-elemen arsitektur yang diperkuat dengan permainan ornamen, detail dan tekstur dapat dinikmati secara utuh. Namun pada malam hari, diperlukan teknik khusus agar mampu menampilkan kualitas visual bangunan dengan optimal. Penataan pencahayaan yang baik seharusnya dapat menghadirkan kualitas visual yang sama atau bahkan diperkuat pada malam hari.

Metode Studi

Objek studi yang dipilih meliputi Gedung Lawang Sewu, Wisma Perdamaian dan Museum Mandala Bhakti. Ketiganya merupakan bangunan bersejarah bergaya kolonial yang memiliki orientasi ke arah simpul Tugu Muda dan memiliki teknik pencahayaan buatan yang berbeda pada malam hari. Bangunan kolonial memiliki karakteristik fasad yang khas. Menurut Ching, 1979, komponen visual yang menjadi objek transformasi fasad dapat diamati melalui beberapa prinsip-prinsip yang menekankan pengolahan geometri, simetri, kontras, ritme, dan skala/proporsi. Kekhasan bangunan kolonial juga dapat terlihat lewat penggunaan material (baik jenis material, warna, maupun tekstur). Penggunaan elemen dekoratif/ ragam hias bangunan sangat berkaitan dengan unsur estetis yang dapat memperindah sekaligus menampilkan karakter bangunan kolonial (Amiuza dikutip oleh Antariksa, 2010). Karakteristik fasad bangunan pada malam hari perlu diberi penekanan dengan pencahayaan. Terdapat dua aspek pencahayaan yang perlu dipertimbangkan untuk dapat menampilkan kedalaman bentuk, warna dan material sebuah bangunan yaitu pemilihan teknik pencahayaan dan pemilihan jenis lampu (dan armatur) yang tepat (Hong, 2007). Teknik pencahayaan yang umum digunakan untuk menerangi fasad bangunan diantaranya dengan grazing light, floodlight, interior light, dan outlining (Egan, 2002).

Penelitian ini membandingkan kualitas visual bangunan bersejarah di Kawasan Simpang Lima Semarang pada siang hari dan malam hari. Data yang dikumpulkan termasuk jenis data kualitatif dari hasil observasi objek studi, kumpulan literatur, dan dokumentasi terkait karakteristik fasad dan sistem pencahayaan buatan masing-masing bangunan. Data fasad mencakup variabel komposisi fasad, material fasad, serta data elemen dekoratif yang terdapat pada bangunan. Variabel data sistem pencahayaan buatan yang diamati meliputi teknik pencahayaan fasad yang digunakan, sumber cahaya, serta distribusi cahaya. Kuesioner juga digunakan untuk mendapatkan data mengenai pendapat responden tentang perbandingan kualitas visual bangunan siang dan malam hari. Data persepsi ini dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner kepada 20 responden. Pemilihan responden terbatas pada pengunjung yang berada di kawasan Simpang Lima pada malam hari yang berusia dewasa. Untuk memudahkan perbandingan visualisasi, kuesioner dilengkapi foto-foto yang memperlihatkan fasad masing-masing bangunan siang dan malam hari. Pemilihan kata-kata yang digunakan dalam kuesioner diambil dari metode penelitian Manurung (2008) tentang topik sejenis. Teknik analisis yang digunakan termasuk jenis analisis deskriptif eksploratif dengan mengaitkan hasil identifikasi kualitas visual berdasarkan pengamatan di lapangan dengan hasil pengolahan data persepsi visual pengunjung kawasan Simpang Lima Semarang. Hasil dari analisis akan ditarik kesimpulan mengenai bagaimana kontribusi sistem pencahayaan buatan dalam meningkatkan ataupun mereduksi kualitas visual bangunan-bangunan di kawasan tersebut.

Identifikasi Karakteristik Fasad Dan Sistem Pencahayaan Buatan Bangunan-Bangunan Bersejarah Di Kawasan Simpang Lima, Semarang

a. Gedung Lawang Sewu

Gambar 1. Gedung Lawang Sewu pada Siang Hari

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar 2. Gedung Lawang Sewu pada Malam Hari

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Sebagai bangunan sudut, gedung Lawang Sewu memiliki peran yang penting dalam konteks kawasan. Fasad Lawang Sewu memiliki komposisi simetris dengan entrance bangunan (bagian sudut) sebagai sumbu tengah. Geometri fasadnya beragam, terdapat banyak perpaduan bentuk segiempat dan bentuk lengkung. Irama perulangan kolom memberikan efek repetisi paling dominan pada fasad, dimana ritme tersebut merupakan salah satu ciri khas arsitektur kolonial pada jaman tersebut. Ciri khas lainnya, Lawang Sewu juga memiliki serambi depan yang dimajukan dan ternaungi sehingga memberikan efek kontras gelap-terang (solid-void) antara ruang dalamnya yang terbayangi dan fasad luarnya. Pengulangan

solid-void ini mempertegas bentuk lengkung pada fasad dan menjadi framing / penegasan bagi setiap pintu dan jendela sehingga sesuai dengan konsep bangunannya yang memiliki banyak pintu. Keberadaan menara kembar pada sumbu bangunan dan ketinggian plafon yang tinggi menampilkan efek vertikalitas bangunan. Efek tersebut diimbangi dengan keberadaan pengulangan kolom pada bagian sayap bangunan sehingga memberi kesan horisontal pada fasad. Warna material yang digunakan dominasi cat putih dengan perpaduan warna merah bata pada atap dan coklat tuan pada material pintu dan jendela. Perpaduan warna tersebut memberikan kesan megah sekaligus hangat. Elemen dekoratif yang terdapat pada Lawang Sewu cukup banyak meliputi gable, tower, dormer, ballustrade, bouvenlicht, nok (hiasan atap), dan beragam ukiran hias pada fasad. Kentalnya ciri arsitektur kolonial pada karakteristik fasad ini menjadikan Lawang Sewu sebagai salah satu landmark yang populer di Kawasan Simpang Lima.

Tabel 1. Identifikasi Karakteristi

k Fasad Gedung Lawang Sewu

Geometri

Komposisi geometri beragam, dominasi perpaduan bentuk segiempat dan bentuk lengkung

Simetri/asimetri

Simetri

Komposisi

Repetisi ballustrade, kolom

Kombinasi vertikalitas dan horisontalitas.

Skala/proporsi

Kombinasi solid-void

Jenis material

Dominasi beton dan bata plester

Warna (tingkat Material

refleksi)

Dominasi tingkat refleksi tinggi (putih)

Tekstur

Dinding bertekstur kasar

Elemen Dekoratif

Gable, tower, dormer, ballustrade, bouvenlicht, nok, ragam ukiran hias

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Lawang Sewu telah mengalami beberapa kali renovasi, renovasi terakhir kali dilakukan pada Tahun 2015 dan diberikan pembaharuan sistem pencahayaan untuk meningkatkan keindahan bangunan pada malam hari. Teknik yang digunakan merupakan kombinasi grazing light, floodlight, dan interior light. Jenis lampu yang digunakan didominasi dengan lampu halogen dan LED dengan warna cahaya warm white (putih kekuningan).

Tabel 2. Identifikasi Sistem Pencahayaan Buatan Gedung Lawang Sewu

Teknik

Grazing

Dominan digunakan pada serambi depan

Pencahayaan

Floodlighting

Digunakan pada bagian menara dan dasar bangunan

Buatan

Interior Lighting

Digunakan pada bagian entrance

Jenis lampu

Dominan lampu halogen dan LED

Sumber cahaya

Jenis armatur

Dominan lampu sorot dan downlight

Warna cahaya

Putih kekuningan

Distribusi cahaya

Blob (wide/narrow)

Digunakan pada lampu sorot (distribusi lebar)

Diffuse

Dominan digunakan pada serambi depan

Sumber: Dokumentasi Pribadi

b. Wisma Perdamaian

Gambar 3. Wisma Perdamaian pada siang hari

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar 4. Wisma Perdamaian pd malam hari

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Wisma Perdamaian memiliki fasad yang simetris asimetris dengan fokus pada entrance di bagian tengah bangunan. Massa dari wisma perdamaian sendiri terbagi menjadi tiga bangunan yang berbeda, namun ketika disejajarkan maka fasad bangunan memiliki kesamaan elemen dan menjadi suatu kesatuan yang saling melengkapi. Prinsip geometri didominasi oleh bentuk segi empat dengan sedikit aksentuasi bentuk lengkung. Salah satu ciri khas arsitektur kolonial adalah serambi depan pada bagian pintu masuk dimana pada Wisma Perdamaian terdapat pada setiap bangunannya. Hal ini memberikan kontras gelap akibat pembayangan dari serambi tersebut. Fasad bangunan Wisma Perdamaian juga memberikan pengulangan ritme kolom. Sama seperti langgam arsitektur kolonial pada umumnya, Wisma Perdamaian didominasi oleh dinding warna putih dengan elemen pintu dan jendela kayu yang berwarna coklat. Hal ini memberi kesan hangat pada karakter bangunan dan sesuai dengan fungsinya yang dibuka untuk publik. Bagian serambi depan memiliki skala yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan skala manusia sehingga memberikan kesan megah dan luas pada bagian pintu masuk bangunan. Kesan megah ini memandai bahwa dulunya fungsi bangunan ini sebagai rumah tinggal gubernur yang memiliki hirarki jabatan yang cukup tinggi. Adanya kolom-kolom yang berulang memberikan efek vertikalitas pada fasad dimana pola perletakan jendela dan pintu mengikuti setiap sela-sela pengisi antar kolom.

Tabel 3. Identifikasi Karakteristik Fasad Wisma Perdamaian

Geometri

Komposisi Simetri/asimetri

Ritme

Skala/proporsi

Jenis material

Material    Warna (tingkat refleksi)

Tekstur

Elemen Dekoratif


Dominasi bentuk segiempat dengan aksentuasi lengkung pada fasad dan segitiga pada atap

Simetri-asimetri

Repetisi kolom

Vertikalitas

Dominasi beton dan bata plester

Dominasi tingkat refleksi tinggi (putih)

Halus

Ballustrade, nok (hiasan atap), ragam ukiran hias

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pencahayaan Wisma Perdamaian yang utama berupa downlight pada plafon serambi entrance dan serambi samping. Pada bagian jendela dan di teras pintu masuk terdapat beberapa lampu gantung namun pada saat observasi dilakukan, lampu tersebut tidak dapat

dinyalakan. Teknik yang digunakan adalah grazing light dengan distribusi lebar. Wisma Perdamaian juga mendapat pencahayaan umum dari lampu taman yang difus. Rumah lampu dari lampu gantung dan lampu tiang pada taman sesuai dengan gaya arsitektur kolonial dengan ukiran dekoratif. Warna cahaya yang digunakan adalah putih (cool white).

c. Museum Mandala Bhakti

Gam bar 5. Museum Mandala Bhakti pada siang hari

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Gambar 6. Museum Mandala Bhakti pada malam hari

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Tabel 4. Identifikasi Sistem Pencahayaan Buatan Wisma Perdamaian

Teknik

Grazing

Digunakan pada serambi depan

Pencahayaan

Buatan

Floodlighting

Digunakan pada lampu taman

Jenis lampu

Fluorescent

Sumber cahaya

Jenis armatur

Downlight dan lampu gantung pada plafon dan lampu tiang pada taman

Warna cahaya

Putih

Distribusi cahaya

Blob (wide/narrow) Diffuse

Digunakan pada downlight (distribusi lebar)

Digunakan pada lampu taman

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Museum Mandala Bhakti memiliki bentuk denah dan komposisi fasad yang simetris. Fasad bangunan Museum Mandala Bhakti terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bidang tengah yang menunjukkan letak pintu masuk dan bidang dinding di sisi samping bangunan. Pada bidang tengah terdapat teritisan yang melindungi dan memperjelas artikulasi pintu masuk utama. Material fasad bidang tengah menggunakan batu alam dan kisi-kisi krawang (tingkat refleksi sedang). Bidang samping terbagi dengan simetris dan memiliki komposisi yang sama. Masing-masing memiliki komponen yang sama. Prinsip geometri pada Museum Mandala Bhakti didominasi oleh bentuk segi empat baik dari lubang bukaan maupun bentuk jendela dan pintu. Transformasi bentuk tidak bervariasi, sehingga kontras gelap terang pada fasad bangunan tidak menonjol. Ritme pengulangan terdapat pada irama bukaan (jendela dan lubang ventilasi) pada fasad. Material yang dominan berupa dinding plester warna putih dan minim dalam penggunaan elemen dekoratif (sedikit ragam hias pada fasad bangunan). Letak aksentuasi warna hanya terdapat pada teritisan bagian pintu masuk yang menggunakan batu travertine berwana cokelat muda. Karakter bangunan masif dengan sedikit bukaan. Fungsi awal bangunan adalah sebagai pengadilan yang kemudian sekarang digunakan sebagai markas KODAM IV. Faktor ini dapat mendukung bentuk bangunan yang masif agar menunjukkan kekuatan fungsi dalam bangunan. Bangunan ini tidak memiliki ritme

perulangan kolom. Skala bangunan horisontal karena proporsi lebar bangunan yang lebih besar dibandingkan tingginya dan dipertegas dengan ritme pengulangan bukaan pada fasad.

Tabel 5. Identifikasi Karakteristik Fasad Museum Mandala Bhakti

Geometri

Simetri/asimetri

Komposisi

Skala/proporsi

Jenis material

Material    Warna (tingkat refleksi)

Tekstur

Elemen Dekoratif

Dominasi bentuk segiempat

Simetri

Repetisi bukaan

Horisontalitas

Dominasi beton, bata plester, dan batu alam

Dominasi tingkat refleksi tinggi (putih) dan sedang (cokelat muda)

Beragam (kasar-halus)

Ragam hias

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sistem pencahayaan buatan Museum Mandala Bhakti terdiri dari teknik grazing light dan floodlighting. Teknik grazing light diaplikasikan dengan menempatkan beberapa lampu LED pada plafon teritis. Pada bagian pintu masuk juga menggunakan sistem pencahayaan yang sama. Warna lampu yang digunakan dominan putih. Teknik floodlight diaplikasikan menggunakan lampu sorot halogen warna putih kekuningan yang ditempatkan pada lansekap. Namun pada kenyataannya lampu tersebut hanya dinyalakan apabila ada acara khusus.

Tabel 6. Identifikasi Sistem Pencahayaan Buatan Museum Mandala Bhakti

Teknik

Grazing

Digunakan pada plafon teritis

Pencahayaan

Buatan

Floodlighting

Digunakan pada lampu sorot taman

Sumber cahaya

Distribusi cahaya

Jenis lampu

Jenis armatur

Warna cahaya

Blob (wide/narrow)

Diffuse

LED dan halogen

Tanpa armatur pada plafon teritis dan lampu sorot pada taman

Dominan putih

Digunakan pada lampu sorot (distribusi lebar)

Digunakan pada lampu plafon

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Kualitas Visual Bangunan-Bangunan Bersejarah Di Kawasan Simpang Lima, Semarang Pada Malam Hari

  • a.    Gedung Lawang Sewu

Lawang Sewu memiliki banyak karakteristik bangunan kolonial, teknik grazing light digunakan untuk menonjolkan detail-detail bangunan tersebut. Perletakan lampu didekatkan ke bangunan sehingga memperlihatkan tekstur dinding. Grazing light pada bagian serambi depan menggunakan distribusi cahaya difus/menyebar. Hal ini meningkatkan kemerataan cahaya pada bagian ruang dalam serambi sehingga menguatkan ritme gelap-terang repetisi kolom dan menekankan efek skala horisontalitas bangunan. Namun demikian penggunaan distribusi difus ini juga menyebabkan penekanan tekstur dinding menjadi berkurang. Lampu sorot asimetris diletakan pada lansekap untuk memberikan penerangan bangunan secara

umum. Penerangan ini berguna untuk memperlihatkan bentuk bangunan keseluruhan dengan teknik floodlighting dan sudut distribusi lebar. Tingkat iluminasi penerangan general cukup rendah agar kontras cahaya pada detail-detail bangunan lebih menonjol. Teknik interior lighting diterapkan pada bagian bangunan sudut (jendela dan pintu entrance). Teknik ini mendefinisikan bentuk lengkung/ arch antar kolom pada bagian entrance dan mempertegas detail jendela (menampilkan detail siluet). Namun demikian, dibandingkan dengan pencahayaan pada bagian sayap bangunan, kontras cahaya pada bagian ini lebih kecil sehingga kesan yang ingin dicapai kurang menonjol. Penegasan kontras dilakukan pada elemen ballustrade dengan menggunakan teknik floodlighting. Elemen dekoratif yang lain seperti tower, dormer, bouvenlicht maupun nok yang tidak diberi penekanan khusus, namun cukup dapat dinikmati karena terdapat pencahayaan umum dari lampu sorot pada lansekap. Penggunaan warna material fasad dengan tingkat refleksi tinggi juga memberikan dampak terang pada bangunan meskipun disorot dengan iluminasi rendah. Warna cahaya putih kekuningan juga berperan meningkatkan nilai historis/kesejarahan dan menampilkan kesan hangat/informal. Secara keseluruhan sistem pencahayaan buatan sudah mampu berkontribusi dalam menekankan karakateristik fasad dengan memberi highlight pada detaildetail khas bangunan seperti repetisi solid-void (kolom dan bentuk lengkung pada serambi depan maupun area entrance), kejelasan bentuk bangunan, dan penegasan beberapa detail elemen dekoratif. Penggunaan teknik pencahayaan yang sama dan berulang pada bagian sayap juga menyesuaikan dengan komposisi karakteristik fasad yang simetri.

Gambar 7. Persepsi Visual Responden terhadap Gedung Lawang Sewu Sumber: Dokumentasi Pribadi

Data persepsi visual memperlihatkan bahwa kualitas visual bangunan Lawang Sewu pada siang hari (garis merah ….) lebih baik dibandingkan kualitas visual bangunan pada malam hari (garis biru ----). Pengunjung memberi apresiasi lebih terhadap kualitas visual pada siang

hari karena karakteristik Lawang Sewu terlihat jelas, menarik, dan mengundang sehingga pengunjung dominan menyukai bangunan tersebut. Pada malam hari, kualitas visual sedikit menurun, namun secara keseluruhan masih dinilai terang, indah, menarik, dan juga disukai. Terdapat beberapa respon menarik dari responden seperti kesan suram, tegang, dan tidak aman dapat diduga berkorelasi dengan image bangunan Lawang Sewu yang memiliki kesan

mistis. Hal lain yang menarik adalah pada malam hari responden menilai bangunan ini lebih menyenangkan dibandingkan siang hari. Pencahayaan buatan dengan permainan kontras cahaya dapat menimbulkan kesan tersebut.

  • b.    Wisma Perdamaian

Wisma Perdamaian difungsikan sebagai tempat kegiatan gubernur, dan umum digunakan untuk acara rapat formal. Karena fungsinya yang privat, maka maka teknik pencahayaan juga didesain tidak mencolok. Penggunaan warna cahaya putih juga menguatkan kesan formal bangunan. Lampu downlight yang terdapat pada plafon serambi bangunan selain fungsional sebagai penerangan jalur sirkulasi, juga menguatkan ritme kolom dengan menghadirkan kontras cahaya antara ruang dalam serambi dan bagian luarnya. Namun demikian, iluminasi yang kecil melemahkan potensi efek kontras tersebut. Skala vertikalitas bangunan juga tidak ditonjolkan dengan penggunaan teknik yang tepat, Lampu tiang yang terdapat pada area lansekap, selain berfungsi sebagai penerangan taman juga berfungsi sebagai penerangan umum yang memilki kontribusi dalam menampilkan keseluruhan bangunan. Meskipun demikian, intensitasnya yang kecil dan distribusi cahaya yang difus tidak mampu menerangi keseluruhan bangunan. Penggunaan warna material fasad yang memiliki tingkat refleksi tinggi sedikit membantu menampilkan sosok bangunan, namun kurang memberikan kesan visual yang jelas.

Gambar 8. Persepsi Visual Responden terhadap Wisma Perdamaian

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dari hasil persepsi responden terhadap kualitas visual Wisma Perdamaian terdapat penurunan cukup jauh dari kualitas visual siang hari (garis merah .…) dan malam hari (garis biru ----). Gaya arsitektur Wisma Perdamaian sendiri memang lebih sederhana jika

dibandingkan dengan Lawang Sewu, namun kualitas visual siang hari rata-rata tetap dipersepsikan positif dan disukai oleh responden terutama karena berkesan terang, indah, dan menarik. Namun pada malam hari, persepsi negatif terutama pada kesan menegangkan dan tidak mengundang. Teknik pencahayaan yang tidak variatif dan iluminasi yang rendah sehingga karakteristik bangunan tidak dapat dinikmati merupakan faktor utama penurunan kualitas visual Wisma Perdamaian pada malam hari.

  • c.    Museum Mandala Bhakti

Karakteristik bangunan Museum Mandala Bhakti cukup sederhana dan monoton dibandingkan bangunan lainnya di Kawasan Simpang Lima. Ritme pengulangan bukaan menjadi hal yang paling menonjol dalam komposisi fasad. Sistem pencahayaan buatan sudah berusaha untuk memberikan penegasan terhadap irama tersebut dengan teknik grazing light pada plafon teritis. Namun hal tersebut dinilai belum optimal dalam menampilkan karakteristik bangunan. Permainan tekstur dan warna material juga tidak jelas terlihat pada malam hari, disebabkan oleh kurangnya iluminasi dari penerangan umum. Lampu sorot sebenarnya dapat membantu menampilkan sosok bangunan menjadi lebih kuat, namun hanya dioperasikan pada acara khusus. Hal ini mungkin disebabkan kendala biaya operasional. Penggunaan warna material putih sudah cukup membantu merefleksikan cahaya lebih besar, sehingga secara keseluruhan sosok bangunan masih dapat terlihat dengan jelas.

G ambar 9. Persepsi Visual Responden terhadap Museum Mandala Bhakti Sumber: Dokumentasi Pribadi

Hasil kuesioner didapat bahwa kualitas visual bangunan pada malam hari (garis biru ----)

juga mengalami penurunan dari kondisi siang hari (garis merah ….). Hal ini disebakan terutama karena penggunaan teknik cahaya yang tidak bervariasi dan pemilihan warna cahaya. Karakteristik bangunan ini simetri dan sederhana tanpa banyak detail olahan bentuk maupun ornamen sehingga cenderung berkesan monoton. Pemilihan warna cahaya putih yang ditembakan pada material dengan tingkat refleksi tinggi (putih) mampu memberikan persepsi terang dan jelas pada sosok bangunan. Aksentuasi tekstur material dan pengolahan fasad bagian pintu masuk tidak diberi penekanan sehingga kesan monoton dan membosankan semakin kuat. Namun demikian penilaian kualitas visual museum lebih baik daripada Wisma Perdamaian. Ini mungkin disebabkan nilai luminasi/brightness pada museum lebih tinggi sehingga bangunan tampak lebih terang. Posisi/letak sumber cahaya yang dekat dengan bidang refleksi (dinding) merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan brightness pada museum.

Kesimpulan

Hasil identifikasi karakteristik fasad memperlihatkan bahwa Gedung Lawang Sewu, Wisma Perdamaian, dan Museum Mandala Bhakti mampu menampilkan estetika fasadnya yang mencerminkan ciri arsitektur bangunan kolonial. Pada siang hari, kualitas visual jelas terlihat dan dapat dinikmati oleh pengamat dengan sumber cahaya langit, namun pada malam hari daya tarik tersebut berkurang. Aplikasi pencahayaan buatan yang kurang tepat pada malam hari merupakan penyebab utama penurunan kualitas visual bangunan. Penurunan kualitas visual paling besar terdapat pada bangunan Wisma Perdamaian. Ini disebabkan karena minimnya variasi teknik pencahayaan buatan yang diaplikasikan dan rendahnya tingkat iluminasi cahaya. Hal yang sama terjadi pada bangunan Museum Mandala Bhakti karena mengaplikasikan teknik pencahayaan yang serupa. Namun kualitas visual malam hari masih lebih baik, karena tingkat iluminasi yang lebih tinggi. Penggunaan warna material putih juga membantu memperjelas sosok bangunan karena tingkat refleksi cahaya yang tinggi. Variasi teknik pencahayaan dan warna cahaya hangat berkontribusi meningkatkan daya tarik bangunan Lawang Sewu pada malam hari. Pencahayaan diaplikasikan untuk menekankan karakter fasad bangunan termasuk detail-detail ornamen dan elemen-elemen dekoratifnya sehingga estetika fasad Lawang Sewu juga dapat dinikmati pada malam hari. Dapat disimpulkan bahwa variasi teknik pencahayaan,tingkat luminasi (dan iluminasi) cahaya, dan pemilihan warna cahaya merupakan faktor yang paling berkontribusi dalam meningkatkan maupun menurunkan kualitas visual bangunan pada malam hari. Kualitas visual tersebut penting untuk mempertahankan bahkan memperkuat identitas bangunan dan berpotensi meningkatkan daya tarik pengunjung pada kawasan Simpang Lima Semarang.

Daftar Pustaka

Antariksa. (2010). Tipologi Ragam Hias Bangunan/Ornamen dalam Arsitektur Kolonial Belanda. Retrieved from http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2010/04/tipologi-ragam-hias-bangunanornamen.html. 31 Juli 2017.

Ching, F. D. K. (1996). Arsitektur Bentuk Ruang dan Tatanan. Jakarta: Erlangga.

Egan, D. M. & Olgyay, V. 2002. Architectural Lighting. New York: McGraw-Hill Book Company.

Hadinoto. (2010). Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hong, O. S. (2007). Design Basis to Quality Urban Lighting Masterplan. (Thesis for Master of Arts (Architecture)), Department of Architecture, National University of Singapore.

Lam, W. M.C. (1977). Perception and Lighting as Formgivers for Architecture. New York: McGraw-Hill Book Company.

Manurung, P. (2007). Visual Perception in Architectural Lighting Design. Proceedings of the International Conference, Universitas Islam Indonesia.

Manurung, P. (2008). Kualitas Pencahayaan pada Bangunan Bersejarah. Jurnal DIMENSI Teknik Arsitektur, 36 (1), 28-34.

Sheila, V. (2017). Pengaruh Teknik Pencahayaan Buatan Terhadap Kualitas Visual Bangunan Bersejarah pada Kawasan Tugu Muda Semarang. (Skripsi), Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Sumalyo, Y. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Steffy, G. (2002). Architectural Lighting Design. New York: John Willey & Sons, Inc.

Rankel, S. (2014). Future Lighting And The Appearance Of Cities At Night. Urbani Izziv, 25(1), 126-141.

36

SPACE - VOLUME 5, NO. 1, APRIL 2018