RUANG


REPRESENTASI SISTEM SOSIAL MASYARAKAT PADA POLA PERMUKIMAN DESA TRUNYAN BANGLI

SPACE


Oleh: Ni Ketut Ayu Siwalatri1

Abstract

As part of the built environment, human settlements are not singularly about physical forms. They also offer a much deeper denotation to non-physical elements. Physical formations often deliver messages reflecting values and meanings that are invisible, but well imbedded within. Taking these circumstances as its context of study, this paper concentrates on how social systems are represented in the spatial settings of a human settlement and its built forms. It chooses Trunyan Village as its case study. This is one among many Bali Aga settlements found in Bali Island, which is located on the shore of Lake Batur. As the case of other Bali Aga communities, Trunyan offers a pre-Majapahit civilization. Using qualitative approaches, this study reveals that the overall physical layout of this settlement is governed by a concept of luan-teben (upstreamdownstream) and a specific concept of north, east, south, and west that has no bearing to cardinal compass points. North-south orientation is held in a more prominent manner than that of east-west. They believe that north (hulu/luan) is where the mountain stands (referred to Abang Mountain which stands on the eastern side of this village. South direction (teben) is where water lays (referred to Lake Batur, which lays to the west side of Trunyan). Spatial formation of homes within this settlement is an expression of a virilocal kinship, in which marriages between members of a clan (dadia) is a must. Homes of families that belong to one dadia will be placed in a tight zone. They therefore live in a close distance from one family to another. Further spatial arrangements of the whole settlement are explained in the text.

Keywords: representation, settlement, community social system, Trunyan Village Bangli

Abstrak

Sebagai bagian dari sebuah lingkungan terbangun, permukiman masyarakat tidak hanya berkaitan dengan masalah fisikal saja, tetapi juga merepresentasikan sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang berkaitan dengan masalah non fisik. Ekspresi fisikal lingkungan terbagun sering ingin menyampaikan sesuatu yang merupakan refleksi dari nilai dan makna yang tidak kasat mata, tetapi melekat didalamnya. Permasalahan makna dan nilai dalam penelitian ini menekankan pada bagaimana sistem social masyarakat direpresentasikan kedalam setting keruangan permukiman masyarakat dan pada lingkungan terbangun. Penelitian ini mengamati pola spatial permukiman masyarakat Trunyan yang merupakan salah satu permukiman Bali Aga di Bali yang terletak di pesisir Danau Batur. Seperti permukiman Bali Aga lainnya, Desa Trunyan merupakan permukiman yang berkembang pada masa sebelum Majapahit. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui penelitian ini ditemukan bahwa pola keruangan permukiman masyarakat Trunyan ditata berdasarkan sumbu luan-teben dimana arah luan mengacu pada tempat tertinggi (Gunung Abang) dan teben kearah Danau Batur. Permukiman masyarakat Trunyan hanya menerapkan satu sumbu yaitu sumbu luan teben sedangkan sumbu timur barat tidak terlalu jelas penerapannya. Formasi tata letak rumah mengeksresikan sistem kekerabatan yang virilokal, dimana rumah-rumah dibangun berdekatan diantara anggota kelompok masyarakat/klan/dadia dan sanggah dadia terletak dibagian hulu/luan. Karena ketersediaan lahan yang terbatas, maka rumah-rumah dibangun sangat berdekatan diantara anggota kelompok dadia.

Kata kunci: representasi, permukiman, sistem sosial masyarakat, Desa Trunyan Bangli

1


Pendahuluan

Penelitian tentang keunikan budaya masyarakat Trunyan sudah banyak dilakukan terutama pada konteks antrolopogi (Danandjaya, 1985), kesejarahan dan arkeologis. Desa Trunyan telah lama menjadi objek wisata sejak pelukis Walter Spies menggambarkan keunikan tradisi masyarakat Trunyan (Danandjaya, 1985:). Derasnya arus modemisasi masuk ke Bali melalui pariwisata secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada semua sendi kehidupan masyarakat, termasuk arsitektur lokal yang menjadi kekayaan intelektual masyarakat setempat. Memahami dan mendalami bentuk arsitektur setempat menjadi salah satu kewajiban kalangan akademis untuk dapat menjadikannya sebagai bagian dari system pengetahuan yang universal, sehingga generasi selanjutnya masih dapat memahami perkembangan kebudayaan dan arsitektur di Bali.

Desa Trunyan merupakan salah satu desa tua yang ada di kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Trunyan terletak di pisisir danau Batur dan memiliki berbagai tradisi yang unik yang menjadi identitas masyarakat desa Trunyan. Dananjaya menyatakan bahwa desa Trunyan merupakan salah satu desa tua di Bali bahkan di Indonesia yang berkembang sejak abad 10 masehi. Desa ini terkenal karena memiliki berbagai tradisi yang dikembangkan oleh masyarakatnya berdasarkan pada kondisi fisik lingkungan dan system kepercayaanmasyarakatnya. Desa Trunyan terletak disebelah timur gunung Batur di pesisir danau Batur. Desa telah lama menjadi objek penelitian karena memiliki tradisi yang unik dan merupakan lokasi penelitian yang dilakukan oleh James Danandjaya telah melakukan penelitian etnografi masyarakat Trunyan

Desa Trunyan terletak dipesisir danau Batur di kecamatan Kintamani dengan luas wilayah 1963 Ha. Desa Trunyan dihuni oleh 765 KK (BPS Kabupaten Bangli 2013). Desa adat Trunyan terdiri dari 6 tempek termasuk di dalamnya desa induk Trunyan, desa Madia, Pangkungan, Bunut, Puseh dan Mukus. Desa Adat Trunyan juga memiliki empat balogan atau daerah tertutup/terisolasi yaitu Kakap, Tanggung Titi, Waru dan Cimelandung. Cimelandung merupakan lokasi awal desa Trunyan sebelum berpindah ke lokasi sekarang. Desa adat Trunyan berfungsi sebagai desa induk dalam perkumpulan desa-desa dalam banua. Di dalam banua desa Trunyan juga termasuk desa-desa bintang danu /desa satelit yaitu desa Abang Dukuh, Kedisan, Songan, Buahan dan beberapa desa di Gianyar dan Karangasem (Dananjaya, 1980 dalam Ottino 1994). Melihat hubungan kesejarahan dengan desa-desa di dalam banua desa Trunyan, nampak bahwa desa ini memiliki hubungan /kekuasaan yang luas.

Seperti pada umumnya desa-desa kuno, masyarakat memiliki mitos atau legenda yang menceritrakan terbentuknya desa atau dunia. Mitos adalah ceritra rakyat yang bersifat sakral. Mitos sering berkaitan ceritera mengenai seseorang, binatang atau kejadian atau aturan. Secara etimologi mitos berasal dari dari bahasa Yunani mythos yang merupakan ceritra narasi yang dimiliki oleh sebuah daerah atau kelompok masyarakat.

Menurut Dananjaya masyarakat Trunyan bukan masyarakat primitif, tetapi merupakan masyarakat konservatif yang masih memegang teguh tradisi yang dimilikinya. Sistem kekerabatan masyarakat Trunyan adalah patrilinialyaitu mengikuti garis keturunan laki-laki. Di dalam masyarakat Trunyan hubungan kekerabatan masih sangat kuat dan mereka

terbagi menjadi beberapa kelompok keluarga /klan. Hubungan kekerabatan di dalam klan ini sangat kuat, karena mereka memiliki kepercayaan bahwa perkawinan harus dilakukan diantara anggota klan tersebut.

Metode

Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan interpretasi pada ekspresi pola spatial dan arsitektur masyarakat Trunyan. Interpretasi harus dilakukan karena keterbatasan bukti tertulis yang tersedia yang menjelaskan konsep keruangan permukiman masyarakat Trunyan. Interpretasi dilakukan setelah melakukan observasi di lapangan dan melakukan wawancara mendalam dengan masyarakat dan pemuka adat. Observasi, wawancara dan interpretasi merupakan tahapan dari lingkaran hermeneutic yang dapat dilakukan untuk memahami makna atau sistem nilai yang diyakini oleh masyarakat yang diterapkan pada pola permukiman dan arsitektur mereka.

Representasi dan Arsitektur

Sebuah lingkungan terbangun merupakan representasi dari berbagai sistem nilai dan gagasan dari masyarakatnya. Arsitektur sebagai wujud fisikal merupakan media yang sering digunakan untuk merepresentasikan sesuatu seperti makna atau ide tertentu, dan arsitektur sekaligus mengekspresikan kondisi social budaya masyarakatnya (Kamalipour and Zaroudi, 2014). Pada arsitektur vernakular dimana masyarakat masih memiliki ikatan kekerabatan yang sangat dekat, rumah atau perumahan dibangun dengan mempertimbangkan sistem kekerabatan dan struktur sosial masyarakatnya. Di satu sisi kebudayaan dapat dilihat sebagai akumulasi yang kompleks dari aktivitas manusia, kebiasaan, seni, kerajinan, sistem keperayaan, etika dan pemikiran, namun di sisi lain kebudayaan juga dapat dilihat sebagai kumpulan dari ilmu pengetahuan, sistem nilai, makna dan visi masyarakatnya. Kedua lapisan kebudayaan ini diekspresikan ke dalam sistem sosial masyarakat, pola hubungan keluarga, sistem pemerintahan dan diekspresikan kedalam berbagai bentuk fisik kebudayaan seperti arsitektur. Arsitektur merupakan respon fisikal dari kebutuhan manusia untuk tempat pernaungan dan disesuaikan dengan konteks social budaya. Kebudayaan juga dapat dilihat sebagai kumpulan nilai dan cita-cita yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dan dapat diwariskan atau diteruskan ke generasi selanjutnya melalu proses pembelajaran dari anggota kelompok (Rapoport, 1980).

Sistem kekerabatan dan struktur organisasi masyrakat yang komunal merupakan system untuk mengatur kehidupan social masyarakat. Sistem kekerabatan pada masyarakat Bali Aga pada umumnya adalah patrilineal atau mengikuti garis keturunan laki-laki. Sedangkan struktur organisasi kemasyarakatan merupakan organisasi yang dimiliki oleh desa untuk mengatur organisasi dan kegiatan yang dilaksanakan masyarakat. Pada masyarakat komunal mereka memiliki berbagai sistem organisasi yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Struktur Sosial Masyarakat Desa Trunyan

Sistem kekerabatan masyarakat Trunyan adalah patrelineal atau menurut garis keturunan laki-laki dan kebiasaan menetap setelah kawin adalah patrilokal (Danandjaya, 1985).

Perkawinan di dalam masyarakat desa Trunyan ditujukan pada perkawinan endogami di dalam dadia mereka. Masyarakat diharapkan menikah dengan salah satu anggota dari dalam dadia mereka, namun perkawinan juga tidak boleh dilakukan dengan anggota dadia yang terlalu dekat seperti menikah dengan sepupu yang ayahnya bersaudara sekandung. Dadia adalah kelompok keluarga dalam garis keturunan yang segaris /virilokal. Menurut sistem kepercayaan masyarakat Trunyan perkawinan endogami dadia dapat menjamin mereka dapat tetap ber-reinkamasi/menitis kembali di dalam angota dadia mereka (Danandjaya, 1985). Menikah dengan seseorang di luar dadia tidak diharapkan karena rohnya tidak diterima atau rohnya akan kebingunan menentukan tempatnya.

Masyarakat Trunyan adalah masyarakat yang egaliter, tidak memiliki kelas atau kasta. Namun dalam praktek organisasi di desa, ada beberapa kelompok/dadia yang memiliki supremasi, yang memegang peranan penting dalam mengambil keputusan di tingkat desa. Organisasi desa adat Trunyan terdiri dari pasangan yang sudah menikah. Kumpulan keluarga sedarah terbentuk kelompok keluarga/dadia. Di desa Trunyan ada dua pembagian masyarakat menjadi dua banjar yaitu banjar jero (warga dalam) dan banjar jaba (warga luar). Pembagian ini berdasarkan sejarah waktu kedatangan masyarakat di desa Trunyan, yaitu warga yang datang pertama kali dan warga yang datang belakangan. Dahulu warga Banjar Jero tinggal di dalam tembok pembatas dan banjar jaba tinggal di luar, namun setelah desa pindah ke lokasi saat ini pembagian lokasi tempat tinggal mereka tersebut tidak lagi dilakukan.

Desa adat secara kosmologi masyarakat Trunyan dibagi menjadi dua yaitu sibak muni (secara etimologi berarti kelompok laki-laki) dan sibak luh (kelompok perempuan). Dalam prakteknya pembagian ini tidak berdasarkan pembagian wilayah tempat tinggal tetapi berdasarkan pembagian tugas dan tanggung jawab pada saat melaksanakan prosesi upacara ritual dan juga tidak berdasarkan gender. Setiap anggota dadia menjadi anggota salah satu sibak/kelompok, dan pasangan yang menikah menjadi anggota sibak suaminya. Menurut mitos masyarakat Trunyan anggota sibak merupakan keturunan dari raja pertama Trunyan dan istrinya. Anggota sibak muni merupakan keturunan dari pihak laki-laki dan sibak luh adalah keturunan dari pihak istri raja. Anggota sibak muni secara ekslusif termasuk ke dalam kelompok dadia dari pendatang /penetap pertama banjar jero, dan sibak luh masuk ke kelompok dadia lainnya. Pendatang baru masuk ke dalam sibak luh dengan cara diadopsi oleh dadia lainnya (Danandjaya, 1980 dalam Ottino, 1994 ).

Gambar 1 dan 2. Lokasi Desa Trunyan dan Peta Desa Trunyan

(sumber : Google dan Dwijendra, 2015)


Pola Permukiman Masyarakat Trunyan

Permukiman masyarakat Trunyan termasuk kedalam salah satu arsitektur Bali Aga yang antara abad I 0-12 AD. Desa Trunyan terletak di pesisir danau Batur dengan lahan datar yang terbatas, sehingga permukiman Desa Trunyan cukup padat dengan dimensi bangunan yang relative kecil. Secara umum permukiman masyarakat Trunyan terdiri dari tempat pemujaan/pura desa dan merupakan pura yang terbesar di Desa Trunyan yaitu Pura Pancering Jagat. Balai Banjar/balai desa, perumahan masyarakat dan kuburan. Jaringan jalan merupakan jaringan antar berbagai komponen permukiman. Pada masyarakat tradisional biasanya ini adalah memahami konsep keruangan yang dimiliki masyarakat Trunyan.

Secara geografis yang Desa Trunyan dikelilingi pegunungan/Gunung Abang dan danau berada di ketinggian 1027 m di atas permukaan laut maka Desa Trunyan memiliki iklim dengan suhu berkisar antara 15°-30°C (BPS Bangli 2011) . Desa Trunyan terletak di atas muka air (water belt) sehingga mata pencaharian masyarakat adalah berladang dan sawah basah hanya diperuntukkan bagi golongan masyarakat tertentu karena luasnya sangat terbatas. Dengan kondisi geografis seperti ini, maka penduduk mayoritas adalah peladang

Permukiman Desa Trunyan mengembangkan konsep kosmologi dengan menetapkan arah luan/kaja kearah gunung Abang dan kelod/teben ke arah danau Batur. Arah kangin/timur adalah ke utara dan arah kauh/barat adalah ke arah selatan. Konsep kosmologi ini dibutuhkan oleh masyarakat untuk menata permukiman mereka, mengatur tata letak fungsi-funhsi dalam permukiman. Penetapan konsep kosmologi ini digunakan untuk menentukan hirarkhi keruangan baik di tingkat desa maupun rumah tinggal/rumah adat dan menentukan posisi luan dan teben. Penentuan hirarkhi ruangan/tempat juga mempertimbangkan kondisi topografis desa yang lebih tinggi biasanya merupakan tempat yang dianggap/diberi nilai lebih sebagai lokasi tempat pemujaan/pura. Pura Pancering Jagat/Pura Bali sebagai pura terbesar di Desa Trunyan terletak di posisi kaja/luan dan di ke arah gunung Batur dan terdapat jalan utama yang sebagai main core/plaza dan menjadi jalan sakral pada saat kegiatan prosesi upacara dan jalan ini digunakan area proses upacara pada saat purnama kapat yaitu pada saat pertunjukan upacara ngusaba gede/ngusaba lanang (Dananjaya 1980).

Di Desa Trunyan terdapat Pura Dalem yang terletak di sebalah kangin/utara Pura Desa/Pura Pancering Jagat. Pura Dalem terdiri dari dua pelinggih yaitu Pelinggih Sang Hyang ibu Pertiwi dan Sang Hyang Aji Akasa atau Ratu Sakti Dalem Suarga (Ottino, 1994). Posisi Pura Dalem ini dekat dengan kuburan. Kuburan desa terletak terpisah dari permukiman masyarakat, terletak di sebelah kangin/utara desa, dan untuk mencapai kuburan harus melalui danau. Dan menurut kepercayaan masyarakat penduduk wanita tidak boleh ikut kekuburan pada saat prosesi upacara penguburan, penguburan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki Trunyan. Masyarakat Trunyan memiliki tiga buah kuburan, yaitu sema wayah yaitu kuburan untuk orang dewasa yang meninggal secara wajar; sema nguda kuburan untuk anak-anak, dan sema bantas kuburan untuk yang meninggal tidak wajar seperti kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh. Letak sema bantas ada di atas/kauh desa terpisah dengan sema wayah dan sema nguda. Pada sema wayah hanya terdapat 11

buah tempat penguburan dan kalau ada yang meninggal, maka salah satu kuburan terlama akan dipindahkan dan digunakan lagi. Saat ini kuburan menjadi salah satu objek wisata di desa Trunyan, karena tradisi penguburan yang unik dan walaupun ada mayat yang dikubur tetap tidak berbau, karena adanya taru menyan/pohon berbau harum


Gambar 3. Pola permukiman Desa Trunyan dengan Kosmologi Lokal Sumber : Dwijendra, 2015

Posisi kuburan kalau dilihat dari konsep kosmologi setempat terletak di sisi kangin/utara Pada masyarakat Bali Aga pada umumnya tidak menggunakan sumbu kangin-kauh untuk menentukan hirarkhi ruangan, dan hanya menggunakan sumbu kaja-kelod atau luan teben. Posisi timur jarang dianggap memiliki nilai lebih tinggi pada tradisi masyarakat Bali Aga dan cenderung diabaikan. Masyarakat Bali Aga/Bali Kuno lebih condong menggunakan posisi kanan-kiri untuk menentukan hirarkhi yang lebih tinggi. Posisi kanan dianggap lebih tinggi dari posisi kiri (Siwalatri, 2015)

Keterbatasan lahan datar menjadi salah satu factor yang mempengaruhi pola tata letak rumah adat masyaraka selain hubungan kekerabatan. Rumah dibangun saling berdekatan diantara anggota kelompok atau dadia dan di posisi luan menjadi zona yang lebih sacral untuk tempat pemujaan dadia/sanggah dadia. Kelompok rumah-rumah dadia satu dengan yang lain biasanya dipisahkan oleh jalan kecil untuk sirkulasi. Rumah-rumah dibangun menghadap ke arah danau sehingga orientasi rumah sesungguhnya adalah kearah gunung Abang/kaja, dan kelompok rumah memiliki sanggah dadia yang diletakkan di arah kaja.



Gambar 4. Permukiman Masyarakat

Trunyan, Danau Batur dan Gunung Batur


Gambar 5 . Permukiman Masyarakat Trunyan, yang terendam air danau karena muka air yang bertambah tinggi


Balai desa/bale banjar terletak di depan Pura Pancering Jagat. Bila dilihat dari tradisi masyarakat Bali kuno, mereka pada umumnya tidak memiliki bale banjar, karena rapat/paum dilaksanakan di area jaba tengah pura yaitu pada Bale Agung. Kebijakan pemerintah daerah Bali dengan mewajibkan setiap desa adat memiliki bale banyar/balai desa, maka dibangun wantilan di sisi pura. Pada pura-pura Bali Aga di bagian depan berupa ruang terbuka/plaza yang fungsi sebagai ruangan bersama/communal space. Tempat ini biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul dan bersosialisasi oleh masyarakat setelah bekerja. Ruang bersama/communal space bagi masyarakat adalah ruang yang multi fungsi, selain untuk tempat bercengkerama dengan anggota masyarakat lainnya, ruangan ini juga menjadi tempat untuk mengawasi setiap orang yang memasuki pura. Tempat Pemujaan/pura adalah institusi yang terpenting bagi masyarakat komunal, sehingga mereka harus menjaga dari intervensi orang luar/lain baik secara profane maupun spiritual (Schulz, 2000). Konsep ruang terbuka di depan pura yang digunakan sebagai ruang bersama. Fungsi ruang terbuka ini sesuai dengan konsep pertahanan/defensible space dinyatakan oleh Newman bahwa salah satu cara pengamanan adalah dengan mengawasi langsung maupun tidak langsung/survillience (Newman 1998).

Gambar 6. Balai Banjar Desa Trunyan

Tempat Pemujaan tidak harus aman secara fisikal, tetapi dirancang untuk dapat menyaring siapa saja yang boleh memasuki areal dalam pura. Pada desa-desa Bali Aga Pura desa/Pura Bale Agung adalah pura terpenting dan tidak setiap orang boleh memasukinya, karena itu masyarakat harus menjaga kesucian pura. Ruang terbuka di depan pura juga biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berjualan dan sebagai ruang berkumpul sebelum upacara dimulai. Ruangan terbuka/ruangan bersama juga berfungsi sebagai ruangan transisi/intermediary space yang menjadi pemilah antara ruangan sakral dan profan. Ruangan transisi ini sebagai barier memisahkan fungsi ruangan sakral dengan yang tidak sakral. Pada arsitektur Bali Aga penggunaan tembok penyengker sebagai pembatas masih jarang digunakan. Tembok penyengker merupakan elemen pembatas berkembang kemudian, karena mendapatkan pengaruh arsitektur Bali dataran. Pada umumnya arsitektur Bali Aga menggunakan elemen lain sebagai eleman pembatas, seperti tumbuhan berduri, patung yang menyeramkan, atau ruangan terbuka.



Gambar 7. Pola Tata Letak Permukiman Permukiman Masyarakat Trunyan dan Posisi Sanggah Dadia Tinggi


Gambar 8. Denah Bangunan Rumah Adat Masyarakat Trunyan dengan Perapian di Dalam Rumah


Rumah adat masyarakat Trunyan berupa bangunan satu masa dengan 12 tiang atau bale saka roras dan semua aktivitas dilakukan di dalam rumah. Rumah dibangun berdekatan karena keterbatasan lahan perumahan yang tersedia. Selain itu menurut system kepercayaan masyarakat setempat, keluarga dalam satu kelompok keturunan/klan harus hidup saling berdekatan. Masyarakat Trunyan menerapkan sistem perkawinan virilogi yaitu perkawinan dalam satu darah atau yaitu mereka harus menikah diantara sesama anggota kelompok mereka/klan, namun juga tdidak boleh dengan anggota kelompok yang terdekat. Masyarakat Trunyan tidak diperkenankan menikah ke luar kelompok mereka karena menurut ssstem kepercayaan mereka, rohnya menjadi kebingunan


Gambar 9. (searah jarum jam) : Sanggah di Sudut Kaja Kangin Rumah ; Permukiman Masyarakat Trunyan dilihat dari jaba sisi Pura Pancering Jagat Bertambah Tinggi; Pola Rumah Adat Desa Buahan dengan sanggah dadia di sisi luan rumah-rumah adat masyarakat



Kelompok rumah dibangun saling berekatan dan diarah hulu/luan digunakan sebagai tempat untuk tempat pemujaan kelompok/klan. Di dalam rumah adat tidak terdapat tempat pemujaan, dan biasanya masyarakat hanya menempatkan sebuah pelangkiran di dalam rumah, dan aktifitas ritual dilaksanakan di dalam sanggah dadia/tempat pemujaan kelompok. Kelompok rumah adat setiap klan dipisahkan oleh jalan kecil atau gang dan rumah menghadap ke arah danau

Pola tata letak rumah yang berkelompok berdasarkan hubungan sedarh juga diterapkan di Desa Buahan yang merupakan salah satu desa satelit dari banua Desa Trunyan. Perumahan masyarakat Desa Buahan dikelompokkan dalam sebuah tapak rumah yang disebut dengan sikut satak/ukuran 200 dan di dalam tapak dibangun rumah-ruamh penduduk dan di arah hulu/luan digunakan untuk tempat sanggah dadia/sanggah klan. Hanya saja di Desa Buahan arah kaja/luan bervariasi. Untuk rumah-rumah yang dekat dengan pura desa mereka nenetapkan arah luan ke arah barat karena gunung terdekat di sebelah barat permukiman mereka, namun rumah yang dekat dengan jalan menentukan arah kaja/luan ke arah selatan karena pegunungan ada di sisi selatan desa.

Kesimpulan

Permukiman masyarakat Trunyan terdiri dari tempat pemujaan di tingkat desa, kuburan dan perumahan masyarakat. Komponen permukiman ini ditata berdasarkan konsep luan teben. Arah luan adalah ke arah kaja/Gunung Abang dan arah kelod adalah ke arah Danau Batur. Komponen permukiman ini dihubungkan oleh beberapa jaringan jalan. Jalan utama yang menghubungkan antara tempat pemujaan/Pura Ratu Sakti Pacering Jagat dan Danau Batur menjadi sumbu utama yang menghubungkan tempat pemujaan dengan Danau Batur. Jalan utama ini juga berfungsi sebagai margi ageng/jalan sakral yang digunakan dalam prosesi ritual masyarakat. Struktur keruangan yang berdasarkan konsep kosmologi lokal/yang hanya berlaku di desa tersebut. Lokalitas kosmologi pada masyarakat Bali Aga merupakan salah satu ciri masyarakat Bali Aga yang merupakan masyarakat independen. Mereka menentukan arah kosmologi berdasarkan kondisi geografis tempat dimana mereka bermukim. Kosmologi ini merupakan konvensi atau kesepakatan bersama yang diperoleh pada saat mereka mulai bermukim. Kosmologi dibutuhkan untuk menata semua komponen permukiman dan rumah adat masyarakat.

Pola perumahan masyarakat Trunyan merupakan representasi dari sistem kekerabatan yang virilokal yaitu perkawinan segaris diantara anggota dadia/klan. Representasi sistem kekerabatan ini pada perumahan masyarakat ditata dengan menerapkan konsep luan-teben dan menggunakan beberapa sumbu yaitu sumbu kaja-kelod, sumbu kangin-kauh, sumbu dalam-luar dan sumbu atas-bawah. Sumbu-sumbu ini berperan sebagai alat untuk mengatur tata letak bangunan di dalam permukiman masyarakat Trunyan baik pada skala permukiman, rumah adat maupun ruangan di dalam bangunan.

Daftar Pustaka

Ardika. I W., Parimartha I G., & Wirawan, A. A. B. (2013). Sejarah Bali dari Pra Sejarah hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press.

BPCB Bali. (2013). Studi Teknis Arkeologi di Pura Pancering Jagat Terunyan, Desa

Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli Bali. Bangli : Studi Teknis Arkeologi

Bronner, S. J. (2006). Building Tradition, Control and Authority. In Linsday A., & Vellinga, M. (Ed.), Vernacular Architecture in the Twenty-first Century, Theory, Education and Practice. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Danandjaya, J. (1985). Pantomin Suci Betara Berutuk Dari Desa Terunyan Bali. Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta

Danandjaya, J. (1986). Upacara Lingkaran-Lingkaran Hidup di Terunyan Bali: Balai Pustaka. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Dwijendra, N. K. A. (2015). Keunikan Desa Trunyan. Denpasar: STD Bali Press

Hesam K. & Mostafa Z. (2014). Sociocultural Context and Vernacular Housing Morphology, A Case Study. Current Urban Studies, 2, 220-232

Ottino, A. (1994). Origin Myth, Hierarchi Order and The Negotiation of Status in The Balinese Village of Terunyan, In: Bijdragen. Leiden :tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150(3), 481-517.

198

SPACE - VOLUME 4, NO. 2, OCTOBER 2017