Makna dan Konsep Arsitektur Tradisional Bali dan Aplikasinya dalam Arsitektur Masa Kini
on
MAKNA DAN KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DAN APLIKASINYA DALAM ARSITEKTUR BALI MASA KINI
Oleh: I Nyoman Susanta1
Abstract
This is a study of principles and meanings encompassing the traditional Balinese Architecture. Its conduct is underlined by a deep concern that Balinese practices in the built form will not survive, as many determining circumstaces have inevitably changed overtime. This article aims at providing an understanding in regard to non-physical aspects which would be crucial when changes and transformations of the Balinese architectural tradition are seen necessary. It proposes continuous modification and repetition related practice as a strategy to uphold meanings, concepts, and values contained within this tropical architecture. This research was carried out using qualitative research approach. Data collection was done by conducting a field survey and literature study. Discussions and analyses presented within have been enriched by author's practical experiences in the field.
Keywords: meaning, principle, traditional architecture, modifikation, transformation
Abstrak
Publikasi ini berkaitan dengan studi tentang beragam prinsip dan makna yang menentukan keberadaan arsitektur tradisional Bali. Pelaksanaannya didasari pada kekhawatiran akan hilangnya tradisi dalam membangun yang dimiliki masyarakat di Bali, seiring dengan terjadinya banyak perubahan terhadap sirkumstansi-sirkumstansi yang menentukan keberadaan arsitektur ini. Dalam merespon kekhawatiran tersebut, artikel ini bertujuan untuk memberi pemahaman terkait aspek-aspek non-fisik. Ini akan menjadi pengetahuan, yang diharapkan akan memberi landasan pikir yang mendasar ketika perubahan dan transformasi dipandang sebagai keputusan yang perlu untuk diambil. Di dalamnya artikel ini memproposisikan bahwa praktek modifikasi dan pengulangan yang dilakukan secara kontinyu merupakan sebuah strategi yang bisa mempertahankan makna, konsep, serta tata nilai yang terkandung di dalam arsitektur tradisional Bali. Penelitian ini dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan-pendekatan kualitatif. Pengkoleksian data dilaksanakan dengan melaksanakan survey lapangan dan studi literatur. Diskusi serta analisa yang dipresentasikan di dalam artikel ini telah diperkaya oleh pengalaman-pengalaman praktis yang dimiliki Penulis.
Kata kunci: makna, prinsip, arsitektur tradisional, modifikasi, transformasi
1
Pendahuluan
Sejak abad ke-8 sampai dengan abad ke-15 dan kini di abad 21, Bali secara intensif mengalami perubahan dan perkembangan dalam tradisi adat serta budayanya. Arsitektur sebagai produk budaya dan merupakan wadah aktivitas budaya maka dapat dikatakan ikut mengalami perubahan. Perubahan terjadi secara berkelanjutan seiring dengan periode waktu berikutnya baik pada masa pra-Hindu, masa Kerajaan Bali Kuno dan masa Kerajaan Bali dibawah pengaruh Kerajaan Majapahit. Demikian juga pada masa kolonial, masa kemerdekaan serta era tourism (Madiun, I N. 2010) dan era global. Globalisasi sebagai penyatuan dan hilangnya sekat pembatas ideologi antar wilayah, negara dan bangsa di dunia untuk menciptakan suatu era penyatuan internasional. Globalisasi membentuk tatanan peradaban baru, menyatukan berbagai sumber daya baik itu modal, tenaga kerja, negara dan organisasi-organisasi non pemerintah untuk menghilangkan keterbatasan yang ada, membentuk kapitalisme internasional, menciptakan kebebasan negara pada ketertarikannya dan keterikatan, berimplikasi pada proses demokrasi, dapat memenangkan dan mengalahkan. (Stilwell, Frank. 2002: 238-248; Cuthbert, A. R., 2014: 14-15; Amir Pilliang, 1988). Globalisasi membawa perubahan yang cepat penuh dengan tantangan sekaligus peluang.
Arsitektur Tradsional Bali merupakan salah satu arsitektur etnis, yang merupakan bagian dari kekayaan arsitektur nusantara. Arsitektur tradisional sebagai bagian dari kebudayaan dan kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan setempat dan dilandasi oleh keadaan alam setempat (Gelebet, 1982: 1; Newmark & Thomson, 1977: 3047). Menurut Putra (2009) Arsitektur Bali telah mempertahankan dan mengembangkan tiga jenis arsitektur, yaitu: (a) arsitektur warisan (kuno); (b) arsitektur tradisional Bali; (c) arsitektur non tradsional yang bergaya arsitektur tradisional Bali. Arsitektur tradisional Bali (ATB) merupakan arsitektur yang ditumbuhkembangkan dari generasi kegenerasi berikutnya dan dibuat dengan aturan-aturan tradisional Bali baik tertulis maupun lisan serta dapat diterima oleh masyarakat Bali secara berkelanjutan karena dianggap baik dan benar (Gelebet, 1982; Putra, 2009). Arsitektur Bali (AB) adalah arsitektur yang tumbuh, berkembang, dan dipertahankan di Bali mengisi sejarah, ruang dan waktu dari masa ke masa. Sebagai wujud Arsitektur Bali, dapat terdiri dari: arsitektur warisan (kuno), arsitektur tradisional Bali, arsitektur non tradisional yang bergaya arsitektur tradisional Bali. Arsitektur tradisional Bali melengkapi dan menyempurnakan arsitektur warisan, sedangkan arsitektur non tradisional dijiwai dan diilhami oleh arsitektur tradisional Bali. Arsitektur tradsional Bali merupakan wadah aktivitas tradisi kebudayaan Bali. Globalisasi dan perubahan yang cepat dalam segala aspek dapat mempengaruhi eksistensi arsitektur tradsional Bali. Pertumbuhan jumlah penduduk yang diakibatkan oleh kelahiran dan migrasi di satu sisi dan keterbatasan lahan di sisi lainnya. Alih fungsi lahan untuk dijadikan hunian dan faslitas pendukungnya, menyebabkan pertumbuhan area terbangun dengan cepat, baik di pedesaan, pinggiran kota maupun di tengah kota. Harga dan nilai lahan naik dengan sangat cepat dan tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarkat, sedangkan gaya hidup kekinian yang modern membutuhkan ruang-ruang “baru” sebagai wadahnya. Fenomena ini mempengaruhi pemahaman masyarakat dalam membangun, baik itu untuk rumah maupun bangunan fasilitas lainnya. Aturan-aturan yang ada baik formal maupun
informal dicoba untuk direinterpretasi maupun ditranformasi dalam “penyimpangan dan pelanggaran”. Dalam jangka panjang fenomena tersebut dapat mengakibatkan ditinggalkannya pengetahuan tradisonal seiring dengan punahnya bangunan tradisonal Bali, yang dianggap belum dapat mewadahi aktivitas ”baru”. Oleh karena itu pemahaman makna dan konsep arsitektur tradisional Bali menjadi strategis dan vital agar dapat mentransformasikan pengetahuan arsitektur tradisonal kedalam arsitektur kekinian baik di desa maupun perkotaan (salah satu bagian arsitektur Bali). Arsitektur kekinian sebagai representasi wadah dinamika aktivitas kebudayaan Bali masa kini, cerminan masa lalu dan prediksi dari masa depan.
Dinamika perubahan arsitektur dapat terjadi kemungkinan diakibatkan oleh dua factor antara lain primary factors/primer dan modifying factors/sekunder. Primary factors meliputi: faktor social budaya, modifying factors meliputi faktor iklim, faktor bahan dan material, faktor teknologi dan konstruksi, faktor lahan dan sebagainya (Rapoport, 1969). Perubahan tergantung pada kedudukan elemen yang berubah dalam system kebudayaan keseluruhan. Rapoport (1983) membagi elemen tersebut menjadi tiga bagian; yaitu elemen inti, elemen tambahan dan elemen pinggiran. Perubahan berimplikasi tiga sisi yaitu: (a) sisi penciptaan konsep yang baru; (b) pengembangan dan penguatan konsep yang sudah ada; (c) hilangnya konsep semula.
Untuk mengatasi implikasi perubahan agar konsep-konsep arsitektur tradisional Bali dapat memberikan jati diri dan pemaknaan pada arsitektur kekinian maka diperlukan upaya-upaya eksplorasi dan konservasi. Salah satu langkah pelesatarian dilakukan dengan mengidentifikasi makna dan konsep arsitektur tradisional Bali. Identifikasi makna dan konsep dapat membangun dan menambah pengetahuan local, untuk melengkapi khasanah pengetahuan arsitektur etnis nusantara. Dapat pula menjadi masukan dalam proses menemukan solusi-solusi permasalahan yang terkait dengan pelestarian tata nilai lokal agar didalam mengatasi permasalahan pembangunan pada lahan yang terbatas. Pengetahuan ini juga dapat sebagai referensi untuk pengembangan arsitektur tradisional pada wilayah lainnya di Indonesia, bahkan di negara-negara lain dimana arsitektur tradsional itu berada.
Makna Arsitektur Tradisional Bali
Dalam pemahaman arsitektur tradisional Bali, bangunan dianggap memilki kesetaraan dengan manusia, oleh karena itu bangunan terdiri dari jiwa dan badan fisik. Jiwa yang menghidupkan dianalogikan sebagai maknanya, sedangkan bentuk badan fisiknya merupakan ekspresinya. Makna sebagai jiwa dari arsitektur memiliki posisi yang sangat penting dan menjadi landasan filosofis untuk menciptakan sebuah bentuk atau image arsitektur (Siwalatri, 2015). Bangunan mengikuti siklus Tri Kona: Utpeti/penciptaaan, Sthiti/pemanfaatan, dan Pralina/penghancuran, sebagaimana halnya manusia yang mengalami lahir, hidup dan mati. Arsitektur tradisonal Bali dijiwai dan dilandasi oleh ajaran Agama Hindu. Penjiwaan ini tercermin tiga hal: (a) Dalam proses pembangunan tradisional : upacara keagamaan (sarana, mantera, rajah), penentuan dimensi dan jarak (dewa-dewa Hindu), penentuan hari baik/dewasa ayu (Jyotisa): (b) Dalam tata ruang dan tata letak bangunan : pola Tri Mandala dan Sanga Mandala (konsep Tri Loka dan dewata nawa sanga), pola Natah (perpaduan akasa dan pretiwi), orientasi hulu - teben ; (c) Dalam
wujud bangunan : nama-nama ukuran yang dipilih (bhatara asih, prabu anyakra negara, sanga padu laksmi), simbol dan corak ragam hias (Acintya, Kala, Boma, garuda-wisnu, angsa, dll). Arsitektur Tradisional Bali sebagai perwujudan ruang secara turun temurun dapat meneruskan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat sesuai dengan pandangan dan idealismenya. Karya arsitektur tradisonal Bali mencerminkan aktivitas pemiliknya, modul ruang dan bentuk yang diambil dari ukuran tubuh manusia dan aktivitas pemiliknya.
Di dalam arsitektur tradisonal Bali terkandung unsur-unsur: peraturan tradisonal baik yang tertulis maupun lisan, ahli bangunan tradisional seperti undagi, sangging, tukang, pelukis serta sulinggih/pendeta. Ini mencerminkan kompleksitas rancangan arsitektur, kedalaman dan totalitas integrative. Suartika (2010 : 24-70) menjabarkan makna arsitektur rumah menjadi delapan, antara lain : (a) rumah berhubungan erat dengan alam, (b) rumah sebagai sebuah sistem keamanan, (c) rumah sebagai sebuah perjalanan, (d) sebagai seni, (e) sebagai cloister, (f) sebagai bagian dari kegiatan spiritual dan (f) sebagai fasade. Makna bukan sesuatu yang sederhana, tetapi makna bersifat luas dan beragam. Makna arsitektur dapat berupa gagasan, pikiran atau konsep yang ingin disampaikan pada pengamatnya. Makna dapat terpragmentasi, dan dapat diamati serta diinterpretasikan baik secara sinkronik maupun diakronik. Pragmentasi makna mengakibatkan lapisan dan hirarki makna. Pada arsitektur tradisional Bali terdapat tiga klasifikasi fungsi bangunan yang masing-masing memiliki hirarki makna sebagai berikut, yaitu (Goris, R. 2012: 1-18):
-
(a) Hirarki makna utama, bangunan yang berfungsi peribadatan pada dasarnya sebagai tempat pemujaan dan berbakti kepada Tuhan dengan segala manifestasinya dan leluhur, dalam rangka menguatkan dan memberdayakan hidup agar menjadi lebih baik dan lebih berguna. Tempat pemujaan ini terdiri dari:
-
• Pura kawitan dan sanggah sebagai media mengembangkan kerukunan dalam keluarga.
-
• Pura kahyangan desa sebagai media untuk mengembangkan kerukunan dalam suatu territorial desa.
-
• Pura swagina sebagai media untuk mengembangkan kerukunan profesi.
-
• Pura kahyangan jagat sebagai media untuk mengembangnkan kerukunan regional dan universal.
-
(b) Hirarki makna madya, bangunan yang berfungsi perumahan untuk tempat hunian dengan segala aktivitas dan interaksinya/simakrama agar manusia dapat
mengembangkan potensi dan profesinya secara profesional dan optimal secara serasi, selaras dan seimbang. Hunian dengan hirarkinya terdiri dari:
-
• Griya sebagai wadah hunian untuk profesi rohaniawan/sulinggih/pendeta
-
• Puri sebagai wadah hunian untuk pemimpin/penguasa pemerintahan
-
• Jero sebagai wadah hunian untuk pembantu/pejabat pemerintahan
-
• Umah sebagai wadah hunian untuk masyarakat umum seperti penggerak pertanian dan perdagangan.
-
(c) Hirarki makna nista, bangunan yang berfungsi sosial sebagai wadah untuk melakukan aktivitas secara berkelompok/bersama dalam suatu teritorial tertentu baik di tingkat
lingkungan maupun desa. Bangunan ini lebih berfungsi sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial budaya bagi anggota masyarakat, jenisnya antara lain sebagai berikut:
-
• Bale desa berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat teritorial desa.
-
• Bale banjar berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat lingkungan banjar.
-
• Bale teruna-teruni sebagai wadah aktivitas, kreativitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan pembinaan generasi muda.
-
• Bale subak sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan kesejahteraan dibidang pertanian.
-
• Pasar sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial ekonomi dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kesejahtraan desa.
-
• Beji sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan sanitasi desa.
-
• Bale bendega sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan kesejahtraan oleh nelayan
-
• Bale sekee difungsikan oleh perkumpulan profesi non formal
-
• Dan lain-lain
Arsitektur tradisional di Indonesia merupakan bagian dari arsitektur vernakuler yang secara turun temurun terikat pada tradisi. Secara umum arsitektur tradisional ditentukan oleh kosmologi, mengutamakan nilai religi dan ritual, kurang menghargai kebutuhan badaniah, terikat pada struktur sosial dan kekerabatan, adaptif terhadap kondisi alam/lingkungan (Rahayu, 2010: 51; Rahayu & Nuryanto, 2010: 72).
Filosofi Sebagai Landasan Konsep Arstektur Tradisional Bali
Konsep arsitektur tradisional Bali dijiwai oleh agama Hindu dan dilandasi oleh beberapa filosofis. Makna menjadi landasan filosofis untuk menciptakan sebuah bentuk. Terdapat empat landasan yang mendasari suatu konsep arsitektur tradsional Bali yaitu : (a) Landasan keagamaan : pustaka suci Agama Hindu, penjiwaan agama dalam arsitektur tradisional Bali, hubungan arsitektur tradisional Bali dengan tujuan hidup orang Bali, hubunngan arsitektur tradisional Bali dengan perkembangan Agama Hindu; (b) Landasan filosofis : filsafat manik ring cecupu, filsafat Tri Hita Karana, filsafat undagi, filsafat bahan bangunan ; (c) Landasan etik : menjaga dasar-dasar hubungan manusia-arsitektur-alam, landasan berpikir dan bersikap dalam proses pembangunan tradisional ; (d) Landasan ritual : penggunaan unsur-unsur ritual, menyesuaikan jenis dan makna ritual, memilih hari baik/pedewasan dalam proses pembangunan secara tradisional Bali. Sumber filosofi/tatwa arsitektur tradsional Bali antara lain: Asta Dewa, Asta Kosala, Asta Kosali, Asta Petali, Asta Bhumi, Wiswakarma, Aji Janantaka, dll. Sumber filosofi susila: Dharmaning Undagi, Dharmaning Laksana Undagi, Swakarma, Catur Guru, Tri Khaya Parisudha,
Tatwam Asi, dll. Sumber filosofi upakara: Dewa Tatwa, Wariga Gemet, Wariga Catur Winasa Sari, Usana Dewa, Kusuma Dewa, Bhamakertih, Sundari Gama, dan lain-lain.
Penjiwaan Agama Hindu yang dijabarkan dalam filsafat-filsafat yang ditransformasikan ke dalam konsep, selanjutnya ditrransformasikan kedalam teori-teori/ pola-pola desain rancang bangun. Terdapat beberapa filsafat dalam Arsitektur Tradisional Bali, yaitu : (a) filsafat Eka Bhuana; (b) filsafat Nyegara Gunung ; (c) filsafat Tri Loka; (d) filsafat Catur Purusa Artha ; (e) filsafat Panca Maha Bhuta. Transformasi dari filsafat tersebut berupa konsep-konsep, antar lain: konsep Ulu Teben, konsep tri hita karana, konsep catus patha, konsep tri mandala dan tri angga. Konsep ini mendasari teori-teori desain rancang bangun, seperti: keseimbangan, harmoni, keindahan, bentuk dan taksu. Itulah dasar dan pedoman dalam perencanaan dan perancangan arsitektur tradisional Bali, di tataran wilayah Bali, lingkungan teritoral desa, lingkungan rumah tinggal maupun pada unit-unit bangunan/pepayon.
Keseimbangan Kosmos
Filosofi eka bhuana bermakna sebagai pemahaman terhadap suatu hal yang merupakan satu kesatuan utuh: pulau Bali, kabupaten - kawasan, desa - lokasi, pekarangan - site, pepayon - bangunan. Filosofi nyegara gunung bermakna sebagai pemahaman yang memberikan penilaian mulia terhadap laut (segara) dan gunung, sehingga menjadi titik orientasi kaja/gunung - kelod/laut. Gunung - tinggi - asal air - hulu. Laut (segara) - rendah - muara air - teben. Filosofi tri loka bermakna sebagai pemahaman yang membagi alam ini menjadi tiga lapisan alam yaitu: lapisan alam atas/atmosfir/langit - swah loka - sebagai alam dewa yang dianggap bernilai tinggi, lapisan alam tengah/ litosfir/ daratan/ permukaan bumi - bwah loka - sebagai alam manusia yang dianggap bernilai sedang, lapisan alam bawah/ hidrosfir/ laut dan lapisan bawah bumi - bhur loka - sebagai alam butha yang dianggap bernilai rendah. Filosofi catur purusa arta sebagai pandangan hidup, bermakna sebagai pemahaman yang mendasari kehidupan atas empat bagian pembentuk keseimbangan, terdiri dari : dharma - kewajiban - ada di timur dan barat, artha -kemampuan - ad di kaja, kama - keinginan - ada di kelod, moksa - keseimbangan - ada di tengah. Panca maha butha bermakna sebagai pemahaman yang menyatakan bahwa terdapat lima unsur utama pembentuk alam semesta terdiri dari: Apah - air - posisi kaja, Teja - api - posisi kelod, Bayu - angin - posisi timur, Akasa - ruang kosong - posisi barat, Pertiwi - zat padat terbentuk dari keempat unsur - posisi tengah.
Filosofi tersebut ditransformasikan kedalam konsep keseimbangan kosmos, sebagai suatu konsep yang dijabarkan dari kelima filosofis tersebut, atas kondisi geografi alam Bali dengan dua sumbunya yaitu sumbu kosmos dan sumbu ritual/prosesi. Sumbu kosmos berupa gunung yang terletak di tengah-tengah pulau Bali, sebagai pusat orientasi sehingga membentuk sumbu dengan dua arah yaitu menuju=ka, gunung=ja dan menuju=ka, laut=lod, dengan demikian akan terbentuk arah kaja-kalod. Orientasi kearah gunung (kaja) memiliki nilai utama, daerah dataran (tengah) memiliki nilai madya, kearah laut (kalod) memiliki nilai nista. Secara hirarkis membentuk segmen utama, madya, nista. Sumbu ritual/prosesi terbit-terbenam matahari yang berulang yaitu: endag (terbit) surya di Timur -tajeg (tengah hari) surya di tengah - engseb (terbenam) surya di Barat, sehingga terbentuk
arah Timur (kangin) - Barat (kauh). Orientasi kearah Timur (kangin) memiliki nilai utama, bagian tengah bernilai madya dan kearah Barat (kauh) memiliki nilai nista. Secara hirarkis membentuk segmen: utama, madya, nista. Kombinasi susunan segmen utama, madya, nista pada arah utara-selatan (kaja-kalod) dengan arah timur-barat (kangin-kauh), memmbetuk pola papan catur yang terdiri dari sembilan petak. Eksistensi ini mendasari dan membentuk konsepsi keseimbngan kosmos Bali yang dapat dibedakan menjadi dua bagian dasar yaitu: (a) Keseimbangan vertikal: alam dewa, alam manusia dan alam butha; (b) Keseimbangan horizontal: catur lokapala, sad winayaka dan dewata nawa sanga.
Konsep keseimbangan alam dewa, alam manusia dan alam butha, didasarkan atas filosofi Tri loka yang ditransformasikan menjadi konsep Tri Hita Karana, bermakna penciptaan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dangan Tuhan, antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Sikap manusia berbakti kepada Tuhan diwujudkan dengan bagaimana manusia berprilaku baik kepada sesama dan menghormati seluruh ciptaan Tuhan melalui sikap kasih dan menjaga lingkungan. Transformasi ini menyebabkan setiap arsitektur tradisional Bali memiliki ruang dan bagian yang merupakan manifestasi dari konsep tersebut.
Konsep catur lokapala: merupakan konsep dengan membentuk empat titik penyeimbang alam dengan pendirian pura di keempat penjuru Bali yang posisinya di gunung. Keempat pura itu adalah: (a) Pura Lempuyang Luhur, arah Timur, di Kabupaten Karangasem; (b) Pura Andakasa, arah Selatan, di Kabupaten Karangasem; (c) Pura Batukaru, arah Barat, di Kabupaten Tabanan; (d) Pura Pucak Mangu, arah Utara, di Kabupaten Badung (Budaarsa, dkk. 2012: 5). Konsep ini dapat diterapkan pada tataran regional, wilayah lingkungan, desa dan rumah tinggal. Sumbu kosmis Kaja-kelod dan Kangin-Kauh merupakan arah utama yang yang membentuk persilangan yang disebut dengan konsep catus patha, dan perputarannya akibat fungsi dapat menjadi konsep swastika sana dapat diaplikasikan pada sebidang tapak.
Gambar 1. Konsep Catur Lokapala Sumber: Penulis 2017
Konsep Sad Winayaka: merupakan konsep dengan membentuk enam titik penyeimbang alam dengan pendirian pura dienam tempat Bali yang posisinya pada komponen-komponen alam yang dimuliakan. Keenam pura itu adalah : (a) Pura Besakih di Kabupaten Karangasem; (b) Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem ; (c) Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung ; (d) Pura Uluwatu di Kabupaten Badung ; (e) Pura Luhur Batukaru di Kabupaten Tabanan ; (f) Pura Puser Tasik (Pura Pusering Jagat di Pejeng) di Kabupaten Gianyar (Budaarsa, dkk. 2012: 5)
Gambar 2. Konsep Sad Winayaka Sumber: Putra, (2009)
Konsepsi Dewata Nawa Sanga/Konsepsi Padma Bhuana merupakan konsep dengan membentuk sembilan titik penyeimbang alam dengan pendirian pura di sembilan penjuru Bali, sebagai simbul bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Tidak ada bagian dari alam semesta ini atau Bali, tanpa kehadiran Tuhan. Pura yang termasuk dalam posisi Padma Bhuana yaitu : (a) Pura Lempuyang Luhur sebagai arah Timur ; (b) Pura Goa Lawah arah Tenggara ; (c) Pura Andakasa arah Selatan ; (d) Pura Uluwatu arah Barat Daya ; (e) Pura Batukaru arah Barat ; (f) Pura Pucak Mangu arah Barat Laut ; (g) Pura Batur sebagai arah Utara ; (h) Pura Besakih arah Timur Laut ; (i) Pura Puser Tasik/Jagat sebagai arah Tengah (Budaastra, dkk. 2013).
Gambar 3. Konsep Dewata Nawa Sanga Sumber: Penulis 2017
Konsep ini dapat diterapkan juga pada perancangan rumah tinggal maupun puri dengan penyesuaian kebutuhan dan situasi setempat.
UTAMA
MADYA
(KA)NISTA
I : mrajan, sumur
II : mrajan, sumur,meten
III : mrajan, sumur, penunggun karang
IV : bale dangin
V : natah, pengijeng
VI : bale dauh, penunggun karang
VII : kebun
-
VIII: bale delod, dapur, jineng
-
IX: bada, dapur, jineng, sumur
Gambar 4. Konsep Zonasi dan Aplikasi Arsitektur Tradisional Bali pada Rumah Sumber: Putra (2009)
Konsep Rwabhineda
Konsepsi Rwabhineda merupakan dua tempat penujaan Tuhan sebagai pencipta yang terdiri atas unsur purusa dan pradana. Dua pura yang dimaksud adalah: (a) Pura Besakih
sebagai purusa di Kabupaten Karangasem; Pura Batur sebagai pradana di Kabupaten Bangli.
Gambar 5. Konsep Hulu-teben Sumber: Penulis, 2017
Gambar 6. Konsep Catus Patha Sumber: Penulis, 2017
Perwujudan dari konsep rwabhineda dapat diaplikasikan dan ditemui pada natah pekarangan, pada jalan utama desa serta pada perempatan/catusptha. Perwujudannya berupa ruang kosong sebagai simbolis pertemuan purusa dan pradana yang dapat melahirkan suatu benih kehidupan. Oleh karena itu ruang kosong ini menjadi demikian hidup dan efektif sebagai tempat interaksi pemakainya. Secara filosofis tradisional dinyatakan bahwa kekosongan itulah hakekat dari isi, sehingga orang meminta daging = isi, telas = habis
Konsep Tri Mandala –Tri Angga
Konsistensi tata nilai ruang dan bangunan dapat diwujudkan dengan perletakan bangunan yang beragam, nilai fungsinya diserasikan dengan struktur hirarkhi nilai ruangnya, ketinggian lantai disesuaikan dengan nilai fungsi bangunan sehingga ada keserasian antara nIlai ruang dan nilai bangunan. Konsep Tri angga memberikan dasar bahwa arsitektur tradisional Bali memiliki bagian-bagian fisik yang memiliki nilai. Secara vertical bagian kepala terletak paling atas bernilai utama, bagian badan terletak di tengah bernilai madya dan bagian kaki yang terletak dibawah bernilai nista. Secara horizontal membentuk zonasi dengan hirarki nilai yang sesuai dengan nilai sumbu alam, antara lain sebagai berikut: bagian hulu/dalam bernilai utama bagian tengah bernilai madya dan bagian hilir/luar bernilai nista.
TK∣M4NΛ3t4
Gambar 7. Konsep Tri Angga dan
Tri Mandala
Sumber: Modifikasi 2017 dari Putra (2009)
Konsep Keserasian Dengan Lingkungan
Konsepsi keharmonisan dengan lingkungan dapat dijabarkan atas dasar sebagai berikut: pengutamaan pemanfaatan potensi sumber daya alam setempat, pengutamaan pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat dan pengutamaan penerapan potensi pola-pola fisik arsitektur setempat. Pengembangan bentuk oleh pihak luar sering kali kurang berhasil karena perbedaan sudut pandang. Pihak luar memandang kenyamanan fisik sebagai kriteria utama, yang justru tidak dipentingkan dalam arsitektur tradisional. Diperlukan pendekatan etnografis, dimana pihak luar belajar dari masyarakat tentang nilai dan bentuk mana yang paling diutamakan dan bagaimana proses pembangunan termasuk ritus yang harus dilakukan. Pihak luar sebaiknya bertindak sebagai fasilitator, sedangkan keputusan tetap berada pada komunitas tradisional sebagaimana mereka ingin berkembang (Rahayu, 2010: 51; Rahayu & Nuryanto, 2010: 72).
Tatanilai mempengaruhi tata letak suatu banguanan dalam kaitannya dengan lingkungan dan fasilitas umum pada arsitektur tradisional Bali, seperti: rumah tidak langsung berada di hulu Bale Banjar/Pura/Puri serta rumah harus dibatasi dengan jalan atau tanah kosong (karang tuang).
Aplikasi Makna Dan Konsep Arsitektur Tradisional Bali Pada Arsitektur Bali ‘Kekinian’
Transformasi makna dan konsep arsitektur tradisional Bali sebagai mana yang tertuang menjadi teori-teori dalam lontar telah mengajarkan seluruh tatanan proses pembangunan tradisional secara lengkap mulai dari proses penciptaan, pemanfaatan dan pengembaliannya. Dalam praktek pembangunan dimasa kini, khususnya dengan terbatasnya lahan, pemahaman pemilik bangunan, serta faktor kondisi lainnya, dapat disampaikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Perbandingan Tata Cara Pembangunan Tradisioanal dan Masa Kini
Bagian Kegiatan |
Tata Cara Tradisional |
Aplikasi Masa Kini |
Pemilihan lokasi |
Hirarki Geria, Puri, Jero, Umah, Pondok |
Nilai finansial, setrategis |
tapak Pemilihan Tapak Nyukat |
Hirarki Pura, Bangunan umum Cacat pekarangan Kemiringan tanah Rupa, rasa dan bau Pekarangan : Depa (pengurip, sukat, sesa) |
Terbatas Mengukur dengan dimensi umum |
Tahapan |
Natah/halaman : Tapak Bangunan : Rai Rumah tangga 1. Somah : Beristri |
Mengukur dengan dimensi umum Mengukur dengan dimensi umum Sesuai keinginan dan kondisi |
Membangun |
baru : 2. Umah : Rumah
Rumah tumbuh : 1. Bale meten
|
Sesuai keinginan dan kondisi |
Bagian Kegiatan |
Tatacara Tradisional Aplikasi Masa Kini |
Sempadan |
Apeneleng agung, alit Hanya untuk IMB Apenimpugan Bisa tanpa sempadan Apeambuan Abah bangun |
Tata ruang |
Sanga mandala Masa tunggal Hulu teben Tidak konsisten Orientasi ke Natah Orientasi keluar |
Jenis bangunan |
Sanggah : Kemulan, taksu, anglurah Tidak lengkap Natah : Meten, sumanggen, loji, paon, lumbung Tidak lengkap Lebuh : Kori, cangkem, aling-aling, penyengker, Tidak lengkap telajakan Tanpa cangkem |
Proses Sirkulasi Graha Tatwa |
Lebuh Ceciren : status, profesi, setratifikasi Tidak ada Pemesuan Orientasi : lingga yoni, kaja kelod, Sering dibuat menyirang kangin kauh Lumbung Bekal : civitas, aktivitas, kapasitas Alih fungsi Paon Pewaregan : identitas, wawasan, Tertutup kwalitas Sumanggen Kerja : macam, system, komposisi Terbatas Meten Istirahat : anak, remaja, dewasa Terbatas Natah Refresing : jiwa, raga, vitalitas Terbatas Sanggah Kosentrasi : diri, leluhur, Tuhan Terbatas |
Proses Padewasan |
Ada pada setiap tahapan Pada awal, ngerahabin dan melaspas Berbeda pada jenis bangunan Bangunan menyatu |
Proses Upakara Proses Pemanfaatan |
Ada pada setiap tahapan Pada awal, dan pemelaspas Piodalan, renovasi Piodalan, renovasi |
Proses pengembalian |
Pralina Pralina |
Sumber: Adapatasi dari Gelebet (1982) dan Observasi 2017
Model Setrategi Pengembangan
Salah satu model setrategi yang dapat dikembangkan adalah konservasi, modifikasi dan repetisi. Konservasi dapat dikembangkan dengan memilih dan memilah model yang paling relevan sesuai dengan objek dan jenis bangunan, setelah melalui proses identifikasi dan evaluasi. Identifikasi dan evaluasi menyangkut aspek fisik dan non fisik pada elemen inti dan pendukungnya.
Modifikasi dilakukan dengan mengganti sebagian kecil dari elemen-elemen bangunan dengan tetap mempertahankan karakter arsitektur tradisional dan pemanfaatan yang lebih optimal. Penggantian dan perubahan elemen harus memberikan nilai tambah dan meningkatkan keseluruhan kwalitas ruang dan bangunan. Repetisi dilakukan dengan membangun kembali bangunan tradisional seperti bangunan umum, yang dianggap sebagai reinkarnasi bangunan tradisional Bali untuk suatu identitas, kebanggaan dan koleksi. Repetisi dilakukan untuk meningkatkan kualitas ruang, kualitas fungsi, kualitas teknis dan estetika, serta keberlanjutan tentang teori dan teknik-teknik rancang bangunan tradisonal Bali.
Terdapat beberapa hal yang dapat mencerminkan karakter utama suatu rumah bangunan tradisional Bali adalah: a) Sanggah/ulun karang; b) Natah dan bale-bale berjajar terbuka untuk kemudahan dan keleluasaan aktivitas; c) Bale sumanggen sebagai wadah aktivitas adat dan simakrama. Oleh karena itu jika bangunan-bangunan tersebut ditingkatkan
kwalitasnya dapat memberikan karakter bangunan tradisional Bali yang lebih kuat, sekalipun dengan area terbatas.
PtMGlMBANGAN
Gambar 8. Rekomendasi Model Pengembangan Rumah Bali
Sumber: Observasi 2015
Gambar 9. Model Pelestarian Puri dan Banjar di Denpasar Sumber: Koleksi I Nyoman Susanta 2017
Gambar 10. Model Pelestarian Pura di Kota Denpasar
Sumber: Koleksi I Nyoman Susanta 2017
Kesimpulan
Dari analisa dan uraian tentang makna dan konsep arsitektur tradisional Bali dalam aplikasi kekinian dengan keterbatasan lahan dapat disimpulkan sebagai berikut : (a) Arsitektur tradisional Bali menjiwai dan mengilhami arsitektur non tradisional /Bali kekinian (b)
Dalam pemahaman arsitektur tradisional Bali, bangunan dianggap memiliki kesetaraan dengan manusia, oleh karena itu bangunan terdiri dari jiwa dan badan fisik. Jiwa yang menghidupkan dianalogikan sebagai makna-nya, sedangkan bentuk badan fisiknya merupakan ekspresinya; (c) Terdapat beberapa filosofi dan konsep serta pola rancang arsitektur tradisional Bali, yang dapat ditransformasikan dan diaplikasikan pada arsitektur Bali (kekinian), dengan konservasi, modifikasi dan repetisi; (d) Aplikasi konsep arsitektur tradisional Bali pada pembangunan masa kini di wilyah perkotaan maupun pedesaan tergantung pada keasadaran dan kemauan pemilik bangunan.
Daftar Pustaka
Ardika, I W. dkk. (2015). Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press.
Budaarsa, K., dkk. (2013). Profil Pura Kahyangan Jagat di Bali. Denpasar
Covarrubias, M. (2013). Pulau Bali Temuan yang Menakjubkan. Denpasar: Udayana University Press. Cetkan ke – 2. 2013.
Cuthbert, A. R. (2014). The New Urban Design-A Social Theory of Architecture. Ruang Space Jurnal Lingkungan Binaan, 1(1).
Daramayuda, I M. S. (1995). Kebudayaan Bali Pra Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu. Denpasar: CV. Kayu Mas Agung.
Dinas PU Prop. Dati I Bali. (1989). Perencanaan Konservasi Lingkungan Desa Tradisional Desa Asak. Dati II Karangasem, Bali.
Gelebet, I N. dkk. (1982). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Proyek Inventarisasi Kebudayaan Daerah Kanwil Depdikbud Propinsi Bali.
Goris, R. (2012). Sifat Religius Masyarakat Pedesaan di Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Habraken, N. J., (1988). Type as a Social Agreement. Conbridge: Massachusetts.
Harvey, D. (1973). Social Justice and the City. London: Edward Arnold (Publishers) Ltd.
Leach, R. (1988). Political Ideologies An Australian Introduction.
Lennan, G. M. And so on. (1984). The Idea of the Modern State. Ed. Milten Keynes Philadelphia: Open University Press.
Lewis, J. (2002). Cultural Studies-The Basics. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.
Lindsay, D. (1995). A Guide to Scientific Writing. Australia: Longman Cheshire.
Madiun, I N. (2010). Nusa Dua Model Pengembangan Kawasan Wisata Modern. Denpasar: Udayana University Press.
Norman, C. (1995). Nature and the Idea of A Man-Made World. Cambridge, Massachusetts, London England: The MIT Press.
Parimin, A. P. (1986). Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of Sacred-Profane Concept in Bali. (Doctoral dissertation), University of Osaka, Japan.
Piliang, Y.A. (2004). Dunia Yang dilipat Tamsaya Melampaui Batas-Batas Kebudayan. Bandung: Jalasutra.
Punch, K. F. (1998). Introduction to Social Research Quantitative and Qalitative Approaches. Los Angeles, London, New Delhi, Sinagpore, Washington DC: Sage.
Putra, I G.M. (2009). Kumpulan Materi Arsitektur Bali. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana.
Rahayu, S. & Nuryanto, (2010). Ruang Publik dan Ritual pada Kampung Kasepuhan Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Sejarah, Teori dan Kritik
Arsitektur 2010, Kelompok Keahlian Seajarah, Teori dan Kritik Arsitektur. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung.
Rahayu, S. (2010). Penataan Kampung dan Rumah di Pedesaan yang Bersumber dari Tradisi Bermukim Orang Sunda. Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur 2010, Kelompok Keahlian Seajarah, Teori dan Kritik Arsitektur. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung.
Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. New Jerssey: Prentice Hall.
Rapoport, A. (1983). Development, Culture Change, and Sportive Design. Milwaukee: University of Wiconsin.
Reuter, T. (2005). Custodians of the Sacred Mountains. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rustiadi, E., dkk. (2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Cetakan ke – 3.
Schaareman, D. (1986). Tatulingga: Tradition and Contuniutty, An Investigation in Ritual and Social Organization in Bali. Basel.
Siwalatri, N K.A. (2015). Makna Sinkronik Arsitektur Bali Aga Di Kabupaten Buleleng Bali. Program Doktor Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Stilwell, F. (2002). Political Economy The Contest of Economic Ideas. Oxford New York: Oxford University Press.
Suartika, G.A.M. (2010). Morphing Bali The State, Planning, and Culture. SaarbÜken Germany: Lambert Academic Publishing.
Susanta, I N. (2013). Kori Sebagai Kearifan Lokal di Karangasem (Studi Kasus di Desa Adat Perasi). Seminar Nasional Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara. Prosseding. Udayana Press. Denpasar.
Susanta, I N., Suartika, G.A.M., (2016). Tourism and the Interruption with the Morphology of Bali Aga's Architecture of the Karangasem Regency. International Seminar on Vernacular Settlement 8-Conversation with the Sea. Proceeding. Makasar.
Susanta, I N., Suartika, G.A.M., (2016). Corporatism, Tourism and Spatial Structure of the Bali Aga Settlement: The Case Study of Bugbug, Perasi and Seraya Village. Paper presented at The 6th International Conference of Arte-Polis: Imagining Experiences: Creative Tourism and the Making of Place, Bandung.
Tarigan, R. (2005). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Tusan, P. W. (2001). Selonding Tinjauan Bali Kuna Abad X – XIV. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Vincent, A. (1992). Modern Political Ideologis. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.
L.01.T. Darmaning Hasta Kosala (Gedong Kertya No. 361), asal Marga, Tabanan. Terjemahan I Ketut Gunarsa, Koleksi BIC Bali.
L.02.T. Hasta Bumi (Gedong Kertya No. 243), asal Abian Semal, Badung. Terjemahan I Ketut Gunarsa, koleksi BIC Bali.
L.03.T. Hasta Kosali (Gedong Kertya No. 231), asal Uma Abian, Marga Tabanan. Terjemahan I Ketut Gunarsa, koleksi BIC Bali
Lontar, Bhama Kertih, 2000. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali Propinsi Bali. Asal Matring Petak Gianyar. Terjemahan A.A. Ngr. K. Suweda.
L.06.T. Hasta Patali (Lontar di Pustaka Gedong Kertiya No. 204), Singaraja
212
SPACE - VOLUME 4, NO. 2, OCTOBER 2017
Discussion and feedback