Editorial: Sustainability is in Question
on
RUANG
EDITORIAL
SUSTAINABILITY IS IN QUESTION
By: Gusti Ayu Made Suartika1
The thesis is simple. Due to the ambiguous interpretations of sustainability (each enterprise interpreting the word in their own way) - there can be no significant explanation of the term outside a theory of capital accumulation. With its absorption by the market, the term sustainable has been elevated to sublime uselessness. It has become a totally politicized ideology anointed with anodyne qualities. Paradoxically, these very qualities are invaluable to the reproduction of capital. It bleats we are all together in this battle against climate change, pollution, and the destruction of natural resources. Populations throughout the developed world have rallied to the cause, providing subliminal cover for corporate rape and pillage to continue as usual. So the term sustainability allows the deepening of capitalist social relations chameleon properties, obscuring the fact that scarcity is not a problem of nature but of politics. Neo-Darwinism rules.
No corporation will voluntarily sacrifice market share to sustainable practices. No nation will willingly sacrifice gross development product for the greater good. And no politician will sacrifice votes to their moral conscience. As Nicolas Sarkozy recently said ‘we know what to do, we just don’t know how to get re-elected if we do it’. Consequently economic growth measured as GDP will likely ‘tank the biosphere’ and only the rich will afford to live sustainably (Monbiot).
The causes of this global problem are clear. Nature has its own laws. But the neo-corporate state has adopted a mechanistic concept of nature which only recognizes its instrumental value within the market system. This allows corporations free reign to fly the flag of patriotism and benevolence. The terms green and sustainable now legitimize the very institutions that have bankrupted, polluted and exhausted nature – banks, finance and insurance companies, national and trans-national corporations. Unfortunately nature does not yield to the market without problems and an unsustainable planet is the result. Clearly, none of this will be solved by insulation bats in Sydney roofs, solar panels, bio-fuelled buses, wind farms in Denmark, or a Toyota Prius in the garage. These are cosmetic fixes for the wealthy, short term forms of penance to assuage individual guilt. The structural problems of the capitalist system remain undiminished.
In its Volume IV, Number 1, Ruang-Space Journal publishes seven articles. The first one is composed by I Putu Edy Rapiana, entitled Perubahan Fungsi Spasial sebagai Akibat Perkembangan Pariwisata di Banjar Kedungu, Desa Belalang Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan (Spatial Changes Resulted from the Tourist Development in Kedungu
1
Neighborhood, Belalang Village, Kediri District, of Tabanan Regency). The second article is contributed by Kadek Ary Wibawa Patra. This publication is entitled Alih Fungsi Lahan Pertanian yang Berbatasan dengan Area Puspem Kabupaten Badung: Tahun 2005-2015 (The Conversion of Agricultural Land Situated on the Periphery of Badung Regency's Civic Centre: in the Year of 2005-2015). The third article is authored by A A Gde Djaja Bharuna S, entitled Perkembangan Spasial di Desa Pengotan - Bangli (Spatial Development of Pengotan Village - Bangli).
The fourth article is written by I Putu Hartawan, whose title is Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik sebagai Setting Kegiatan Ngaben Masal di Banjar Teges Kawan Yangloni, Peliatan (The Use of Open Public Space, as a Setting for Mass Cremation Related Activities in Teges Kawan Yangloni Neighborhood, of Peliatan Village). The fifth article is authored by I Ketut Mudra entitled Kontribusi Program Desa Wisata dalam Mentransisi Arsitektur Umah Tua di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali (The Contribution of Village-Based Tourism Program in the Conversion of Original Homes in Julah Village, Tejakula District, Buleleng Regency, Bali). The sixth article is contributed by Michael Bounds and Peter Phibbs with a title of Putting Practice into Theory: Reconciling Academic Discourse with Experience. The seventh article is by Ni Made Swanendri, with a title Pola Spasial Permukiman Desa Pakraman Timbrah, Karangasem (Spatial Pattern of Timbrah Settlement in Karangasem).
■■■
Secara terminology, istilah sustainability mengandung pengertian yang simpel. Namun dalam kenyataannya telah terjadi ambiguitas dalam menginteprestasikannya. Masing-masing kelompok di masyarakat, khususnya para pelaku bisnis, memiliki cara tersendiri dalam memaknai kata ini. Bagi kelompok pebisnis, penjelasan signifikan dari istilah ini, berada pada tataran ide yang mendukung proses pengembangan investasi dan akumulasi kapital/modal. Dalam perkembangannya, sustainability menjadi sebuah pernyataan umum, yang telah kehilangan makna penting, urgensi serta signifikansi yang secara prinsip terkandung di dalamnya, yaitu sinkronisasi dan keberlanjutan tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sustainability menjadi ideologi yang dipolitisi, yang diinterprestasikan sesuai dengan agenda yang dimiliki oleh kelompok yang memakai istilah ini. Pada kenyataannya, ketidakjelasan arti ini merupakan kondisi yang diharapkan dalam proses pengembangan modal (material). Misalnya, sering kita bisa observasi aspirasi yang dinyatakan oleh beragam kelompok masyarakat dari negara-negara maju yang mendemonstrasikan antusiasme dalam melawan dan menangani isu perubahan iklim global, polusi, dan masivnya perusakan sumber daya alam. Seiring dengan atusiasme ini, bermacam praktek yang mengekploitasi dan memusnahkan sumber daya alam, yang dilakoni oleh para pelaku bisnis (pemilik modal) tetap berlangsung secara berkelanjutan. Di sini, sering juga kita dengan opini yang mengatakan bahwa permasalahan kelangkaan sumber daya bukan masalah alam, namun masalah politik. Hukum Neo-Darwinisme berlaku dalam konteks ini. Tentu saja semua dari kita akan setuju jika kondisi ini bertentangan dengan prinsip dasar sustainability yang
mengedepankan terjadinya interaksi sosial yang dilandasi oleh tata nilai kebersamaan dan pemerataan - sosialisme.
Dalam kenyataannya, tidak ada perusahaan yang secara sukarela bersedi mengorbankan keterlibatanya dalam proses produksi keuntungan pada mekanisme pasar tertentu, hanya untuk mendukung praktek-praktek yang berorientasikan pada pemeliharaan sumber daya alam serta interaksi sosial yang berkelanjutan. Hampir tidak pernah kita dengar jika ada inisiatif yang secara sadar yang diinisiasi oleh para pelaku bisnis untuk mengerem dan atau mengorbankan tingkat pertumbuhan ekonomi - gross development product (GDP). Apalagi jika usaha ini ditujukan untuk mengedepankan kepentingan serta kebutuhan dari beragam sektor yang lebih luas. Tidak akan ada juga politisi yang bersedia mengorbankan suara yang secara potensial akan diperolehnya dalam proses pemungutan suara hanya untuk menggolkan prinsip serta kesadaran moral untuk keberlanjutan hidup bersama di muka bumi ini. Seperti halnya apa yang Nicolas Sarkozy (mantan Presiden Prancis) pernah katakan 'Kita mengetahui apa yang harus dilakukan, kita hanya tidak tahu bagaimana agar kita dipilih ulang jika kita lakukan apa yang harus dilakukan.' Secara konsekuensi, pertumbuhan ekonomi GDP, sepertinya akan menjadi tujuan utama ‘tank the biosphere’ dan hanya yang memiliki akses terhadap sumber daya finansial yang berkelebihanlah yang akan mampu bertahan hidup secara berkenjutan.
Penyebab permasalahan yang dihadapi dunia saat ini sebenarnya sudah sangat jelas. Alam memiliki hukumnya sendiri. Tetapi praktek-praktek yang mengedepankan pemanfaatan sumberdaya alam yang sebesar-besarnya dengan difasilitasi oleh negara (neo-corporate) telah membuka kesempatan bagi para pemilik modal untuk menjadi pahlawan ekonomi, dengan segala label kebaikan yang melekat pada titel ini. Istilah green dan sustainable sekarang diligitimasi oleh berbagai institusi bisnis yang awalnya telah mengekploitasi alam sebesar-besarnya. Ini termasuk para pebisnis yang dalam operasional perusahaannya telah mencemarkan serta menguras alam sampai ambang batas kerusakan - bank, perusahaan finansial dan asuransi, perusahaan nasional dan trans-nasional. Sayang sekali, alam tidak menyerah terhadap proses eksploitasi tanpa protes balik. Banyak permasalahan telah kita alami, dan keberlanjutan kehidupan di muka planet ini menjadi konsekuensinya. Walau beragam solusi sudah ditawarkan melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak satupun dari permasalahan kerusakan tatanan almiah serta sosial akan dipecahkan oleh beragam solusi yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan, termasuk penerapan solar panel; operasional publik transportasi yang memanfaatkan bio-energi, penemuan mobil yang memanfaatkan sumberdaya listrik sebagai bahan bakar (Prius), dan lain-lain. Semua ini semata-mata adalah kosmetik bagi kelompok yang berada dan mampu secara finansial, sebagai solusi jangka pendek untuk menghilangkan rasa bersalah kita terhadap alam. Permasalahan mendasar yang dimunculkan oleh mekanisme yang mengedepankan pengembangan kapital/modal tetaplah berkelanjutan keberadaannya.
Dalam publikasinya di Volume IV Nomor 1 ini, Jurnal Ruang-Space mempublikasikan tujuh artikel. Artikel pertama ditulis oleh I Putu Edy Rapiana dengan judul Perubahan Fungsi Spasial sebagai Akibat Perkembangan Pariwisata di Banjar Kedungu, Desa Belalang Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Artikel kedua dikonstribusikan oleh Kadek Ary Wibawa Patra dengan judul Alih Fungsi Lahan Pertanian yang Berbatasan dengan Area
Puspem Kabupaten Badung: Tahun 2005 - 2015. Artikel ketiga disusun oleh A A Gde Djaja Bharuna S, dengan judul Perkembangan Spasial di Desa Pengotan-Bangli. Artikel keempat dikarang oleh I Putu Hartawan, dengan judul Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik sebagai Setting Kegiatan Ngaben Masal di Banjar Teges Kawan Yangloni, Peliatan. Atikel kelima ditulis oleh I Ketut Mudra dengan judul Kontribusi Program Desa Wisata dalam Mentransisi Arsitektur Umah Tua di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Artikel keenam dikontribusikan oleh Michael Bounds, Peter Phibbs dengan judul Putting Practice into Theory: Reconciling Academic Discourse with Experience. Artikel ketujuh oleh Ni Made Swanendri, dengan judul Pola Spasial Permukiman Desa Pakraman Timbrah, Karangasem.
4
SPACE - VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2017
Discussion and feedback