Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik sebagai Setting Kegiatan Ngaben Masal di Banjar Teges Kawan Yangloni, Peliatan
on
RUANG
SPACE
PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK SEBAGAI SETTING KEGIATAN NGABEN MASAL DI BANJAR TEGES KAWAN YANGLONI, PELIATAN
Oleh: I Putu Hartawan1
Abstract
Peliatan Village which is located in a close proximity to the famous and well known Ubud, has been developing vastly into a tourist destination. Following this development, demand for spaces escalates, squeezing those available for ritual, ceremonial, and traditions related incidental uses. In consequence, the latter functions have been accommodated within existing public spaces, which are gradually available in a more limited scale. Conflicts occur when this practice interrupts physical formations of public space in use and therefore its original roles. Taking a case study of the use of open public space for mass-cremation ceremony in Peliatan Village, this study analyses the impact of ritual processions on a shared open space, especially in regard to its functions that this space is assigned for. It used an inductive approach and a descriptive qualitative method. Study findings demonstrate that the additional uses imposed on public open space in Peliatan Village is disruptive to the overall existence of this spatial unit. It is further discovered that these added functions disturb the quality of public space's spatial settings by disrupting its fixed, semi-fixed, and non-fixed elements, which shape this public property at the first place. The article concludes that a new strategy is urgently needed, if a public space is to be utilized in combination with other mass communal functions.
Keywords: public open space, mass ngaben ceremony, ritual procession, spatial setting
Abstrak
Desa Peliatan, yang letaknya berdekatan dengan Desa Ubud yang terkenal, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sebagai destinasi wisata. Kondisi ini telah meningkatkan kebutuhan akan lahan, yang menggerus ketersediaan ruang untuk kepentingan kumunal-insidentil seperti misalnya, kegiatan ritual, seremonial dan terkait tradisi. Dalam menyiasati keadaan ini, kegiatan komunal ini diwadahi di ruang publik yang sudah ada, yang keberadaanya juga semakin terbatas. Konflik terjadi ketika praktek ini mengganggu formasi fisik dari ruang publik dan sekaligus fungsi-fungsi yang harus dilakoninya. Dengan mengambil pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai site untuk pelaksanaan upacara kremasi masal di Desa Peliatan sebagai studi kasusnya, penelitian ini menganalisa dampak rentetan prosesi ritual terhadap eksistensi ruang terbuka publik beserta fungsinya. Studi ini menerapkan pendekatan induktif dengan mengimplementasikan metode riset kualitatif deskriptif. Adapun temuan yang diperoleh adalah, pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai wadah upacara ngaben masal bersifat destruktif. Fungsi ritual ini telah menurunkan kualitas fisik dari tatanan spasial ruang publik dengan merusak elemen-elemen pembentuknya. Ini termasuk elemen yang bersifat fix, semi-fix, dan tidak fix. Artikel ini juga merangkum bahwa diperlukan strategi serta pola pengaturan yang relavan, jika ruang publik akan dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi komunal yang lebih luas dan berskala masal.
Kata kunci: ruang terbuka publik, kegiatan ngaben masal, prosesi ritual, tatanan spasial
1
Pendahuluan
Perencanaan dan penataan ruang terbuka publik sangat diperlukan dalam suatu kawasan yang sedang berkembang. Perencanaan yang baik juga harus didukung dengan manajemen pengelolaan yang baik, sehingga ruang terbuka publik dapat berfungsi secara optimal. Ruang terbuka publik adalah ruang terbuka yang memiliki akses terhadap lingkungan sekitar dan dapat menjadi tempat bertemu sekelompok manusia dalam melakukan aktivitas sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada daerah tersebut (Scurton 1984). Kemudahan akses pada ruang terbuka publik menyebabkan terdapat banyak pihak yang memanfaatkan ruang publik, sehingga menimbulkan permasalahan. Pada kota-kota di Indonesia sering terjadi pemanfaatan ruang terbuka publik yang tidak sesuai dengan fungsinya. Kondisi tersebut disebabkan karena tidak terdapat aturan dan tindakan tegas dari pihak terkait tentang pemanfaatan ruang terbuka publik. Hal tersebut juga diungkapkan oleh (Hariyono 2007) yang menyatakan bahwa, pada umumnya permasalahan ruang publik yang terjadi pada kota-kota di Indonesia disebabkan karena terdapat pemanfaatan ruang publik yang tidak sesuai dengan fungsinya, seperti pemanfaatan trotoar untuk parkir dan pedagang kaki lima. Ditinjau dari elemen pembentuk ruangnya, permasalahan tersebut dapat disebabkan oleh tata letak elemen-elemen penyusun ruang yang tidak tepat atau sebaliknya mendukung terjadinya aktivitas lain di luar fungsi. Jadi pengaturan elemen-elemen pembentuk ruang terbuka publik seperti, furniture, perkerasan, dan landscape yang tepat, sangat diperlukan agar aktivitas yang terjadi pada ruang terbuka publik dapat berjalan dengan baik dan menguntungkan semua pihak.
Lokasi penelitian adalah Banjar Teges Kawan Yangloni, Desa Peliatan. Secara gografis Desa Peliatan terletak di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Dilihat dari kondisi sosialnya, masyarakat Desa Peliatan merupakan suatu komunitas yang terikat oleh kesatuan budaya Bali dan memiliki nilai religius bersumber dari ajaran Agama Hindu (Profil Tingkat Perkembangan Desa Peliatan 2010). Kegiatan ritual keagamaan adalah salah satu cerminan kebudayaan masyarakat Peliatan. Kegiatan ritual juga merupakan daya tarik wisata budaya di Desa Peliatan. Dengan daya tarik seni dan budaya, Desa Peliatan berkembang pesat menjadi daerah tujuan pariwisata. Berkembangnya Desa Peliatan menjadi kawasan pariwisata juga menuntut optimalisasi fungsi ruang terbuka publik. Lalu lintas yang semakin padat menuntut ruang sirkulasi berfungsi dengan baik. Alih fungsi lahan untuk akomodasi pariwisata menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau, yang berdampak pada pentingnya ruang publik dengan fungsi rekreasi dan olahraga.
Berbagai macam konflik kepentingan terjadi pada ruang terbuka publik di Desa Peliatan. Misalnya pada ruang terbuka publik jalan, kemacetan lalu lintas hampir terjadi setiap hari. Pada waktu yang bersamaan jalan tersebut juga dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan ritual masyarakat setempat. Kegiatan ritual yang sering dilakukan pada area publik antara lain, mecaru di perempatan agung desa, ngaben yang banyak memanfaatkan ruas jalan-jalan tertentu dan prosesi upacara yang menuju ke laut (RDTR Kawasan Pariwisata Ubud 2001). Salah satu kegiatan ritual di Desa Peliatan yang selalu memanfaatkan ruang terbuka publik adalah ngaben masal.
Ngaben adalah ritual yang dilaksanakan untuk orang yang sudah meninggal di Bali (Sukraliawan 2011). Ngaben masal adalah ngaben yang dilaksanakan oleh pihak kelompok atau komunitas adat di Bali. Di Desa Peliatan, ngaben masal pada umumnya terdiri dari puluhan orang yang akan diaben atau diupacarai. Ngaben masal dilaksanakan oleh semua banjar adat di Desa Peliatan secara bergiliran dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh Parisada Agama Hindu. Ruang utama untuk melaksanakan ritual ngaben masal di Desa Peliatan adalah bale banjar sebagai rumah duka dan setra sebagai tempat kremasi. Ngaben masal diikuti oleh seluruh elemen masyarakat anggota banjar yang melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan ngaben masal berlangsung selama kurang lebih 30 hari dari persiapan sampai selesai.
Dalam penelitian ini diangkat Ngaben Masal Banjar Teges Kawan Yangloni sebagai studi kasus. Faktor pertimbangannya adalah lokasi bale banjar yang terletak pada jalur padat lalu lintas dan kegiatan ini memanfaatkan beberapa ruang terbuka publik seperti, jalan lingkungan banjar, jalan utama, dan lapangan. Berdasarkan pengamatan awal, ruang utama untuk melaksanakan ritual ini adalah bale banjar dan setra. Karena keterbatasan ruang pada area tersebut, beberapa tahap dari kegiatan ini juga memanfaatkan jalan dan lapangan yang terletak di sekitarnya. Jalan lingkungan banjar dimanfaatkan pada tahap persiapan dan lapangan dimanfaatan untuk melaksanakan prosesi tertentu, serta ruang untuk parkir kendaraan. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, juga terdapat pedagang yang memanfaatkan ruang terbuka publik untuk berjualan.
Pemanfaatan ruang-ruang terbuka publik untuk kegiatan ritual ngaben masal menimbulkan indikasi terganggunya fungsi ruang terbuka publik. Transformasi ruang terbuka publik menjadi ruang penunjang kegiatan ritual ngaben masal, terjadi karena terdapat elemen-elemen penyusun ruang yang mendukungnya. Elemen-elemen penyusun ruang tersebut akan membentuk pola pemanfaatan ruang terbuka publik untuk ritual ngaben masal. Hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya fungsi asli atau aktivitas masyarakat umum pada ruang terbuka publik. Sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap elemen-elemen penyusun ruang yang mendukung terjadinya aktivitas teresebut.
Hal tersebut menjadi sangat penting, karena jika tidak diperhatikan, indikasi permasalahan ruang terbuka publik akan terus terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan ritual. Hal tersebut dapat memberikan kesan tidak baik terhadap Citra Desa Peliatan sebagai desa dengan daya tarik wisata budaya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka timbul pertanyaan penting dalam penelitian ini yaitu, apa saja elemen-elemen penyusun ruang yang terbentuk pada saat diamnfaatkannya ruang terbuka publik untuk kegiatan ritual ngaben masal dan permasalahan yang ditimbulkan, serta hal apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan yang terjadi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan rekomendasi terhadap pemecahan permasalahan pada kasus pemanfaatan ruang terbuka publik untuk kegiatan ritual dengan pendekatan teori elemen penyusun setting. Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan pada metode penelitian kualitatif induktif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara.
Ruang Publik dan Setting
Pada bagian ini dipaparkan toeri yang relevan dengan topik penelitian antara lain teori ruang publik dan teori setting spasial. Teori ruang publik digunakan untuk melihat jenis dan fungsi ruang terbuka publik yang terdapat di Desa Peliatan. Teori setting dipergunakan untuk meninjau elemen-elemen penyusun setting.
Ruang publik terdiri dari kata ruang dan publik. Pengertian ruang menurut Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah wadah yang meliputi ruang darat, laut, dan ruang udara, semua ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (pasal 1 ayat 1). Publik dapat dartikan umum atau dimiliki masyarakat umum. Jadi ruang publik adalah ruang yang dimiliki dan dapat dipergunakan oleh masyarakat umum. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan (Tibbalds dalam Hariyono 1997) yang menjelaskan bahwa, ruang publik adalah semua jaringan perkotaan yang dapat diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum. Ruang publik kota harus dapat mengakomodasi seluruh masyarakat dari berbagai kalangan tanpa membedakan kelas, etnik, gender, dan usia harus dapat saling bercampur baur (Madnipour 1996). Penjelasan tersebut mengandung makna ruang publik dapat dimanfaatkan oleh seluruh elemen masyarakat tanpa memandang perbedaan.
a.1. Ruang Terbuka Publik
Berdasarkan sifatnya, ruang publik dapat dibedakan menjadi ruang publik tertutup dan ruang publik terbuka (Hakim 1992). Ruang publik tertutup adalah ruang publik dalam bentuk bangunan atau berada dalam suatu bangunan. Ruang publik terbuka adalah ruang publik yang terletak diluar bangunan atau disebut dengan open space. Berdasarkan study tour, ditentukan pengamatan dibatasi pada ruang terbuka publik, dengan faktor pertimbangan tumpang tindih kegiatan terjadi pada ruang ini. Jadi pengamatan dilakukan pada ruang publik yang terletak di luar bangunan, dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang serta dapat mengakomodasi berbagai macam kegiatan masyarakat.
Ruang terbuka publik tentu sangat berperan penting dalam suatu kawasan. Ruang terbuka publik mempunyai dua fungsi yaitu, fungsi sosial dan funsi ekologis (Hakim dan Utomo 2003). Fungsi sosialnya adalah sebagai tempat berkomunikasi atau bersosialisasi, tempat bermain dan berolahraga, tempat untuk menghirup udara segar, tempat menunggu kegiatan lain, serta berbagai macam kegiatan sosial lainnya. Fungsi ekologis yaitu, ruang publik dapat berperan dalam, menyerap air hujan, pencegah banjir, menyegarkan udara, memperbaiki iklim mikro dengan mereduksi panas dan polusi,serta memelihara dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Ruang publik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu, ruang terbuka yang bentuknya memanjang (koridor) dengan batas pada sisinya dan ruang terbuka publik dengan bentuk bulat yang memiliki batas dengan bentuk lingkaran (Krie 1979). Jalan, sungai, dan pedestrian adalah beberapa contoh ruang publik dengan tipe memanjang. Lapangan upacara, ruang rekeasi, dan area untuk berolahraga adalah contoh ruang publik dengan tipe
melingkar. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpukan beberapa ruang yang dapat dikatakan ruang terbuka publik antara lain, jalan, pedestrian, taman lingkungan, lapangan olahraga, taman kota dan taman rekreasi. Ruang-ruang terbuka publik tersebut direncanakan dengan elemen-elemen penyusunnya agar dapat berfungsi sesuai dengan fungsi yang diharapkan. Pengaturan elemen-elemen ruang terbuka publik seperti tempat duduk, telepon umum, air mancur, patung, hingga penjual kopi akan turut mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi (Udayana 2014). Perencanaan elemen penyusun ruang terbuka publik yang kurang tepat, dapat menimbulkan aktivitas lain di luar fungsi yang sudah ditetapkan.
a.2. Ruang Terbuka Publik dalam Penelitian
Pamahaman ruang terbuka publik pada penjelasan sebelumnya dipakai acuan dalam melihat jenis ruang publik di Desa Peliatan. Berdasarkan pemahaman sebelumnya, banyak terdapat jenis ruang terbuka publik di Desa Peliatan, sehingga perlu dilakukan pemabatasan tipe ruang publik dalam penelitian ini. Ruang terbuka publik yang menjadi objek penelitian adalah ruang terbuka publik yang memiliki peranan penting dalam keberlangsungan aktivitas masyarakat umum dan pada waktu yang bersamaan dimanfaatkan untuk kegiatan ritual oleh masyarakat lokal. Berdasarkan pengamatan awal, ruang-ruang terbuka publik tersebut antara lain, jalan, trotoar, dan lapangan. Di Desa Peliatan yang berkembang menjadi kawasan pariwisata, ruang terbuka publik sangat berperan penting untuk kelancaran aktivitas masyarakat umum. Jalan padat dengan lalu lintas, trotoar juga berfungsi dengan baik terutama untuk para wisatawan yang berjalan kaki, dan lapangan sangat berperan penting untuk kegiatan rekreasi dan olahraga masyarakat.
Teori setting yang diterapkan dalam meninjau elemen-elemen penyusun setting yang mendukung terjadinya kegiatan ngaben masal pada ruang terbuka publik. Dalam penelitian ini, semua aktivitas yang timbul pada saat pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal ditinjau karena berpotensi menimbulkan permasalahan pada ruang terbuka publik.
Menurut (Rapopot 1982), setting merupakan tata letak dari suatu interaksi antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksudkan disini adalah elemen pembentuk ruang seperti tanah, air, pohon, dan bentuk fisik lainnya. Setiap interkasi yang terjadi membentuk tata letaknya masing-masing. Dengan meninjau elemen penyusun setting, maka dapat ditentukan tata letak ruang agar dapat berfungsi dengan optimal. Dalam konteks ruang, setting dapat dibedakan atas setting fisik dan setting kegiatan/aktifitas. Elemen penysun setting dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu, elemen fixed, elemen semi fixed dan elemen non fixed (Rapopot 1982).
Elemen fixed adalah elemen fisik tetap yang tidak dapat berubah. Secara spasial elemen ini dapat diorganisasikan ke dalam ukuran, bentuk, urutan, dan lokasi. Contohnya adalah dinding masif, perkerasan jalan, pohon yang tumbuh pada lingkungan, bangunan, dan pembatas permanen.
Elemen semi fixed merupakan elemen fisik semi tetap, yang keberadaanya dapat berpindah. Contohnya adalah kendaraan parkir, tanda pengarah lalu lintas yang dapat dipindah-pindah, sarana perlengkapan pedagang kaki lima, dan dinding partisi.
Elemen non fixed adalah manusia yang melakukan aktivitas pada suatu ruang. Elemen non fixed berhubungan langsung dengan tingkah laku atau perilaku manusia itu sendiri yang selalu tidak tetap. Elemen non fixed juga dapat menjelaskan pergerakan dari individu atau kelompok yang membentuk suatu aktivitas tertentu.
Teori lain tentang setting diungkapkan oleh (Hall 1982) yang menjelaskan setting terdiri dari tiga tipe dasar pola ruang sebagai berikut: (a) Ruang berbatas tetap (fixed featured space) adalah ruang berbatas tetap ditandai dengan pembatas fisik tetap dan tidak mudah digeser. Contohnya adalah ruang yang dibatasi oleh dinding massif, jendela, pintu, lantai, dan perkerasan; (b) Ruang berbatas semitetap (semifixed featured space) adalah ruang yang pembatasnya masih dapat berpindah. Contohnya adalah pada rumah-rumah tradisional Jepang, dinding dapat digeser untuk mendapatkan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan. Ruang-ruang pameran dibatasi oleh partisi yang dapat dipindahkan ketika dibutuhkan setting yang berbeda; (c) Ruang informal adalah ruang yang terbentuk dalam waktu singkat karena terdapat sekelompok manusia yang melakukan interaksi atau aktivitas tertentu. Ruang informal dapat ditandai dengan arah hadap badan manusia. Ruang ini biasanya terbentuk diluar kesadaran orang yang bersangkutan.
Berdasarkan pamaparan kedua teori setting sebelumnya, dapat dilihat keterkaitannya yaitu elemen penyusun setting terdiri dari tiga komponen utama yaitu (1) elemen fixed yang menghasilkan ruang berbatas tetap (fixed featured space), (2) elemen semi fixed yang mehasilkan ruang berbatas tidak tetap (semifixed featured space), dan (3) elemen non fixed yang menghasilkan ruang informal. Kesimpulan dari teori setting ini akan diterapkan untuk meninjau terbentuknya pola aktivitas dalam pelaksanaan ritual ngaben masal pada ruang publik.
Metode dan Gambaran Umum Objek Penelitian
Penelitian menggunakan motede kualitatif deskriptif dengan pola pikir induktif. Penelitian ini menemukan pemanfaatan ruang terbuka publik untuk kegiatan ritual ngaben masal berdampak pada terganggunya fungsi ruang publik. Dengan meninjau elemen penyusun setting yang terdiri dari, elemen fixed, elemen semi fixed, dan elemen non fixed, terganggunya fungsi ruang publik oleh kegiatan ngaben ritual masal dapat dikurangi. Elemen fixed lebih menekankan pada perencanaan, sedangkan elemen semi fixed dan non fixed lebih kepada manajemen pemanfaatan ruang.
Pada bagian ini dipaparkan gambaran umum ruang terbuka publik dalam penelitian ini. Gambaran umum meliputi lokasi, bentuk fisik, aktivitas atau fungsi, dan tahap atau prosesi ngaben masal yang terjadi pada ruang terbuka publik tersebut. Untuk melihat secara detail penjelasan dibagi menjadi beberapa area sebagai berikut.
Gambar 1. Peta Lokasi Ruang Terbuka Publik dalam Penelitian
a. Area A ( Jalan Nuri)
Area A adalah ruang terbuka publik berupa jalan lingkungan banjar atau disebut dengan Jalan Nuri. Jalan Nuri terletak di sebalah timur bale banjar atau ruang utama pelaksanaan ritual ngaben masal. Secara detail Area A adalah pada segmen dari bale banjar sampai sekitar 300 meter ke utara. Jalan Nuri memiliki lebar sekitar 5 meter dengan perkerasan aspal. Pada jalan ini masih terdapat telajakan di sisi kiri dan kanan jalan, yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau. Suasana pada jalan ini cukup sejuk karena terdapat pohon peneduh pada area telajakan. Pada hari biasa jalan ini berfungsi sebagai ruang sirkulasi masyarakat yang bermukim di tempekan Yangloni dan tempekan Pangkung. Jalan ini juga berfungsi sebagai salah satu jalur alternatif di Desa Peliatan.
Gambar 2. Pemanfaatan Area A Untuk Kegiatan Ngaben Masal
Dalam pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal, Jalan Nuri dimanfaatkan sebagai ruang penunjang. Ruang penunjang meliputi ruang untuk membuat sarana upacara, ruang untuk meletakkan sarana upacara (lembu, pelangkan, dan sarana lainnya), serta ruang untuk parkir. Kegiatan membuat sarana dilaksanakan oleh krama banjar pada seluruh ruas jalan dari pagi sampai sore hari pada hari tertentu selama tahap persiapan (20 hari). Sarana upacara diletakkan dengan memanfaatkan setengah ruas jalan dari proses pembuatan sampai sarana tersebut dipergunakan (15-20 hari). Panitia, pengayah dan peserta upacara memarkir kendaraannya pada bahu Jalan Nuri dari tahap persiapan sampai puncak acara (30 hari). Parkir pada bahu jalan ini terjadi dari pagi sampai malam hari.
Area B adalah ruang terbuka publik berupa jalan yang terletak pada Jalan Raya Teges. Jalan ini berlokasi tepat di depan Bale Banjar Teges Kawan Yangloni atau ruang utama
pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal. Jalan ini memiliki lebar sekitar 12 meter, dilengkapi dengan pohon peneduh dan trotoar di kedua sisi jalan. Jalan Raya Teges adalah jalan dengan tipe kolektor primer yang berfungsi sebagai penghubung antar dareah. Lalu lintas pada jalan ini cukup padat setiap harinya. Kemacetan lalu lintas terjadi hampir setiap hari dari siang sampai sore hari.
Dalam pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal, jalan ini dimanfaatkan sebagai ruang sirkulasi menuju ke setra, parkir kendaraan, dan ruang untuk meletakkan sarana upacara. Semua kegiatan tersebut hanya berlangsung selama satu hari. Prosesi menuju ke setra diawali dengan pengangkatan lembu yang memanfaatkan seluruh ruas jalan dari pagi sampai siang hari. Setelah prosesi tersebut dilanjutkan dengan pergerakan wadah yang berisi simbolis jenazah. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh elemen masyarakat dan keluarga dari orang yang akan diupacarai
Gambar 3. Pemanfaatan Area B Untuk Kegiatan Ritual Ngaben Masal
Pada hari tersebut trotoar dan bahu jalan juga dimanfaatkan untuk, meletakkan sarana upacara, parkir kendaraan, dan ruang untuk menyaksikan jalannya upacara. Jadi pada hari pengutangan Jalan Raya Teges pada segmen depan bale banjar ditutup untuk lalu lintas masyarakat umum selama satu hari.
Area C adalah ruang terbuka publik berupa jalan lingkungan yang terletak di sekitar Setra Dalem Peliatan atau tempat kremasi. Jalan ini memiliki lebar 5 meter sampai 7 meter dengan perkerasan aspal. Suasana pada area ini cukup sejuk karena banyak terdapat pohon peneduh yang tumbuh pada area setra. Jalan ini berfungsi sebagai akses menuju ke tiga sekolah yang terletak disebelah setra, akses menuju ke Pura Dalem, dan akses menuju ke Lapangan Garuda.
Gambar 4. Pemanfaatan Area C Untuk Kegiatan Ritual Ngaben Masal
Setra (kuburan) adalah ruang untuk melaksanakan prosesi kremasi yang merupakan salah satu kegiatan utama dalam pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal. Ruas jalan di sekitar setra dimanfaatkan sebagai ruang penunjang seperti, ruang untuk para pedagang, parkir, dan penonton. Para pedagang berjualan pada bahu jalan dari pagi sampai sore hari. Masyarakat memarkir kendaraannya dengan memanfaatkan bahu jalan secara tidak teratur. Pola pemanfaatan ruang tersebut berlangsung selama tiga hari dari prosesi ngendag sampai prosesi mepamit menuju ke laut.
Area D adalah ruang terbuka publik berupa Lapangan Garuda yang berlokasi tepat di sebelah utara setra. Lapangan ini memiliki luas sebesar lapangan sepak bola dengan permukaan tanah rumput. Lapangan ini berfungsi sebagai ruang untuk melaksanakan aktivitas olahraga dan rekrasi masyarakat setempat. Lapangan ini juga berfungsi sebagai tempat berolahraga untuk murid sekolah-sekolah yang berada di Desa Peliatan. Pada sore hari lapangan ini ramai dikunjugi masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga seperti bermain sepakbola, jalan santai, dan lari.
Gambar 5. Pemanfaatan Area D Untuk Kegiatan Ritual Ngaben Masal
Dalam pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal, lapangan ini dimanfaatkan untuk melaksanakan prosesi nguyeg dan mepamit, serta ruang untuk parkir kendaraan. Nguyeg dan mepamit dilaksanakan oleh anggota keluarga orang yang diupacarai dipandu oleh sulinggih. Kegiatan ini memanfaatkan setengah area lapangan. Kendaraan parkir pada setengah area lapangan selama tiga hari dari prosesi ngendag sampai prosesi mepamit.
Identifikasi Elemen Penyusun Setting
Pada bagian ini dilakukan identifikasi elemen penyusun setting yang terbentuk, pada saat dimanfaatkannya ruang terbuka publik untuk kegiatan ngaben masal. Identifikasi didasarkan pada tinjauan teori setting yang dipaparkan sebelumnya. Elemen penyusun setting terdiri dari tiga bagian yaitu elemen fixed, elemen semi fixed, dan elemen non fixed. Pada bagian ini juga terdapat analisis permasalahan yang ditimbulkan dari masing-masing elemen penyusun setting. Penjelasan akan dibagi menjadi beberapa area, sesuai dengan gambaran umum objek penelitian sebelumnya.
a Area A (Jalan Nuri)
Elemen fixed pada Area A terdiri dari ruas Jalan Nuri dengan perkerasan aspal, area telajakan dan pohon peneduh. Jalan Nuri memiliki lebar sekitar 5 meter. Elemen fixed membentuk fixed featured space (ruang berbatas tetap), tempat berlangsungnya kegiatan.
Elemen semi fixed yang terdapat pada Area A, saat pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal terdiri dari, sepeda motor parkir dan mobil panitia parkir pada bahu jalan dan sarana upacara yang diletakkan dengan memanfaatkan setengah ruas jalan. Elemen semi fixed tersebut akan membentuk pola ruang semi fixed featured space (ruang berbatas semi tetap) selama kurang lebih 30 hari, dari persiapan sampai upacara selesai. Hal tersebut dapat menyebabkan menyempitnya ruang sirkulasi kendaraan pada Area A.
Gambar 6. Elemen Penyusun Setting Pada Area A
Permasalahan lainnya adalah parkir dan peletakan sarana yang tidak teratur terkadang menyebabkan warga yang bermukim di area tersebut tidak dapat keluar rumah. Elemen non fixed yang terdapat pada Area A pada saat pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal adalah masyarakat atau krama banjar yang terlibat dalam kegiatan membuat sarana. Kegiatan ini membentuk ruang informal pada seluruh ruas jalan. Ruang informal karena aktivitas membuat sarana terbentuk pada hari-hari tertentu dari pagi sampai sore hari selama tahap persiapan yang berlangsung selama 20 hari. Ruang informal yang terbentuk pada Area A menyebabkan Jalan Nuri tidak dapat dilalui oleh masyarakat umum selama kegiatan berlangsung.
Elemen fixed pada Area B terdiri dari, ruas jalan dengan perkerasan aspal dan trotoar dengan perkerasan paving. Pada area ini juga terdapat tanah kosong dengan status kepemilikan banjar.
Gambar 7. Elemen Penyusun Setting Ruang Pada Area B
Elemen semi fixed yang terdapat pada area ini terdiri dari sarana upacara (lembu), sepeda motor parkir, dan mobil parkir. Sarana upacara (lembu) diletakkan pada trotoar sampai ke bahu jalan dari satu hari sebelum diangkat menuju ke setra. Sepeda motor parkir pemanfaatkan trotoar. Mobil parkir memanfaatkan bahu jalan di sekitar area bale banjar. Parkir kendaraan sudah terjadi dari proses persiapan sampai puncak acara pada pagi sampai sore hari. Elemen semi fixed membentuk pola ruang semi fixed featured space (ruang berbatas semi tetap) yang dapat menyebabkan fungsi utama ruang publik terganggu. Sarana upacara dan parkir pada trotoar memberikan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki. Pemanfaatan bahu jalan untuk parkir dan peletakan sarana upacara dengan durasi cukup lama dapat menambah kemacetan pada Jalan Raya Teges. Elemen non fixed yang terdapat pada area ini adalah masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ngaben masal. Pada area ini dilaksanakan prosesi ngarap lembu dan prosesi berjalan kaki menuju ke setra dengan memanfaatkan seluruh ruas jalan. Area trotoar juga dimanfaatkan penonton lokal maupun manca negara untuk menyaksikan jalannya upacara. Elemen non fixed membentuk ruang informal sesuai dengan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini. Pada ruas jalan terbentuk ruang informal karena terdapat kelompok masyarakat yang melaksanakan prosesi ngaben. Pada trotoar terbentuk ruang informal karena terdapat kelompok masyarakat yang menyaksikan jalannya upacara. Dengan banyaknya peserta atau orang yang akan diupacarai dalam kegiatan ritual ngaben masal, ruang informal terbentuk dari pagi sampai sore hari pada Area B. Hal tersebut menyebabkan terhambatnya lalu lintas pada Jalan Raya Teges. Penutupan Jalan Raya Teges sepanjang hari menyebabkan kemacetan yang parah pada jalur-jalur disekitarnya.
Eleme fixed pada Area C adalah ruas jalan dengan perkerasan aspal dan pembatas beton pada kedua sisinya.
Gambar 8. Elemen Penyusun Setting Ruang Pada Area C
Elemen semi fixed yang terdapat pada Area C, saat pelaksanaan kegiatan ngaben masal terdiri dari kendaraan parkir dan sarana perlengkapan pedagang. Mobil dan sepeda motor pakir memanfaatkan bahu jalan secara tidak teratur. Pedagang dengan sarana perlengkapan seperti meja dan kursi juga memanfaatkan bahu jalan. Parkir dan pedagang pada bahu jalan terjadi pada saat pelaksanaan prosesi ngendag, kremasi, dan nguyeg selama tiga hari, dari siang hari sampai sore hari. Elemen semi fixed tersebut membentuk pola ruang semi fixed
featured space (ruang berbatas semi tetap) yang menyebabkan fungsi jalan sebagai ruang sirkulasi terganggu. Keberadaan elemen semi fixed pada area ini, juga dapat mengganggu pergerakan prosesi berjalan kaki dari kegiatan ngaben masal itu sendiri. Elemen non fixed yang terdapat pada area ini adalah masyarakat yang melakukan aktivitas menyaksikan prosesi kremasi, menonton jalannya upacara, dan melakukan aktivitas jual beli. Masing-masing kelompok masyarakat tersebut membentuk ruang informal yang ditandai dengan arah hadap tubuhnya. Ruang-ruang informal tersebut terbentuk pada ruas jalan. Meskipun hanya bersifat sementara, ruang-ruang informal tersebut dapat menganggu fungsi jalan sebagai ruang sirkulasi. Pada area sekitar pedagang misalnya, ruang informal karena aktivitas jual beli terbentuk mencapai radius tiga meter mengambil bahu jalan. Hal tersebut tentu dapat mempersempit ruang sirkulasi pada ruas jalan.
-
d. Area D (Lapangan Garuda)
Elemen fixed pada Area D terdiri dari area tanah rumput lapangan, jalur pejalan kaki yang terletak di sisi utara lapangan, dan tempat duduk penonton yang terletak di sisi selatan lapangan.
Gambar 9. Elemen Penyusun Setting Ruang Pada Area D
Elemen semi fixed yang terdapat pada area ini pada saat pelaksanaan kegiatan ngaben masal adalah kendaraan parkir, sarana perlengkapan upacara, dan bale sulinggih. Sarana upacara pelangkan diletakkan pada area tengah lapangan dengan pola horizontal. Sarana upacara diletakkan pada area ini dari siang sampai sore hari. Sarara upacara tersebut dipergunakan dalam prosesi ngereka. Perletakan sarana tidak berpengaruh secara segnifikan terhadap fungsi atau fisik lapangan karena berlangsung sementara. Kendaraan parkir pada sisi timur dan utara lapangan selama tiga hari dari pagi sampai sore hari. Parkir kendaraan menimbulkan pola ruang semi fixed featured space (ruang berbatas semi tetap) yang dapat menyebabkan aktivitas olahraga yang terjadi pada lapangan terganggu selama beberapa hari. Permasalahan lain adalah permukaan lapangan menjadi bergelombang dan rumputnya mati. Elemen non fixed pada Area D terbentuk karena terdapat masyarakat yang melakukan prosesi ngereke dan mepamit. Kegiatan ini hanya berlangsung pada sore hari setelah prosesi kremasi. Ruang informal yang terbentuk pada area ini tidak memberi pengaruh yang segnifikan terhadap fungsi lapangan sebagai ruang untuk berlolahraga, karena hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Analisis Permasalahan Terkait Fungsi Ruang Publik
Pada bagian ini dilakukan analisis permasalahan yang ditimbulkan pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai setting kegiatan ritual ngaben masal terhadap fungsi ruang publik. Untuk melihat permasalahan yang ditimbulkan dilakukan perbandingan antara elemen pembentuk setting pada saat terjadi kegiatan ritual ngaben masal dan pada saat tidak terjadi kegiatan ritual ngaben masal atau pada hari biasa, kemudian akan dianalisis apakah elemen pembentuk setting yang terbentuk, berpengaruh terhadap fungsi dan aktivitas pada ruang terbuka publik. Pengaruh yang ditimbulkan juga akan didialogkan dengan teori ruang publik kota secara umum. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya elemen pembentuk setting terdiri dari, elemen fixed, elemen semi fixed dan elemen non fixed.
Tabel 1. Perbandingan Elemen Pembentuk Setting Kegiatan Ngaben Masal dan Pada Hari Biasa
No |
Ruang Publik |
Elemen Fixed |
Kegiatan Ngaben Masal |
Pada Hari Biasa | ||
Elemen Semi Fixed |
Elemen Non Fixed |
Elemen Semi Fixed |
Elemen Non Fixed | |||
1 |
Area A |
- Ruas jalan |
- Sarana |
- Kegiatan |
- Tidak |
- Aktivitas |
(Jl.Nuri) |
perkerasan aspal
|
upacara
|
mebuat sarana upacara |
terdapat elemen semi fixed. |
sirkulasi masyarakat setempat - Lalu lintas masyarakat | |
2 |
Area B |
- Ruas jalan |
- Sarana |
- Prosesi |
- Tidak |
- Lalu lintas |
(Jl. Raya |
perkerasan |
upacara |
menuju ke |
terdapat |
pada ruas jalan | |
Teges) |
aspal
|
(lembu )
|
setra - Aktivitas menonton prosesi |
elemen semi fixed |
- Sirkulasi pejalan kaki pada trotoar | |
3 |
Area C |
- Ruas jalan |
- Sarana |
- Prosesi |
- Parkir |
- Aktivitas |
(Jl. Setra) |
perkerasan aspal - Pembatas jalan |
perlengkapan pedagang
|
kegiatan ritual
|
sepeda motor siswa SMP Pegri 3 Ubud |
sirkulasi menuju ke setra, ke lapangan, ke sekolah | |
4 |
Area D |
- Area tanah |
- Sarana |
- Prosesi |
- Tidak |
- Aktivitas |
(Lapangan |
rumput |
perlengkapan |
ngereka |
terdapat |
olahraga dan | |
Garuda) |
|
ngaben
|
dan mepamit |
elemen non fixed. |
rekreasi masyarakat sekitar |
Sumber: Observasi Lapangan 2015
Berdasarkan tabel di atas dapat ditarik kesimpulan, terdapat perubahan elemen pembentuk setting ruang pada saat terjadi kegiatan ritual ngaben masal pada ruang terbuka publik. Perubahan elemen pembentuk setting yang terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut.
-
a. Elemen Fixed
Elemen fixed adalah elemen fisik tetap yang mewadahi semua aktivitas yang terbentuk, baik untuk menunjang kegiatan ngaben masal atau aktivitas lain pada ruang publik. Elemen fixed tidak mengalami perubahan pada saat terjadi kegiatan ritual ngaben masal dan pada hari biasa.
-
b. Elemen Semi Fixed
Pada saat pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal pada ruang terbuka publik, terbentuk elemen semi fixed berupa sarana perlengkapan upacara, parkir kendaraan dan sarana perlengkapan pedagang.
-
c. Elemen Non Fixed
Pada hari biasa elemen non fixed terebentuk karena aktivitas sesuai dengan fungsi ruang publik seperti, sirkulasi, rekreasi, dan olahraga. Pada saat pelaksanaan kegiatan ritual ngaben masal, elemen non fixed berubah menjadi prosesi berjalan kaki, kegiatan membuat sarana, aktivitas menonton jalannya ngaben masal, dan aktivitas jual beli.
Permasalahan pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai setting kegiatan ritual ngaben masal terkait fungsi dijelaskan pada Tabel 2, sebagai berikut.
Tabel 2. Permasalahan Terkait Fungsi Ruang Publik
No |
Ruang |
Fungsi dan |
Kegiatan Ngaben Masal |
Permasalahan | |
Publik |
Aktivitas |
Pemanfaatan Ruang |
Durasi | ||
Ruang untuk |
20 hari |
Penyempitan ruang | |||
meletakkan upacara |
sirkulasi untuk kendaraan | ||||
Akses menuju |
Ruang untuk parkir |
Pagi - mlm |
roda empat | ||
1 |
Area A |
Banjar Yangloni | |||
(Jl.Nuri) |
dan jalur alternatif |
(30 hari) | |||
di Desa Peliatan |
Ruang untuk kegiatan |
Pagi - sore, |
Tidak dapat dilalui | ||
membuat sarana |
(25 hari) |
masyarakat umum | |||
Ruang untuk |
Pagi - |
Terhambatnya lalu lintas | |||
meletakkan sarana |
siang |
menambah kemacetan | |||
upacara (lembu) |
(1 hari) |
pada Jalan Raya Teges | |||
Jalan Kolektor |
Parkir kendaraan |
Pagi - sore | |||
primer |
panitia pada bahu |
(30 hari) | |||
Area B |
penghubung antar |
jalan | |||
2 |
(Jl. Raya Teges) |
daerah, trotar berfungsi untuk sirkulasi peajalan kaki |
Ruang sirkulasi /prosesi menuju ke setra |
Pagi - sore (1 hari) |
Kemacetan lalu lintas yang meluas ke seluruh Desa Peliatan |
Trotoar : Ruang untuk |
Pagi - sore |
Tidak terlalu | |||
penonton |
(1 hari) |
berpengaruh terhadap fungsi trotoar | |||
Ruang |
Pagi - sore |
Aktivitas sirkulasi | |||
sirkulasi/prosesi |
(1 hari) |
masyarakat umum | |||
menuju ke setra |
terganggu | ||||
Akses menuju ke |
Ruang untuk |
Pagi - sore | |||
3 |
Area C |
tiga sekolah, Pura |
penonton |
(3 hari) | |
(Jl. Setra) |
Dalem, dan |
Ruang untuk |
Pagi - sore |
Terganggunya fungsi | |
Lapangan Garuda |
pedagang Ruang parkir |
(1 hari) Pagi - sore (3 hari) |
ruang publik untuk masyarakat dan sirkulasi kegiatan ngaben masal | ||
4 |
Area D |
Ruang untuk |
Ruang parkir |
Pagi |
Tidak dapat digunakan |
(Lapangan |
rekreasi dan |
(3 hari) |
untuk aktivitas olahraga | ||
Garuda) |
olahraga |
Pelasanaan prosesi |
Sore hari |
Tidak menimbulkan | |
ngereke dan mepamit |
(1 hari) |
permasalahan |
Sumber: Observasi Lapangan 2015
Berdasarkan Tabel 2, pengaruh pemanfaatan ruang publik sebagai setting kegiatan ritual ngaben masal terhadap fungsi ruang publik dapat dijelaskan sebagai berikut.
-
a. Pada Area A (Jalan Nuri) ruang terbuka publik berfungsi sebagai ruang sirkulasi masyarakat setempat dan jalur alternatif di Desa Peliatan. Pemanfaatan ruang terbuka publik untuk kegiatan ritual ngaben masal dengan elemen pendukung semi fixed dan non fixed menyebabkan terganggunya lalu lintas masyarakat setempat dan masyarakat lain yang melalui jalur tersebut. Berdasarkan teori yang dipaparkan, jalan memiliki fungsi utama untuk sirkulasi.
-
b. Pada Area B (Jalan Raya Teges) adalah ruang terbuka publik dengan tipe jalan kolektor primer yang berfungsi sebagai penghubung antar daerah. Beban lalu lintas pada jalan ini sangat tinggi, yang ditandai dengan kemacetan yang terjadi hampir setiap hari. Pemanfaatan ruang publik untuk prosesi pergerakan ritual yang berlangsung dari pagi sampai sore hari, berdampak pada kemacetan lalu lintas pada jalur utama di Kawasan Parawisata Ubud. Berdasarkan teori, jaringan jalan adalah ruang terbuka yang berfungsi sebagai sarana transportasi (Dharmawan 2009). Jalur pedestrian sisi jalan (trotar) adalah ruang publik kota yang terletak di sisi jalan diperuntukkan untuk pejalan kaki (Carr 1992 dalam Darmawan 2009). Pemanfaatan trotoar untuk parkir dan pelatakan sarana upacara meberikan rasa tidak nyaman untuk pejalan kaki.
-
c. Pada Area C (Jalan Setra) adalah ruang terbuka publik dengan tipe jalan lingkungan yang berfungsi sebagai akses penting menuju ke sekolah, Pura Dalem, dan Lapangan. Garuda. Pemanfaatan ruang publik untuk kegiatan ritual dengan elemen pendukung semi fixed dan non fixed menyababkan akses menuju ke tempat-tempat tersebut terganggu. Keberadaan elemen semi fixed juga menyebabkan pergerakan dari kegiatan ritual ngaben masal terganggu.
-
d. Pada Area D (Lapangan Garuda) adalah ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai ruang untuk olahraga dan rekreasi. Pemanfaatan ruang publik lapangan untuk parkir selama tiga hari pada seluruh area lapangan menyebabkan aktivitas olahraga dan rekreasi tidak berjalan. Pemanfaatan lapangan untuk prosesi ngereka dan mepamit tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap fungsi ruang publik, karena terjadi pada waktu yang relatif singkat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan, pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai setting kegiatan ritual ngaben masal, berpengaruh negatif terhadap fungsi ruang publik.
Analisis Pemecahan Masalah
Pada bagian ini dilakukan analisis untuk dapat memberikan rekomendasi terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai setting kegiatan ritual ngaben masal di Banjar Teges Kawan Yangloni, Desa Peliatan. Rekomendasi dapat berupa penataan atau perencanaan yang dihasilkan berdasarkan penyebab permasalahan, serta masukan dari pihak terkait. Penjelasan akan dibagi berdasarkan area ruang publik sesuai dengan penjelasan sebelumnya.
Berdasarkan pengamatan, pada Area A tidak terdapat perencanaan elemen fixed yang dapat dilakukan, karena pada area ini tidak terdapat ruang sisa yang belum terencana. Jadi Area A lebih menekankan pada penataan elemen semi fixed dan non fixed. Elemen semi fixed pada Area A terdiri dari sarana upacara, sepeda motor parkir, dan mobil parkir. Fungsi utama ruang publik pada Area A adalah sebagai ruang sirkulasi. Jalan tersebut juga berperan penting dalam memecah kemacetan di Jalan Raya Teges. Kelancaran sirkulasi pada Area A perlu diperhatikan, meskipun dimanfaatkan untuk kegiatan ngaben masal. Sarana upacara seperti pelangkan dan sarana kecil lainnya dapat diletakkan pada area telajakan atau bale banjar. Lembu sebaiknya diletakkan secara vertikal, dengan lebar lembu 1,5 meter maka masih terdapat 3,5 meter ruas jalan untuk sirkulasi kendaraan. Perlu adanya pelarangan peletakan sarana pada area pemesuan warga, karena dapat mengganggu sirkulasi warga yang bermukim di kawasan tersebut.
----------------------------------------;—i-------------------------------------- Ψ Gambar 10. Penataan Elemen Semi Fixed pada Area A
Parkir hanya diperbolehkan pada area tertentu di salah satu sisi jalan. Dalam hal ini perlu dilakukan pelarangan membawa kendaraan bagi pengayah. Parkir pada area ini hanya diperbolehkan untuk kendaraan oprasional panitia. Hal tersebut harus dialakukan karena dengan sudah dimanfaatkannya ruas jalan untuk ruang meletakkan lembu, tidak dimungkinkan lagi dimanfaatkan untuk parkir. Dengan demikian elemen semi fixed yang terbentuk pada saat pelaksanaan tahap persiapan, tidak mengganggu fungsi ruang publik pada Area A sebagai ruang sirkulasi. Peranan panitia pelaksana sangat diperlukan dalam mengatur tata letak elemen semi fixed pada area ini.
Pada Area A elemen non fixed adalah sekelompok masyarakat yang melakukakan kegiatan membuat sarana upacara dengan memanfaatkan seluruh ruas jalan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, kegiatan tersebut dapat dilakukan hanya memanfaatkan setengah ruas jalan tetapi lebih memanjang. Dengan demikian masih terdapat ruang untuk sirkulasi.
Pada Area B masih terdapat ruang sisa berupa tanah kosong di sekitar bale banjar dengan status kepemilkan banjar. Ruang sisa tersebut dapat direncanakan sebagai ruang parkir, tempat meletakkan sarana, dan membuat sarana. Elemen fixed yang dapat dibentuk antara lain adalah perkerasan paving dan ditanami pohon peneduh. Dengan demikan pemanfaatan jalan dapat dikurangi.
Gambar 11. Perencanaan Elemen Fixed Pada Area B
Elemen semi fixed pada Area B terdiri dari kendaraan parkir dan sarana perlengkapan upacara. Perlu adanya pelarangan parkir pada trotoar dan bahu jalan di sepanjang rute menuju ke setra (kuburan), karena dapat menghambat sirkulasi pengguna jalan umum dan prosesi berjalan kaki dari kegiatan ngaben itu sendiri. Untuk meminimalisasi kendaraan parkir, maka perlu ada pelarangan pelarangan membawa kendaraan bagi peserta upacara. Peletakan sarana upacara lembu dari satu hari sebelumnya pada trotoar dan bahu jalan tidak perlu dilakukan, karena menimbulkan kemacetan dan gangguan sirkulasi terhadap pengguna jalan kaki. Lembu dapat diletakkan pada ruang sisa depan bale banjar atau meminimalisir waktu perletakaannya jika harus memanfaatkan trotoar dan bahu jalan.
Gambar 12. Penataan Elemen Semi Fixed pada Area B
Pada Area B ruang informal pada seluruh ruas jalan terbentuk karena elemen non fixed masyarakat yang melaksanakan prosesi menuju ke setra dan penonton yang menyaksikan
kegiatan ngaben masal. Pemanfaatan seluruh ruas jalan pada saat prosesi ngarap lembu tentu tidak dapat dihindari karena lebar sanan yang mencapai 4 meter, tetapi pada saat pergerakan sawa dapat dilakukan hanya dengan memanfaatkan setengah ruas jalan. Dengan demikian ruang informal yang terbentuk hanya pada setengah ruas jalan, dan sirkulasi kendaraan masih dapat berjalan pada setengah ruas jalan. Hal tersebut menimal dapat mengurangi kemacetan, dari pada menutup jalan dari pagi sampai sore hari.
Pada Area C terjadi perkembangan pola aktivitas dalam kegiatan ritual ngaben masal yang menuntut ruang-ruang tertentu seperti, ruang untuk parkir kendaraan dan pedagang. Sedangkan pada area ini hanya terdapat ruang terbuka publik berupa jalan dan setra (kuburan) sebagai tempat kremasi. Dengan melihat kondisi pada Area C yang masih banyak terdapat lahan kosong dengan status kepemilikan desa pakraman, maka dapat direncakan ruang penunjang untuk parkir dan pedagang. Hal tersebut juga diungkapkan oleh I Nyoman Sudana Kelian Banjar Tengah Desa Peliatan yang menyatakan bahwa, perlu adanya perencanaan ruang tertentu untuk menunjang kegiatan ritual pada area ini. Lahan pelaba Pura Dalem dapat direncanakan untuk ruang parkir dan pedagang dengan cara membentuk elemen-elemen fixed yang dapat mendukung aktivitas tersebut. Elemen-elemen fixed tersebut misalnya, memasang perkerasan paving agar dapat dilalui kendaraan dan pembatas pada sisi-sisinya. Dengan demikian pemanfataan ruas jalan untuk parkir dan pedagang pada Area C dapat dihindari. Hal tersebut menjadi sangat penting, karena intesitas kegiatan ritual yang terjadi pada area ini cukup tinggi antara lain, ngaben individu setiap ada orang meninggal, ngaben masal setiap tahun dan piodalan Pura Kahyangan Tiga setiap 6 bulan sekali.
Elemen semi fixed pada Area C terdiri dari kendaraan parkir dan sarana perlengkapan pedagang. Jalan yang menjadi sirkulasi utama menuju ke setra dan Lapangan Garudan harus bebas dari parkir dan pedagang. Parkir dan pedagang hanya diperbolehkan pada ruas jalan tertentu yang bukan merupakan jalur utama. Pada Area C parkir hanya diperbolehkan pada ruas jalan di depan Pura Dalem. Untuk mengurangi parkir pada bahu jalan, perlu direncanakan ruang untuk parkir pada area sekitar setra (kuburan).
Gambar 13. Perencanaan Elemen Fixed Pada Area C
Pada Area C ruang informal pada ruas jalan terbentuk karena aktivitas jual beli. Hal tersebut sangat menggangu pergerakan masyarakat umum dan pergerakan menuju ke setra dari kegiatan ngaben masal. Dengan merelokasi pedagang pada ruas jalan, maka ruang informal pada ruas jalan tersebut dapat dihindari. Kasus ini merupakan contoh elemen non fixed yang berkaitan dengan elemen semi fixed
Gambar 14. Penataan Elemen Semi Fixed pada Area C
Pada Area D pemanfaatan lapangan untuk prosesi ngereke dan parkir disebabkan karena tidak terdapat ruang khusus untuk melaksanakan prosesi tersebut. Dilihat dari pola pemanfaatan ruang pada proses kremasi, sebenarnya masih terdapat ruang sisa pada sisi utara setra. Ruang tersebut saat ini masih ditumbuhi semak-semak dan permukaannya tidak rata. Ruang tersebut dapat direncanakan untuk ruang ngereke dan mepamit pada saat pelaksanaan ngaben masal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membentuk elemen fixed seperti, membersihkan semak-semak dan membuat perkerasan paving. Dengan demikian area lapangan tidak dimanfaatkan untuk prosesi ngereke dan mepamit. Ruang tersebut dapat digunakan oleh seluruh banjar yang melaksanakan kegiatan ritual ngaben masal di Desa Peliatan.
Gambar 15. Perencanaan Elemen Fixed Pada Area D
Elemen semi fixed yang terdapat pada Area D adalah sarana perlengkapan upacara dan parkir kendaraan. Parkir pada area lapangan dapat dihindari dengan merencanakan ruang khusus untuk parkir. Dengan perencanaan ruang penunjang pada Area C, diharapkan parkir pada area lapangan dapat di minimalisir, dan apabila masih kekurangan ruang untuk parkir,
sebaiknya hanya memanfaatkan sebagaian kecil dari area lapangan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membentuk elemen semi fixed seperti pembatas jalan pada area lapangan. Dengan demikian aktivitas sehari-hari pada area lapangan tidak terganggu dan permukaan lapangan tidak rusak secara keseluruhan karena tidak dilalui kendaraan.
Gambar 16. Penataan Elemen Semi Fixed pada Area D
Berdasarkan hasil wawancara dijelaskan bahwa, panitia pelaksana kegiatan sangat memegang peranan penting dalam hal ini. Perlu adanya peraturan dalam bentuk awig-awig yang mengatur tentang pemanfaatan ruang terbuka publik. Peran serta masyarakat terlibat juga sangat penting agar mentaati pengaturan yang sudah ditetapkan. Karena keberadaan elemen semi fixed pada ruas jalan disebabkan oleh prilaku masyarakat yang tidak memperhatikan dampaknya.
Dialog Antara Pemecahan Masalah dengan Teori
Pada bagian ini dilakukan dialog antara pemecahan masalah yang dihasilkan pada masing-masing objek penelitian, kemudian dikaitkan dengan teori setting dan teori ruang publik secara umum.
Tabel 3. Pemecahan Masalah Terkait Elemen Pembentuk Setting
No |
Ruang Elemen Fixed Publik |
Elemen Semi Fixed |
Elemen Non Fixed |
1 |
Area A - Tidak terdapat perencanaan elemen fixed |
sarana upacara
|
Memanfaatkan setengah ruas jalan untuk kegiatan membuat sarana |
2 |
Area B - Merencanana ruang sisa depan bale banjar untuk parkir dan meletakkan sarana |
|
Memanfaatkan setengah ruas jalan untuk prosesi ke setra |
3 |
Area C - Merencanakan ruang parkir dan pedagang pada lahan desa pakraman |
- Penertiban parkir dan - relokasi pedagang pada ruang sirkulasi |
Relokasi aktivitas jual beli pada area sirkulasi |
4 |
Area D - Merencanakan ruang untuk ngereke dan mepamit pada area setra |
- Penertiban parkir pada area -lapangan |
Tidak terdapat pengaturan elemen non fixed, karena tidak terlalu mengganggu |
Berdasarkan Tabel 3, dapat disimpulkan terdapat kemiripan perencanaan dan penataan yang dilakukan terhadap elemen pembentuk setting pada masing-masing area ruang publik. Hasil yang diperoleh disimpulkan, dikaitkan dengan teori setting dan ruang publik umum. Berdasarkan ke empat area ruang publik, maka dapat dijelaskan perencanaan dan penataan yang dapat dilakukan sebagai berikut.
Elemen fixed adalah wadah tempat terjadinya semua aktivitas, termasuk ruang yang mewadahi elemen penyusun semi fixed dan non fixed. Elemen fixed sifatnya tidak dapat berubah dan secara spasial dapat diorganisasikan ke dalam ukuran, bentuk, urutan, dan lokasi (Rapopot, 1982). Elemen fixed membentuk pola ruang fixed featured space (ruang berbatas tetap) (Hall, 1982). Elemen-elemen fixed yang terdapat pada ruang terbuka publik dalam objek penelitian tentu didesain agar mendukung fungsi utamanya. Jalan dengan perkerasan aspal agar dapat dilalui kendaraan, lapangan dengan permukaan tanah rumput untuk kegiatan olahraga.
Dalam studi kasus, elemen fixed yang terdapat pada ruang terbuka publik juga dapat mewadahi kegiatan ritual keagamaan diluar fungsi utama. Pemanfaatan ruang terbuka publik untuk kegiatan ngaben masal, dikarenakan keterbatasan ruang pada ruang utama pelaksanaan ritual tersebut dan elemen-elemen penyusun ruang yang memadai. Berdasarkan pembahasan sebelumnya hal tersebut akan menyababkan tumpang tindih kegiatan pada ruang publik. Jadi untuk menghindari terjadinya konflik pemanfaatan ruang, perlu direncanakan elemen-elemen penyusun fixed yang dapat mewadahi semua perkembangan aktivitas yang terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pemaparan (Madnipour, 1996) yang menjelaskan bahwa ruang publik harus dapat mengakomodasi seluruh masyarakat tanpa memandang perbedaan. Masyarakat lokal yang melaksanakan kegiatan ngaben masal harus dapat bersinergi dengan pengguna ruang publik umum.
Berdasarkan pengamatan, Pada Area A tidak terlalu banyak perubahan elemen fixed yang dapat dilakukan, karena pada area ini tidak terdapat ruang sisa yang dapat dibentuk untuk ruang penunjang kegiatan ritual. Tetapi pada Area B, Area C, dan Area D, masih dimungkinkan direncanakan ruang penujang kegiatan ritual. Ruang penunjang dapat terwujud dengan satu kondisi yaitu, masih terdapat ruang sisa yang dapat dipergunakan, Ruang tersebut dapat berupa lahan milik desa pakraman. Elemen fixed yang dapat dibentuk antaralain, memasang perkerasan paving, menanam pohon, dan membuat pembatas.
Elemen semi fixed adalah elemen fisik yang masih dapat diatur tata letaknya (Rapopot, 1982). Penjelasan tersebut mengadung makna elemen ini masih dapat ditata peletakaanya pada ruang terbuka publik, seusai dengan setting ruang yang diinginkan. Pola ruang yang dihasilkan adalah ruang dengan berbatas semi tetap (Hall, 1982). Ditinjau berdasarkan sifatnya elemen semi fixed masih mudah untuk diatur tata letaknya pada ruang terbuka publik agar tidak menganggu fungsi ruang publik.
Jadi berdasarkan ke empat objek penelitian dapat disimpulkan, penataan elemen semi fixed dapat dilakukan dengan meninjau kembali tata letaknya pada ruang publik. Elemen semi fixed seperti kendaraan parkir dan pedagang dapat ditertibkan karena bukan merupakan bagian utama dari kegiatan ritual. Elemen semi fixed berupa sarana upacara diletakkan dengan lebih menghemat ruang pada ruang publik. Berdasarkan hasil wawancara, peranan pihak terkait seperti panitia dan pecalang sangat penting dalam pengaturan ini.
Dikaitkan dengan teori ruang publik, keberadaan elemen semi fixed yang terdapat pada ruang terbuka publik seperti kendaraan parkir, sarana perlengkapan, dan sarana perlengkapan pedagang tentu tidak sesuai dengan fungsinya. Jaringan jalan adalah ruang terbuka yang berfungsi sebagai sarana transportasi (Dharmawan, 2009). Pada ruang ini seharusnya tidak terdapat elemen semi fixed yang dapat menganggu aktivitas yang berkaitan dengan transportasi. Pedestrian sisi jalan (trotoar) adalah ruang publik kota yang terletak di sisi jalan diperuntukkan untuk pejalan kaki (Carr, 1992 dalam Darmawan, 2009). Lapangan adalah ruang terbuka yang berfungsi untuk kegiatan olahraga dan rekreasi. Pada ruang-ruang tersebut seharusnya tidak terdapat elemen semi fixed yang dapat menganggu fungsi utama. Semua ruang terbuka publik tersebut berperan penting untuk aktivitas masyarakat umum di Desa Peliatan. Terlepas dari fungsi ruang publik dan aktivitas yang terjadi di dalamnya, kegiatan ritual agama adalah tradisi adat setempat yang sudah berlangsung jauh sebelum Desa Peliatan berkembang, sehingga sangat penting untuk diperhatikan. Permasalahannya adalah sering terjadi pemamfaatan ruang terbuka publik tanpa memperhatikan dampaknya.
Elemen non fixed menyangkut manusia yang terlibat dalam kegiatan ritual dan membentuk pola ruang informal. Pada umumnya elemen non fixed terjadi dalam waktu yang singkat karena menyangkut tingkah laku manusia yang selalu tidak tetap (Rapoport, 1982). Berdasarkan teori elemen non fixed akan membentuk ruang informal dalam waktu yang relatif singkat, tetepi dalam penelitian ini terbentuk beberapa ruang informal dengan durasi yang cukup lama. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap fungsi ruang terbuka publik. Pada Area A, Area B, dan Area C, ruang informal terjadi dalam waktu yang cukup lama dan dapat mengganggu fungsi utama ruang public, sehingga perlu ditinjau kembali pola pemanfaatan ruangnya.
Berdasarkan ke empat objek penelitian penataan terhadap elemen non fixed dapat berupa pengaturan pola aktivitas yang terjadi pada ruang publik. Kegiatan membuat sarana dan prosesi menuju ke setra dapat dilakukan hanya memanfaatkan setengah ruas jalan. Elemen non fixed yang timbul oleh pedagang dapat ditertibkan, karena tidak berkaitan dengan kegiatan ritual ngaben masal. Penataan elemen non fixed berkaitan dengan mengatur manusia yang terlibat dalam kegiatan ngaben masal. Peranan pihak terkait seperti pecalang dan kesadaran peserta upacara sangat diperlukan dalam hal ini.
Kesimpulan
Berdasarkan data dan analisis dapat ditarik kesimpulan yaitu (1) Pemanfaatan ruang publik sebagai setting kegiatan ritual ngaben masal memberi dampak terganggunya fungsi ruang
publik. (2) Peninjauan kembali elemen pembentuk setting ruang terbuka publik dapat mengurangi permasalahan yang ditimbulkan oleh pemanfaatan ruang publik untuk kegiatan ritual ngaben masal di Desa Peliatan. Elemen penyusun setting meliputi, elemen fixed, elemen semi fixed dan non fixed. Perencanaan lebih menekankan pada elemen fixed yaitu merencanakan elemen fisik tetap seperti perkerasan, pagar dan lain-lain, agar dapat mengakomodasi seluruh aktivitas yang terjadi pada terbuka ruang publik. Penataan lebih kepada elemen semi fixed dan non fixed yaitu mengatur tata letaknya agar tidak mengganggu fungsi ruang publik. Berbeda dengan elemen fixed, elemen semi fixed dan non fixed masih dapat diatur peletakannya sesuai dengan setting yang diperlukan. Peranan pihak terkait seperti pecalang, panitia, dan petugas keamanan sangat diperlukan dalam hal ini.
Daftar Pustaka
Darmawan, E. (2009). Ruang Publik Dalam Arsitektur Kota. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro.
Desa Peliatan. (2010). Profil Tingkat Perkembangan Desa Peliatan. Gianyar: Kantor Desa Peliatan.
Hakim. (1987). Unsur Perancangan Alam Arsitektur Lansekap. Jakarta: PT Bina Aksara. Hall, E. T. (1982). The Hidden Dimension. New York: Doubleday.
Hariyono, P. (2007). Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Krie, R. (1979). Urban Space. London: Academy Editions.
Madnipour, A. (1996). Design of Urban Space, an Inquiry into a Social-Spatial Process. New York: John Wiley & Son.
Rapoport, A. (1982). The Architecture of the City. Cambridge: MIT Press.
Rekaro, T. (2001). Penyusunan Revisi Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pariwista Ubud. Gianyar: CV Rekako Teknik.
Republik Indonesia. (2007). Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum.
Rubeinstein, H. M. (1992). Pedestrian Malls, Stretscapes, and Urban Spaces. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Scurton, R. (1984). A Short History of Modern Philosophy. London: Routledge.
Sukraliawan, I N. (2011). Reinterpretasi Makna Ngaben Masal di Desa Pakraman Sudaji: Suatu Kajian Budaya. Widyatech Jurnal Sains dan Teknologi, 11(1), 120-133.
Tibbalds. (1997). Urban Environment Quality. Cambridge Press.
Udayana, I P. K. (2015). Setting Spasial Kawasan Terbuka Pesisir Seseh Badung. (Master Tesis), Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana, Denpasar.
72
SPACE - VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2017
Discussion and feedback