POLA PERKEMBANGAN PERMUKIMAN NELAYAN DI DUSUN UJUNG PESISI DESA TUMBU, KARANGASEM
on
RUANG
SPACE
POLA PERKEMBANGAN PERMUKIMAN NELAYAN DI DUSUN UJUNG PESISI DESA TUMBU, KARANGASEM
Oleh: I Komang Dody Kastama Yasa1
Abstract
This is a study of a post natural disaster fishing settlement of Ujung Neighborhood in Karangasem Regency on the eastern coast of Bali Island. This settlement was badly hit by the eruption of Mount Agung in 1963. It was then also eroded by significant storms and resultant erosion abrasions over three years from 1997 up to 1999. The study is designed to comprehend the spatial changes that this fishing settlement has been through which have resulted in the development of a currently existing and unique spatial layout. Data used in this study represent spatial changes taking place from 1950 to 2015 when the field survey was conducted. The whole study was approached using qualitative research methods. Research findings have uncovered two prominent spatial patterns. The first is a linear settlement form stretching along the Ujung coastal line and the second a linear and clustered form of spatial pattern demonstrated by Ujung's mainland settlement. The linear part is oriented towards Seraya-Karangasem road and the clustered pattern takes place in the western part of the neighborhood where social infrastructures are concentrated. These include the facilities of an elementary school, madrasah (Muslim school), and mosque. The study concludes that the development of a post disaster village has followed a mixed spatial pattern for reasons predominantly generated from natural conditions.
Keywords: spatial pattern; post-disaster development; fishing settlement
Abstrak
Studi ini merupakan suatu kajian pasca bencana pada permukiman nelayan di Dusun Ujung Pesisi, Kabupaten Karangsem. Ruang permukiman nelayan Dusun Ujung Pesisi berkembang sejak bencana meletusnya Gunung Agung tahun 1963 dan abrasi pantai pada tahun 1997 sampai 1999. Paper ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola perkembangan permukiman nelayan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi dari tahun 1950-2015. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi literatur, grandtour, observasi, wawancara, dan rekonstruksi. Hasil temuan yang ada dilapangan menunjukkan bahwa terdapat dua pola permukiman nelayan di Dusun Ujung Pesisi. Temuan pertama adalah terbentuknya pola linier di sepanjang garis pantai Ujung dan temuan kedua adalah pola linier dan pola cluster di sepanjang daratan Ujung. Pola linier berorientasi ke jalan raya Seraya-Karangasem dan pola cluster berada di sisi barat permukiman. Ini meliputi fasilitas-fasilitas sekolah dasar, madrasah, dan masjid. Kesimpulan dari studi adalah bahwa karena kondisi alam, pembangunan pasca bencana juga diikuti oleh pembentukan permukiman nelayan dengan kombinasi pola-pola ruang yang sudah ada sebelumnya.
Kata kunci: pola tata ruang; pembangunan pasca bencana; permukiman nelayan
Pendahuluan
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di
1
dalam kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Menurut Koestoer (1995) permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan. Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan terhadap penghuninya.
Dusun Ujung Pesisi merupakan permukiman nelayan di Kabupaten Karangasem yang keberadaanya tidak bisa dipisahkan dengan sosok Raja Karangasem. Dalam sejarahnya, masyarakat Ujung Pesisi merupakan penduduk asli Lombok yang dibawa dan diberikan tugas sebagai pembantu di Taman Soekasada Ujung pada saat terjadinya Perang Samplangan pada tahun 1919. Seiring dengan berjalannya waktu, Raja Karangasem memberikan tanah hak guna pakai kepada penduduk Ujung Pesisi di depan Taman Soekasada Ujung. Keberadaan masyarakat Ujung Pesisi ini semakin berkembang hingga membentuk sebuah Dusun tersendiri yang selanjutnya bernama Dusun Ujung Pesisi.
Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya perkembangan permukiman di Dusun Ujung Pesisi. Menurut Kepala Dusun Ujung Pesisi, pada tahun 2015 jumlah penduduk Dusun Ujung Pesisi mencapai 256 kepala keluarga dan kurang lebih sekitar 967 jiwa, dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Padatnya jumlah penduduk di Dusun Ujung Pesisi diakibatkan oleh tingkat pertumbuhan penduduk baru dalam suatu keluarga. Hal itu tentunya tidak terlepas dari munculnya permukiman-permukiman baru yang kondisinya tidak teratur antara satu dengan yang lainnya. Perkembangan permukiman yang ada di Dusun Ujung Pesisi cenderung mencari jalan utama sebagai orientasi untuk melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari. Perembetan permukiman bergerak ke arah bagian utara wilayah Dusun Ujung Pesisi, karena pada bagian utara wilayah penelitian dibangun fasilitas-fasilitas umum seperti Sekolah Dasar Madrasah dan Masjid Al Qudus. Pada area dari fasilitas umum tersebut, secara tidak langsung akan tumbuh permukiman-permukiman baru. Setelah perembetan terjadi kearah bagian utara, perkembangan permukian penduduk bergerak ke arah bagian barat wilayah Dusun Ujung Pesisi.
Seiring dengan pesatnya perkembangan permukiman nelayan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi dari tahun ke tahun, tentunya berdampak terhadap tata ruang yang ada di wilayah Dusun Ujung Pesisi. Fenomena fakta keruangan di Dusun Ujung Pesisi, mendorong dilakukanya studi yang berkenaan dengan pola perkembangan tata ruang permukiman nelayan yang terdapat di Dusun Ujung Pesisi, Desa Tumbu, Karangasem dari tahun 1950 sampai 2015. Metode penelitian yang digunakan penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Moleong (2008) menjelaskan bahwa, penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan deskripsi.
Pola dan Bentuk Permukiman Nelayan
Menurut Norberg-Schulz (1984) permukiman nelayan adalah sarana tempat tinggal bagi nelayan untuk menjalani masa hidupnya yang berfungsi sebagai kebutuhan dasar. Pada umumnya pola permukiman akan mengikuti system sosial budaya yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia. Pola permukiman kampung nelayan biasanya akan mengikuti
garis pantai (linear) dengan kondisi cenderung bersifat homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi tertentu sehingga memiliki ciri khas permukiman. Berikut bentuk dan struktur permukiman nelayan yang tumbuh di Indonesia ini yang berupa linier, cluster dan sebagainya.
Tabel 1. Bentuk dan struktur permukiman nelayan
|
Pola Permukiman Nelayan |
Uraian |
Gambar | ||||
|
Sub kelompok komunitas |
Pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri atas beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya. |
⅛⅛⅞B'7 E^√a-√ f U | ||||
|
Face to face |
Pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya. |
^¾∕A⅛ | ||||
|
Struktur Ruang Permukiman Nelayan | ||||||
|
Linier |
Pola sederhana unit-unit permukiman secara menerus pada tepian sungai. Pada pola ini kepadatan belum tinggi dan kecenderungan ekspansi permukiman penggunaan lahan belum beragam. | |||||
|
Cluster |
Pola ini lebih berkembang dengan adanya kebutuhan lahan dan penyebaran unit-unit permukiman yang mulai muncul. Kecenderungan pola ini mengarah pada pengelompokan unit permukiman terhadap suatu yang dianggap memiliki nilai ”penting” atau pengikat kelompok seperti ruang (terbuka). | |||||
|
Kombinasi |
Kombinasi antara kedua pola di atas menunjukkan bahwa selain ada pertumbuhan, juga menggambarkan adanya ekspansi ruang untuk kepentingan lain (pengembangan usaha dan sebagainya). Pada pola ini telah menunjukkan adanya gradasi intensitas lahan dan hierarki ruang mikro secara umum. |
linier | ||||
Sumber: Taylor, 1980
Pada dasarnya pola permukiman yang berada di perairan laut dan daratan adalah samasama untuk kepentingan masyarakat. Untuk melihat secara spesifik kajian-kajian yang diteliti yaitu dengan cara melihat lebih jelas pola permukiman atau perkampungan nelayan tersebut. Adapun pola permukiman nelayan terbagi menjadi pola yang ada seperti yang disebutkan dibawah ini DPU Cipta Karya (1989).
Tabel 2. Pola dan tata letak permukiman nelayan
|
Pola dan Daerah Permukiman |
Uraian |
Gambar |
|
Pola mengelompok |
Pada pola mengelompok, daerah permukimannya cenderung tumbuh secara mengelompok pada pusat kegiatan. Perumahan tumbuh secara tidak terencana dan menyebabkan keseimbangan alam terganggu. |
⅛fiwt⅛n ■ ,⅛e⅛⅛ |
|
Pola menyebar |
Daerah permukimannya tumbuh tersebar, sehingga jangkauan pelayanan fasilitas umumnya sulit, tidak merata. Biasanya berada didaerah-daerah seperti sungai, pantai, dan danau. |
~∖J^ |
|
Pola memanjang |
Daerah permukiman tumbuh cenderung mengikuti tepi-tepian pantai, sungai, dan danau, sehingga terbentuk permukiman linier di sepanjang tepian. Jika pertumbuhan permukiman ini tidak terkendali, maka kelestarian sumberdaya yang ada di daerah tepian ini akan terancam dan dapat mengakibatkan abrasi. |
taι⅛≠ι^P'^^ z' hatK≠∣B |
Sumber: DPU Cipta Karya, 1989
Menurut Khadija (1998) permukiman nelayan merupakan lingkungan tempat tinggal dengan sarana dan prasarana dasar yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan memiliki akses dan keterikatan erat antara penduduk permukiman nelayan dengan kawasan perairan sebagai tempat mereka mencari nafkah, meskipun sebagian dari mereka masih terikat dengan daratan.
Lenski (1978) menyatakan bahwa permukiman di lingkungan perairan terdiri atas pusat permukiman serta sarana dan prasarana. Kawasan permukiman nelayan identik dengan kehidupannya, yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada sumber daya alam perairan, yaitu biasa disebut dengan permukiman lingkungan perairan. Terbentuknya suatu pola permukiman sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan pendapat Snyder (1985) yang menyatakan terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas manusia serta pengaruh setting (rona lingkungan) baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses perwadahannya.
Perroux (1995) menyatakan bahwa pembangunan sebuah kota maupun wilayah permukiman merupakan hasil proses dan tidak terjadi secara serentak, akan tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda. Perkembangan ekonomi dalam suatu wilayah yang luas dengan adanya sumber daya yang timpang. Teori ini juga ditopang oleh alat-alat ukur ekonomi sehingga dapat menjelaskan implikasinya pada perencanaan dan bersifat dinamis. Tempat atau lokasi yang menjadi pusat pembangunan atau pengembangan dinamakan kutub pertumbuhan. Dari tempat inilah selanjutnya proses pembangunan berlanjut ke wilayah-wilayah di sekitarnya. Secara konseptual, pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan geografis. Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut dan penduduk datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut.
Gambaran Umum Dusun Ujung Pesisi
Dusun Ujung Pesisi berada di Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Wilayah Dusun Ujung Pesisi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Dusun Ujung Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Desa Seraya, sebelah barat berbatasan dengan Dusun Ujung Desa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Selat Lombok. Kondisi Dusun Ujung Pesisi sangat strategis karena letaknya berdampingan dengan Taman Soekasada Ujung. Selain itu juga termasuk dalam wilayah Kota Amlapura, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem. Secara umum masyarakat Dusun Ujung Pesisi merupakan warga asli dari Pulau Lombok dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

Gambar 1. Foto udara Dusun Ujung Pesisi sebagai lokasi penelitian
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2014 dan diolah dari peta Google-earth.com
Sistem pemerintahan yang terdapat di Dusun Ujung Pesisi, termasuk daerah kedinasan Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem. Seiring dengan pesatnya pekembangan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi, banyak terbentuk organisasi nelayan dan organisasi pedagang ikan. Organisasi nelayan yang ada di Ujung Pesisi berjumlah 7 kelompok nelayan yang terbentuk dengan tujuan memperoleh bantuan dari pemerintah. Berikut nama-nama kelompok nelayan yang terdapat di Dusun Ujung Pesisi: Inti Samudra, Putra Bahari, Karang Putih, Muara Biru, Mutiaramas, Putra Ujung, dan Sirang Merpati. Organisasi pedagang ikan merupakan perkumpulan pedagang ikan yang ada di Dusun Ujung Pesisi, sebagian besar perkumpulan ini terbentuk tahun 2013. Organisasi pedagang ikan ini beranggotakan istri para nelayan yang berjualan sebagai penjual ikan di pinggir jalan Karangasem-Seraya. Organisasi pembelajaran Agama Islam merupakan organisasi keagamaan yang ada di Dusun Ujung Pesisi. Organisasi ini diikuti oleh anak berusia kecil hingga dewasa, yang bertujuan untuk menerapkan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya Agama Islam. Pembelajaran yang diberikan dalam organisasi keagamaan ini seperti pembacaan Alquan dan pengajian.

Gambar 2. Perkumpulan pedagang ikan
Kondisi atau karakteristik sosial budaya masyarakat nelayan di Dusun Ujung Pesisi dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat masih banyak masyarakat yang tidak tamat sekolah karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh orang tua mereka untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. Sejak kecil anak-anak mereka terutama yang laki-laki sudah diajarkan untuk ikut melaut sedangkan yang perempuan sudah diajarkan untuk berjualan hasil tangkapan ikan. Penduduk nelayan di Dusun Ujung Pesisi adalah termasuk penduduk golongan ekonomi lemah, dengan latar belakang pendidikan relatif terbatas pengetahuan, apalagi pengetahuan akan lingkungan sehat cenderung masih kurang, terjadi kebiasaan tidak sadar lingkungan serta cenderung masih kurang memperhatikan bahaya dan risiko tinggal di pinggir pantai.
Langkah awal untuk mengetahui pola perkembangan permukiman Dusun Ujung Pesisi dari tahun 1950-2015 adalah dengan melihat gambaran tata ruang wilayah dari tahun ke tahun. Tahun dimulainya penelitian tentang pola perkembangan permukiman adalah tahun 1950 sebelum terjadi bencana Gunung Agung meletus. Selain itu, terjadinya bencana abrasi pantai pada tahun 1997 sampai 1999 juga memberikan dampak terhadap tata ruang permukiman Dusun Ujung Pesisi.
Pada masa pertama atau sekitar tahun 1950 sampai tahun 1962, wilayah permukiman Dusun Ujung Pesisi masih merupakan wilayah yang bersifat mengelompok. Pada masa itu, lahan dikuasai penuh oleh pihak Raja Karangasem. Pihak Puri Karangasem sebagai pemegang kekuasaan waktu itu memberikan hibah lahan kepada pihak prakangge Kerajaan Karangasem. Pembangunan permukiman yang ada pada saat itu masih bersifat mengelompok yang hanya terdapat di bagian depan, dekat dengan jalan utama Karangasem-Seraya. Pada masa ini wilayah penelitian didominasi oleh zona persawahan. Zona-zona yang ada pada masa pertama, seperti zona permukiman, persawahan, peribadatan dan zona pemakaman.

Gambar 3. Tata ruang wilayah pada Masa Pertama (1950-1962)
Gambar 2 menggambarkan permukiman nelayan pada masa pertama (1950-1962). Pada masa tersebut, permukiman nelayan hanya terdapat pada bagi koridor jalan utama Karangasem-Seraya, yang masih banyak dipenuhi oleh area persawahan.
Pada masa kedua (1963-1982), terjadi penyebaran permukiman penduduk ke arah bagian utara wilayah Dusun Ujung Pesisi. Pada tata ruang wilayah masa kedua ini banyak terjadi perubahan, seperti perluasan tepian pantai yang mencapai 500 meter ke tengah laut. Perluasan tepian pantai akibat dari bencana Gunung Agung meletus pada tahun 1963. Dampak yang ditimbulkan dari perluasan tersebut adalah terdapatnya area-area baru yang selanjutnya menjadi lokasi dibangunnya Pura Segara, lapangan sepak bola, dan beberapa area permukiman warga di daerah tepian pantai. Perkembangan yang terjadi pada saat itu tidak hanya terjadi pada zona permukiman saja, melainkan pada zona pendidikan juga mengalami perkembangan, yaitu pembangunan Sekolah Dasar Madrasah.

Gambar 4. Tata ruang wilayah pada Masa Kedua (1963-1982)
Gambar 3 memperlihatkan perkembangan wilayah yang ada pada masa kedua (19631982). Pada masa ini terjadi perkembangan permukiman ke arah bagian utara wilayah Dusun Ujung Pesisi. Perkembangan permukiman ke arah utara wilayah Dusun Ujung Pesisi disebabkan dengan adanya pembangunan Sekolah Dasar Madrasah pada bagian utara wilayah Dusun Ujung Pesisi mengakibatkan terjadinya pembangunan permukiman baru pada sekitar dari area fasilitas tersebut.
Pada Masa Ketiga (1983-2000), terjadi perkembangan permukiman yang signifikan pada bagian barat wilayah penelitian. Perkembangan permukiman ke arah bagian barat karena area pinggir jalan utama Karangasem-Seraya sudah penuh oleh permukiman. Selain itu, pada Masa Ketiga ini terjadi pengurangan wilayah yang disebabkan oleh adanya abrasi pantai. Abrasi pantai pertama terjadi sekitar tahun 1997 yang tidak berdampak bagi wilayah Dusun Ujung Pesisi. Pada tahun 1999 terjadi abrasi kedua secara besar-besaran telah berdampak terhadap hilangnya beberapa fasilitas umum seperti Pura Segara dan juga lapangan sepak bola yang sebelumnya ada di daerah tepian pantai. Akibat adanya peningkatan jumlah penduduk yang pesat saat itu, terjadi pembangunan Masjid Al Qudus yang terletak di bagian utara wilayah Dusun Ujung Pesisi, tepatnya di belakang Sekolah Dasar Madrasah.

Gambar 5. Tata ruang wilayah pada Masa Ketiga (1963-1982)
Gambar 5 memperlihatkan perkembangan permukiman yang terjadi ke bagian barat wilayah Dusun Ujung Pesisi. Perkembangan permukiman pada masa ini sifatnya mengelompok pada sekitar area fasilitas Sekolah Dasar Madrasah. Fasilitas umum yang bertambah pada masa ini adalah pembangunan Masjid Al Qudus yang ada di bagian utara wilayah Dusun Ujung Pesisi.
Pada masa keempat (2001-2015), terjadi perkembangan wilayah permukiman sampai ke arah tepian sungai yang berada pada bagian barat wilayah Dusun Ujung Pesisi. Pada masa ini, perkembangan permukiman dan perekonomian penduduk yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi sudah relatif sangat pesat berkembangannya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Gambaran perkembangan tata ruang permukiman nelayan pada masa yang keempat, dapat dijelaskan seperti gambar berikut ini.

Gambar 6. Tata ruang wilayah pada Masa Keempat (2001-2015)
Perkembangan tata ruang wilayah permukiman pada masa ini terjadi secara mengelompok pada sekitar area fasilitas umum. Perkembangan wilayah pada areal tepian pantai ditandai dengan adanya penemuan batu lingga yoni pada tahun 2013. Batu yang menjulang ke atas setinggi 3 meter tersebut dimaknai sebagai batu lingga yoni, yang merupakan batu pemujaan Dewa Siwa. Batu lingga yoni tersebut sekarang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dusun Ujung Pesisi yang merupakan tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Orang-orang yang melakukan persembahyangan di Pura Lingga Yoni tersebut saat ini tidak hanya berasal dari Kabupaten Karangasem, tetapi juga dari kabupaten lain yang ada di Bali.
Area Tepian Pantai Dusun Ujung Pesisi
Areal tepian pantai Dusun Ujung Pesisi terlihat setelah para nelayan pria pulang dari melaut yang menempatkan perahu di bagian tepian pantai. Pada umumnya, masyarakat Dusun Ujung Pesisi pergi melaut dua kali dalam satu hari, tergantung dari kondisi cuaca pada waktu itu. Biasanya pada siang hari setelah datang dari mencari ikan di laut, sering ditemukan mereka sedang berkumpul sambil melakukan aktivitas memperbaiki peralatan yang digunakan saat mencari ikan di laut. Bagi masyarakat Dusun Ujung Pesisi, ruang bersama tidak harus dalam bentuk ruang permanen, saat dimana dan kapan saja mereka bisa berkumpul bercengkrama, bercerita, bahkan menukar informasi, ruang yang sering digunakan untuk berkumpul merupakan ruang bersama bagi para nelayan Dusun Ujung Pesisi. Area tepian pantai merupakan salah satu tempat berkumpul dan bercengkrama bagi para nelayan Dusun Ujung Pesisi.

Gambar 7. Tempat perbaikan alat penangkap ikan sebagai ruang bersama
Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke darat semakin meningkat dengan adanya pengerasan pantai sepanjang 150 meter dan aktivitas pedagang pada area tepian pantai. Pengerasan tepian pantai tersebut dibangun di tahun 2013 oleh Pemerintah Kabupaten Karangasem dengan tujuan untuk menjaga areal tepian pantai dari abrasi. Aktivitas perdagangan mulai muncul pada area tepian pantai yang disebabkan oleh banyaknya wisatawan yang ingin berlibur ke daerah pantai Dusun Ujung Pesisi. Selain dari pada itu, area tepian pantai Dusun Ujung Pesisi juga sering dipergunakan sebagai area untuk melaksanakan upacara persembahyangan bagi umat Hindu.

Gambar 8. Pengerasan tepian pantai dan aktivitas pedagang
Perembetan Permukiman Kampung Nelayan Dusun Ujung Pesisi
Perembetan permukiman kampung nelayan yang terbentuk di Dusun Ujung Pesisi cenderung mencari jalan utama. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah akses transportasi dan melakukan usaha perekonomian. Perembetan paling cepat terlihat di koridor jalan yang ada, khususnya yang bersifat (radial) dari pusat permukiman. Pada setiap pembangunan terjadi perembetan ke bagian dalam, setelah lahan yang terdapat di pinggir koridor jalan utama penuh oleh permukiman. Berdasarkan sifat komunitasnya, maka pola permukiman yang terbentuk di Dusun Ujung Pesisi adalah pola permukiman linier. Hal ini terlihat dari pola permukiman yang berbentuk pada unit-unit hunian sepanjang koridor jalan utama Karangasem-Seraya.

Gambar 9. Perembetan permukiman pada Masa Pertama tahun 1950-1962 (kiri)
Gambar 10. Perembetan permukiman pada Masa Pertama tahun 1963-1982 (kanan)

Gambar 11. Struktur ruang linier pada permukiman nelayan Dusun Ujung Pesisi
Seiring dengan pembangunan permukiman yang semakin meningkat ke arah bagian barat wilayah Dusun Ujung Pesisi, pada sekitar tahun 1990 pola permukiman penduduk Dusun Ujung Pesisi juga membentuk pola cluster. Pola cluster terbentuk akibat dari adanya fasilitas-fasilitas umum yang terbangun di wilayah Dusun Ujung Pesisi, seperti halnya pembangunan Sekolah Dasar Madrasah dan Masjid Al Qudus. Pola cluster menunjukkan bahwa permukiman cenderung tumbuh pada area pusat-pusat kegiatan.

Gambar 12. Perembetan permukiman pada Masa Ketiga tahun 1983-2000 (kiri)
Gambar 13. Perembetan permukiman pada Masa Keempat tahun 2001-2015 (kanan)
Fasilitas-fasilitas umum sebagai daya tarik warga untuk melakukan pembangunan secara tidak langsung akan mengakibatkan munculnya permukiman baru yang terjadi di sekitar dari fasilitas tersebut. Seperti halnya pembangunan Sekolah Dasar Madrasah dan Masjid Al Qudus yang ada di bagian utara wilayah penelitian, mengakibatkan perkembangan permukiman baru yang muncul pada sekitar areal fasilitas umum tersebut. Berdasarkan temuan di lapangan, kecendrungan perkembangan sejalan dengan teori kutub pertumbuhan. Perroux (1995) menyatakan bahwa pembangunan sebuah kota atau wilayah merupakan hasil proses dan tidak terjadi secara serentak, tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda.

Gambar 14. Masjid Al Qudus
Gambar 15. Sekolah Dasar Madrasah
Pembangunan Masjid Al Qudus disebabkan karena mayoritas penduduk Dusun Ujung Pesisi beragama Islam. Pembangunan Masjid Al Qudus berawal dari sebuah mushola kecil yang terus berkembang, hingga membentuk sebuah masjid. Keberadaan Sekolah Dasar Madrasah sangat bermaanfat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ada di Dusun Ujung Pesisi. Pembangunan sekolah madrasah tersebut merupakan wujud dari perhatian Pemerintah dalam hal pendidikan.
Kesimpulan
Area tepian pantai Dusun Ujung Pesisi membentuk pola linier dengan penempatan perahu nelayan yang mengikuti garis pantai wilayah Dusun Ujung Pesisi. Pola linier yang terjadi pada area tepian pantai karena adanya aktivitas para nelayan yang berkumpul setiap harinya. Pola linier merupakan unit-unit hunian yang terdapat perletakan pusat aktivitas yaitu tambatan perahu, ruang penjemuran ikan dan pasar ikan yang tumbuh secara sendirinya.
Pola permukiman nelayan yang terjadi di Dusun Ujung Pesisi membentuk pola linier yang berorientasikan jalan utama Karangasem-Seraya. Selain membentuk pola linier, permukiman nelayan Dusun Ujung Pesisi juga membentuk pola cluster. Dimana pola cluster ini terbentuk akibat dari penuhnya lahan pada koridor jalan utama, sehingga perkembangan permukiman tumbuh ke bagian barat wilayah Dusun Ujung Pesisi. Selain itu, munculnya fasilitas-fasilitas umum, seperti Sekolah Dasar Madrasah dan Masjid Al Qudus menyebabkan terjadinya parembetan permukiman pada area fasilitas umum tersebut. Jadi area tepian pantai dan permukiman kampung Dusun Ujung Pesisi membentuk pola kombinasi, pola permukiman nelayan yang terdiri dari pengabungan pola linier dan pola cluster. Pola kombinasi menggambarkan adanya ekspansi ruang untuk kepentingan lain, seperti pengembangan usaha perdagangan pada permukiman-permukiman warga.
Maka dapat diusulkan beberapa hal yang berdampak pada peningkatan permukiman yang sudah ada saat ini, yaitu perlu diperlakukan penataan permukiman agar permukiman nelayan yang ada di Dusun Ujung Pesisi tidak terkesan kumuh. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan baik bagi pemerintah, masyarakat di wilayah sekitar lokasi penelitian, maupun peneliti lain.
Daftar Pustaka
DPU Cipta Karya (1989) Pedoman Teknik Pelaksanaan P3D Nelayan Jakarta: Direktorat Jendral Cipta Karya, Direktorat Perumahan.
Khadija (1998) Permukiman Nelayan Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Koestoer, R H (1995) Perspektif Lingkungan Desa Kota, Teori dan Kasus Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Lenski (1978) Human Societies: an Introduction to Macrosociology Kogakusha: McGraw-Hill.
Moleong, L J (2013) Metodelogi Penelitian Kualitatif Bandung: Remaja Rosdakarya.
Norberg-Schulz, C (1984) The Concept of Dwelling: On the Way to Figurative Architekture New York: Electa/Rizolli.
Parwata, I W (2004) Dinamika Permukiman Pedesaan pada Masyarakat Bali Denpasar: Universitas Warmadewa.
Perroux, F (1964) “Economic Space: Theory and Application” dalam Friedmann J. and Alonsom W (Ed) Regional Development and Planning: a Reader Cambridge, Massachusetts: the M I T Press.
Taylor, L (1980) Urbanized Socienty Santa Monica California: Goodyear Publishing Company, Inc.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Permukiman.
318
SPACE - VOLUME 3, NO. 3, OCTOBER 2016
Discussion and feedback