PELANGGARAN BHISAMA KESUCIAN PURA

RUANG


SPACE


DI SEKITAR PURA DANG KAHYANGAN

DI KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG

Oleh: A A Gde Sutrisna W P1

Abstract

Bali partially owes its reputation to the existence of the thousand temples it has scattered across its territory. Its unique culture evolves around the ritual and symbolic significances that each temple is believed to possess. The area surrounding each temple is recognized as a sacred zone whose scale varies from one temple to another depending on its importance. Bali's Provincial Regulation Number 16, year 2009 has clearly delineated this zone as an undeveloped area; a protected territory and to be measured in relation to a specific region, measured by taking a specific radius and circumference using the temple as the central pivot. This study evaluates how this regulation has been violated, especially in the case of Dang Kahyangan temples located in a touristy area of South Kuta District. The protected zone of both temples stretches in theory, to a radius of 2 km. In practice, things are radically different. The research suggests that violations have taken place in various forms. The breaches are a consequence of many conditions including the lack of initiative to implement then police the regulation; the absence or elasticity of control over development; and public discontent due to the lack of compensation for development rights. Any such regulation without state compensation is unjust. This article also investigates the impacts such violations have, both negatively and positively. The article concludes with some recommendations as to how a balance can be achieved between such competing interests.

Keywords: conserved zone; sacred zone; Dang Kahyangan temple; bhisama; land development

Abstrak

Bali memiliki kewajiban mempertahankan keberadaan kesucian ratusan pura yang tersebar di seluruh wilayahnya. Keunikan budayanya meliputi prosesi ritual dan makna simbolik yang dipercaya dimiliki oleh masing-masing pura tersebut. Kawasan sekitar pura dikenal sebagai kawasan suci yang memiliki variasi radius kesucian bergantung pada kepentingannya. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali telah mengatur perlindungan pada kawasan suci yang tidak boleh dibangun yaitu pada radius tertentu dengan pura sebagai titik pusatnya. Studi ini mengevaluasi bagaimana peraturan ini telah dilanggar, khususnya di kawasan sekitar pura Pura Dang Kahyangan di Kecamatan Kuta Selatan pada radius 2 km. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran terhadap Bhisama kesucian pura dalam bentuk kegiatan. Pelanggaran ini disebabkan adanya kebijakan pengembangan kawasan pariwisata di kawasan dengan radius kesucian pura dan kurangnya sosialisasi akan pentingnya radius kesucian pura dan tuntutan kebutuhan ekonomi. Studi ini juga menginvestigasi dampak positif maupun negatif dari berbagai macam pelanggaran tersebut. Simpulan dari studi ini adalah beberapa rekomendasi untuk menyeimbangkan antara hasil yang telah dicapai dengan berbagai hal yang relevan.

Kata kunci: kawasan konservasi; daerah sakral; Pura Dang Kahyangan; bhisama; pengembangan lahan

1


Pendahuluan

Ruang sebagai tempat beraneka ragam kegiatan dan wadah kehidupan makhluk hidup merupakan sumber daya alam yang bersifat terbatas dan tidak dapat diperbaharui (Warpani 2007). Hal ini tentunya mengharapkan adanya pemanfaatan ruang secara bijaksana dan berkelanjutan sehingga kebutuhan generasi masa kini dan akan datang dapat terpenuhi secara adil (Djakapermana 2010).

Dalam rangka mengantisipasi berbagai permasalahan lingkungan dan memberikan arahan dalam pemanfaatan ruang, Pemerintah Daerah Provinsi Bali telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali. Peraturan daerah ini oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dinilai sangat mengedepankan perlindungan terhadap lingkungan dan nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini tercermin dalam Pasal 3 yang mencantumkan bahwa tujuan penataan ruang di Provinsi Bali adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas, aman, nyaman produktif, berjati diri, berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana. Salah satu nilai kearifan lokal dan perlindungan terhadap lingkungan yang diatur dalam perda tersebut adalah perlindungan pada kawasan suci yang diadopsi secara langsung dari Bhisama Kesucian Pura. Bhisama Kesucian Pura adalah norma agama yang ditetapkan oleh Sabdha Pandita PHDI Pusat pada Tahun 1994 sebagai pedoman pengamalan ajaran Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura yang belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci Weda.

Bhisama PHDIP 1994 salah satunya menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, danau, campuhan (pertemuan dua sungai), pantai laut, dan sebagainya. Tempat-tempat itu diyakini memiliki nilai kesucian. Umumnya pura dan tempat suci didirikan pada lokasi tertentu sebagai penanda dan pengingat bahwa di tempat tersebut wahyu-wahyu suci diturunkan. Dalam upaya mengamankan kesucian pura-pura tersebut, perlu ditetapkan areal kesucian pura dengan menetapkan Bhisama Kesucian Pura. Sampai saat ini, Bali telah menetapkan areal kesucian yang terdiri atas 5 kilometer untuk Pura Sad Kahyangan, 2 kilometer untuk Pura Dang Kahyangan dan apenyengker untuk Pura Kahyangan Tiga berdasarkan Keputusan Parisada Hindu Darma Indonesia Pusat dengan nomor surat keputusan yakni No. 11/Kep.I/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura.

Ketentuan Bhisama Kesucian Pura ini tidak dapat diterapkan secara tegas sesuai dengan apa yang telah digariskan di atas. Di sekitar kawasan wisata Pura Luhur Uluwatu, hal itu menjadi salah satu permasalahan yang saat ini sedang mengemuka dan menjadi konflik antara masyarakat Desa Pecatu Kecamatan Kuta Selatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. Pernyataan tersebut didukung oleh Minnery (1985). Dia menyebutkan bahwa pihak berkonflik dimaksud misalnya antara masyarakat (individu) dan institusi. Dalam kasus Pura Uluwatu, pihak-pihak yang berkonflik adalah antara masyarakat Desa Pecatu Kecamatan Kuta Selatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. Pada dasarnya, konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Badung yang berkewajiban untuk menerapkan peraturan yang ada dan masyarakat desa yang merasa haknya sebagai pemilik lahan terbatasi (Suardana 2011).

Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu pura Sad Kahyangan di Bali (Gobyah 2011) ditetapkan sebagai salah satu kawasan yang harus dilindungi kesuciannya dari kegiatan wisata yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Agama Hindu dan nilai kesucian pura.

Sebagaimana diatur dalam Keputusan PHDIP No. 11/Kep.I/PHDIP/1994, kegiatan yang bertentangan dengan nilai kesucian pura tersebut terdiri atas kegiatan yang mempertontonkan anggota tubuh yang semestinya ditutupi. Selain itu, kegiatan seperti mengkonsumsi minuman keras dan melakukan pergaulan bebas juga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Agama Hindu dan nilai-nilai kesucian pura. Kegiatan dalam rangka memanfaatkan lahan dan menyediakan tempat untuk mendukung kegiatan wisata dan menyediakan tempat untuk melakukan kegiatan tersebut seperti hotel, bar, café, diskotik dan sejenisnya juga dianggap melanggar nilai-nilai kesucian pura.

Guna mengetahui lebih jauh tentang pelanggaran terhadap Bhisama Kesucian Pura serta permasalahan dan dampaknya, maka penelitian akan dilaksanakan dengan mengkaji pura-pura yang berstatus Pura Dang Kahyangan di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pura yang menjadi lokasi penelitian yakni Pura Goa Gong dan Pura Gunung Payung. Pemilihan pura yang berstatus Pura Dang Kahyangan ini didasarkan karena belum adanya penelitian maupun kajian sejenis yang dilakukan terhadap pura-pura tersebut.

Metodologi

Penelitian ini adalah penelitian kualititatif, sehingga dalam mengumpulkan data menggunakan metode wawancara dan dokumentasi. Dalam menganalisis data menggunakan metode kualitatif. Data yang dihasilkan berbentuk data deskriptif kualitatif. Hasil analisis data, disajikan secara formal (dalam bentuk bagan, grafik dan lain-lain), informal (berupa narasi-narasi) atau gabungan antara cara formal dan informal (Sugiyono 2009).

Bhisama Kesucian Pura

Bhisama kesucian pura merupakan hasil musyawarah para anggota Pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan Walaka yang didasari adanya kekhawatiran akan pelaksanaan pembangunan yang mengganggu kesucian pura. Pemahaman Bhisama kesucian terkait dengan konsep arsitektur Bali dan penafsiran terhadap kesucian itu sendiri. Hal itu didasarkan pada hasil Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat tahun 1994 No. 11/Kep./1/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura pada tanggal 25 Januari 1994. Bhisama kesucian pura ini dikeluarkan karena adanya permasalahan pembangunan Bali Nirwana Resort (BNR) di kawasan wisata Tanah Lot.

Selanjutnya, Pemerintah Provinsi Bali menuangkan Bhisama ini dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali. Perda menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah Kekeran, dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan apenyengker. Apeneleng adalah wilayah yang bisa di teleng (dilihat) dari pura. Ini mengandung pengertian dalam batas mana kita bisa memandang dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura. Apenyengker merupakan ukuran yang paling jelas yakni sampai batas terluar tembok pura. Rinciannya adalah (1) untuk Pura Sad Kahyangan dipakai ukuran apeneleng agung (minimal 5 km dari Pura), (2) untuk Pura Dang Kahyangan dipakai ukuran apeneleng alit (minimal 2 km dari Pura), (3) untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran apenimpug atau apenyengker (tanpa menyebut jarak minimal dari Pura).

Bhisama Kesucian Pura juga mengatur zonasi pemanfaatan ruang di sekitar pura. Aturan zonasi tersebut berbunyi seperti berikut.

“Berkenaan dengan terjadinya perkembangan pembangunan yang sangat pesat, maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Di daerah radius kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan darmasala, pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya tirtayatra, dharmawacana, dharmagitha, dan lain-lain).”

Apeneleng Alit (2 kilometer)



Gambar 1. Skema Radius Kesucian Pura

Sumber: dikembangkan dari Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 11/Kep./1/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura

Terkait dengan pengertian tersebut, Bhisama Kesucian Pura dapat diartikan sebagai sebuah janji suci umat Hindu kepada Bali bahwa dalam radius kesucian pura yang telah ditetapkan telah diatur penggunaannya sesuai arahan peraturan zonasi di atas. Arahan peraturan zonasi di atas bila diterjemahkan dalam fungsi ruang mempunyai pengertian bahwa dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk pembangunan fasilitas keagamaan dan ruang terbuka, baik yang dapat berupa ruang terbuka hijau maupun budi daya pertanian.

Zonasi pemanfaatan ruang di sekitar pura diatur secara jelas dalam Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali pada Pasal 108 ayat a, b, c dan d. Dalam perda itu disebutkan bahwa: (a) zona inti adalah zona utama karang kekeran sesuai dengan konsep mahawana; (b) zona penyangga adalah zona madya karang kekeran yang sesuai konsep tapawana; dan (c) zona pemanfaatan adalah zona nista karang kekeran yang sesuai konsep sriwana.

Pemanfaatan dari masing-masing zona tersebut yakni: (a) zona inti diperuntukkan sebagai hutan lindung, ruang terbuka hijau, kawasan pertanian dan bangunan penunjang kegiatan keagamaan; (b) zona penyangga diperuntukkan sebagai kawasan hutan, ruang terbuka hijau, kawasan budi daya pertanian, fasilitas darmasala, pasraman, dan bangunan fasilitas umum penunjang kegiatan keagamaan; (c) zona pemanfaatan diperuntukkan sebagai kawasan budi daya pertanian, bangunan permukiman bagi pengempon, penyungsung dan penyiwi pura, bangunan fasilitas umum penunjang kehidupan sehari-hari masyarakat

setempat, serta pelarangan semua jenis kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian tempat suci.

Penentuan batas-batas terluar tiap zona radius kawasan tempat suci didasarkan atas batas-batas fisik yang tegas berupa batas alami atau batas buatan, disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing kawasan. Selain batas fisik, juga harus dipertimbangkan panjang radius antara garis lingkaran terluar zona pemanfaatan dan titik pusat lingkaran sekurang-kurangnya sama dengan radius kawasan tempat suci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, ayat (2).

Pura Dang Kahyangan

Berdasarkan fungsinya, pura digolongkan menjadi dua kelompok, yakni: (1) Pura Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa-Nya, dan (2) Pura Kawitan, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh suci leluhur. Berdasarkan pemahaman pengelompokan pura berdasarkan fungsinya tersebut maka Pura Kahyangan Jagat merupakan tempat untuk memuja kemahakuasaan-Nya seperti Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat lainnya. Pura jagat lainnya dimaksud adalah Pura Dang Kahyangan yakni pura yang didirikan dengan maksud untuk memuja kemahakuasaan-Nya oleh para resi atau orang yang disucikan dan telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setelah melalui kajian dari Parisada Hindu Darma Indonesia.

Tabel 1. Pura dan statusnya di Kecamatan Kuta Selatan

No

Pura

Lokasi

Status Pura

1

Luhur Uluwatu

Desa Pecatu

Sad Kahyangan

2

Gunung Payung

Desa Kutuh

Dang Kahyangan

3

Goa Gong

Kelurahan Jimbaran

Dang Kahyangan

4

Geger

Kelurahan Benoa

Kahyangan Jagat

5

Batu Pageh

Desa Ungasan

Kahyangan Jagat

Sumber: Perda No. 26 Tahun 2013 tentang RTRWK Badung

Pura Gunung Payung

Pura Gunung Payung atau yang juga dikenal dengan nama Pura Bukit Payung karena berada pada daerah perbukitan bertempat pada suatu tanjung yaitu daratan yang menjorok ke laut di sebelah Tenggara dari Dusun Bualu, Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan. Pura ini dibangun pada bekas tempatnya Danghyang Nirartha menancapkan tangkai payungnya ke tanah yang kemudian mengeluarkan dan memancurkan air yang sangat bening, sebagaimana diuraikan dalam Dwijendra Tatwa (Soebandi, 1983).

Gambar 2. Tempat Sumber Tirta Pura Gunung Payung

Pura Goa Gong

Pura Goa Gong merupakan salah satu pura di Kecamatan Kuta Selatan yang terkait dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu di Bali. Menurut Wakil Bendesa Adat Jimbaran, Gede Sontra (2012), Pura Goa Gong merupakan pura yang sangat disucikan dan dianggap sebagai pesraman sang guru suci oleh masyarakat sekitar.

Gambar 3. Pintu Gerbang Masuk Utama Mandala Pura Goa Gong

Gambar 4. Pemandangan Sekitar Pura Gunung Payung



Keterangan:




Gambar 5. Pemanfaatan Lahan dan Pemandangan Sekitar Pura Goa Gong


Keterangan:





Dasar Hukum Penerapan Bhisama Kesucian Pura

Kehidupan masyarakat Bali diwarnai oleh keberadaan ruang sakral dan profan. Ruang sakral pada umumnya adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan pemujaan terhadap Tuhan atau benda dan manusia yang dianggap suci. Adanya kontras atau perbedaan yang besar antar ruang sakral dan ruang profan (tidak sakral). Sejalan dengan teori tentang ruang tersebut, Eliade (2002) mengemukakan teori teritori. Teori teritori ini merupakan teori yang berkaitan dengan aspek kultur, dengan konsep teritori yang menyangkut isu-isu mengenai areal sakral dan profan. Pengaturan ruang sakral dan profan di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali dan pengaturan kawasan di Kecamatan Kuta Selatan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Badung adalah Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.

Pada Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali. khususnya Pasal 44 ayat (1) menyatakan tentang kawasan perlindungan setempat. Kawasan perlindungan setempat tersebut mencakup kawasan suci, kawasan tempat suci, kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai, kawasan sempadan kurang, kawasan sekitar danau atau waduk dan ruang terbuka hijau kota. Selanjutnya dalam ayat (9) pada Pasal yang sama diuraikan mengenai kawasan tempat suci. Kawasan tempat suci mencakup radius kesucian kawasan Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga dan pura lainnya. Lebih lanjut dalam penjelasan Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali Pasal (9) menguraikan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran, dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan apenyengker sesuai Bhisama Kesucian Pura Nomor 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994.

Penetapan lokasi tersebut selanjutnya dilengkapi dengan ketentuan pengaturan pada Pasal 69 ayat (2) huruf d, ditetapkan mengacu Bhisama PHDIP Tahun 1994 meliputi Kawasan Tempat Suci di sekitar Pura Sad Kahyangan dengan radius apeneleng agung setara 5000 m (lima ribu meter) dari sisi luar tembok penyengker pura. Pengaturan Kawasan Tempat Suci di sekitar Pura Dang Kahyangan dengan radius apeneleng alit setara 2000 m (dua ribu meter) dari sisi luar tembok penyengker pura, dijabarkan dalam Peraturan Zonasi dengan tiga strata zonasi yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan. Pengaturan radius sekitar Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Tiga, dan pura lainnya adalah apenimpug atau apenyengker.

Pengaturan radius tersebut dibagi menjadi zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Zona inti merupakan zona utama karang kekeran sesuai dengan konsep maha wana yang diperuntukkan sebagai hutan lindung, RTH, kawasan pertanian dan bangunan penunjang kegiatan keagamaan. Zona penyangga merupakan zona madya karang kekeran yang sesuai konsep tapa wana diperuntukkan sebagai Kawasan hutan, RTH, Kawasan Budi daya pertanian, fasilitas darmasala, pasraman, dan bangunan fasilitas umum penunjang kegiatan keagamaan. Zona pemanfaatan adalah zona nista karang kekeran yang sesuai konsep sri wana diperuntukkan sebagai kawasan budi daya pertanian, bangunan permukiman bagi pengempon, penyungsung, dan penyiwi pura, bangunan fasilitas umum penunjang kehidupan sehari-hari masyarakat setempat serta pelarangan semua jenis kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian tempat suci. Kegiatan usaha yang dilarang

meliputi pembangunan villa, homestay, hotel, cafe, diskotik, karaoke, tempat hiburan, panti pijat, permainan judi, spa, dan kegiatan sejenisnya.

Tipologi Pelanggaran Radius Kesucian Pura

Identifikasi terhadap pelanggaran radius kesucian pura sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 108, Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali yakni pelarangan pembangunan villa, homestay, hotel, cafe, diskotik, karaoke, tempat hiburan, panti pijat, permainan judi, spa, dan kegiatan sejenisnya. Pelarangan terhadap kegiatan sejenisnya yang dimaksud adalah, tentunya kegiatan yang merupakan kegiatan wisata yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kesucian, baik fisik maupun batiniah. Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana mengungkapkan bahwa kegiatan yang mengganggu nilai kesucian pura adalah hal-hal yang dinyatakan dalam Kitab Weda, Kitab Nitisastra dan Kitab Manawadarmasastra . Dalam kitab-kitab tersebut, dituliskan pelarangan kegiatan perjudian, prostitusi, dan mabuk-mabukan. Larangan dalam Agama Hindu ini sesuai dengan KUHP yang melarang perjudian, madat, prostitusi, dan sebagainya. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam kita-kitab tersebut memiliki kekuatan hukum positif yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pendapat ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Dewa Raka Hudyana, mantan Kasie Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali yang terlibat secara penuh dalam penyusunan Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali. Beliau mengatakan bahwa pembangunan cafe, diskotik, lapangan menembak, lapangan olahraga, dan kegiatan sejenis lainnya yang tidak mendukung aktivitas keagamaan sekitar pura, berpotensi mengganggu keamanan dan kenyamanan umat yang melaksanakan kegiatan upacara. Kegiatan-kegiatan ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang berpotensi mengganggu sehingga sebaiknya tidak dibangun berdekatan dengan lokasi pura. Guna Mengantisipasi gangguan terhadap kemanan dan kenyamanan umat melaksanakan kegiatan upacara sebaiknya ketentuan hukum yang mengatur pengamanan radius kesucian pura sebaiknya segera dilegalisasi baik dalam bentuk hukum formal maupun hukum adat setempat yang dituangkan dalam bentuk awig-a wig.

Pembangunan akomodasi wisata didasarkan pada potensi wisata kawasan sebagai daya tarik utama kawasan. Dengan adanya wisatawan yang datang berkunjung, diperlukan akomodasi untuk tinggal sementara agar dapat menikmati keindahan alam dan budaya yang ada secara optimal. Dengan demikian, kebutuhan akomodasi menjadi sangat diperlukan bagi wisatawan ini didasari adanya kebutuhan untuk tinggal sementara agar dapat menikmati keindahan potensi alam maupun budaya yang ada secara lebih optimal. Sesuai dengan potensi alam yang ada di sekitar Pura Goa Gong dan Pura Gunung Payung menyebabkan banyak dibangun vila, baik yang didirikan secara individual maupun berkelompok. Tujuan pembangunan villa ini lebih banyak dikembangkan untuk relaksasi, bulan madu, pesta pernikahan, ulang tahun, dan kegiatan wisata lainnya, berdasarkan minat dan dorongan berwisata masing-masing wisatawan.

Vila-vila yang berada di sekitar Pura Goa Gong dan Pura Gunung Payung ini dipilih oleh wisatawan karena adanya pertimbangan jarak, yaitu kedekatan antara lokasi dan objek wisata tebing, pantai/ombak, tempat menikmati ritual atau rangkaian kegiatan upacara/budaya lainnya. Objek wisata yang dinikmati di Pura Goa Gong adalah panorama tebing, dan pemandangan daratan dan pantai yang letaknya lebih rendah dari lokasi villa. Selain itu, keindahan pada sore hari juga dapat dinikmati, yaitu berupa panorama alam

matahari terbenam. Panorama ini merupakan daya pikat tersendiri bagi wisatawan yang memilih berlibur di villa sekitar pura tersebut. Alasan wisatawan yang memilih menginap di vila yang berdekatan dengan Pura Gunung Payung adalah karena lokasi menginap dekat dengan lokasi berselancar dan berenang pada pagi, siang, dan sore hari. Selain kegiatan berselancar dan berenang di pantai sekitar Pura Gunung Payung, terdapat juga kegiatan lainnya, yaitu berjemur di bawah terik matahari dengan hamparan pasir putih yang sangat bersih atau hanya menikmati panorama laut lepas dan suara deburan ombak. Hal lain yang menjadi pertimbangan wisatawan memilih pantai ini adalah karena berada dekat dengan villa dan pemukiman penduduk sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan masyarakat lokal yang masih asli dan kegiatan pariwisata yang masih tradisional dan belum berkembang seperti daerah-daerah wisata lainnya. Hal ini senada dengan ungkapan Ketut Suwena yang merupakan Bendesa Adat Desa Adat Kutuh sebagai berikut.

“Daya tarik pantai di sekitar Pura Gunung Payung adalah karena ombaknya yang sangat pas untuk kegiatan berselancar didukung dengan pasir putih dan pantainya yang bersih. Selain itu letaknya yang cukup tersembunyi mendukung privasi wisatawan untuk berjemur tanpa busana. Pantai di sini sangat menarik minat investor untuk mengembangkan usahanya salah satunya adalah PT. Bali Raga Wisata. Investor ini telah membebaskan lahan sebelah barat pura sekitar 100 Ha. Rencana akan dibangun hotel untuk peselancar. Di sisi sebelah timur pura juga sudah dibangun villa yakni Bidadari Cliffside Estate, yang merupakan wilayah Kawasan Sawangan, kelurahan Benoa.”

Beberapa akomodasi wisata yang sudah terbangun di sekitar pura di antaranya Villa Karang Putih, Villa Karang Kembar, Villa Karang Bali, Private Residence Gapura Vist, Villa Sza. Hal yang sama juga terjadi di sekitar Pura Goa Gong. Hingga saat ini telah banyak akomodasi wisata yang sudah terbangun seperti Garuda Wisnu Kencana, The Beverly Hills Bali, D’Kutuh Residence, Rumah Batu Gunung, Gong (Dine, Longe and Bar), dan Villa Diandra.

Berdasarkan gambaran pelanggaran yang terjadi pada kedua pura tersebut dapat disusun tipologi pelanggaran yang terjadi berdasarkan lokasi pembangunan akomodasi wisata tersebut yakni (1) terjadi pelanggaran pemanfaatan lahan pada radius kesucian pura mengarah sepanjang garis pantai khususnya pada pura yang berada di tepi pantai yakni Pura Gunung Payung karena potensi lokasi berupa pemandangan ke arah laut; (2) terjadi pelanggaran pemanfaatan lahan pada radius kesucian pura mengarah sepanjang jalan khususnya pada pura yang berada di tengah permukiman yakni Pura Goa Gong karena potensi kemudahan aksesibilitas yang dimilikinya; dan (3) terjadi pelanggaran cukup besar pada radius inti (zona utama karang kekeran) dan radius penyangga (zona madya karang kekeran) berupa pemanfaatan lahan untuk hotel, villa, bar dan restauran karena potensi pemandangan alam dan didukung oleh potensi aksesibilitas yang dimiliki masing-masing lokasi.


Gambar 6. Pemanfaatan Lahan dan View Sekitar Pura Gunung Payung

Orientasi:


Keterangan:





Gambar 7. Akomodasi wisata sekitar Pura Gunung Payung

Orientasi:


Keterangan:


Akomodasi Wisata

Pendidikan

Fas Pemerintahan




Faktor Penyebab Pelanggaran Radius Kesucian Pura

Ruang sakral memiliki apa yang disebutnya dengan istilah hierophany (Eliade 2002), yaitu benda yang menjadi manifestasi dari kesakralannya. Bagi penganut animisme misalnya, manifestasi dari kesakralan menurut mereka dapat berupa pohon atau batu besar. Dalam upaya untuk menjaga kesakralan inilah, kontras atau perbedaan perlakuan antara ruang sakral dan ruang profan ini harus tetap terjaga untuk menghindari kehilangan makna dari kesakralan ruang tersebut. Kontras atau perbedaan perlakuan yang dipergunakan untuk menandakan suatu ruang, tempat atau bangunan yang bersifat sakral dari yang bersifat profan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk aturan atau larangan yang bersifat mengikat bagi orang atau aktivitas yang ada di sekitar ruang sakral tersebut. Semakin sakral suatu ruang, tempat atau bangunan, maka semakin banyak atau semakin luas aturan atau larangan yang diterapkan.

Suparta mengemukakan bahwa salah satu aturan atau larangan yang diterapkan adalah pembatasan/pelarangan masyarakat yang sedang cuntaka untuk memasuki areal pura untuk menjaga kesucian pura tersebut (Adhika 2009). Seseorang atau sekelompok orang yang disebut sedang cuntaka adalah apabila seseorang atau sekelompok orang dalam kurun waktu tertentu sedang mengalami kehilangan anggota keluarga/meninggal, sedang dalam masa perkawinan, sedang mengalami masa menstruasi, dan telah mengalami proses persalinan atau keguguran. Tenggang waktu pelarangan memasuki kawasan pura ditetapkan berdasarkan awig-awig yang berlaku. Bagi wanita yang sedang datang bulan, tenggang waktu pelarangan disesuaikan dengan berakhirnya siklus datang bulan. Apabila siklus datang bulan sudah berakhir dan yang bersangkutan telah membersihkan jiwa dan raga, maka mereka dapat memasuki areal pura.

Kebijakan Pengaturan Kawasan Radius Kesucian Pura

RTRWP Bali menguraikan bahwa sektor unggulan Bali adalah pariwisata, pertanian dan industri kecil. Porsi peruntukan pariwisata dalam RTRWP Bali meliputi seluruh sektor pembangunan, salah satunya yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian yang dikembangkan diharapkan memiliki dua sisi yaitu sisi produksi dan sisi daya tarik wisata. Begitu pula halnya dengan sektor industri kecil. Pada sektor industri kecil, pengembangannya didominasi dalam rangka menunjang kepariwisataan. Bertitik tolak dari hal tersebut dan menyadari bahwa potensi pariwisata Bali adalah Pariwisata Budaya yang berlandaskan Tri Hita Karana, maka pelestarian lingkungan dan budaya serta kearifan lokal menjadi hal yang harus dilindungi keberlangsungannya. Pembangunan kepariwisataan dalam Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali dituangkan dalam Pengembangan Peruntukan Pariwisata yang merupakan Kawasan Strategis Provinsi Bali. Untuk Kabupaten Badung mencakup Kawasan Pariwisata Kuta, Kawasan Pariwisata Tuban, dan Kawasan Pariwisata Nusa Dua.

Senada dengan Perda di atas, beberapa pasal dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Badung juga diatur tentang Kepariwisataan di Kabupaten Badung. Perda ini disusun berdasarkan adanya kebutuhan dalam rangka mewujudkan keterpaduan dan sinergitas pembangunan antarsektor dan antarwilayah. Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah untuk mewujudkan Kabupaten Badung sebagai pusat kegiatan nasional dan destinasi pariwisata internasional yang berkualitas, berdaya saing, dan berjati diri budaya Bali melalui sinergi pengembangan Wilayah Badung Utara, Badung Tengah, dan Badung Selatan secara

berkelanjutan berbasis kegiatan pertanian, jasa, dan kepariwisataan menuju kesejahteraan masyarakat sebagai implementasi dari falsafah Tri Hita Karana. Salah satu kebijakan penataan ruang yang terkait dengan wilayah kajian adalah pada Pasal 4 yakni pengembangan wilayah Badung Selatan dengan fungsi utama adalah kepariwisataan dengan mempertimbangkan daya dukung lahan dan daya tampung kawasan.

Hal ini mencerminkan secara tegas bahwa wilayah Badung Selatan diarahkan pengembangannya untuk mendukung kegiatan kepariwisataan secara menyeluruh namun dengan tetap memperhatikan pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut pada Pasal 5 pula diuraikan bahwa pengembangan wilayah Badung Selatan dengan fungsi utama kepariwisataan dilakukan dengan (a) mengoptimalkan pemanfaatan ruang pada Kawasan Pariwisata Nusa Dua, Tuban, dan Kuta didukung penyediaan infrastruktur yang memadai berstandar internasional; (b) mengembangkan sistem jaringan transportasi terpadu untuk meningkatkan aksesibilitas menuju pusat-pusat kegiatan kepariwisataan; (c) mengembangkan kawasan wisata belanja yang dilengkapi sarana-prasarana pariwisata dan pusat perbelanjaan; (d) melestarikan kawasan lindung dan mengendalikan pembangunan pada kawasan rawan bencana yang berbasis mitigasi; dan (e) mengembangkan kawasan pesisir dan laut secara terpadu sebagai aset utama kepariwisataan yang berkelanjutan.

Kawasan Pariwisata Nusa Dua, Tuban dan Kuta meliputi sebagian dari wilayah Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Kelurahan Jimbaran, Desa Ungasan, Desa Pecatu dan Desa Kutuh di Kecamatan Kuta Selatan. Kegiatan yang diperbolehkan untuk dibangun pada Kawasan Pariwisata meliputi: (1) akomodasi wisata berupa: resort hotel, kondominium hotel (kondotel), hotel dalam kota (city hotel), pondok wisata dan akomodasi wisata lainnya dan (2) fasilitas penunjang kepariwisataan berupa: convention hall, exhibation hall, rekreasi dan hiburan umum, restoran, bar, cafe, food court, musik dalam gedung, jasa kebugaran dan SPA, money changer, gallery, archade, mini swalayan, tourism information, travell agent, klinik kesehatan, kantor administrasi, persewaan sepeda, motor, mobil, perdagangan sourvenir dan produk-produk kerajinan seni.

Peluang pengembangan akomodasi kepariwisataan ini tentunya bertentangan dengan limitasi pengembangan sebagaimana yang diarahkan dalam kawasan tempat suci. Batasan pengembangan kepariwisataan ini diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suci dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c meliputi: (a) pengendalian secara ketat pembangunan di dalam kawasan suci; (b) penetapan batas-batas kawasan suci dilakukan melalui kajian para ahli serta mendapat pertimbangan dari pemerintah, lembaga sosial/keagamaan setempat yang terkait, dan sesuai dengan kondisi lapangan; (c) penataan kawasan suci kecuali pegunungan, laut, campuhan dan loloan perlu dilengkapi dengan rencana rinci tata ruang untuk mendukung kelangsungan fungsi lindung; (d) kawasan kesucian campuhan dan loloan ditetapkan sekurang-kurangnya 50 m (lima puluh meter) dari tepi campuhan dan/atau lololan; dan (e) batas kawasan suci pantai mengikuti ketentuan Sempadan Pantai.

Adanya perbedaan pengaturan dalam peraturan daerah ini tentunya harus dapat dipahami dan wajib diikuti oleh semua pihak, termasuk di dalamnya adalah masyarakat selaku pemilik lahan. Disatu sisi, peluang pengembangan karena potensi yang dimiliki untuk dikembangkan, tetapi di sisi lain kendala pengembangan karena adanya batasan terkait penerapan Bhisama Kesucian Pura. Perbedaan pengaturan ini seringkali dipergunakan

oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Meskipun demikian, tidak sedikit pula masyarakat yang taat mengikuti peraturan sesuai dengan yang digariskan dalam peraturan daerah.

Berbagai kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang atau pengembangan suatu kawasan sangat membutuhkan adanya peraturan/regulasi yang sesuai dengan potensi dan kondisi setempat. Aturan pengembangan suatu kawasan juga diharapkan tidak tumpang tindih satu sama lain atau memiliki makna/penafsiran ganda yang dapat mengakibatkan perbedaan persepsi atau malah lebih buruk dapat mendorong timbulnya konflik di masyarakat (Sulistyawati 1995).

Kondisi Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa pedagang dan masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar pura ditemukan beberapa pengakuan yang sejenis. Pengakuan tersebut di antaranya berasal dari Ni Made Ary Ardanti yang berprofesi sebagai pedagang makanan di Pura Gunung Payung, Ni Wayan Kondri bekerja sebagai Pedagang Canang di Pura Gunung Payung, I Made Sukarena bekerja sebagai pedagang minuman di Pura Gunung Payung dan masih banyak lagi penduduk sekitar yang memiliki pendapat yang sama. Di antara pendapat tersebut ada beberapa ungkapan yang sama yakni (1) tidak mengetahui aturan bhisama; (2) menjual tanah karena pajak tanah tinggi; (3) bersyukur ada pariwisata karena ladang tidak menghasilkan; (4) memperoleh keuntungan dari wisatawan lebih banyak daripada orang lokal, (5) terpaksa menjual lahan pertanian karena tidak bisa dipakai untuk bertani, dan (6) melakukan kegiatan pariwisata tidak menganggu radius kesucian. Sebagian besar alasan yang diungkapkan sangat erat kaitannya dengan permasalahan ekonomi sehingga hal-hal itulah mendorong adanya perilaku pembangkangan terhadap aturan yang tidak memperbolehkan pembangunan akomodasi di sekitar radius kesucian pura.

Adanya pelanggaran ini disadari karena kebutuhan ekonomi masyarakat saat ini sangat tinggi. Selain itu, pelanggaran juga disebabkan Bhisama kesucian pura tidak membela kepentingan masyarakat dibuktikan dengan tidak ada program atau perlakuan khusus yang diperoleh masyarakat sekitar dari adanya Bhisama kesucian pura tersebut. Seperti diakui oleh Luh Putu Sari Ekayani dari Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Badung. Ekayani mengungkapkan bahwa tidak ada program pemberdayaan secara khusus bagi masyarakat di Kuta Selatan dan tidak ada program khusus bagi masyarakat yang terkena dampak peraturan tentang radius kesucian pura. Program pemberdayaan merujuk pada hasil kajian kebutuhan masyarakat se-kabupaten

Dengan demikian. adanya pengembangan kegiatan pariwisata dan pembangunan akomodasi wisata yang melanggar Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali dapat disimpulkan didasari oleh faktor kebutuhan ekonomi masyarakat.

Dampak Pelanggaran Radius Kesucian Pura

Dampak diartikan sebagai perubahan yang terjadi akibat adanya kegiatan pada lingkungan tertentu. Dampak dapat dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif atau hal yang menguntungkan atau sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Soemarwoto 2001) dan dampak negatif adalah akibat yang tidak menguntungkan atau tidak sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan yang

baik tentunya akan dapat meminimalisasi dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan.

Dalam perkembangan pembangunan di Bali, pariwisata adalah kegiatan yang memiliki dampak ekonomi, budaya, dan lingkungan (Anom 2010). Disatu sisi, peran pariwisata cukup besar dalam pembangunan ekonomi (Warpani 2007), tetapi tidak berarti bahwa ada pembenaran untuk mengeksploitasi sumber daya lokal hanya semata-mata untuk mengejar keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam beberapa kasus, pariwisata juga telah terbukti secara tidak langsung berpengaruh terhadap keberlangsungan institusi sosial kemasyarakatan, sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu, mengingat pelanggaran pada radius kesucian pura lebih banyak diakibatkan oleh kegiatan pariwisata maka pembahasan dampak penerapan Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang Kahyangan akan dibahas berdasarkan dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Hal ini dikaji berdasarkan perubahan kondisi fisik lingkungan yang terjadi sekitar pura.

Dampak positif dari pelanggaran penerapan radius kesucian pura secara fisik yang terjadi di sekitar pura adalah meningkatnya kualitas lingkungan yang semula berupa tanah gersang dan tandus karena berada di daerah perbukitan kapur menjadi kawasan yang lebih hijau dan terkelola secara lebih efektif. Terpeliharanya lingkungan menjadi lebih asri ini didorong oleh adanya tuntutan untuk dapat menunjukkan keasrian lingkungan dan kenyamanan untuk berwisata maupun menginap bagi wisatawan yang akan menikmati keindahan kawasan di sekitar pura.

Gambar 8. Lahan kering yang tidak termanfaatkan

Gambar 9. Perambahan hutan sekitar kawasan pura

Dampak negatif yang terjadi dari adanya pelanggaran penerapan radius kesucian pura berupa (1) alih fungsi lahan yang terjadi secara sporadis dan tidak mengindahkan aturan kemananan lingkungan seperti sempadan pantai maupun sempadan jurang; dan (2) terjadi perambahan hutan akibat alih fungsi lahan di sekitar pura yang mendorong terjadinya migrasi hewan yang ada di sekitar pura. Migrasi hewan dimaksud yakni perpindahan habitat beberapa kelompok kera dan burung yang semula menghuni dan menjadikan hutan sekitar pura sebagai tempat bernaung dan mencari makan. Migrasi hewan ini tentunya mengakibatkan perpindahan habitat hidup kera dan burung yang tentunya dapat mengakibatkan kematian dan kepunahan beberapa hewan yang sangat dilindungi.

Simpulan

Berdasarkan kajian akademis yang telah dilakukan terhadap hasil penelitian Pelanggaran Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang Kahyangan di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, tentang bentuk pelanggaran pemanfaatan ruang pada radius kesucian Pura Dang Kahyangan berdasarkan penerapan radius kesucian pura yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali menunjukkan adanya pelanggaran terhadap radius kawasan suci. Pelanggaran yang terjadi pada kedua pura tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) terjadi pelanggaran pemanfaatan lahan pada radius kesucian pura mengarah sepanjang garis pantai khususnya pada pura yang berada di tepi pantai yakni Pura Gunung Payung karena potensi lokasi berupa pemandangan ke arah laut; (2) terjadi pelanggaran pemanfaatan lahan pada radius kesucian pura mengarah sepanjang jalan khususnya pada pura yang berada di tengah permukiman yakni Pura Goa Gong karena potensi kemudahan aksesibilitas yang dimilikinya; dan (3) terjadi pelanggaran cukup besar pada radius inti (zona utama karang kekeran) dan radius penyangga (zona madya karang kekeran) berupa pemanfaatan lahan untuk hotel, villa, bar dan restauran karena potensi pemandangan alam dan didukung oleh potensi aksesibilitas yang dimiliki masing-masing lokasi.

Kedua, munculnya pelanggaran terhadap radius kesucian pura terjadi dikarenakan 3 (tiga) hal yakni (1) Adanya kebijakan pengembangan kawasan pariwisata yang melingkupi kawasan radius kesucian pura tentunya menjadi bertentangan satu sama lain; (2) walaupun sudah ada peraturan yang bersifat mengikat, masyarakat/pengusaha tidak memahami adanya pelarangan untuk mendirikan bangunan maupun menyelenggarakan aktivitas wisata yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan dapat mengganggu nilai kesucian pura; (3) adanya upaya untuk melanggar aturan radius kesucian pura karena tuntutan ekonomi yang mengharuskan untuk menyewakan lahan maupun menjual lahan karena hasil dari kegiatan pertanian tidak menunjang kehidupan, nilai pajak yang harus dibayarkan setiap tahun sangat tinggi sedangkan hasil yang diperoleh dari kepemilikan lahan sangat rendah.

Ketiga, dampak pelanggaran terhadap Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang Kahyangan dapat dibagi menjadi dua yakni dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari penerapan Bhisama Kesucian Pura secara umum adalah meningkatnya kualitas lingkungan yang semula berupa tanah gersang dan tandus karena berada di daerah perbukitan kapur menjadi kawasan yang lebih hijau dan terkelola secara lebih efektif. Dampak negatif yang terjadi dari adanya pelanggaran penerapan radius kesucian pura berupa (1) alih fungsi lahan yang terjadi secara sporadis dan tidak mengindahkan aturan kemananan lingkungan seperti sempadan pantai maupun sempadan jurang; dan (2) terjadi perambahan hutan akibat alih fungsi lahan di sekitar pura yang mendorong terjadinya migrasi hewan yang ada di sekitar pura.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pelanggaran Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang Kahyangan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada segenap pihak terkait sebagai berikut.

Pertama, dalam upaya penerapan Bhisama Kesucian Pura diperlukan adanya tindakan yang lebih konkrit dari pemerintah daerah yakni (1) penyusunan dan legalisasi peraturan daerah yang lebih detail dalam rangka pengaturan pemanfaatan ruang kawasan di sekitar radius kesucian pura; (2) diperlukan upaya sosialisasi yang lebih mendalam kepada pihak yang terkait yakni masyarakat/pengusaha yang ada di sekitar kawasan suci; (3) diperlukan adanya penegasan status pura berdasarkan kajian yang lebih komprehensip; (4) dibutuhkan adanya konsistensi penerapan Bhisama Kesucian Pura dari para penegak peraturan; (5) dibutuhkan adanya perhatian sungguh-sungguh kepada masyarakat yang terkena dampak dari implementasi Bhisama Kesucian Pura, baik dalam bentuk insentif (penghargaan) maupun disinsentif (teguran, sanksi) yang lebih konkret; (6) dibutuhkan adanya keterlibatan pihak desa adat secara lebih maksimal yang diatur melalui ketentuan peraturan yang lebih mengikat; dan (7) diperlukan adanya penanaman pemahaman secara berkelanjutan kepada seluruh stakeholder pembangunan terkait pengembangan konsep pembangunan one island one management sehingga kerusakan atau kehancuran satu wilayah akan menjadi kehancuran bagi Pulau Bali secara keseluruhan.

Kedua, dalam mendukung pelaksanaan pengamanan radius kesucian pura dari kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Agama Hindu dibutuhkan adanya kerja sama dan dukungan dari masyarakat dan swasta (pengusaha) melalui: (1) peningkatan pemahaman terhadap pentingnya menjaga radius kesucian sebagai aset pariwisata Bali jangka panjang. Mengingat nilai-nilai budaya dan kehidupan masyarakat yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu merupakan salah satu daya tarik utama bagi kegiatan pariwisata di Bali; (2) dibutuhkan adanya kesadaran bersama untuk menjaga adat istiadat dan budaya Bali dari kemerosotan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan nenek moyang melalui peningkatan penerapan radius kesucian pura; (3) guna mewujudkan tertib tata ruang diharapkan adanya kesadaran masyarakat dan pengusaha untuk mematuhi peraturan perundangan yang berlaku dan mengikuti prosedur perijinan pembangunan sesuai ketentuan bila akan melakukan kegiatan pembangunan.

Ketiga, kepada para peneliti yang berminat terhadap penerapan arsitektur tradisional pada Pura Dang Kahyangan dapat mengembangkan penelitian lebih mendalam khususnya pada tipologi arsitektur yang dikembangkan mengingat pura-pura yang berstatus Pura Dang Kahyangan didirikan atas pengaruh orang suci yang berasal dari luar Pulau Bali. Di sisi lain para peneliti yang berminat terhadap kehidupan sosial budaya dapat mengembangkan penelitian terhadap sejarah maupun keterikatan hubungan antara pura yang satu dengan pura lainnya di Kecamatan Kuta Selatan yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi dan tentunya sangat bermanfaat bagi perkembangan kehidupan keagamaan di Bali.

Keempat, dalam upaya peningkatan pemahaman akan status pura dan penyadaran pentingnya menjaga pengamanan radius kesucian pura, dibutuhkan peran serta dan dukungan media massa. Media massa baik cetak maupun elektronik diharapkan dapat memberikan informasi yang sebenar-benarnya dan sedetail mungkin sehingga tidak mengakibatkan adanya pemahaman ganda yang dapat mengakibatkan perpecahan di masyarakat.

Daftar Pustaka

Anom, I P dkk (2010) Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global Denpasar: Udayana University Press.

Bali Post (2009) Pajak Berdasarkan NJOP Dorong Petani Jual Tanah Denpasar: Bali Post 12 Juni 2009

Bali Post (2010) Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat Denpasar: Pustaka Bali Post.

Eliade, M (2002) The Sacred and the Profane, The Nature of Religion Harcourt: Brace, and World, Inc.

Pemerintah Daerah Kabupaten Badung (2013) Perda Kabupaten Badung No. 26 tahun 2013 tentang RTRWK Badung Denpasar: Pemerintah Daerah Kabupaten Badung.

Pemerintah Daerah Provinsi Bali (1999) Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Bali.

Pemerintah Daerah Provinsi Bali (2009) Perda Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 tentang RTRWP Bali Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Bali.

PHDI (1994) Keputusan PHDIP No. 11/Kep./1/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.

Soebandi, K (1983) Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Sugiyono, (2009) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D Bandung: Alfabeta

Warpani. S P dan Indra P W (2007) Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah Bandung: Penerbit ITB.

Yoeti, O A (2006) Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya Denpasar: Pradnya Paramitha.

274

SPACE - VOLUME 3, NO. 3, OCTOBER 2016