POLA PERMUKIMAN KAMPUNG ADAT LEWOHALA

DI KABUPATEN LEMBATA-FLORES
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh: Yohannes Kapistranus Sasong Payong1

Abstract

Kampung Adat Lewohala is a traditional settlement with distinctive representation of its historical development. Communal spaces and other elements have been constructed following conventions and belief with adaptation to the natural environment. So the main aim of the following qualitative research has been to identify and gain comprehension of the organizational elements composing the Lewohala settlement. This study primarily addresses the entry points of Bawa Lowe which are located in four different aspects of settlement; as well as the core called Lewu kepuhur. In addition, there exists a public open space (nawang) defined by the houses of lango adat. This core area also accommodates kako as a place to entertain and demonstrate hospitality; wule - a traditional market; and belinda nore – special storage to keep weapons. What emerges from this study is the suggestion that the human body is reflected by symbolic representation in the pattern of the whole settlement.

Keywords: Kampung Adat Lewohala; settlement pattern; elements of settlement

Abstrak

Kampung Adat Lewohala merupakan desa tradisional yang merepresentasikan perkembangan kesejarahan yang berbeda dengan desa lainnya. Ruang-ruang komunal dan elemen lainnya dikonstruksikan mengikuti aturan adat dan sistem kepercayaan yang diadaptasikan pada lingkungan alamiah desa tersebut. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memperoleh gambaran lengkap tentang pengorganisasian elemen yang membentuk permukiman Lewohala. Studi ini terutama ditujukan kepada Bawa Lowe yang terletak di empat aspek berbeda dari permukiman tersebut, juga sebagai kawasan inti dari permukiman Lewu Kepuhur. Selain itu, keberadaan ruang terbuka (nawang) yang didefinisikan sebagai rumah lango adat. Kawasan inti ini juga mengakomodasi kako sebagai tempat untuk mempertunjukkan ikatan kekeluargaan mereka; wule – pasar tradisional; dan belinda nore – ruang penyimpanan khusus untuk senjata. Hasil studi ini memperlihatkan bahwa keseluruhan pola permukiman desa adat ini merupakan refleksi simbolik dari tubuh manusia.

Kata kunci: Kampung Adat Lewohala; pola permukiman; elemen-elemen permukiman

Pendahuluan

Permukiman di belahan dunia manapun, pada prinsipnya memiliki pola-pola yang menggambarkan identitas dan karakteristik peradabannya masing-masing. Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa sebuah tempat (place) memiliki karakteristiknya masing-masing (Trancik 1986). Secara umum konsep pola permukiman mengarah ke beberapa jenis pola, seperti pola terpusat, pola linier, pola radial, pola cluster dan pola grid (Ching 2000).

Dalam konteks permukiman, eksistensi sebuah pola yang menjadi ciri khas sebuah permukiman memiliki elemen-elemen pembentuknya. Menurut Doxiadis (1968), ada dua

1


elemen pembentuk sebuah permukiman yakni elemen wadah (container) dan elemen isi (content). Masing-masing elemen terdiri atas beberapa subelemen. Elemen wadah terdiri atas 3 subelemen yaitu, alam (nature), bangunan (shells), dan infrasturktur/jaringan (network). Elemen wadah didukung oleh elemen isi (content) yang terdiri atas dua subelemen yaitu manusia (man) dan masyarakat (society). Kedua elemen ini saling berhubungan sehingga tercipta sebuah lingkungan binaan atau sering disebut sebagai permukiman.

Kampung Adat Lewohala merupakan sebuah permukiman tradisional yang keberadaan dan tradisi-tradisinya masih bisa disaksikan hingga saat ini. Kampung Adat Lewohala memiliki beberapa keunikan yang khas. Keunikan-keunikan tersebut bisa dilihat pada aspek spasial, tradisi masyarakat atau kebiasaan-kebiasaan hidup yang masih dipertahankan hingga saat ini. Kondisi inilah yang menyebabkan Kampung Adat Lewohala beserta warisan budayanya layak untuk dijadikan sebagai objek penelitian.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji adalah elemen-elemen pembentuk permukiman Kampung Adat Lewohala. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola permukiman yang ada di Kampung Adat Lewohala. Minimnya referensi dan belum adanya penelitian ilmiah yang mengamati setiap fenomenaKampung Adat Lewohala secara khusus, sehingga metode penelitian yang diterapkan adalah menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan eksploratif. Pendekatan eksploratif ini dipandang cukup relevan dalam mengungkap seperti apa elemen-elemen permukiman dan jenis pola permukiman di Kampung Adat Lewohala. Pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan penelitian yang cukup efektif dan efisien dalam membedah objek penelitian yang belum pernah dilakukan penelitian ilmiah sebelumnya (Bungin 2012).

Sejarah Singkat Kampung Adat Lewohala

Kampung Adat Lewohala merupakan salah satu permukiman tradisional yang terdapat di Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata-Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Gambar 1. Peta Lokasi Kampung Adat Lewohala

Sumber: hurekblokspot.com, liliweriblokspot.com dan www.googlemaps.com

Berdasarkan sejarah, masyarakat Kampung Adat Lewohala berasal dari dua tempat yaitu (1) dari dalam tanah dan (2) dari Seram Goran Abo Muar. Masyarakat yang berasal dari asal pertama disebut sebagai penduduk asli atau dikenal dengan sebutan Tana Tawa Gere Ekan. Masyarakat setempat berkeyakinan bahwa kelompok suku ini muncul dari dalam tanah, sedangkan kelompok masyarakat yang kedua adalah berasal dari Seram Goran Abo Muar. Seram Goran Abo Muar adalah sebutan bagi wilayah Kepulauan Maluku. Kehadiran kelompok masyarakat dari Seram Goran Abo Muar pada saat itu kemudian berafiliasi dengan kelompok Tana Tawa Ekan Gere untuk melawan penguasa lama. Penguasa lama pada waktu itu yang disebut sebagai orang Demon. Keinginan untuk melawan penguasa lama dan menguasai daerah tersebut menyebabkan terjadinya perang panjang. Pertumpahan darah yang tidak bisa dielakkan lagi, menghasilkan kemenangan kelompok masyarakat Tana Tawa Gere Ekan dan Seram Goran Abo Muar. Masyarakat Tana Tawa Ekan Gere dan Seram Goran Abo Muar pada saat itu disebut sebagai orang Paji. Kemenangan orang-orang Paji menyebabkan orang-orang Demon berlari mencari hunian yang baru dan selanjutnya orang-orang Paji menciptakan tatanan kehidupan baru yang saat ini dikenal dengan Kampung Adat Lewohala.

Orang Paji yang berasal dari dua kelompok masyarakat ini akhirnya menciptakan dinamika kehidupan baru yang terdiri atas 88 suku yang ditandai dengan keberadaan 88 rumah-rumah adat yang tersebar diseluruh wilayah permukiman Kampung Adat Lewohala. Dalam istilah adat, eksistensi 88 suku ini disebut sebagai suku Pulu Pito no Pito. Suku Pulu Pito no Pito diartikan sebagai 77 suku dalam bahasa daerah Lamaholot (Bahasa yang digunakan oleh orang Pulau Flores bagian Timur, Pulau Solor, Pulau Adonara dan sebagian Pulau Lembata). Penamaan ini ditegaskan untuk menunjukkan banyaknya suku yang mendiami Kampung Adat Lewohala. Hal ini menyebabkan ungkapan dalam sastra adat hingga saat ini tetap menyebutnya sebagai suku Pulu Pito no Pito, sekalipun faktanya adalah terdapat 88 suku.

Dari 88 suku yang ada di Kampung Adat Lewohala, kelompok masyarakat Tana Tawa Ekan Gere berhasil menciptakan 9 suku, sedangkan masyarakat Seram Goran Abo Muar menciptakan 79 suku. Jenis-jenis suku yang berasal dari Tana Tawa Gere Ekan adalah suku Tedemaking (8 jenis) dan suku Dulimaking (suku tunggal). Jenis-jenis suku yang berasal dari Seram Goran Abo Muar adalah suku Gesimaking (4 jenis), suku Domaking (7 jenis), suku Labamaking (10 jenis), suku Benimaking (3 jenis), suku Halimaking (14 jenis), suku Soromaking (4 jenis), suku Pureklolon (3 jenis), suku Balawangak (3 jenis), suku Matarau (7 jenis), suku Lamatapo (2 jenis), suku Langodai (3 jenis), suku Leuwalang (suku tunggal), suku Lamablolu (suku tunggal), suku Langotukan (2 jenis), suku Atanila (4 jenis), suku Lewokedang (2 jenis), suku Lamabahi (2 jenis), suku Kerowemaking (suku tunggal), suku Puhoboto (suku tunggal), suku Ladoangin (suku tunggal), suku Lamakedanga (suku tunggal), suku Rogemaking (suku tunggal), suku Bekayo (suku tunggal) dan suku Pukalolon (suku tunggal).

Kampung Adat Lewohala terbagi menjadi dua subkampung yakni kampung bagian atas (Lewowerang) dan kampung bagian bawah (Lewolein). Penamaan kampung Lewowerang dan Lewolein disesuaikan dengan keadaan topografis yaitu subkampung Lewowerang lebih tinggi posisinya dari pada subkampung Lewolein. Keunikan pembagian kampung ini adalah sekalipun merupakan dua subkampung namun fasilitas-fasilitas umum permukiman diperuntukkan bagi kepentingan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa

subkampung merupakan pembagian wilayah kekuasaan. Walaupun demikian, kedua subkampung ini tidak secara penuh berdiri sebagai subkampung yang mandiri.

300 m dari permukiman

_________________________________

± 200 m dari permukiman

Gambar 2. Peta Pembagian wilayah Kampung Adat Lewohala menjadi dua sub kampung yakni Lewowerang dan Lewolein

Seiring berjalannya waktu, kemajuan pola pikir dan keinginan mencari hunian dengan akses yang lebih mudah menyebabkan masyarakat tradisional Kampung Adat Lewohala meninggalkan kampungnya dan bermukim di wilayah pesisir. Secara topografis, Kampung Adat Lewohala berada di dekat puncak Gunung Ile Ape, dengan kemiringan diatas 30°, sedangkan tanah datar berada di wilayah dataran rendah.

Pada mulanya, wilayah dataran rendah ini merupakan wilayah bercocok tanam dan tempat mencari nafkah bagi masyarakat Kampung Adat Lewohala. Dalam istilah adat, wilayah bercocok tanam ini disebut dengan Tua Mara Ekan Man atau Tua Puke Man One. Lahan garapan ini akhirnya berkembang menjadi daerah permukiman baru yang terdiri atas 8 desa modern. Desa-desa gaya baru tersebut adalah Desa Jontona yang disebut Baopukang; Desa Todanara yang disebut Waiwaru; Desa Watodiri yang disebut Kimakamak; Desa Muruona; Desa Laranwutun yang disebut Waipukang; Desa Kolontobo yang disebut Ohe; Desa Riangbao; dan Desa Petuntawa.

Efek perpindahan penduduk ke tempat yang lebih rendah ini menyebabkan Kampung Adat Lewohala tidak dihuni setiap hari, karena semua dinamika kehidupan generasi sekarang lebih banyak dilakukan di permukiman modern. Hal ini menyebabkan Kampung Adat Lewohala hanya akan dihuni dalam waktu sekali setahun. Dinamika kehidupan tersebut adalah berupa ritual tahunan Pesta Kacang atau yang dikenal dengan istilah Werun Lewu. Ritual ini biasanya berlangsung kurang lebih satu sampai dua minggu dan masih terjaga dengan baik hingga saat ini.

KETERANGAN:


— d∙√.


,r∣∣ι RM

iM∏fjtκ*o 0


KtHuirtdbo 0


WN⅜MUMFM O


Ifeopiiiunf


IlliubW


Lokasi Kampung Adat Lewohala

Arah Sebaran Lahan Garapan

Gambar 3. Peta Sebaran Lokasi Bercocok Tanam yang Kini Menjadi 8 Desa Modern

Kampung Adat Lewohala secara spasial terdiri atas beberapa elemen pembentuk permukiman. Berdasarkan pendapat Doxiadis (1968) tentang elemen-elemen pembentuk permukiman, diketahui bahwa elemen-elemen pembentuk permukiman Kampung Adat Lewohala terdiri atas elemen wadah (container) yang terbagi menjadi subelemen alam (nature), bangunan (shells) dan jaringan atau infrastruktur (network); sedangkan elemen isi (content) terbagi menjadi subelemen manusia (man) dan masyarakat (society).

Subelemen alam terdiri atas beberapa bagian, diantaranya adalah tanah/tana, hutan/Rukha no Eto, iklim dan bagaimana pengelolaan alam bagi kepentingan manusia. Suelemen bangunan (shells) di Kampung Adat Lewohala adalah terdiri atas beberapa bagian misalnya Bawa Lowe (gerbang kampung); Lewu Kepuhur (pusar/inti kampung); Namang (public space); Lango Adat (rumah adat); Belida Nore (rumah penyimpanan senjata); Koke (tempat perjamuan bersama dan Wule (pasar tradisional). Subelemen infrasturktur (network) adalah berupa akses jalan vertikal; akses jalan horizontal; dan Bero Laran (akses jalan khusus yang dipercaya sebagai lalu lintas roh-roh leluhur yang sudah meninggal). Subelemen manusia (man) dan masyarakat (society) merupakan dinamisator yang memungkinkan Kampung Adat Lewohala lahir dengan beraneka ragam nilai budaya dan tradisi yang masih terjaga hingga saat ini.

Subelemen pertama dari elemen wadah adalah alam (nature). Subelemen alam memiliki beberapa bagian, yakni pertama adalah tanah/Tana. Bagi masyarakat Kampung Adat Lewohala, tanah merupakan salah satu elemen penting dalam hidup sehingga ketika pertama kali tanah dieksploitasi untuk kepentingan permukiman manusia, pendekatan adat digunakan sebagai sebuah proses penting agar dapat menjamin kenyamanan dan ketenteraman hidup generasi yang akan datang. Kondisi ini dapat dilihat pada proses pembangunan rumah untuk pertama kalinya adalah diberikan kepada suku asli atau suku Tana Tawa Gere Ekan. Suku Tana Tawa Gere Ekan berdasarkan keyakinan masyarakat

adalah tuan tanah (Lewotana Ala) yang dipercaya bisa melukai tanah (Bunga Tana) untuk pertama kalinya bagi pembangunan rumah adat.

Bagian alam kedua adalah hutan atau Rukha no Eto. Hutan berdasarkan keyakinan masyarakat Kampung Adat Lewohala adalah elemen alam yang tidak bisa dieksploitasi untuk kepentingan manusia, seperti menjadi lahan garapan, ditebang dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan eksistensi hutan di bagian Utara Kampung Adat Lewohala masih tetap ada hingga saat ini, sehingga memungkinkan ketersediaan oksigen bagi kehidupan manusia dan elemen kehidupan lainnya dan meminimalisasi banjir di musim hujan. Hutan ini juga banyak menyimpan aneka ragam fauna unggas seperti burung nuri orange (Li), burung kuau (Kuka), burung pipit (Maki), burung ketilang hitam (Kukuwilang), burung gagak (Ka) dan lain sebagainya. Selain fauna, di hutan juga terdapat vegetasi flora yang berupa sejenis kayu Palawan yang berbatang kasar dan berwarna Hijau muda yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan Ru, sedangkan kayu Palawan sendiri hanya cocok tumbuh di wilayah dataran rendah. Kayu Ru merupakan kayu jenis kelas satu yang sangat cocok sebagai habitat burung-burung seperti burung nuri orange yang senang bersarang di kayu-kayu yang sangat tinggi.

Dalam pembangunan Kampung Adat Lewohala, aspek klimatologi menjadi salah satu pertimbangan penting sehingga dengan kondisi iklim yang didominasi musim kemarau dengan rata-rata curah hujan 3-4 bulan pertahun. Dengan kondisi iklim yang demikian, Kampung Adat Lewohala memiliki curah hujan yang cukup rendah dan masuk kategori tipe D (Profil Kabupaten Lembata, 2010). Dengan aspek klimatologi yang demikian, arsitektur rumah adat di Kampung Adat Lewohala cenderung menggunakan materialmaterial dari alam, dengan kondisi bangunan yang tidak berdinding atau berpenyekat ruang. Situasi ini memungkinkan terjadinya sirkulasi udara yang baik sehingga hawa panas bisa diminimalisasi.

Demi menjaga kelangsungan hidupnya, masyarakat Kampung Adat Lewohala mengelola alam sebagai lahan garapan/Tua Mara Ekan Man/Tua Puke Man One, sehingga kebutuhan pangan masyarakat bisa tercukupi. Tua Mara atau Tua Puke bermakna lokasi masyarakat menyadap air lontar yang disebut tuak/Tua, sedangkan Ekan Man atau Man One mengandung pengertian sebagai tempat masyarakat bercocok tanam. Wilayah bercocok tanam masyarakat Kampung Adat Lewohala adalah menuju ke arah dataran rendah yang saat ini berkembang menjadi permukiman modern (lihat Gambar 3). Selain mengelola tanah sebagai lahan garapan, mengelola alam dengan kontur tanah yang miring menjadi beberapa petak (14 petak) merupakan bukti pengelolaan tanah bagi kepentingan hidup manusia Kampung Adat Lewohala.

Subelemen kedua dari elemen wadah adalah bangunan (shells). Bangunan di Kampung Adat Lewohala terdiri atas beberapa jenis. Bangunan dalam konteks Kampung Adat Lewohala adalah berupa wujud-wujud sederhana, yang mewakili fungsi-fungsi penting. Jenis bangunan/shells pertama adalah Bawa Lowe atau Gerbang Kampung yang ditandai dengan adanya Nuba Nara (batu pemujaan sebagai sarana penghubung antara manusia dan Sang Pencipta). Gerbang kampung ini sebagai upaya melibatkan aspek tak kelihatan (Tuhan Raja Semesta Alam) dalam menjaga kedamaian dan ketentraman Kampung Adat Lewohala. Bawa Lowe ditempatkan di empat penjuru mata angin lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat bermukim. Luas permukiman yang telah dibatasi dengan Bawa Lowe ber-Nuba Nara ini adalah ± 15.883,8 M².


BERCOCOK TANAM MEMERLUKAN LAHAN GARAPAN (NURA TANA EKAN



PERMUKIMAN

KAMPUNG ADAT LEWOHALA


KEADAAN CUACA ATAU KLIMATOLOGI

HUTAN (RUKHA)

UPAYA MENGELOLA ALAM

YANG KONDISI TANAHNYA MIRING DENGAN PEMBUATAN TERASERING DARI

TUMPUKAN BATU (ATU)


Gambar 4. Peranan elemen alam (nature) bagi terwujudnya Kampung Adat Lewohala

Lewu Kepuhur. Fungsi Lewu Kepuhur adalah sebagai inti kekuatan internal Kampung Adat Lewohala. Lokasi penempatan Lewu Kepuhur adalah di tengah Kampung Adat Lewohala, yang ditandai dengan adanya jenis shells ketiga yakni ruang terbuka umum sebagai sarana relaksasi dan rekreasi masyarakat atau dikenal dengan sebutan Namang. Antara Lewu Kepuhur dan Namang merupakan dua fungsi yang diletakkan dalam lokasi yang sama. Lewu Kepuhur ditempatkan di tengah-tengah Namang sehingga keduanya merupakan satu kesatuan dengan mengakomodasi fungsi yang berbeda. Lewu Kepuhur dipercaya sebagai penghubung antara manusia dan Lera Wulan Tana Ekan (Tuhan menurut keyakinan Lamaholot), sedangkan Namang sebagai penghubung antar warga masyarakat Kampung Adat Lewohala.

Jenis shells keempat adalah petak-petak untuk mengatasi kondisi kemiringan tanah. Berdasarkan fakta yang ditemukan hari ini, jenis shells keempat ini terdiri atas 14 buah petak yang membentang dari arah Utara (Werang) menuju arah Selatan (Lein). Petak-petak ini dibatasi dengan terasering dari tumpukan batu (Atu) yang dijadikan sebagai bidang dasar pembangunan rumah-rumah adat 88 suku yang ada. Rumah adat 88 suku ini merupakan jenis shells kelima sebab keseluruhan model dan rata-rata dimensi ruang-ruangnya adalah sama antara satu unit dengan unit yang lainnya. Dari 88 buah suku yang ada itu, terdapat 2 rumah adat yang dibangun di luar permukiman Kampung Adat Lewohala. Kedua rumah adat tersebut memiliki peranan untuk mendukung kehidupan masyarakat Kampung Adat Lewohala. Kedua rumah adat sekaligus terdiri atas 2 suku tersebut dipercaya memiliki kekuatan-kekuatan alam yang sangat baik dalam mendukung kehidupan masyarakat Kampung Adat Lewohala yang pada saat itu hidup dalam peperangan. Kedua suku yang rumah adatnya dibangun di luar permukiman adalah suku Domaking Harudona dan suku Tedemaking Tana Opol. Selain itu terdapat satu unit bangunan tradisional yang dikenal dengan istilah Belida Nore yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata perang dari salah satu Penglima perang Kampung Adat

Lewohala. Unit bangunan Belida Nore merupakan jenis shells keenam yang ada di Kampung Adat Lewohala.

KETERANGAN UMUM:

≡-≡ Bawe Lowe atau Gerbang Kampung


U


O Nuba Nara Lewu Kepuhur atau Pusar Kampung

Petak yang Membagi Space Satu Rumah Adat dengan Rumah Adat Lainnya (dibatasi oleh terasering berupa batu kali)

Namang atau Ruang Tcrbuka/Alun-Alun Kampung (Ditengah-Tengahnya Terdapat Nuba Nara Lewo Kepuhur')





Gambar 5. Posisi Bawa Lowe di empat penjuru mata angin, Lewu Kepuhur, Namang dan pembagian petak-petak di Kampung Adat Lewohala

Dalam membangun rasa solidaritas antarkelompok suku-suku terdekat, dibangun balebale besar yang terbuat dari batang-batang bambu dengan diameter ± 10 cm yang disusun rapi sebagai tempat perjamuan bersama yang disebut Koke. Koke adalah jenis elemen shells ketujuh yang ada di Kampung Adat Lewohala. Terdapat ada 5 jenis Koke yakni Koke Leuwalang Leragere, Koke Wungubelen, Koke Pureklolon Balawangak, Koke Lebala dan Koke Dulimaking. Banguna/shells kedelapan di Kampung Adat Lewohala adalah pasar atau disebut Wule yang berwujud batu-batu ceper yang diletakkan ditanah sebagai tempat meletakkan barang-barang dagangan. Sistem pasar yang digunakan pada saat itu adalah barter yaitu barang ditukar dengan barang yang lain.


O Rumah Aclat Suku-Suku

, Rumah Adat Raya Lewohala sekaligus sebagai Raya Lewowerang

(Raja Kampung Adat Lewohala sekaligus sebagai Raja Kampung bagian atas)

Pd Rumah Adat Belen Lewowerang (pelaksana teknis Pemerintahan Kampung Bagian Atas) IKI Rumah Adat Raya Lewolein (pelaksana telenis Pemerintahan Kampung Bagian Atas) H Rumah Adat Belen Lewolein (pelaksana teknis Pemerintalian Kampung Bagian Bawah) B Koke atau Tempat Perjamuan Bersama Suku-Suku Terdekat

Q Bale Bu Patih Arakian (RnmahlBale Khusus untuk Raja Adonara)

Wule atau Pasar Tradisional Tempat Tukar Menukar Barang

-1 Namang atau Ruang TerbukaZAlun-Alun Kampung

I (Ditengah-Tengahnya Tcrdapat Nuba Nara Lewo Kepuhur')

≈-≡ Bawe Lowe atau Gerbang Kampung

_ I Petak yang Membagi Space Satu Rumah Adat dengan Rumah Adat Lainnya

— (dibatasi oleh terasering berupa batu kali)

__ Belida Nore Suku Rogemaking (Rumali Tempat Penyimpanan Senjata Suku Rogemaking yang Pada Saat itu sebagai Panglima Perang)

  • A.   Koke Leuwalang Leragere

  • B.  Koke Wungubelen

  • C.   Koke Pureklolon Balawangak

  • D.  Koke Lebala

  • E.   Koke Dulimaking


U



Gambar 6. Peta Lay out Kampung Adat Lewohala saat ini


Gambar 7. Potret Koke Pureklolon Balawangak (salah satu tempat perjamuan) di Kampung Adat Lewohala


Gambar 8. Namang/ruang terbuka umum bagi kepentingan rekreasi dan relaksasi masyarakat Kampung Adat Lewohala


Subelemen ketiga dari elemen wadah adalah yang berhubungan dengan infrastruktur (network). Infrastruktur yang dimaksud adalah jalan sehingga dapat menghubungkan antarrumah-rumah adat di Kampung Adat Lewohala. Untuk menghubungkan antarrumah-rumah adat, terdapat dua jenis akses yakni akses jalan horizontal sebagai penghubung rumah-rumah yang ada dalam satu petak, sedangkan akses jalan vertikal merupakan penghubung antarrumah-rumah yang berbeda petak. Akses infrasturktur ini memungkinkan interaksi antar masyarakat dan konektivitas antara aktivitas pribadi maupun dan komunal bisa berjalan dengan baik.

Permukiman Kampung Adat Lewohala juga mengenal salah satu jalan yang membujur ditengah Kampung Adat Lewohala menuju ke arah Gunung Ile Ape (Ile Lewotolok) dengan sebutan Bero Laran. Fungsi utama jalan ini adalah sebagai alur lalu lintas Ama Opo Koda Kewokot atau roh-roh Leluhur yang telah meninggal. Kampung Adat Lewohala merupakan wilayah yang tidak memiliki mata air, sehingga untuk mengatasi situasi ini digali sebuah sumur yang berlokasi di wilayah pesisir pantai dengan lokasi ± 1,5 Km dari kampung, dan melalui Bero Laran atau akses lain yang terletak di arah Bawa Lowe Wara (gerbang Kampung bagian Barat).

Seluruh elemen permukiman di Kampung Adat Lewohala ini bersama-sama menciptakan dinamika kehidupan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Semua fungsi elemen hadir dalam kesederhanaan bentuk, tetapi mewakili fungsi yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan kehidupan di Kampung Adat Lewohala. Kesederhanaan bentuk ini tidak hanya dalam konteks fisik semata, namun esensi dari masing-masing fungsi ternyata mampu bertahan hingga ratusan tahun dan bisa disaksikan oleh generasi saat ini.

Gambar 9. Wujud Lewu Kepuhur di Kampung Adat Lewohala yang berfungsi sebagai inti kekuatan internal Kampung dan penghubung antara manusia dengan Tuhan Sang Pencipta

Gambar 10. Fungsi Namang sebagai sarana rekreasi bagi masyarakat Kampung Adat Lewohala

Selain elemen-elemen yang menjadi wadah (container) bagi terbentuknya permukiman Kampung Adat Lewohala, juga terdapat elemen-elemen yang menjadi isi (content) dari permukiman Kampung Adat Lewohala. Content yang pertama adalah manusia (man). Karakteristik manusia Lewohala saat ini adalah erat kaitannya dengan asal muasal masyarakatnya. Masyarakat Tana Tawa Ekan Gere maupun Seram Goran Abo Muar masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri, akan tetapi lebih dari itu, kedua

kelompok masyarakat ini mampu melahirkan model karakteristik peradaban yang baru yang disebut masyarakat Kampung Adat Lewohala.

Gambar 11. Salah satu aktivitas di Koke Lebala di Kampung Adat Lewohala


Gambar 12. Potret Lango Adat (rumah adat) dengan tidak berdinding dan penyekat ruang di

Kampung Adat Lewohala


Karakteristik manusia yang berasal dari Tana Tawa Gere Ekan berdasarkan keyakinan masyarakat adalah mereka yang cenderung berkepribadian ganda. Terkadang sangat baik budi bahasa maupun tingkah laku dalam pergaulannya (atadike olung/atadike senarhe), namun terkadang berlaku diluar batas kewajaran manusia, misalnya orang jahat, orang yang memiliki kekuatan yang bisa mencelakakan orang lain, dan sifat-sifat buruk yang bertentangan dengan karakteristik manusia yang baik (atadike date/medho/menaka dan naka nebe). Karakteristik masyarakat Tana Tawa Ekan Gere inilah menyebabkan mereka ditempatkan sebagai suku-suku pengintai seperti yang dilakukan oleh suku Tedemaking Tana Opol yang membangun rumah adatnya di luar permukiman Kampung Adat Lewohala ke radius ± 200-300 M. Tujuan utama dari penempatan suku Tedemaking Tana Opol di luar permukiman adalah mengintai pergerakan musuh dan menangkal segala macam ancaman musuh yang kapanpun bisa mengancam ketenteraman hidup masyarakat Kampung Adat Lewohala. Hal ini sejalan dengan keyakinan masyarakat yang menyebut karakteristik suku Tedemaking dalam istilah adat dengan sebutan bura di bera-bera hawu di bera-bera. Makna dari istilah adat ini adalah mudah berkamuflase sehingga sulit untuk dideteksi.

Karakteristik manusia yang berasal dari Seram Goran Abo Muar adalah memiliki kemampuan berpolitik. Kemampuan ini menyebabkan mereka dapat menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan adat termasuk posisi Raja/Raya Kampung Adat Lewohala diduduki oleh masyarakat Seram Goran Abo Muar. Kemampuan berpolitik ini terlihat ketika diadakan suksesi pemilihan para pembesar Kampung Adat Lewohala pada waktu itu adalah selalu dimenangkan oleh kelompok masyarakat dari Seram Goran Abo Muar. Hingga saat ini masyarakat masih mengenal karakteristik masyarakat Seram Goran Abo Muar yang pada saat itu disebutkan melakukan kecurangan dalam suksesi pemilihan pembesar kampung. Kecurangan inilah yang sesungguhnya dipahami sebagai kecerdikan masyarakat Seram Goran Abo Muar dalam berpolitik sehingga memenangkan sebuah ajang penting pada waktu itu.

Dalam konteks society, Kampung Adat Lewohala merupakan salah satu konsep kehidupan masyarakat tradisional. Manusia yang berasal dari latar belakang dan karakteristik yang berbeda ini kemudian bersatu dan membentuk sebuah komunitas masyarakat yang dikenal dengan nama komunitas masyarakat Kampung Adat Lewohala. Untuk membangun solidaritas antar suku-suku yang berdekatan rumah-rumah adatnya, dibangun 5 buah tempat perjamuan bersama (Koke). Tempat perjamuan ini sekaligus menegasikan akan keberadaan organisasi tradisional masyarakat Kampung Adat Lewohala. Kelompok suku-suku yang tergabung dalam masing-masing Koke adalah selain memiliki posisi rumah adat yang saling berdekatan, tetapi juga memiliki hubungan sejarah yang sama.

Kronologis Pembangunan Permukiman Kampung Adat Lewohala

Situasi masyarakat Kampung Adat Lewohala ketika pertama kali dibangun adalah hidup dalam sebuah perang panjang dan memakan banyak korban jiwa. Hal ini menyebabkan aspek keamanan dan upaya membangun sebuah sistem pertahanan tradisional menjadi sangat penting pada saat itu. Fakta yang terjadi hari ini diketahui bahwa pembangunan Kampung Adat Lewohala tidak pernah lepas dari pendekatan adat dan tradisi masyarakat yang kuat. Kepercayaan masyarakat tradisional Kampung Adat Lewohala juga memperkuat bahwa kampung ini sangat mempertimbangan aspek keyakinan masyarakatnya dalam membangun Kampung Adat Lewohala. Kepercayaan masyarakat Kampung Adat Lewohala adalah meyakini akan keberadaan Tuhan yang Maha Esa denga sebutan Lera Wulan Tana Ekan. Proses pembangunan Kampung Adat Lewohala juga mempertimbangkan keadaan geografis lokasi yang kondisi tanah memiliki kemiringan di atas ± 30°.

Proses awal dalam pembangunan Kampung Adat Lewohala adalah penempatan Nuba Nara pada empat penjuru mata angin yang kemudian dikenal dengan sebutan Bawa Lowe. Dasar pertimbangannya adalah memberikan pembatas dalam dua dimensi yakni pertama dimensi manusiawi yang ditandai dengan adanya suku-suku tertentu sebagai penanggung jawab. Dimensi kedua adalah Nuba Nara dianggap sebagai upaya melibatkan Tuhan (Lera Wulan Tana Ekan) dalam melindungi Kampung Adat Lewohala dari berbagai ancaman (bentuk keyakinan masyarakat Kampung Adat Lewohala terhadap wujud tak kelihatan sebagai pencipta alam raya).

Setelah itu, proses berikutnya adalah pembangunan Lewu Kepuhur (Pusar Kampung) sebagai inti kekuatan internal Kampung Adat Lewohala. Peranan sebagai inti kekuatan internal kampung ini sesuai dengan keyakinan masyarakat yang dalam istilah adat disebut dengan Lewu Kepuhur Tube Nawa Kua Kemuha Lewu Tukan Tana Lolon. Istilah adat ini mengandung pengertian bahwa Lewu Kepuhur merupakan inti kekuatan internal Kampung Adat Lewohala. Penempatan Lewu Kepuhur dibarengi juga dengan penyediaan ruang terbuka umum atau disebut Namang. Fungsi Lewu Kepuhur dikelilingi oleh Namang sebagai tempat orang melaksanakan berbagai kegiatan rekreasi bersama yang memiliki fungsi serupa dengan peranan alun-alun pada permukiman modern.

Proses selanjutnya adalah pembangunan rumah-rumah adat dan fasilitas pendukungnya. Rumah-rumah adat dibangun diatas petak-petak dengan terasering dari batu-batu hutan atau dalam bahasa setempat disebut Atu. Pembangunan petak-petak dengan terasering dari batu (Atu) ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kondisi topografis lokasi

yang berupa tanah miring. Untuk mengakomodasi kebutuhan pembangunan rumah-rumah adat bagi 88 suku di Kampung Adat Lewohala, maka dibuatkan 14 buah petak dari arah Utara (Werang) sampai arah Selatan (Lein). Cara pengelolaan alam ini kemudian dipadukan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang meyakini puncak gunung Ile Ape (Ile Lewotolok) sebagai tempat kediaman salah satu inti kekuatan alam (Ili Nitu Meda) yang dipercaya bisa menjaga kedamaian dan ketenteraman hidup manusia. Keyakinan ini menyebabkan semua orientasi petak dan rumah-rumah adat adalah menghadap ke arah puncak Gunung Ile Ape (Ile Lewotolok).

Rumah adat pertama yang dibangun di Kampung Adat Lewohala adalah rumah adat salah satu dari suku Tedemaking. Hal ini dilakukan berdasarkan keyakinan masyarakat bahwa suku Tedemaking sebagai salah satu suku asli (Tana Tawa Gere Ekan), sehingga mereka berhak membangun rumah untuk pertama kalinya. Setelah pembangunan rumah-rumah adat selesai dilaksanakan, tahapan berikutnya adalah pembuatan tempat perjamuan bersama (Koke) suku-suku terdekat. Jumlah semua Koke yang dibangun di Kampung Adat Lewohala adalah 5 jenis Koke yakni (1) Koke Leuwalang Leragere yang terdiri atas 5 jenis suku; (2) Koke Wungubelen yang terdiri atas 42 jenis suku; (3) Koke Pureklolon Balawangak yang terdiri atas 19 jenis suku; (4) Koke Dulimaking yang terdiri atas 7 jenis suku; dan (5) Koke Lebala yang terdiri atas 13 jenis suku.

Tahapan selanjutnya dilakukan untuk menjamin ketersediaan kebutuhan hidup antarwarga masyarakat di Kampung Adat Lewohala, yaitu disiapkannya sebuah ruang yang berada tepat di depan rumah adat suku Benimaking Watukepeti sebagai ruang untuk pasar atau disebut Wule. Wujud pasar berupa batu-batu ceper yang diletakkan di tanah sebagai tempat meletakkan barang-barang dagangan yang dipertukarkan secara terbuka. Sistem perdagangannya masih menggunakan sistem barter atau barang ditukar dengan barang.

Akses penghubung antarrumah-rumah adat, rumah adat dan fasilitas umum maupun permukiman dengan lokasi lain disiapkan akses penghubung berupa jalan. Proses ini dilakukan setelah mengerjakan Wule. Untuk menghubungkan antarrumah-rumah adat yang berbeda petak dibuatkan akses penghubung vertikal dengan cara dibuatkan tangga berupa tumpukan batu yang sangat sederhana. Akses penghubung horizontal sebagai penghubung antarrumah-rumah dalam satu petak adalah tercipta di bagian depan dari masing-masing rumah adat. Masyarakat Kampung Adat Lewohala percaya akan keberadaan roh-roh leluhur yang telah meninggal (Ama Koda Kewokot). Hal ini bisa dilihat pada tersedianya ruang yang digunakan sebagai alur roh-roh leluhur (Ama Koda Kewokot) yang dikenal dengan istilah Bero Laran. Ruang ini membujur di tengah Kampung Adat Lewohala secara vertikal dari arah Laut hingga puncak Gunung.

Dari penjabaran mengenai kronologis pembangunan elemen-elemen permukiman Kampung Adat Lewohala ini, diketahui bahwa pendekatan adat merupakan pendekatan yang tidak bisa dipisahkan dari setiap aktivitas yang ada di Kampung Adat Lewohala. Keyakinan ini menyebabkan di zaman modern ini, peranan skala adat yang berada di bawah kendali seorang pemangku adat (Molan) menjadi sangat penting dan tidak bisa dihindari.

Pola Permukiman Kampung Adat Lewohala

Keyakinan masyarakat Kampung Adat Lewohala yang ditransformasikan ke dalam desain makro permukiman Kampung Adat Lewohala dan didukung oleh kondisi tanah yang miring menyebabkan Kampung Adat Lewohala memiliki pola unik. Model pola yang bisa dilihat pada Kampung Adat Lewohala adalah lebih cenderung menyerupai analogi cakra sebagai fisiologi dari badan eteris manusia seperti yang dikemukakan Dekresano (2004). Beliau merupakan seorang alumnus Theologi Katolik Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Flores yang dipandang cukup memahami fenomena kehidupan masyarakat tradisional di wilayah kepulauan Flores. Kondisi ini diperkuat oleh STFK Ledalero yang merupakan salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Katolik yang telah lama berdiri berdiri dan cukup intens mempelajari dinamika kehidupan masyarakat awal kepulauan Flores. Lebih lanjut, pemahaman tentang badan eteris manusia merupakan pemahaman universal yang dikenal masyarakat wilayah kepulauan Flores, namun memiliki penamaan yang berbeda sesuai dengan lokasi masing-masing. Penamaan kemampuan mengelola badan eteris bagi orang Flores Tengah adalah dikenal dengan sebutan Wera, orang Flores Timur dengan istilah Naka atau Menaka, demikian juga dengan wilayah Flores lainnya yang memiliki istilah yang berbeda pula.

Menurut Dekresano (2004), badan eteris manusia terdiri atas 3 kelompok yakni pertama adalah kelompok rendah yang terdiri dari cakra Muladhara dan cakra Svadinata. Kelompok kedua adalah kelompok menengah yang terdiri atas cakra Visudha, cakra Anahata dan cakra Manipura. Kelompok yang ketiga adalah kelompok tinggi yang terdiri atas cakra Adnya dan cakra Sahasrara. Penjelasan Dekresano (2004) lebih lanjut menyebutkan bahwa peranan cakra kelompok rendah adalah sebagai pusat pengalaman, sumber perasaan dan pusat kepribadian seseorang. Letak dari cakra kelompok rendah adalah di daerah dekat kemaluan dan tulang ekor. Dalam konteks Kampung Adat Lewohala, eksitensi cakra kelompok rendah terdapat pada bagian sisi luar permukiman. Hal ini bisa dilihat pada ke empat penjuru mata angin yang memiliki konsep Bawa Lowe atau gerbang Kampung. Secara kasat mata Bawa Lowe berperan sebagai akses masuk Kampung Adat Lewohala, namun sebetulnya memiliki peranan yang menjaga keamanan dan ketenteraman kampung dari dua dimenasi. Dimensi pertama adalah musuh yang kelihatan (musuh perang) dan dimensi kedua adalah musuh tak kelihatan atau kekuatan-kekuatan gaib jahat yang kapan pun bisa mengganggu keamanan dan keteneraman Kampung Adat Lewohala. Hal ini juga didukung oleh ke empat penjuru mata angin masing-masing memiliki Nuba Nara sebagai wujud keberadaan Lera wulan Tana Ekan (Tuhan menurut keyakinan Lamaholot), dan penanggung jawab masing-masing Bawa Lowe adalah suku-suku yang memiliki kekuatan-kekuatan alam yang bisa menangkal segala macam ancaman.

Peranan cakra kelompok menengah adalah sebagai pusat emosi, pengatur kerja jantung, dan bertanggung jawab terhadap fungsi bicara. Letak cakra kelompok menengah adalah di areal tenggorokan, dekat jantung dan pusar. Dalam konteks Kampung Adat Lewohala, eksistensi cakra kelompok menengah adalah bisa dilihat pada areal sekitar Pusar Kampung (Lewu Kepuhur) yang berada di tengah Kampung. Kondisi ini didukung oleh penanggung jawab dalam ritual adat di Lewu Kepuhur adalah secara khusus diberikan pada salah satu suku di Kampung Adat Lewohala yakni suku Gesimaking Harudula. Masyarakat meyakini bahwa Lewu Kepuhur berfungsi sebagai inti kekuatan Kampung atau disebut Lewu Kepuhur Tube Nawa Kua Kemuha Lewu Tukan Tana Lolon. Situasi itu

didukung oleh fasilitas ruang terbuka umum yang mengelilingi Lewu Kepuhur, dan terdapat fasilitas kebersamaan seperti fungsi perjamuan bersama atau Koke yang terletak tidak jauh dari Lewu Kepuhur. Dinamika ini didukung penuh oleh eksistensi 88 jenis suku yang mendiami Kampung Adat Lewohala.

Peranan cakra kelompok tinggi adalah sebagai pusat komando/pusat pikiran manusia, pusat pengetahuan duniawi dan spiritual, pusat kesadaran tertinggi dan tempat bersemayamnya jiwa. Dalam konteks Kampung Adat Lewohala, eksistensi cakra kelompok tinggi secara total terdapat di puncak Gunung Ile Ape/Ile Lewotolok. Hal ini sesuai dengan keyakinan masyarakat bahwa di puncak Gunung Ile Ape terdapat sebuah kekuatan alam yang bermanfaat bagi seluruh aspek kehidupan manusia (Ili Nitu Neda). Wujud kekuatan alam ini berupa sebuah Ayam mitos yang disebut Manu Sili Goko. Keyakinan ini menyebabkan seluruh orientasi permukiman sebagai aspek makro dan rumah penduduk sebagai aspek mikro selalu cenderung mengarah ke puncak Gunung Ile Ape/Ile Lewotolok. Dalam hal makro, terdapat pada salah satu jalan yang disebut Bero Laran yang kerap dikenal sebagai alur lalulintas roh-roh leluhur yang sudah meninggal (Ama Opo Koda Kewokot) yang membujur dari arah Laut sampai ke arah puncak Gunung. Aspek mikro terlihat pada setiap rumah-rumah adat yang ada di Kampung Adat Lewohala selalu memiliki alur Ama Opo Koda Kewokot.

Gambar 13. Hubungan antara badan fisik dengan badan eteris manusia Sumber: Dekresano, 2004

Kampung Adat Lewohala dibangun untuk memenuhi kebutuhan akan tempat bermukiman bagi masyarakat, dan lebih dari itu memiliki sistem pertahanan tradisional untuk mengantisipasi bilamana musuh datang menyerang. Sistem pertahanan itu dibuat dengan menempatkan dua jenis suku yang membangun rumah adatnya di luar

permukiman Kampung Adat Lewohala. Suku pertama adalah Domaking Harudona yang membangun rumah adatnya di arah Selatan Kampung Adat Lewohala. Suku kedua adalah Tedemaking Tana Opol merupakan suku yang membangun rumahnya di arah Barat Kampung Adat Lewohala. Berdasarkan hasil penelitian, jarak kedua rumah adat suku ini dari permukiman Kampung Adat Lewohala adalah ± 200-300 M. Aspek mitos yang selama ini dipegang adalah faktor pemali suku sehingga tidak diperbolehkan mempersoalkan alasan mengapa kedua suku ini berada di luar permukiman Kampung Adat Lewohala.

KEKUATAN TERLUAR (NUBA NARA BAWA LOWE)

Gambar 14. Hubungan antara analogi badan eteris dengan Kampung Adat Lewohala

Berdasarkan penjelasan yang diperoleh dari pemangku adat atau Molan disebutkan bahwa kedua suku ini memiliki kepribadian yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Karakter yang dimaksud adalah terkadang perilakunya seperti manusia biasa (Atadike Olung) namun disisi lain akan berubah karakter karena dipengaruhi oleh aspek lain yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib (Atadike Naka Nebe). Kekuatan alam tersebut saat ini dikenal dengan istilah Nu Tena Mayan Tana. Dalam perspektif tentang analogi badan eteris manusia, karakter kedua suku yang berada di luar permukiman ini sama seperti aspek energi yang amat dahsyat dari alam semesta. Energi ini dikenal dengan istilah Kundalini. Energi ini sebagian besar dalam keadaan tidur (tidak termasuk kategori cakra), dan bisa diaktifkan untuk kepentingan revolusi kehidupan dengan metode yang terawasi. Alasan pengaktifan energi ini dengan metode terawasi adalah agar tidak merusak manusia itu sendiri. Peranan dari energi non cakra ini sesuai dengan keyakinan

masyarakat Kampung Adat Lewohala yang menugasi kedua suku ini menetap di luar permukiman Kampung Adat Lewohala adalah untuk mendukung kehidupan, misalnya mengintai musuh, menangkal kekuatan jahat, dan lain sebagainya. Keyakinan akan eksistensi energi Kundalini yang terdapat di kedua suku ini adalah menyebutkan bahwa karakter kedua suku ini adalah kadang sulit dideteksi karena mudah berkamuflase (Bura di Bera-Bera Hawu di Bera-Bera). Gambar 13 dan Gambar 14 akan memperlihatkan hubungan antara paradigma badan eteris manusia yang dijadikan analogi dalam mengurai pola permukiman Kampung Adat Lewohala.

Kesimpulan

Permukiman Kampung Adat Lewohala terdiri atas berbagai elemen pembentuk permukiman. Elemen-elemen tersebut diklaster menjadi dua sesuai dengan pendapat Doxiadis (1968) yakni elemen wadah (container) dan elemen isi (content). Dalam elemen wadah terdiri atas subelemen alam (nature) yang berbicara mengenai tanah/tana; hutan/Rukha no Eto; keadaan cuaca dan klimatologi; dan bagaimana mengelola alam menjadi beberapa petak sebagai bidang dasar pembangunan rumah, falistitas permukiman dan lahan garapan/Nura Tana Ekan Man. Selain subelemen alam, juga terdapat subelemen bangunan (shells) yang terdiri atas Bawa Lowe, Lewu Kepuhur, Namang, Lango Adat, Belida Nore, Koke dan Wule. Selain dipengaruhi oleh elemen wadah (container), juga dipengaruhi oleh elemen isi (content) yang terdiri atas subelemen manusia (man) yang berasal dari suku asli/Tana Tawa Ekan Gere dan suku yang yang berasal dari Kepulauan Maluku/Seram Goran Abo Muar. Dua asal muasal manusia yang juga memiliki kelompok masyarakatnya sendiri ini, akhirnya bersatu dan membentuk kelompok masyarakat (society) yang baru yang kini dikenal dengan sebutan masyarakat Kampung Adat Lewohala.

Kampung Adat Lewohala memiliki pola Permukiman yang menyerupai pemahaman tentang badan eteris manusia sebagai badan penghubung antar wujud fisikal manusia dengan jiwa manusia seperti yang dikemukan oleh Dekresano (2004). Pola ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat akan kekuatan-kekuatan alam yang berpotensi mendukung tata kehidupan manusia pada saat itu. Pola dengan analogi badan eteris manusia ini cukup konsisten namun kondisinya disesuaikan dengan kontur tanah yang berupa tanah miring. Kondisi tanah ini sekalipun membentuk petak-petak sebagai bidang datar pembanguan rumah-rumah adat, namun disisi lain tidak mempengaruhi kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang ditegaskan dalam setiap penempatan elemen permukiman.

Daftar Pustaka

Bungin, B (2012) Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi Jakarta: Prenada Media Group.

Ching, F D K (2000) Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan (II) Terjemahan dari judul asli: ‘Architecture Form, Space and Order (II)’. Tresani N. dkk. Ciracas Jakarta: Erlangga.

Dekresano, D (2004) Badan Eteris Manusia Divea: Kupang.

Doxiadis, C (1968) Ekistics: An Introduction to the Science of Human Settlements Hutchinson, London.

Heryanto, B (2011) Roh dan Citra Kota: Peran Perancangan Kota Sebagai Kebijakan Publik Surabaya: Brilian Internasional.

Payong, Y (2014) Pola Permukiman Kampung Adat Lewohala di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis. Denpasar: Udayana University.

Trancik, R (1986) Finding Lost Space: Theories of Urban Design New York: Van Nostrand Reinhold Company.

http://www.floresbangkit.com/2012/11/kampung-tradisonal-lewohala-bagiankeempat-

menata-kampung-membagi-peran, diakses 26 Juli 2013.

http://www.orangflores.com/budaya-ekonomi-lembata.html, diakses 27 Juni 2014.

http://www.viatlembata.blokspot.com/2010/11/profil-kabupaten-lembata.html, diakses 27

Juni 2014.

http://kampungadatlewohala.com, diakses 26 Juli 2013.

232

SPACE - VOLUME 3, NO. 2, AUGUST 2016