PEMBENTUKAN STRUKTUR RUANG RUMAH TINGGAL DESA JULAH, KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG
on
PEMBENTUKAN STRUKTUR RUANG
RUMAH TINGGAL DESA JULAH,
KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG
Oleh: Ni Putu Suda Nurjani1
Abstract
Bali has many vernacular settlements and Desa (village) Julah forms the focus of this study. Unlike many other villages, the Desa Julah has uniquely maintained their traditional homes despite abundant opportunities to modernize. The objective of this article is to explain why this happens, especially in the case of the krama tegak – households which belong to the core members of the Julah community. A qualitative research approach addresses the spatial orientation of each housing compound and the use of site, for both buildings and the outdoor living environment. Supporting data have been acquired combining an extensive literature review; in-depth interviews and on- site physical observation. Results suggest that a Julah’s traditional home is patrilineal, expressed in the building layout and the overall use of space.
Keywords: vernacular architecture; home; spatial orientation; mountain and sea conception; patrilineal.
Abstrak
Bali memiliki banyak permukiman tradisional dan Desa Julah menjadi fokus dari studi ini. Tidak seperti desa-desa tradisional lainnya, Desa Julah memiliki kekhasan pada rumah tinggal mereka yang terjaga secara baik dari pengaruh modernisasi. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa situasi ini terjadi, khususnya dalam penerapan konsep krama-tegak – keluarga yang dimiliki oleh anggota inti masyarakat Julah. Pendekatan kualitatif ditujukan kepada orientasi ruang pada setiap massa bangunan dan penggunaan site, baik untuk bangunan dan lingkungan sekitarnya. Data pendukung diperoleh melalui perpaduan teknik pengumpulan data, yaitu penelaahan pustaka, wawancara mendalam, dan pengamatan di lapangan. Studi ini menghasilkan bahwa rumah tinggal tradisional Julah mengikuti konsep patrilineal yang diekspresikan pada tata letak massa bangunan dan keseluruhan dari penggunaan ruang pada bangunan tersebut.
Kata kunci: arsitektur vernakular; rumah; orientasi ruang; konsep gunung dan laut; patrilineal.
Pendahuluan
Rumah tinggal merupakan perwujudan dari nilai sosial budaya manusia. Setiap individu berinteraksi dengan keluarga dalam sebuah ruang di dalam rumah yang merupakan perwujudan dari nilai sosial yang dimiliki manusia, dimana manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan manusia lainnya. Sedangkan budaya merupakan ciptaan manusia yang berasal dari tingkah laku serta lingkungan sekitarnya (Rapoport 1996). Tingkah laku manusia dalam membuat susunan ruang di dalam rumah yang kemudian diwariskan secara turun temurun kepada anak cucunya, merupakan sebuah tradisi yang telah membudaya. Selanjutnya bagaimana ruang itu ditata dan dirancang sangat tergantung pada pandangan hidup masing-masing (Dansby 1993). Rapoport (1996) juga
1
menyebutkan bahwa rumah merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi.
Berbeda dengan Rapoport dan Dansby, Habraken (1978), memberikan pandangan yang lebih spesifik mengenai rumah tinggal. Habraken mendefinisikan rumah tinggal sebagai suatu produk komunitas, dimana bentuk, dan susunan ruang-ruang yang ada dalam sebuah rumah tinggal merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Ini artinya komunitas yang satu dengan komunitas yang lain akan memiliki perbedaan yang tercermin dalam setiap bangunannya. Seperti yang terlihat pada rumah tinggal masyarakat Bali Dataran dan Bali Aga. Masyarakat Bali Dataran merupakan masyarakat Bali yang telah mendapat pengaruh Hindu Majapahit (Acwin 2009). Pendirian tempat suci (merajan) dengan adanya kemulan (rong tiga) dalam setiap rumah, merupakan salah satu bentuk nyata masuknya pengaruh Majapahit ke Bali. Komunitas masyarakat Bali Dataran cenderung meletakkan merajan pada zona utama, yang kemudian diikuti oleh bangunan-bangunan yang lain pada zona madya dan nista. Sehingga pembagian zonasi dalam rumah sering disebut dengan konsep Tri Mandala ataupun Sanga Mandala.
Berbeda halnya dengan rumah tinggal masyarakat Bali Aga. Komunitas masyarakat ini memiliki ciri kehidupan komunal, yaitu corak kebersamaan/gotong royong (Acwin 2009). Kehidupan komunal terlihat pada tata letak bangunan, dimana antar rumah tinggal yang satu dengan rumah tinggal yang lain sangat jarang ditemukan tembok penyengker (pembatas). Hal ini bertujuan untuk mempermudah interaksi antar masyarakat. Selain itu, masyarakat Bali Aga juga mengenal konsep hulu-teben, yang merupakan konsep dasar perletakan bangunan dalam rumah tinggal. Gunung (hulu) merupakan area sakral (tempat suci) sedangkan laut (teben) sebagai area profan.
Perbedaan pembentukan struktur ruang antar rumah tinggal masyarakat Bali Aga dan Bali Dataran inilah yang kemudian membawa keunikan tersendiri bagi kedua komunitas ini. Telah banyak penelitian yang dilakukan berkenaan dengan rumah tinggal masyarakat Bali Aga, karena keberadaannya yang semakin berkurang. Rumah tinggal masyarakat Bali Aga sangat kental akan refleksi budaya dan tradisi. Rumah tinggal masyarakat Bali Aga yang satu dengan yang lain, belum tentu memiliki susunan ruang dan jumlah bangunan yang sama. Walaupun dalam sejarah tercatat mereka sama-sama merupakan penduduk asli Bali. Faktor budaya, adat dan tradisi yang telah diwarisi secara turun temurun dari leluhur mereka merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan perbedaan tersebut. Hal ini, juga tercermin dalam rumah tinggal masyarakat Bali Aga di Desa Julah.
Julah merupakan sebuah desa Bali Aga yang terletak di Bali utara, tepatnya di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Walaupun saat ini sudah banyak masyarakat Julah yang mapan dari segi ekonomi, akan tetapi bentuk bangunan maupun struktur ruang yang ada di dalam rumah tinggal mereka, masih tetap sama seperti yang dulu. Tidak ada seorangpun yang berani menentang tradisi yang ada. Karena masyarakat percaya bahwa, apabila merubah struktur perletakan bangunan di dalam rumah, akan menimbulkan bencana bagi keluarga tersebut.
Hal ini merupakan suatu hal yang sangat unik dan sangat penting untuk dikaji lebih lanjut. Melalui penelitian ini dipertanyakan jika kuatnya tradisi dan budaya hanya disebabkan oleh hal yang bersifat intangible, atau ada hal lain yang mendasarinya dalam konteks tatanan spasial dalam rumah tinggal masyarakat Bali Aga Julah. Faktor-faktor
apa saja yang mendasari perletakan bangunan di dalam unit hunian masyarakat Julah, dan bagaimana struktur ruang yang terbentuk di dalam sebuah rumah tinggal masyarakat Julah. Beberapa permasalahan tersebut akan dicoba diulas oleh penulis dalam kajian ini. Adapun rumah-rumah yang akan dijadikan objek penelitian adalah rumah yang dihuni oleh masyarakat krama tegak (masyarakat inti). Krama tegak ini adalah masyarakat yang paling utama di dalam struktur sosial masyarakat Julah. Dengan mengamati hal-hal ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang spesifik tentang keunikan yang dimiliki oleh rumah tinggal masyarakat Desa Julah, terutama dalam pembentukan struktur ruang rumah tinggal, sehingga nantinya mampu menjadi masukan bagi pengembangan pembangunan Desa Julah ke depan dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai budaya yang ada.
Kondisi Fisik Permukiman Desa Julah
Julah adalah sebuah desa Bali Aga (Bali Asli) yang terletak di Kecamatan Tejakula, ± 30 km sebelah timur Kota Singaraja dan 124 km sebelah utara Kota Denpasar. Secara geografis Desa Julah terletak pada posisi koordinat antara 8°06’46.36” LS dan 115°18’00.27”BT. Dari segi topografi Desa Julah terletak pada ketinggian 350 m dari permukaan air laut. Wilayah Desa Julah terdiri atas dataran dan perbukitan. Luas wilayah dataran adalah 118 ha dan 352 ha merupakan perbukitan/pegunungan. Menurut data Kecamatan Tejakula tahun 2011, luas wilayah Desa Julah adalah 470 ha dengan rincian pemanfaatan wilayah yaitu, 1) pemukiman 22 ha; 2) perkantoran 0,35 ha; 3) sekolah 0,65 ha; 4) pasar 0,15 ha; 5) tempat ibadah 3,75 ha; 6) kuburan 1,5 ha; 7) ladang/tegalan 391 ha; 8) perkebunan rakyat 48 ha, 9) lapangan olah raga 0,10 ha; dan Lain-lain 1,5 ha.
Berdasarkan kondisi topografi tersebut, maka unit hunian masyarakat Julah terdiri atas dua jenis yaitu Bukit Batu Gambir (yang saat ini dihuni oleh masyarakat pendatang yang beragama Islam), dan dataran yang terdiri atas dua dusun, yaitu Dusun Kawanan dan Kanginan yang dihuni oleh masyarakat krama tegak (masyarakat inti). Menurut data Monografi Desa Julah tahun 2013, jumlah penduduk desa ini adalah 4.544 orang yang terdiri atas 2.312 orang laki-laki dan 2.232 orang perempuan. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk yaitu 470 ha dengan jumlah penduduk 4.544 orang. Dari segi pendidikan, Desa Julah masih tergolong daerah terbelakang. Ini terlihat dari tingginya angka anak putus sekolah. Jumlah penduduk yang tidak tamat SMP berjumlah 662 orang dan jumlah penduduk yang tidak tamat SMA berjumlah 778 orang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran generasi muda desa ini untuk bersekolah dengan alasan utama mereka adalah keterbatasan biaya. Adapun kondisi fisik permukiman masyarakat Julah bisa dilihat pada Gambar 1.
Rumah Tinggal Masyarakat Desa Julah
Rumah tinggal masyarakat Julah sangat unik dan sederhana. Zaman dahulu, dalam sebuah rumah tinggal yang dihuni oleh satu kepala keluarga hanya terdapat tiga jenis bangunan, yakni tempat suci (kemulan), bale meten (tempat tidur) dan dapur (Sidemen 2013). Namun dalam perkembangannya saat ini, terdapat satu bangunan tambahan yaitu KM/WC yang dibuat terpisah dengan bangunan-bangunan yang lain. Masyarakat yang dulunya mandi di permandian umum, saat ini, sudah memiliki tempat mandi, cuci, kakus tersendiri di dalam rumah masing-masing. Susunan bangunan tersebut berlaku bagi setiap rumah tinggal di Desa Julah. Perbedaan status sosial, tidak berlaku dalam susunan ruang rumah tinggal masyarakat Bali Aga ini. Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat
Julah menganggap dirinya sejajar, tidak ada perbedaan kasta maupun status sosial. Yang menjadi pembeda dalam masyarakat adalah gender,laki-laki dan perempuan.
Pura Dalem
Pura Semer
Puskesmas
BUMDES
Rumah Penduduk
Kantor Desa
Pura Desa
Balai Masyarakat
Gambar 1. Kondisi permukiman Desa Julah
Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Julah juga terkena imbas modernisasi dan perkembangan teknologi. Masyarakat yang dulunya sangat buta terhadap informasi dan teknologi, saat ini sudah mulai mengenal televisi, radio dan handphone. Akan tetapi, semua itu tidak melunturkan tradisi yang telah mereka anut secara turun temurun, terutama tradisi yang berkaitan dengan pembentukan struktur ruang dalam rumah tinggal. Aturan adat yang tercantum dalam awig-awig (peraturan adat) Desa Julah merupakan sarana utama yang secara tidak langsung menekan pengaruh modernisasi sebagai angka “perubah” di Desa Julah. Masyarakat sangat taat terhadap awig-awig yang berlaku.
Dalam awig-awig Desa Julah sarga XI pawos 27 yang mengatur tentang palemahan palet 1c disebutkan bahwa “krama julah tan dados ngadol karang“. Artinya, masyarakat Julah tidak diperbolehkan menjual tempat tinggalnya. Palet 6 juga menyebutkan bahwa “yen prade wenten warga desa jagi mecikang tembok rauh ke dasar utawi ngwangun ring pekarangan mangda mesadok ring kelihan banjar miwah penyarikan sane patut ngawi wenangang, mangda kaajegin rikala nyikut pengeruakan dasar”.
Apabila salah satu anggota masyarakat Julah ingin memperbaiki tembok pagar atau membangun di dalam pekarangan rumah, maka yang bersangkutan diharuskan untuk melapor ke pemimpin banjar atau sekretaris banjar yang berwenang dan dalam proses
pembangunan, terutama pada saat pengukuran dan tahap awal pembangunan harus disaksikan oleh pemimpin banjar. Jadi segala bentuk perubahan bangunan yang ada dalam sebuah pekarangan rumah tinggal masyarakat Julah, harus disetujui oleh pemuka adat dan pemimpin banjar. Apabila hal ini dilanggar, maka anggota masyarakat yang bersangkutan akan dikenakan denda sesuai dengan aturan yang ada dalam awig-awig desa. Aturan ini yang menjadikan susunan ruang di dalam unit hunian masyarakat Julah masih lestari sampai saat ini. Gambar 2 memperlihatkan susunan bangunan dalam rumah tinggal masyarakat Julah.
Bale Meten
Kemulan/Tempat Suci
Bale
Bale Meten
Dapur
Kandang Ternak Dapur
Meten
Angkul-Angkul
Kandang Ternak
Gambar 2. Kondisi rumah tinggal di Desa Julah
Budaya dalam Pembentukan Struktur Ruang Rumah Tinggal Julah
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah komunitas dan diwariskan dari generasi ke generasi (Honeigman dalam Yanuirdianto 2013). Dalam kehidupan masyarakat Julah, wujud kebudayaan yang melandasi pembentukan struktur ruang rumah tinggal masyarakatnya, dapat dibedakan menjadi dua jenis. Yang pertama adalah budaya dalam wujud tindakan (aktivitas) yang membentuk sebuah sistem sosial yang kemudian mempengaruhi tata letak bangunan di masing-masing rumah. Yang kedua adalah wujud budaya secara fisik berupa warisan bangunan rumah tinggal tradisional yang masih bisa dilihat sampai saat ini (Honeigman dalam Yanuirdianto 2013).
Budaya dalam wujud tindakan (aktivitas) masyarakat, Julah memiliki sistem sosial sebagai wujud interaksi antar masyarakat. Hal ini merupakan pencerminan individu yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan individu lainnya. Dalam sistem sosial kemasyarakatan di Desa Julah, dikenal istilah krama tegak (masyarakat inti) dan krama
sampingan. Krama tegak merupakan komunitas utama dalam masyarakat. Keanggotaan krama tegak diatur dalam awig-awig Desa Julah sarga V indik pakraman pawos 9 palet 3a yang menyebutkan bahwa, “krama desa sane sampun meduwe linggih ring bale dana, manut adat ring pura bale agung, sinanggeh krama desa tegak”. Dalam palet 3c juga disebutkan, “krama desa tegak sane sampun baki manut adat (usan makrama tegak), during maduwe pangentos, sinanggeh krama sampingan”. Dalam sarga V pawos 10 disebutkan syarat-syarat menjadi krama tegak di antaranya: sudah menikah, memang keturunan krama tegak dari leluhur, dan masyarakat keturunan krama tegak yang sudah berusia 17 tahun.
Sistem sosial ini sangat mempengaruhi ruang-ruang yang ada dalam permukiman maupun rumah tinggal masyarakatnya. Sistem sosial ini menyebabkan lahirnya rumah inti dan rumah sampingan. Rumah inti adalah rumah yang merupakan warisan leluhur yang terletak di area inti desa (sepanjang core Pura Desa). Rumah inti ini hanya boleh dihuni oleh keturunan krama tegak. Sedangkan krama sampingan dilarang bermukim di area core Pura Desa. Krama sampingan membangun rumah tinggal di ladang atau tanah warisan leluhur yang berada di luar permukiman krama tegak (Yudiana 2013), dapat dilihat pada Gambar 3.
Area krama sampingan
Area rumah tinggal untuk krama tegak
Area krama sampingan
Area krama sampingan
Pura Desa
Gambar 3. Lokasi Rumah Tinggal Krama Tegak dan Krama Sampingan Desa Julah
Sedangkan budaya dalam wujud fisik bisa dilihat dalam bentuk fisik bangunan rumah tinggal masyarakat Julah. Wujud fisik bangunan rumah tinggal masyarakat ini sangatlah sederhana. Satu petak rumah tinggal yang terdiri atas empat unit bangunan masing-masing terpisah satu sama lain. Bangunan-bangunan ini tidak memiliki ornamen maupun ragam hias, seperti terlihat pada Gambar 4. Adanya aturan tidak tertulis yang melarang masyarakat Julah untuk membuat bangunan rumah tinggal dua lantai, dan melarang bangunan KM/WC dibangun satu atap dengan tempat tidur. Aturan tersebut masih ditaati sampai saat ini.
Kemulan (tempat suci)
Bale meten
Dapur, KM/WC
Gambar 4. Wujud fisik bangunan rumah tinggal masyarakat Julah
Selain dua wujud budaya di atas, unsur kebudayaan yang sangat mempengaruhi susunan ruang dalam rumah tinggal masyarakat Julah adalah unsur religi. Masyarakat Julah yang menganut agama Hindu Bali Aga hanya mengenal satu tempat suci dalam unit huniannya yang disebut dengan kemulan. Kemulan merupakan pusat orientasi bagi bangunan-bangunan lainnya. Selain itu masyarakat Julah memiliki tradisi mendak sebagai wujud interaksi antara masyarakat dengan leluhurnya. Lokasi mendak terletak di antara bangunan kemulan dan dapur. Kemulan sebagai tempat pemujaan leluhur dan dapur merupakan tempat pengolahan makanan yang merupakan sumber kehidupan penghuninya. Dengan ritual mendak ini, diharapkan leluhur bersedia datang memberikan kesejahteraan bagi penghuni dalam bentuk berkah pangan sehingga anak cucunya tetap bisa bertahan hidup (Yudiana 2013). Mendak sebagai simbol interaksi antara masyarakat dengan leluhurnya yang merupakan sesuatu hal yang intangible, akan tetapi secara nyata dalam kehidupan masyarakat Julah, area mendak merupakan tempat interaksi antar anggota keluarga dan tempat bermain anak.
Lokasi Mendak <
Keterangan:
1. Kemulan
2. Bale meten (tempat tidur)
3. Dapur
4. Kandang ternak
5. Angkul-angkul
Gambar 5. Lokasi Mendak yang merupakan simbol tradisi yang menjadi pusat orientasi bangunan dalam pekarangan Julah
Struktur Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Julah Dilihat dari Aspek Orientasi
Seperti yang telah diketahui, penyebutan arah dalam pandangan masyarakat Bali utara, berbanding terbalik dengan masyarakat Bali selatan. Namun titik acuan (orientasi) ruang menggunakan persepsi yang sama yaitu sama-sama memiliki pandangan bahwa gunung sebagai area sakral (hulu), dan pantai sebagai area teben (profan/nista). Konsep hulu-teben juga tercermin dalam pembentukan struktur rumah tinggal. Area yang berada di
hulu (dekat bukit) diperuntukkan untuk bangunan yang mempunyai fungsi sakral dalam rumah, sedangkan area yang dekat pantai (teben) diperuntukkan untuk bangunan yang memiliki fungsi profan, lihat Gambar 6.
AREA SAKRAL/HULU (Gunung)
Keterangan:
1. Kemulan
2. Bale meten (tempat tidur)
3. Dapur
4. Kandang ternak
5. Angkul-angkul
AREA PROFAN/TEBEN (Laut)
Gambar 6. Rumah Tinggal Desa Julah
Orientasi (titik acuan) masing-masing bangunan yang ada dalam sebuah unit hunian didasarkan pada posisi kemulan (tempat suci). Posisi depan kemulan merupakan titik acuan untuk orientasi bangunan-bangunan lainnya (Yudiana 2013).
Keterangan:
1. Kemulan
2. Bale meten (tempat tidur)
3. Dapur
4. Kandang ternak
5. Angkul-angkul
6. KM/WC
Pusat Orientasi bangunan
Gambar 7. Orientasi bangunan dalam rumah tinggal Julah
Orientasi bangunan ini juga sangat erat kaitannya dengan ritual mendak. Dimana pada saat mendak, terjadi interaksi antara leluhur yang disimbolkan dengan bangunan kemulan dan dapur sebagai wujud nyata tempat pengolahan makanan yang merupakan sumber pangan dan penghidupan penghuninya. Kemulan dan dapur selalu diletakkan berhadapan sebagai simbol hubungan antara penghuni dan leluhurnya (Yudiana 2013). Secara umum struktur ruang rumah tinggal masyarakat Julah dilihat dari aspek orientasi bisa dilihat pada Gambar 8.
HULU
Kemulan
Bale Meten (Tempat Tidur)
TEBEN
Dapur
Kandang Ternak
KM/WC
Gambar 8. Struktur Rumah Tinggal Masyarakat Julah Dilihat
dari Aspek orientasi
Struktur Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Julah Dilihat dari Linieritas Keluarga
Desa Julah merupakan salah satu desa mandiri hal ini tercermin dalam kondisi struktur keluarga masing-masing penduduk. Setiap anak yang sudah menikah hanya boleh tinggal dengan orang tua paling lama satu tahun. Setelah lewat dari satu tahun, anak tersebut harus hidup terpisah dengan orang tuanya, baik itu sudah cukup dari segi ekonomi maupun tidak. Menikah sama dengan mandiri bagi masyarakat Desa Julah. Yang berperan utama dalam kepala keluarga adalah pihak laki-laki. Ayah sebagai kepala keluarga, dan anak laki-laki terkecil memperoleh prioritas utama dalam keluarga, baik itu menyangkut warisan, maupun hak dan kewajiban yang lain. Yang boleh mewarisi rumah peninggalan orang tua, adalah anak laki-laki terkecil dari sebuah keluarga. Anak perempuan tidak memiliki hak waris secara hukum adat, namun hal tersebut disesuaikan dengan kebijakan masing-masing kepala keluarga.
Apabila satu keluarga memiliki anak laki-laki lebih dari satu, maka anak ke-2 dan seterusnya harus meninggalkan pekarangan asli, kecuali jika pekarangan asli masih cukup untuk dua unit kepala keluarga. Misal, satu unit kepala keluarga hanya memiliki tanah di pekarangan inti seluas 8x7 meter. Apabila keluarga ini nantinya mempunyai dua orang anak laki-laki, maka hanya satu anak laki-laki yang berhak tinggal dirumah inti. Ruang yang tersedia hanya cukup untuk membangun satu unit bale meten, satu unit dapur dan satu kemulan. Masyarakat Julah memiliki pantangan untuk membangun rumah dua lantai, sehingga anak laki-laki yang lain harus keluar dari rumah inti. Namun apabila satu unit kepala keluarga memiliki tanah 15x20 meter di dalam pekarangan inti, maka ruang ini cukup untuk dua orang anak laki-laki. Maka kedua keturunan laki-laki berhak tinggal di pekarangan inti.
Pada prinsipnya, masyarakat Julah tidak diperbolehkan memperluas ataupun menjual pekarangan inti yang telah diwariskan secara turun temurun. Keturunan masyarakat Julah yang tidak memiliki hak menempati tempat tinggal keluarga inti (batih) disediakan tempat di tegalan (di luar permukiman krama tegak/masyarakat inti) dan otomatis masuk dalam komunitas krama sampingan. Adapun sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Julah bisa dilihat pada Gambar 9.
Ayah Ibu
Keterangan :
= garis perkawinan
= Garis Saudara
= Garis Keturunan
= laki-laki
A.1 A.2 B.1
B.2
= Perempuan
Gambar 9. Sistem Kekerabatan Masyarakat Julah (Patrilineal) Sumber: Yudiana, Kelian Banjar Dinas Kanginan, Julah
Berdasarkan gambar di atas dapat terlihat bahwa A dan B adalah keturunan laki-laki sedangkan C adalah keturunan perempuan. Garis keturunan diambil dari garis keturunan A dan B, dimana A1 adalah anak laki-laki pertama dan A2 adalah Anak laki-laki kedua. B.1 adalah keturunan perempuan pertama dari B, dan B.2 adalah keturunan laki-laki kedua dari B. Berdasarkan gambar diatas bisa dilihat bahwa masyarakat Desa Julah menganut sistem patrilineal, yaitu kaum laki-laki mendapat prioritas utama di dalam keluarga. Hal ini sangat mempengaruhi pembentukan struktur ruang rumah tinggal masyarakat Desa Julah.
Di dalam sebuah pekarangan rumah inti, tinggal 2-3 kepala keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dekat (sepupu/misan atau ada juga yang saudara kandung). Urutan paling atas dalam krama tegak dalam sebuah keluarga inti mendapat posisi paling dekat dengan jalan (Yudiana, 2013). Tata letak bale meten (tempat tidur) sangat memperhatikan lineritas dalam keluarga inti ini. Tidak pernah terjadi konflik sosial dalam hal perolehan posisi bale meten ataupun rumah tinggal, karena masyarakat Julah sangat mentaati tradisi yang telah mereka warisi secara turun temurun. Mereka dengan penuh kesadaran akan pindah ke area krama sampingan apabila sudah menikah dan berada dalam urutan terbawah dalam susunan masyarakat krama tegak. Kondisi ini masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. Adapun susunan ruang dalam rumah tinggal masyarakat Julah apabila dilihat dari aspek linieritas keluarga, dapat dilihat pada Gambar 10. Secara umum, bentuk struktur ruang dalam rumah tinggal masyarakat Julah yang dilihat dari aspek linieritas keluarga dapat dilihat pada Gambar 11.
Konsep Tata Nilai yang Mempengaruhi Susunan Ruang Rumah Tinggal di Desa Julah
Nilai adalah segala sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia (Honeigman dalam Yanuirdianto 2013). Nilai selalu menyangkut perbuatan atau tindakan, sehingga seringkali setiap komunitas masyarakat memiliki tata nilai yang berbeda. Nilai juga merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku (Theodorson dalam Pelly 1994). Orientasi nilai adalah konsepsi umum yang terorganisasi yang mempengaruhi perilaku dan berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diinginkan atau tidak diinginkan yang mempengaruhi hubungan antar manusia dengan lingkungan atau antar manusia dengan sesama manusia. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dalam melihat pengaruh nilai terhadap susunan ruang dalam rumah tinggal, kita bisa melihat perilaku atau tindakan (aktivitas) penghuni yang mendiami rumah tersebut.
AREA SAKRAL/HULU (Gunung)
AREA PROFAN/TEBEN (Laut)
Keterangan :
-
1.a = Kemulan KK1 (urutan pertama krama tegak )
-
1.b = Kemulan KK2
-
1.c = Kemulan KK3
-
2.a = bale meten (tempat tidur) KK1
-
2.b = bale meten (tempat tidur) KK2
-
2.c = bale meten (tempat tidur) KK3
-
3.a = Dapur KK1
-
3.b = Dapur KK2
-
3.c = Dapur KK3
-
4.a = KM/WC KK1
-
4.b = KM/WC KK2
-
4.c = KM/WC KK3
Gambar 10. Susunan Rumah Tinggal Desa Julah Dilihat dari Linieritas Keluarga
AYAH
IBU
Kemulan
Kemulan
Dapur
Bale Meten (Tempat Tidur)
Bale Meten (Tempat Tidur)
Kandang Ternak
KM/WC
Dapur
Kandang Ternak
KM/WC
Area 2 ( A & A2 )
Area 1 ( B & B2 )
Gambar 11. Struktur Rumah Tinggal Masyarakat Julah Dilihat dari Linieritas Keluarga
Desa Julah sendiri memiliki banyak tradisi yang mempengaruhi perilaku maupun susunan hunian masyarakatnya. Orientasi yang mendasari struktur ruang rumah tinggal di Desa Julah adalah sumbu natural kaja-kelod (gunung-laut). Bertolak dari konsepsi inilah kemudian ditentukan tata nilai ruang. Aspek orientasi ini akan mempengaruhi perletakan bangunan dan fungsi masing-masing ruang yang ada di dalam masing-masing unit hunian. Berbeda dengan masyarakat Bali dataran yang mengenal konsep Tri Mandala (utama, madya,dan nista), masyarakat Julah hanya mengenal dua sistem tata nilai ruang yaitu utama-nista (sakral-profan). Area Utama merupakan area yang difungsikan untuk meletakkan bangunan yang memiliki nilai sakral (tempat suci) dan area nista digunakan
untuk meletakkan bangunan yang memiliki nilai profan seperti kandang ternak, KM/WC dan dapur, lihat Gambar 12.
Area Sakral (Utama)
Keterangan :
1. Kemulan
2. Bale meten (tempat tidur)
3. Dapur
4. Kandang ternak
5. Angkul-angkul
Gambar 12. Konsep tata nilai ruang dalam rumah tinggal masyarakat Julah
Selain konsep hulu-teben yang mempengaruhi tata letak bangunan, masyarakat Julah juga memiliki konsep landscape yang mengatur perletakan tanaman di dalam sebuah unit hunian. Tidak semua tanaman bisa ditanam di pekarangan masyarakat Julah. Ada nilai-nilai dalam sebuah tanaman yang mengatur posisinya dalam rumah. Seperti pohon intaran yang merupakan simbol kebesaran masyarakat Julah. Daun intaran merupakan pengganti bunga dalam sesajen masyarakat Julah. Setiap upacara wajib mempergunakan daun Intaran.
Gambar 11. Daun intaran yang merupakan simbol masyarakat Desa Julah
Terdapat banyak cerita dan filosofi yang beredar dalam masyarakat Julah. Seperti yang dituturkan oleh Sidemen (2013), pada masa lalu daun intaran berhasil menyelamatkan 75% masyarakat desa ini dari wabah penyakit. Setelah kejadian tersebut masyarakat Julah diwajibkan menanam daun intaran disetiap pekarangan dan tanaman tersebut harus diletakkan di area sakral (hulu). Selain daun intaran, terdapat tanaman lain yang diperbolehkan ditanam dalam pekarangan masyarakat Julah, seperti pohon temen, medori, dan riba. Tanaman-tanaman ini biasanya diletakkan di area profan (dekat dengan dapur). Masyarakat Julah dilarang menanam tanaman yang berbau harum di pekarangan rumah, seperti pohon cempaka, melati, dan sandat.
Sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia, bentuk bangunan masyarakat Julah juga mengalami perkembangan. Namun secara hirarki, konsep orientasi, tata nilai ruang dan fungsi bangunan yang ada dalam masing-masing unit hunian masih tetap dipertahankan sampai saat ini. Tabel 1 memperlihatkan fungsi dan tata nilai bangunan dalam rumah tinggal masyarakat Julah.
Tabel 1. Fungsi, tata nilai serta perletakan bangunan dalam rumah tinggal masyarakat Julah
Fungsi Bangunan |
Tata Nilai Bangunan |
Letak Bangunan |
Kemulan (tempat suci) |
Utama (sakral) |
Hulu (gunung/kaja/utara) |
Bale Meten (tempat tidur |
Utama (sakral) |
Hulu (gunung/kaja/utara) |
Dapur |
Nista ( profan) |
Teben (laut/kelod/selatan) |
Kandang ternak |
Nista ( profan ) |
Teben (laut/kelod/selatan) |
Kesimpulan
Struktur ruang rumah tinggal masyarakat tradisional Bali terbentuk berdasarkan beragam konsep dasar. Adanya perbedaan konsep dasar tersebut diakibatkan oleh adanya perbedaan filosofi yang dianut oleh masing-masing daerah. Secara umum, kondisi geografis wilayah, budaya, agama, adat istiadat, dan aktivitas penghuni adalah indikator utama yang mempengaruhi susunan ruang di dalam sebuah hunian. Dalam era modern, pembangunan sebuah rumah didasari oleh beragam tujuan, ada yang membangun rumah untuk melindungi diri dari gangguan cuaca, ada yang menganggap rumah sebagai tempat istirahat setelah pulang kerja, dan kecenderungan saat ini adalah rumah dianggap pencerminan sebuah status sosial dalam masyarakat. Bentuk rumah dianggap bisa mencerminkan kehidupan penghuni rumah. Namun kecenderungan status sosial tersebut tidak ditemukan di Desa Julah.
Julah sebagai salah satu Desa Bali Aga (Bali Asli) sangat taat memegang tradisi sampai saat ini. Fungsi ritual dan budaya patrilineal merupakan komponen utama yang mendasari pembentukan struktur ruang rumah tinggal masyarakat Desa Julah. Selain itu aspek orientasi, tata nilai dan fungsi bangunan juga merupakan indikator yang dijadikan dasar pertimbangan di dalam menentukan perletakan bangunan di dalam sebuah unit hunian. Secara orientasi, masyarakat Julah menggunakan sumbu natural Kaja-Kelod (gunung-laut) yang kemudian melahirkan konsepsi hulu-teben sebagai acuan dalam penempatan bangunan di dalam masing-masing unit hunian. Budaya patrilineal dan linieritas keluarga sangat menentukan posisi rumah tinggal seorang anak/sebuah kepala keluarga di dalam sebuah pekarangan dalam satu unit hunian. Anak laki-laki terkecil mempunyai kedudukan yang paling istimewa, dimana unit tempat tinggalnya diposisikan dekat dengan jalan raya. Masyarakat Julah memiliki pantangan untuk membangun rumah lantai dua dan juga terdapat aturan tidak tertulis yang melarang tempat tidur dibuat satu atap dengan KM/WC. Hal tersebut masih ditaati sampai saat ini. Secara umum masyarakat Julah hanya mengenal dua konsep nilai di dalam sebuah unit hunian, yaitu Utama dan nista (sakral dan profan), berbeda dengan masyarakat Bali Dataran yang mengenal Tri Mandala (utama, madya, nista).
Mengingat terbatasnya kajian mengenai pembentukan struktur ruang Desa Julah, maka hendaknya segala bentuk pembangunan yang terjadi di Desa Julah terlebih dahulu dikoordinasikan dengan pemuka adat maupun masyarakat Desa Julah. Sehingga pembangunan yang terjadi di Desa Julah tidak menghilangkan ciri khas dan identitas Desa Bali Aga yang dimiliki oleh Desa Julah itu sendiri.
Daftar Pustaka
Aspinal, P dalam Farmer, B dan Louw, H (1993) Companion to Contemporary Architectural Thought London : Routledge.
Dansby, dalam Farmer, B dan Louw, H (1993) Companion to Contemporary Architectural Thought London : Routledge.
Dwijendra, N K A (2009) Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno Berdasarkan Kajian Desa-Desa Tradisional Bali Denpasar: Udayana University Press.
Dwijendra, N K A (2008) Arsitektur Rumah Tradisional Bali Berdasarkan Asta Kosala-Kosali Denpasar: Udayana University Press.
Dwijendra, N K A (2003) ‘Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali’ Jurnal Permukiman Natah Vol.1, p: 8-25.
Gelebet (2002) Arsitektur Tradisional Daerah Bali Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Bali.
Habraken, N J (1978) General Principles about the Way Built Environment Exist Massachusetts.
Hardie, G dalam Missinghamb and Downton (1985) ‘Place and Placemaking’ Proceeding of People and Physical Environment Research (PAPER) Conference Melbourne.
Haryadi dan Setiawan, B (1995) Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Suatu Pengantar ke Teori, Metodelogi dan Aplikasi Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Hoebel, E, Frost A, Everett L (1976), dalam Sasongko (2005) Cultural and Social Anthropology New York: McGraw-Hill Book.
Kusumawati, M, et all (2007) Jejak Megalitik Arsitektur Tradisional Sumba, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Locher GW (1978) Transformation and Tradition, and Other Essays, KITLV – Translation Series 18,The Hogue – Martinus Nijhoff.
Schulz, N dalam Sasongko (2005) Genius Loci New York: Electa/Rizolly.
Rapoport (1998) Using Culture in Housing Design University of Wisconsin Vol.25, No.1 & 2, p: 1-20.
Monografi Desa Julah 2013 Kantor Desa Julah Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng
Cyber (2013) ‘Interaksi Desa-Kota’ dalam
<http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/01/kondisi-spasial-pola-keruangan-dampak-interaksi-desa-dan-kota.html#ixzz2ldNH9QKC> diakses Oktober 2013.
Hadiyanuariswanto (2013) ‘Definisi Rumah Tinggal’ dalam
<http://hadiyanuariswanto.wordpress.com/2013/04/27/definisi-rumah-tinggal/> diakses Oktober 2013.
Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng (2013) ‘Desa Julah’ dalam
<http://tejakula.bulelengkab.go.id/?sik=kantor&bid=fa010148ae6a58900c6a0bd b86cf75a4> diakses Oktober 2013.
Dellyani (2013) ‘Definisi dan Fungsi Rumah Tinggal’ dalam
<http://dellyani.blogspot.com/2013/05/definisi-dan-fungsi-rumah-tinggal.html>
Wikipedia (2014) ‘Nilai, Budaya, Sistem Nilai dan Orientasi’ dalam <http:id.m.wikipedia.org/wiki/nilai_sosial> diakses 22 Desember 2014.
Yanuirdianto (2013) ‘Pengertian Kebudayaan dan Unsur-Unsur Kebudayaan’ dalam
<http:yanuirdianto.wordpress.com/2013/03/10/96/>
214
SPACE - VOLUME 3, NO. 2, AUGUST 2016
Discussion and feedback