RUANG


SPACE


STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA ZONASI PERMUKIMAN ADAT DI DESA NGGELA, ENDE-FLORES

Oleh: Fabiola T A Kerong1

Abstract

The Adat settlement of Nggela Village (Desa Nggela) is a traditional village in the Ende Regency of Flores Island, one of the Lesser Sunda Islands in the Indonesian archipelago. It is a vernacular settlement strictly regulated by layers of adat codes and practices, and governed by a unique organizational structure. The whole settlement is divided into several zones. These reflect three cultural dimensions. First, the historical journey the community has undertaken; second the cosmological beliefs of the people, third the environment within which the village is located. This article demonstrates how each of these elements has determined the spatial laying out of the village. The analysis of interrelationships suggests the emergence of values pertaining to beliefs; the function of the village as a living space for the whole community; and a container for various symbolic meanings. In so doing, the study demonstrates the more dominating and determining position of the adat advisory board members in governing day-to-day life of the settlement in comparison to the actual roles undertaken by members of the Desa Nggela’s adat leadership.

Keywords: adat settlement; spatial zones; organizational structure; cosmological beliefs; topography, landscape

Abstrak

Permukiman adat Desa Nggela merupakan permukiman tradisional yang terletak di Kabupaten Ende di Pulau Flores, salah satu pulau di Kepulauan Sunda Kecil. Permukiman ini memberlakukan aturan adat secara ketat dan dikelola oleh struktur organisasi yang unik. Permukiman ini juga terdiri atas beberapa zona yang merefleksikan tiga dimensi budaya. Pertama, perjalanan sejarah dari komunitas yang telah dilewati; kedua, konsep kosmologi dari masyarakatnya; dan ketiga, lingkungan dimana permukiman ini berada. Tulisan ini memaparkan bagaimana setiap elemen budaya tersebut menentukan pola tata letak permukiman tersebut. Analisa dari hubungan antar elemen tersebut mengungkapkan kemunculan dari nilai-nilai sistem kepercayaan; fungsi permukiman sebagai tempat hidup dari masyarakat Desa Nggela; dan kandungan nilai dari berbagai makna simbolik. Selain itu, paparan ini juga mengungkapkan dominasi dan posisi tetua adat dalam pengelolaan permukiman dibandingkan dengan peran pemimpin adat Desa Nggela.

Kata kunci: permukiman adat; tata zonasi; struktur organisasi; kosmologi; Kampung Wae Rebo; topografi; lansekap.

Pendahuluan

Desa Nggela merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada tahun 2011, penduduk desa ini berjumlah 1120 jiwa (BPS Kabupaten Ende 2012). Desa ini memiliki permukiman adat yang hanya dihuni oleh orang-orang dengan posisi dan peran yang penting bagi kehidupan masyarakat Nggela yang tergabung dalam suatu struktur organisasi. Selain itu, dalam permukiman adat ini terdapat zona-zona yang membagi permukiman adat ini menjadi beberapa wilayah.

1


Pola permukiman adat di Kabupaten Ende selalu dilihat dalam hubungan dengan tempat asal manusia pertama Suku Ende-Lio yaitu gunung Lepembusu. Berdasarkan pertimbangan inilah, ujung permukiman adat Suku Ende-Lio selalu mengarah ke gunung Lepembusu dan arah berlawanan mengarah ke daerah paling rendah yaitu lautan. Tata letak ini bersesuaian dengan pertimbangan kosmologi yang mempertahankan keseimbangan antara dua titik ekstrim, kaitannya dalam permukiman yaitu ulu (kepala) dan eko (hilir). Di antara keduanya terdapat puse (pusat). Ulu dihubungkan dengan matahari terbit atau ke arah gunung Lepembusu, sedangkan eko ke arah matahari terbenam atau berlawanan dengan gunung tempat asal-usul nenek moyang Suku Ende (Mbete, dkk 2008).

Permukiman adat Desa Nggela memiliki Mosalaki-Mosalaki yang berjumlah 16 orang dengan 14 rumah adat. Namun dalam wilayah permukiman adat ini terdapat juga rumah-rumah adat yang merupakan rumah adat pendukung dari rumah adat inti yang biasanya merupakan keturunannya. Terkait dengan tata zonasi, Baja (2012) mengatakan bahwa fungsi dari zonasi membantu pengguna/pengambil keputusan ruang untuk dapat mengidentifikasi dan mengenal perbedaan yang ada dalam suatu ruang wilayah/kawasan. Dalam permukiman adat di Desa Nggela zona-zona sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka dan masih dipertahankan sampai sekarang. Hal ini terkait dengan sejarah dan budaya masyarakatnya, seperti yang diungkapkan oleh Snyder dan Catanese (1984) bahwa dalam masyarakat tradisional yang terbentuk dari suatu hunian, penataannya sering didasarkan pada hal yang suci, karena religi dan ritual menjadi pusat (walaupun bagian-bagian lain memiliki peranan yang penting juga), sehingga tempat tinggal atupun permukiman yang terbentuk dapat menunjukan suatu makna yang berarti.

Adanya struktur organisasi dan tata zonasi dalam permukiman adat ini sangat menarik untuk ditelusuri lebih dalam, sehingga dalam penelitian ini hal-hal yang menjadi rumusan masalahnya adalah mencari bentuk struktur organisasi dan tata zonasi, peranannya terhadap permukiman adat di Desa Nggela dan hubungan antara kedua aspek tersebut.

Teori yang digunakan sebagai konsep dasar dalam membahas fenomena ini adalah teori semiotik yang dipelopori oleh Saussure. Saussure dalam Budiman (2011) mengatakan bahwa semiotik merupakan ilmu umum tentang tanda-tanda dalam kehidupan masyarakat. Teori semiotik ini dapat digunakan untuk melihat pola pemukiman dari aspek ruang, bentuk, dan permukimannya secara konsep ruang, keyakinan masyarakat, fungsi, dan juga aktivitasnya.

Selain teori semiotik yang digunakan, juga digunakan teori spasial. Teori ini dipakai untuk melihat aspek fungsional dari pembagian ruang dan fungsinya serta aktivitas yang dilakukan di dalamnya. Kemudian dikaitkan dengan distribusi tata ruang fungsi-fungsi dan hubungan ketataruangan. Selain itu, aspek fisik yang dilihat adalah objek fisik yang dikaitkan dengan distribusi bentuk fisik rumah-rumah adat, elemen-elemen dalam permukiman adat yang dikeramatkan dan ruang luar yang terbentuk.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan secara naturalistik. Metode ini lebih mampu mengungkapkan realitas ganda, lebih mengungkapkan hubungan wajar antara peneliti dengan responden, sehingga metode ini lebih sensitif dan adaptif terhadap peran berbagai pengaruh timbal-balik (Muhadjir 1996). Masyhuri dan Zainuddin (2008) menyatakan jenis data yang diperoleh dapat berupa naratif dan deskriptif, dokumen pribadi, catatan lapangan, dan artefak. Data yang

dikumpulkan bersifat kualitatif yang dikategorikan dalam dua jenis data, yaitu data deskriptif dan data gambar.

Struktur organisasi masyarakat dapat dilihat dari hierarki, kronologi terbentuknya struktur organisasi ini, serta peran masing-masing anggota di dalamnya. Tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela yang dilihat dari beberapa aspek yaitu sejarah, orientasi, hierarki ruang luar, kepercayaan, topografi, dan kondisi alam. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling yang dilanjutkan dengan teknik snowball sampling.

Sejarah Permukiman Adat di Desa Nggela

A Nggoro, isterinya Ni Mbuja serta keempat anaknya A Nogo, A Tori, Ni Nggela dan A Nira merupakan keluarga pertama yang membuka lahan di Desa Nggela sebagai tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu A Nggoro akhirnya membangun dua rumah lagi untuk anak-anaknya (Wora 2008). Beberapa waktu kemudian mulai berdatangan keluarga A Tua, A Meko, dan A Ame Ndoka yang kemudian membangun rumah disekitar rumahnya A Nggoro. Mereka kemudian membangun sebuah altar yang dijadikan tempat untuk melakukan upacara-upacara adat yang berlokasi di tengah-tengah kampung kecil ini yang biasa disebut dengan Kanga Ria.

Setelah beberapa tahun kemudian ada sebuah kapal dari dari Jawa yang yang dikepalai oleh A Jaya berlabuh di pantai Nggela dan secara tidak sengaja bertemu dengan Ni Nggela yang merupakan anak dari A Nggoro. Karena terjadi kesalahpahaman maka A jaya harus menikah dengan Ni Nggela dan membangun rumah di Selatan dari rumah-rumah sebelumnya dan berada di depan dari rumah tinggal Ni Nggela. A Nggoro yang meilhat kecerdasan dari A Jaya akhirnya menyerahkan kekuasaan dan posisi pemimpin kepada A jaya. Sehingga secara otomatis A Jaya merupakan pemimpin utama dalam permukiman adat ini yang kemudian diturunkan kepada anak cucunya sampai dengan saat sekarang.

Pada abad ke-16 bangsa Portugis masuk ke Indonesia dan pada saat masuk ke pulau Flores dan karena perang yang terjadi saat itu, mereka melarikan diri sampai pada pantai Nggela dan masuk sampai ke Desa Nggela. Mereka kemudian meminta ijin kepada pimpinan Desa saat itu untuk tinggal dan menetap di Desa Nggela, setelah diberi ijin oleh pemimpin Nggela saat itu, kemudian mereka menjemput keluarga yang berada di Malaka untuk ikut menetap di Desa Nggela. Bangsa Portugis kemudian menempati wilayah di sebelah Selatan dari rumah A jaya yang sudah menjadi pemimpin saat itu.

Permukiman Adat di Desa Nggela

Desa Nggela, khususnya wilayah permukiman adatnya, merupakan kawasan budidaya utuk permukiman (Bappeda Kabupaten Ende 2011). Desa Nggela ini dipimpin oleh seorang kepala desa dan juga seorang pemimpin adat yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan Mosalaki Pu’u.

Secara geografis, batas Desa Nggela sebelah Utara oleh Desa Pora, sebelah Timur dibatasi dengan oleh sungai yang biasa disebut dengan Ae Wala dan Desa Wologawi, sebelah Selatan dengan Laut Sawu, dan sebelah Barat dengan sungai yang biasa disebut dengan Ae Ba’i dan Desa Nuamulu. Mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani, peternak, nelayan, dan juga ada yang bekerja di kantor pemerintah desa serta guru. Namun sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.

Masyarakat Nggela pada umumnya memeluk agama Katolik, namun sebelum masuknya agama Katolik masyarakat Desa Nggela menganut kepercayaan animisme.

Permukiman adat di Desa Nggela ini walaupun masih mempertahankan keasliannya, namun untuk mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan air telah dipasang pipa-pipa untuk didistribusikan ke rumah-rumah. Sumber air yang mengalir ke permukiman adat ini berasal dari mata air Ae Wando yaitu salah satu mata air yang ada di Desa Nggela. Selain itu ada juga mata air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang biasa disebut Ae Nggela. Air ini tidak didistribusikan ke permukiman adat karena posisi Ae Nggela ini berada pada ketinggian yang lebih rendah dari pada permukiman adat. Selain kedua mata air ini dan pendistribusiannya ke permukiman adat, untuk penerangan pada malam hari, listrik sudah masuk ke dalam permukiman adat ini.

Dalam permukiman adat ini terdapat beberapa elemen, rumah-rumah maupun elemen-elemen lain yang pada umumnya dikeramatkan oleh masyarakat karena faktor peninggalan dari nenek moyang mereka. Elemen-elemen dalam permukiman adat ini adalah sebagai berikut: (1) 14 buah rumah adat inti; (2) 7 buah rumah adat pendukung; (3) 16 buah rumah penduduk biasa; (4) Kanga Ria (tempat upacara adat yang terdapat kuburan nenek moyang dan Tubumusu sebagai lambang dari kehadiran Allah); (5) Puse Nua (simbol pusat dari permukiman adat); (6) Rate Lambo (kuburan nenek moyang yang berbentuk perahu); (7) Kopo Kasa (pagar batu sebagai pembatas permukiman adat). Selain elemen-elemen yang sudah disebutkan, terdapat juga beberpa batu yang tersebar di tengah-tengah permukiman yang dikeramatkan dan tidak boleh diinjak ataupun disentuh oleh siapapun.

  • 1.    Orientasi dan Topografi Permukiman Adat di Desa Nggela

Pada umumnya di Kabupaten Ende orientasi permukiman adat adalah pada arah Gunung Lepembusu yang berada di sebelah Utara dan arah yang berlawanan yaitu laut di sebelah Selatan dengan main entrance berada di sebelah Utara permukiman adat. Permukiman adat ini berada di dekat daerah curam di sebalah Timur dan Selatan, permukiman penduduk biasa di sebelah Barat dan berada di tengah-tengah antara gunung dan laut.

U

♦ Main entrance

⅜ Daerah curam

Permukiman Penduduk

Daerah curam

Ga mbar 1. Orientasi dan topografi permukiman adat Sumber: dikembangkan dari data Google Earth, 2013


Gambar 2. Topografi horisontal


  • 2.    Sirkulasi permukiman adat di Desa Nggela

Pada permukiman adat terdapat ruang tengah yang merupakan ruang kosong dengan beberapa elemen sakral dan pada umumnya rumah-rumahnya menghadap ke ruang tengah ini, lihat Gambar 3, kecuali salah satu rumah adat yang bertugas untuk memantau daerah pantai sehingga arah hadapnya ke arah laut/Selatan. Ruang luar yang berada di tengah-tengah permukiman ini pada umumnya jarang digunakan oleh masyarakat untuk bersosialisasi atau melakukan aktifitas lain, selain terdapat elemen-elemen sakral di sekitarnya, juga terdapat batu-batu keramat dan biasanya ruang luar ini digunakan untuk kegiatan adat saja.

Sesuai dengan orientasi dan kondisi topografi permukiman adat ini dapat dilihat adanya suatu sumbu axis yang membentuk pola pada permukiman adat ini. Sehingga pola yang terbentuk pada permukiman adat ini merupakan pola linear dengan pusat aktivitas upacara adat berada di tengah antara dua deretan rumah adat. Seperti yang dikatakan oleh Ching bahwa sumbu merupakan sarana dasar dalam organisasi bentuk dan ruang yang berupa suatu garis yang terbentuk oleh dua buah titik di dalam ruang (Ching 2000). Dalam sumber yang sama, Ching mengatakan bahwa kondisi bersumbu dapat muncul tanpa menghadirkan keadaan simetris, secara stimulasi keadaan simetris tidak dapat muncul tanpa adanya sebuah sumbu yang membentuknya (Ching 2000).

Keterangan:

A. Arah hadap

B. Sirkulasi

C. Sumbu axis

Gam bar 3. Sirkulasi permukiman adat   Gambar 4. Sumbu axis permukiman adat

Sumber: dikembangkan dari data Google Earth, 2013

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa ruang tengah pada permukiman adat ini bersifat mengikat karena arah hadap rumah-rumahnya mengarah ke ruang kosong ini. Hal ini disebabkan karena kegiatan ritual yang dilakukan di tengah-tengah permukiman adat. Selain itu dengan arah hadap tiap rumah di permukiman adat juga mencerminkan sifat kekeluargaan dan keakraban dalam masyarakatnya.

Pada Gambar 4 menunjukkan sumbu axis yang membentuk pola permukiman adat ini. Sumbu axis yang pada umumya berbentuk linear seperti yang telah diungkapkan Ching, apabila dilihat pada permukiman adat ini sumbu axis tidak sepenuhnya berbentuk linear dan sedikit menyerupai lengkungan. Namun pada dasarnya tetap berbentuk linear, karena pada jaman dahulu, masyarakat tradisional tidak mengenal adanya sumbu axis yang berbentuk garis lurus. Masyarakat tradisional membangun tempat tinggalnya berdasarkan

keyakinan mereka akan sesuatu yang bersifat suci dan juga penyesuaian dengan kondisi alam disekitarnya.

  • 3.    Zona makro dan zona mikro

Pada umumnya masyarakat di Desa Nggela bermata pencaharian sebagai petani, sehingga terdapat sawah dan ladang sebagai sumber untuk mendapatkan makanan tiap hari. Letak dari sawah dan ladang berada mengelilingi permukiman penduduk di Desa Nggela. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5 yaitu pembagian zona secara makro di Desa Nggela. Sedangkan zona secara mikro yaitu penzoningan pada permukiman adat yang berada di tengah Desa Nggela. Zonasi yang dilakukan pada permukiman adat ini lebih mengarah pada zonasi secara fungsi dan aktivitas yang dilakukan. Semakin ke tengah maka sifat zona semakin bersifat sakral serta aktivitas ritual yang dilakukan di tengah Desa Nggela secara makro, dan Kanga Ria (altar adat) secara mikro.

Keterangan:  A. Permukiman adat

B. Permukiman penduduk biasa

C. Sawah dan ladang

D. Zona inti

E. Zona sosialisasi

F. Zona perumahan adat


Gam bar 5. Zona makro


Gambar 6. Zona mikro


Sumber: dikembangkan dari data Google Earth, 2013

Zona makro dan zona mikro apabila dihubungkan maka dapat disimpulkan bahwa zonasi ini bersifat memusat. Kedua zona ini, pada bagian pusat merupakan bagian inti. Pada zona makro merupakan permukiman adat yang merupakan permukiman awal, sedangkan pada zona mikro merupakan wilayah ini tempat berlangsungnya upacara-upacara adat dan tempatnya elemen-elemen permukiman yang dikeramatkan.

Struktur Organisasi Masyarakat Permukiman Adat di Desa Nggela

Berdasarkan hasil wawancara yang di lapangan, ke-16 Mosalaki yang tinggal di 14 rumah adat inti serta perannya masing-masing adalah:

  • 1.    Mosalaki Ine Ame dari rumah adat Sa’o Labo

Mosalaki Ine Ame atau Mosalaki bapak mama yaitu Bapak Lambertus Muda yang menurut sejarah merupakan orang pertama yang mulai tinggal di Nggela sehingga beliau merupakan orang pertama dalam struktur organisasi masyarakat Nggela. Namun kekuasaannya sudah diberikan kepada anaknya Mosalaki Pu’u sehingga beliau hanya bertugas mengawasi dan mengontrol kerja dari Mosalaki Pu’u. dan Mosalaki-Mosalaki lainnya

  • 2.    Mosalaki Pu’u dari rumah adat Sa’o Ria

Pada umumnya dalam struktur organisasi masyarakat Nggela yang dikatakan orang nomor satu adalah Mosalaki Pu’u yaitu Bapak Gabriel Mane karena dalam upacara-upacara adat yang dilakukan Mosalaki Pu’u yang memulai dan juga memimpin karena sudah diberikan kuasa penuh oleh Mosalaki Ine Ame. Selian itu Mosalaki Pu’u berperan dalam menobatkan atau melantik Mosalaki-mosalaki dan memberikan sesajian di beberapa tempat yang dikeramatkan.

  • 3.    Mosalaki Ria Bewa dari rumah adat Sa’o Leke Bewa

Merupakan Mosalaki yang betugas sebagai hakim untuk mengatasi masalah-masalah pelanggaran adat di Desa Nggela. Beliau yang menginterogasi tersangka namun keputusan sangsinya pada Sa’o Ria.

  • 4.    Mosalaki Turu Tena Nata Ae dari rumah adat Sa’o Ria

Mosalaki yang bernama Bapak Thomas Nggomba ini merupakan Mosalaki pada bagian Tenda/ teras dari Sa’o Ria yang bertugas menerima tamu sebelum memasuki Sa’o Ria. Mosalaki Turu Tena Nata Ae ini merupakan salah satu Mosalaki yang secara bersama-sama dengan Mosalaki Pu’u untuk memulai dan merencanakan upacara adat dan jadwal pelaksanaannya.

  • 5.    Mosalaki Ruu Tuu Jaga Tau Rara dari rumah adat Sa’o Ria

Mosalaki ini bernama Bapak Leo Mbulu yang merupakan Mosalaki yang menyelesaikan masalah-masalah pelanggan yang dilakukan oleh masyarakat dan memberikan sangsi pada orang yang melakukan pelanggaran.

  • 6.    Mosalaki Tau Kowe Uwi dari rumah adat Sa’o Meko

Mosalaki ini selain menjabat sebagai Mosalaki dari Sa’o Meko, beliau juga merupakan kepala Desa Nggela yaitu Bapak Laka Doane Marianus. Mosalaki ini berperan dalam menjaga atau lebih tepatnya memantau Kanga Ria, agar tidak disalahgunakan orang yang tidak berkepentingan di dalamnya.

  • 7.    Mosalaki Dai Ulu Nua dari rumah adat Sa’o Tua

Posisi rumah adat yang dihuni oleh Mosalaki Pelipus Buga ini berada di sebelah Utara permukiman adat sehingga tugasnya untuk mengantarkan tamu ke Sa’o Ria dan juga menjaga pintu masuk ke permukiman adat.

  • 8.    Mosalaki Tau Piara Nggo Lamba dari rumah adat Sa’o Pemoroja

Mosalaki yang bernama Raimundus Redu ini bertugas untuk menjaga dan merawat gong dan alat musik sejenis ketipung/bongo sebagai alat musik yang digunakan dalam upacara-upacara adat.

  • 9.    Mosalaki Tau Tunu dari rumah adat Sa’o Ndoja

Mosalaki yang bernama Alo Poto ini bertugas untuk menjaga dan merawat Keda yang merupakan tempat musyawarah bagi para Mosalaki namun sampai pada saat sekarang Keda belum dibangun kembali oleh masyarakat di Desa Nggela.

Ke-9 Mosalaki ini merupakan Mosalaki inti dalam struktur organisasi masyarakat dan harus hadir dalam tiap upacara adat, terutama upacara-upacara adat besar. Sedangkan ke-7 Mosalaki berikut ini adalah Mosalaki pendukung yang bertugas untuk membantu ke-9 Mosalaki di atas dalam melaksanakan upacara-upacara adat. Ke-7 Mosalaki ini adalah sebagai berikut:

  • 10.    Mosalaki Ndeto Au 1 dari Sa’o Ame Ndoka

Merupakan salah satu Mosalaki yang datang di awal terbentuknya Desa Nggela bersama dengan keluarga Sa’o Meko. Mosalaki ini memiliki tugas untuk

memberikan keputusan layak atau tidaknya denda yang diberikan orang yang melakukan pelanggaran dan biasanya berupa seekor babi.

  • 11.    Mosalaki Gao Lo Kaka Taga dari Sa’o Sambajati

Peran dari Mosalaki ini lebih kepada peran dalam upacara adat sehingga pada dasarnya Mosalaki ini bertugas untuk membantu Mosalaki-Mosalaki lain dalam melaksanakan upacara adat.

  • 12.    Mosalaki Tau Dai Ulu Ae dari Sa’o Wewa Mesa

Merupakan Mosalaki yang bertugas untuk memantau ke arah pantai apabila terdapat kapal asing yang mendekati pantai Nggela karena merupakan rumah adat satu-satunya yang arah hadapnya ke arah Selatan.

  • 13.    Mosalaki Ndeto Au 2 dari Sa’o Bewa

Peran dari Mosalaki ini adalah untuk menentukan layak atau tidaknya denda yang diberikan orang yang melakukan pelanggaran.

  • 14.    Mosalaki Bei Nggo dari Sa’o Watu Gana

Peran dari Mosalaki ini adalah untuk memainkan alat musik pada saat tertentu. Selain dari itu beliau hanya membantu Mosalaki-Mosalaki lain dalam melaksanakan upacara adat.

  • 15.    Mosalaki Ndeto Au 3 dari Sa’o Embulaka

Peran dari Mosalaki ini adalah menentukan layak atau tidaknya denda yang diberikan orang yang melakukan pelanggaran dan sebagai penjaga permukiman adat di bagian Selatan.

  • 16.    Mosalaki Tau Sani dari Sa’o Tana Tombu

Mosalaki ini berperan sebagai yang membantu Mosalaki lain dalam melaksanakan upacara-upacara adat.

Dari hasil penelitian dan juga wawancara kepada beberapa Mosalaki dalam struktur organisasi masyarakatnya maka dapat disimpulkan bahwa struktur organisasi masyarakat dalam permukiman adat ini di pimpin oleh seorang Mosalaki Pu’u, namun masih dikontrol oleh seorang Mosalaki Ine Ame yang telah memberikan kuasanya sebagai pemimpin sesuai dengan sejarah masyarakat di Desa Nggela. Bentuk dari struktur organisasi ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Bentuk struktur organisasi masyarakat

Pada Gambar 7 dapat dilihat hierarki dari struktur organisasi masyarakat di Desa Nggela yang pimpin oleh seorang Mosalaki Pu’u yang merupakan pendatang dari Jawa. Namun Mosalaki Ine Ame sebagai orang yang pertama membuka lahan untuk tempat tinggal di permukiman adat ini tetap menjadi orang pertama dan tetap mengontrol semua jalannya upacara adat yang dipimpin oleh Mosalaki Pu’u.

Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela

Pola permukiman adat di Desa Nggela sesuai data yang diperoleh dari kantor Desa Nggela bahwa, Permukiman adat di Desa Nggela terbagi atas 4 kelompok zona yaitu:

  • 1.    Bhisu Deko Ghele (zona periode I)

Bhisu Deko Ghele, lihat Gambar 8, adalah zona bagian Utara dalam permukiman adat yang merupakan zona paling awal dalam sejarah kedatangan nenek moyang masyarakat di Desa Nggela. Batas-batas zona periode I ini sebelah Utara adalah jalan masuk ke permukiman adat, Timur dengan daerah curam, Barat dengan permukiman penduduk biasa, dan sebelah Selatan dengan zona periode II.

Dalam zona ini terdapat rumah-rumah adat inti yaitu: Sa’o Labo, Sa’o Tua, Sa’o Meko, dan Sa’o Ame Ndoka. Selain itu terdapat 4 buah rumah adat pendukung (Poa Paso) dan 6 buah rumah penduduk.

Selain rumah sebagai elemen dalam permukiman adat ini, terdapat Kanga Ria yang merupakan tempat dilaksanakan upacara-upacara adat para Mosalaki yang boleh berada di atasnya. Di atas Kanga Ria ini terdapat Tubumusu yang berupa sebuah batu lonjong dan batu-batu ceper dan kuburan nenek moyang mereka yaitu Mosalaki Ine Ame (Mosalaki bapak dan mama) dan Mosalaki Pu’u (Mosalaki pemimpin).

Dalam zona periode I, ruang luar yang berada di tengah-tengah merupakan ruang yang tidak bersifat umum. Tidak bersifat umum dengan maskud bahwa masyarakat tidak boleh melakukan aktifitas sembarangan di ruang ini. Hal ini dilihat dengan adanya Kanga Ria, Tubumusu, dan kuburan nenek moyang mereka. Selain itu Kanga Ria merupakan tempat dilaksanakan upacara-upacara adat bagi para Mosalaki, sehingga Kanga Ria dan ruang luar disekitaranya bukan untuk masyarakat umum untuk melakukan aktivitas apapun.

  • 2.    Bhisu One (zona periode II)

Bhisu one, lihat Gambar 8, yang merupakan zona yang berada di tengah-tengah atau pusat sesuai dengan arti dari ‘One’ yaitu pusat. Zona ini merupakan zona bagi masyarakat yang berasal dari Jawa sesuai dengan sejarah kedatangan nenek moyang mereka. Zona ini merupakan zona tempat tinggal bagi pemimpin adat permukiman adat di Desa Nggela Batas zona periode II ini adalah: sebelah Utara dengan Zona periode I, Timur dengan zona periode III. Selatan dengan zona periode IV, dan Barat dengan permukiman penduduk biasa.

Dalam zona ini terdapat rumah-rumah adat inti yaitu: Sa’o Ria, Sa’o Pemoroja, dan Sa’o Ndoja, satu buah rumah adat pendukung (Poa Paso) dan sebuah rumah yang tidak diberi nama. Elemen lain dalam zona ini selain rumah-rumah adat terdapat Puse Nua yang merupakan titik pusat permukiman adat yang dilambangkan dengan sebuah batu lonjong dan batu-batu ceper. Terdapat juga sebuah kuburan yang berbentuk perahu (Rate Lambo) yang merupakan kuburan seorang yang dianggap sebagai arsitek pada jaman itu karena berjasa atas pembangunan rumah-rumah adat yang akhirnya masih dipertahankan sampai sekarang. Selain itu terdapat batu-batu yang sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka

yang msih dipertahanan dan tidak boleh disentuh ataupun diinjak oleh siapapun karena akan dipercaya akan membawa kemalangan bagi yang menyentuh atau menginjaknya.

Dalam zona periode II, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat Puse Nua, kuburan perahu, dan selain itu terdapat batu-batu keramat. Hal ini membuat ruang luar dalam zona ini juga tidak bersifat umum bagi untuk masyarakat melakukan aktifitas. selain itu pada ruang luar yang berada di antara deretan rumah adat di sebelah Barat dan Kopo Kasa (pagar pembatas) pada umumnya dilakukan aktifitas keseharian untuk masyarakat misalnya olahraga. Namun pada waktu tertentu ruang luar ini digunakan untuk aktivitas secara adat.

  • 3.    Bhisu Mbiri (zona periode III)

Zona ini merupakan zona yang berada berhadapan dengan zona periode II yang merupakan kumpulan masyarakat asli dari Desa Nggela. Bhisu Mbiri (Gambar 9) menurut Bapak Hani Wadhi (hasil wawancara, 2013) arti dari Mbiri merupakan sebuah nama orang yang digunakan dan akhirnya sampai sekarang tetap digunakan. Zona periode III ini berada diantara zona periode I di sebelah Utara, zona periode II di sebelah Barat, zona periode IV di sebelah Selatan, dan daerah curam di sebelah Timur.

Dalam zona ini terdapat empat buah rumah-rumah adat inti yaitu: Sa’o Leke Bewa, Sa’o Wewa Mesa, Sa’o Sambajati, dan Sa’o Watu Gana dan tujuh buah rumah penduduk dan tidak ada rumah-rumah adat pndukung/ Poa Paso. Dalam zona ini terdapat sebuah batu yang merupakan batu keramat yang berada di depan dari rumah adat Sa’o Watu Gana. Batu ini tidak boleh disentuh ataupun diinjak.

Zona periode III pada umumnya tidak memiliki ruang luar seperti pada zona periode I dan zona periode II. Hal ini disebabkan kondisi dari zona periode III yang berada di dekat daerah curam sehingga ruang luar dalam zona ini hanya disekitar rumah-rumah adat dan rumah penduduk.

  • 4.    Bhisu Embulaka (zona periode IV)

Zona periode IV, lihat Gambar 9, merupakan zona untuk masyarakat yang berasal dari Malaka/ bangsa Portugis yang datang menetap di permukiman adat ini. Bhisu Embulaka yang merupakan bagian kampung bagi orang-orang yang nenek moyangnya berasal dari daerah Malaka. Zona periode IV ini berada diantara zona periode II dan zona periode III di sebelah Utara, permukiman penduduk di sebelah Barat, daerah curam di sebelah Timur dan Selatan.

Dalam zona periode IV ini terdapat rumah-rumah adat inti yaitu: Sa’o Embulaka, Sa’o Bewa, dan Sa’o Tana Tombu. Rumah adat pendukung/Poa paso yaitu Sa’o Tua dan tiga buah rumah penduduk. Selain adanya rumah-rumah terdapat juga sebuah kayu peninggalan dari seorang misionaris dari Portugis yang masih ada dan masih awet hingga sekarang. Kayu ini menjadi kayu keramat karena tidak boleh disentuh ataupun disentuh oleh siapapun.

Dalam zona periode IV, ruang luar yang berada di tengah-tengah tidak terdapat elemen-elemen sakral seperti halnya pada zona periode I dan zona periode II. Sehingga perlakuan masyarakat pada ruang luar zona lebih leluasa tanpa harus kawatir akan menginjak atau menyentuh batu-batu keramat yang tersebar pada ruang luar. Namun, masyarakat tidak melakukan aktifitas sembarangan pada ruang luar di zona periode IV ini dan pada umumnya masyarakat melakukan aktifitas pada ruang luar yang berada di antara rumah

adat bagian Barat dan Kopo Kasa (pagar pembatas). Hal ini untuk menjaga sifat kesakralan dari permukiman adat ini.

Keterangan:

A. Zona Periode I

B. Kanga Ria

C. Puse Nua

D. Kuburan perahu

E. Zona periode II

F. Zona periode III

G. Batu keramat

H. Kayu keramat

I.  Zona periode IV


Gam bar 8. Zona periode I dan II


Gambar 9. Zona periode III dan IV


Sumber: dikembangkan dari data Google Earth, 2013

Dalam permukiman adat ini terdapat dua ruang kosong atau ruang luar yaitu yang berada di tengah-tengah permukiman adat dan yang berada diantara deretan rumah-rumah adat dibagian Barat dan pagar pembatas (Kopo Kasa). Ruang pada tengah-tengah permukiman adat ini jarang digunakan untuk aktifitas umum karena adanya elemen-elemen sakral disekitarnya. Sedangkan ruang diantara deretan rumah-rumah adat dibagian Barat dan pagar pembatas biasa digunakan untuk tempat berolahraga untuk para pemuda, lihat Gambar 10.

Keterangan:  A. Ruang luar utama

B. Ruang publik

C. Ruang sakral

D. Ruang transisi

E. Ruang profan


Gam bar 10. Ruang luar


Gambar 11. Hierarki ruang luar

Sumber: dikembangkan dari data Google Earth, 2013

Gambar 10 memperlihatkan ruang pada tengah-tengah permukiman (A) dikategorikan sebagai ruang luar utama. Dalam ruang A terdapat elemen-elemen yang dikeramatkan dan tempat untuk aktivitas adatnya, sehingga perlakuan masyarakat berbeda pada ruang ini karena mereka tidak bisa sembarangan beraktivitas di dalamnya. Apabila penduduk yang berada di Utara permukiman adat hendak ke arah pantai, mereka cenderung mengambil jalan di samping permukiman adat. Sedangkan pada ruang B dikatakan ruang publik karena tempat untuk para pemuda bersosialisasi dengan melakukan olahraga dan lain-lain, dan juga tidak ada larangan untuk jalan melalui ruang ini. Seperti yang dikatakan oleh Laurenz bahwa ruang publik adalah area terbuka yang dapat dicapai oleh siapa saja pada waktu kapan saja dan tanggung jawab pemeliharaannya kolektif (Laurenz 2004). Namun ruang publik ini bersifat tertutup, hanya dibuka pada saat adanya upacara adat.

Gambar 11 memperlihatkan korelasi antara sifat ruang luar dan tata zonasi permukiman adat dan terdapat ruang sakral, ruang transisi, dan ruang profan. Bertens mengatakan bahwa bagi orang beragama ada bagian ruang yang sakral, berarti bagian-bagian ruang yang penuh dengan kekuatan, di samping bagian-bagian ruang lain yang tidak bersifat sakral dan akibatnya tidak mempunyai struktur dan keteguhan (Bertens 2003).

Peranan Struktur Organisasi Masyarakat dan Tata Zonasi terhadap Permukiman Adat di Desa Nggela

Adanya struktur organisasi dalam masyarakat di Desa Nggela berpengaruh pada kelangsungan hidup mereka. Hal ini dilihat dari adanya upacara-upacara adat yang dilakukan disepanjang tahun yang berhubungan dengan keyakinan masyarakat akan kesejahteraan hidup mereka. Dalam upacara-upacara adat yang dilakukan, fungsi dari tiap pemimpin/mosalaki dalam struktur organisasi yang memiliki peranan yang penting. Tiap pemimpin dalam permukiman adat ini memiliki tugas masing-masing yang harus dilakukan. Sebagai pemimpin masyarakat mereka harus memulai upacara-upacara adat dari upacara meramalkan cuaca dan meramalkan hasil panen, sampai pada musim panen raya. Hal ini merupakan upacara-upacara adat yang sudah dilakukan sejak jaman nenek moyang mereka dan harus tetap dilaksanakan sampai sekarang demi kesejahteraan hidup masyarakat di Desa Nggela.

Peranan struktur organisasi dalam permukiman adat di Desa Nggela ini sangat besar pengaruhnya, sehingga struktur organisasi ini bersifat tetap dan abadi yang artinya tidak dapat berubah-ubah. Karena keyakinan masyarakat akan adanya roh leluhur yang diwakili oleh para Mosalaki dalam permukiman adat ini maka dapat dikatakan bahwa struktur organisasi masyarakat memiliki peranan dalam kelangsungan hidup masyarakat.

Kedudukan tiap Mosalaki dalam struktur organisasi tentunya harus disertai dengan pelaksanaan tugas dan peran masing-masing. Apabila hanya memiliki status sebagai Mosalaki namun tidak melaksanakan tugasnya maka akan diberi sangsi oleh pemimpin utama. Selain itu apabila tugas tidak dilaksanakan maka fungsi dari struktur organisasi ini tidak berjalan dengan baik. Sehingga dapat dikatakan bahwa selain adanya nilai keyakinan atau kapercayaan yang berperan, nilai fungsional dari tiap Mosalaki ini juga turut berperan dalam struktur organisasi ini. Dengan adanya struktur organisasi ini, maka permukiman adat menjadi tempat tinggal para Mosalaki dan tempat mereka melaksanakan tiap upacara adat.

Rapoport mengatakan bahwa salah satu sifat manusia adalah kecenderungan besar untuk melambangkan segala sesuatu yang terjadi padanya dan kemudian bereaksi terhadap simbol dan salah satu perwujudannya adalah pada rumah tinggal mereka serta permukiman (Rapoport 1969). Untuk membedakan masyarakat biasa dan para Mosalaki di Desa Nggela dapat dilihat pada rumah tinggal mereka. Bagi masyarakat rumah tinggal mereka pada umumnya sudah merupakan rumah modern dari bentuk serta bahannya. Untuk para Mosalaki rumah tinggalnya masih alami dari bentuknya sampai bahan yang digunakan, sehingga dapat terlihat jelas perbandingan antara masyarakat biasa dan para pemimpin.

Tata zonasi dalam permukiman adat di Desa Nggela bertujuan untuk membagi wilayah dalam permukiman adat. Menurut sejarah pembagian zonasi ini menurut proses kedatangan nenek moyang mereka. Semakin ke Utara maka zona tersebutlah yang paling awal datang ke Desa Nggela. Tata zonasi ini merupakan pembagian wilayah kepemilikan dari masing-masing sehingga tiap rumah adat dalam zona ini memiliki tanggung jawab terhadap wilayah kepemilikan mereka masing-masing.

Dari penjelasan mengenai keempat zona dalam permukiman adat ini, terlihat bahwa tata zonasi ini sudah bersifat tetap atau permanen. Pola yang terbentuk dari adanya tata zonasi ini tidak bisa diubah, karena merupakan suatu simbol dari kesepakatan yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Nggela tentang adanya pembagian wilayah dalam permukiman adat dengan tujuan tertentu. Selain merupakan simbol adanya kesepakatan pada saat itu, adanya permukiman adat ini dengan pembagian zonasinya merupakan simbol akan keberadaan nenek moyang mereka dan merupakan simbol dari asal usul masyarakat Nggela. Sehingga masyarakat tetap mempertahankan permukiman adat ini baik dari posisi tiap rumah adat dan elemen-elemen sakralnya, maupun keaslian dari permukiman adat ini. Walaupun adanya tata zonasi dalam permukiman adat ini, masyarakat yang berada di dalamnya tetap menjalin hubungan kekeluargaan dan keakraban. Keempat zona dalam pemukiman adat ini saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan dalam permukiman adat di Desa Nggela.

Secara fungsional, tiap zona memiliki tugas dan peran masing-masing dalam menjaga dan mempertahanan kelangsungan hidup masyarakat. Baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, maupun dalam hal pertahankan terhadap bahaya yang datang dari luar.

Hubungan Struktur Organisasi Masyarakat dan Tata Zonasi Permukiman Adat

Awal terbentuknya permukiman adat dan mulai dilakukan upacara-upacara adat, sehingga letak dari Kanga Ria yang berada di wilayah zona periode I hingga sampai sekarang. Dengan bertambahnya jumlah masyarakat dan rumah-rumah yang dibangun semakin ke arah Selatan maka letak Kanga Ria sebagai pusat dilaksanakan upacara-upacara adat tidak lagi terletak pada bagian tengah-tengah permukiman adat.

Apabila dikaitkan dengan beberapa tokoh yang memiliki posisi tertinggi dalam struktur organisasi masyarakat, pada umumnya tokoh-tokoh inti berada dalam wilayah zona periode I dan periode II sebagai dua zona awal terbentuknya permukiman adat ini. Pada zona periode I terdapat: Mosalaki dari Sa’o Labo, Mosalaki dari Sa’o Meko, dan Mosalaki dari Sa’o Tua. Sedangkan pada zona periode II terdapat: tiga orang Mosalaki dalam Sa’o Ria, Mosalaki dari Sa’o Pemoroja, dan Mosalaki dari Sa’o Ndoja. Namun

Mosalaki dari Sa’o Leke Bewa berada di wilayah zona Periode III dan letaknya berada di depan dari Sa’o Ria sebagai rumah adat pemimpin utama.

Pada wilayah periode III dan IV sebagai zona kedatangan setelah periode I dan Periode II tetap memiliki tugas dan peran masing-masing dalam masyarakat guna mendukung dan membantu para Mosalaki-Mosalaki di atas dalam melaksanakan upacara adat dan samasama sebagai pemimpin adat dalam Desa Nggela yang tergabung dalam ke-16 Mosalaki.

Sa’o Tua

Sa’o Labo

Sa’o Meko

Sa’o Ndoja

Keterangan:  A.

B.

C.

D.

D. Sa’o Pemoroja

E. Sa’o Ria

F. Sa’o Leke Bewa


Gam bar 12. Posisi rumah para Mosalaki


Gambar 13. Posisi rumah para Mosalaki

dengan posisi tertinggi

Sumber: dikembangkan dari data Google Earth, 2013

Dari Gambar 12 dapat dilihat posisi rumah-rumah adat para Mosalaki yang termasuk dalam struktur organisasi masyarakat yang terdapat dalam tiap zona dalam permukiman adat di Desa Nggela. Sedangkan pada Gambar 13, merupakan posisi rumah-rumah adat yang termasuk dalam posisi tertinggi dalam struktur organisasinya. Pada zona periode I terdapat Mosalaki Ine Ame dari Sa’o Labo sebagai orang pertama dalam permukiman adat yang mengontrol peran dari pemimpin. Pada zona periode II terdapat Mosalaki Pu’u dari Sa’o Ria sebagai pemimpin yang pada awalnya merupakan pendatang dari Jawa yang sudah diberikan kuasa sebagai pemimpin oleh Mosalaki Ine Ame. Walaupun pemimpin dari permukiman adat ini seorang pendatang, namun posisi orang nomor satu tetap pada posisi Mosalaki yang merupakan pemimpin pertama sesuai dengan sejarah sebagai orang yang memiliki tanah dan penduduk asli dari Desa Nggela.

Selain dua orang Mosalaki sebagai dua yang memiliki peranan penting dalam struktur organisasi masyarakat, terdapat tujuh orang Mosalaki lain dari 6 rumah adat lain, lihat Gambar 11, yang memiliki peranan yang penting dalam struktur organisasinya yang dapat dlihat pada saat diadakan upacara-upacara adat. Ke-9 Mosalaki ini harus ada dalam tiap upacara-upacara adat karena memiliki peran dan tugas masing-masing. Sedangkan ke-7 Mosalaki lain merupakan Mosalaki yang bertugas membantu peran dan tugas dari ke-9 Mosalaki tersebut. Pada umumnya ke-9 Mosalaki yang menduduki posisi-posisi yang lebih tinggi dari ke-7 Mosalaki lain berada pada zona-zona awal sesuai dengan kedatangan nenek moyang masayarakat Desa Nggela.

Hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi yang terjadi seperti yang dijelaskan di atas dapat juga dikaitkan dengan kosmologi dari permukiman adat ini. Secara kosmologi, posisi dari 9 Mosalaki ini berada pada 3 zona utama. Zona I yang berada paling Utara dari permukiman adat dan zona II berada di tengah permukiman adat dilihat dari posisi dan nama dari zona tersebut yaitu Bhisu one yang artinya pusat dan zona III untuk Mosalaki selaku Hakim. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa secara kosmologi zona I yang merupakan zona paling Utara dalam permukiman adat merupakan zona sakral apabila dilihat dari sejarah, elemen permukiman, aktivitas adat, namun dalam hal kosmologi merupakan orientasi utama dengan arah Gunung Lepembusu. Sedangkan untuk zona II merupakan zona yang berada ditengah-tengah permukiman, secara kosmologi sebagai titik pusat yang menghubungkan antara arah Utara-Selatan dalam permukiman adat. Karena merupakan titik pusat dari suatu permukiman adat maka dalam zona II ini terdapat rumah adat pemimpin, beberapa rumah adat yang memiliki posisi penting dalam struktur organisasi.

Dalam sejarah yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa posisi pemimpin dalam struktur organisasi masyarakat diperoleh dari penguasa permukiman awal saat itu yaitu Mosalaki Ine Ame (penasehat/pembimbing) yang menempati zona periode I yang memberikan kuasa sebagai pemimpin kepada pendatang dari Jawa. Sebagai seorang pemimpin, seharusnya berada pada zona teratas yaitu pada zona periode I, namun pada kenyataannya bahwa posisi rumah pemimpi berada di zona kedua dalam permukiman adat. Dalam hal ini walaupun sebagai pemimpin, tapi tiap peran dan tugasnya masih dibawah pengawasan dari Mosalaki Ine Ame (pembimbing/penasehat) sebagai orang yang menyerahkan kekuasaannya sebagai pemimpin dan masyarakat asli kepada Mosalaki Pu’u. Disini dapat dilihat bahwa walaupun sebagai pemimpin tapi tetap merupakan orang pendatang, sehingga kekuasaan tetap masih dipegang oleh penasehat yang merupakan masyarakat asli yang pertama kali membuka lahan sebagai tempat tinggal mereka.

Apabila dikaitkan dengan sifat ruang luar, dalam struktur organisasi masyarakat penasehat/pembimbing berada pada ruang sakral (zona periode I), pemimpin dan hakim berada pada ruang transisi (zona periode II). Sedangkan lain yang termasuk dalam struktur organisasi berada di sekitarnya karena faktor sejarah dan perkembangannya. Dapat dilihat bahwa pengaruh penasehat/pembimbing dalam struktur organisasi sangat kuat dilihat dari posisi tata zonasi permukiman adat ini. Sedangkan posisi pemimpin berada pada zona transisi yang artinya bahwa posisi sebagai pemimpin tetap berada dibawah penasehat sebagai pendiri awal permukiman adat ini dan sebagai masyarakat asli.

Dari analisis mengenai hubungan tata zonasi dan posisi tiap rumah adat inti dengan struktur organisasinya dapat dikatakan bahwa saling mengikat dan mendukung satu sama lain. Secara kosmologi, posisi tertinggi dalam struktur organisasi masyarakatnya berada pada zona paling tinggi dilihat dari arah Utara permukiman adat. Namun apabila dilihat dari hierarki struktur organisasi faktor posisi dan kedudukan tidak berpengaruh, hal ini dilihat dengan posisi pemimpin utama dalam permukiman adat ini yang berada di zona periode II, sedangkan daerah yang dianggap sakral adalah pada zona periode I. Walaupun posisinya sebagai pemimpin, tapi tetap pemimpin ini merupakan pendatang yang artinya bukan berasal dari masyarakat asli. Sehingga pada zona periode I sebagai masyarakat asli dan pertama yang memulai membangun tempat tinggal di permukiman adat ini tetap memiliki peranan yang utama. Hal ini dilihat dari posisi Mosalaki Ine Ame yang termasuk

dalam zona periode I dan juga letak Kanga Ria yang dijadikan tempat dilaksanakannya upacara-upacara adat yang terdapat kuburan Mosalaki-Mosalaki pendahulu dan juga Tubumusu sebagai simbol akan kehadiran Allah.

Kesimpulan

  • 1.    Struktur organisasi dalam permukiman adat terdapat satu orang pemimpin dengan satu orang sebagai penasehat atau pembimbing.

  • 2.    Kekuasaan seorang penasehat/pembimbing lebih tinggi dari pada pemimpin karena faktor sejarah.

  • 3.    Tata zonasi yang terdapat dalam permukiman adat ini terbentuk karena faktor sejarah kedatangan nenek moyang masyarakat Nggela, kosmologi, dan topografi.

  • 4.    Zona makro dan zona mikro dalam permukiman adat ini bersifat memusat sesuai dengan fungsi dari tiap zona.

  • 5.    Pada umumnya status tertinggi dalam struktur organisasi masyarakatnya berada pada zona awal kedatangan nenek moyang mereka dan tugas masing-masing.

  • 6.    Peranan struktur organisasi masyarakat dalam permukiman adat di Desa Nggela dapat dilihat dengan adanya nilai kepercayaan, nilai fungsional, serta nilai secara simbolik.

  • 7.    Hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi dalam permukiman adat di Desa Nggela dilihat dari faktor sejarah, kosmologi, dan juga sifat ruang luar permukiman adat di Desa Nggela.

  • 8.    Hubungan struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat bersifat saling mengikat satu sama lain.

Daftar Pustaka

Baja, S (2012) Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah (Pendekatan Spasial dan Aplikasinya) Yogyakarta: ANDI.

Bertens, K (2003) Keprihatinan Moral Yogyakarta: Kanisius.

BPS (2012) Wolojita dalam Angka Ende: Badan Pusat Statistik, Kabupaten Ende.

Budiman, K (2011) Semiotika Visual Yogyakarta: Jalasutra.

Ching, D K (2000) Arsitektur: Bentuk, Ruang, dan Tatanan Jakarta: Erlangga.

Laurens, J M (2004) Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: Grasindo.

Mashyuri dan M Zaenuddin (2008) Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif Malang: Refika Aditama.

Mbete, dkk (2004) Khazanah Budaya Lokal di Kabupaten Ende Ende: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Ende.

Noeng, M (1996) Metode Penelitian Kualitatif Yogyakarta: Refika Aditama

Rapoport, A (1969) House Form and Cultures Wilwaukee: University of Wisconsin.

Snyder, J C dan Catanese A J (1984) Pengantar Arsitektur Jakarta: Erlangga.

Radja, W T (2008) Sejarah Berdiri Kampung Adat dan Budaya Nggela. Ende.

172

SPACE - VOLUME 3, NO. 2, AUGUST 2016