EKSISTENSI TRADISI BALI AGA

PADA ARSITEKTUR RUMAH TINGGAL
DI DESA PAKRAMAN TIMBRAH

Oleh: Ni Made Swanendri1


Abstract

This article discusses the uniqueness of Bali Aga settlements, focuses its observation on belief systems, house forms, the organization of the surrounding environment, and how these attributes have either evolved or revolutionized for various reasons. Differences in geographical position and social development have in subsequent contributed to the complexity of these attributes and their representations within one village or another. Taking Timbrah Village of Karangasem Regency of Bali as its locus of study, this research finds that minor adaptations have occurred on the lay-outing of the village at a macro level, while revolutionary changes happens at the domestic level. The latter encounter is inevitable following the elimination of karang paumahan (the site where traditionally formed homes are constructed upon). Such a shift is further enabled by an improved financial state of many households which leads to the thriving home-renovation related activities. This however is larger than a mere case of affordability. It is frequented by other grounds including, first, a need for spatial arrangement to comfortably accommodate the current lifestyle of the inhabitants; and second, a necessity to have flexible and multi-function spaces/rooms that can be interchangeably used for both ritual and living purposes. All of these forces have created a firm basis for the erection of non-traditional style buildings, leaving the least, if not zero, concerns in regard to the perpetuation of the bale adat (tradition-based building). Nevertheless, there are two elements of home unique to Timbrah that remain untouched. First is an unfenced sanggah (family shrine), and second is the lelompong/pemedal (entry) for the taksu desa (a female virgin whose presence is required during each ritul ceremony (bali aga ritual) held by the village).

Keywords: bali aga, tradition, taksu, Timbrah village

Abstrak

Keunikan yang dimiliki oleh masyarakat/desa Bali Aga meliputi hampir setiap aspek kehidupan dari sistem kepercayaan, sistem budaya sampai pada perwujudan fisik rumah dan lingkungannnya walau dengan derajat keragaman dan kedalaman yang berbeda antara satu desa dengan lainnya. Tradisi Bali Aga umumnya dilakukan secara konsisten termasuk di Desa Pakaraman Timbrah, Karangasem yang sampai saat ini tetap menjalankan keunikan tradisi adat dan struktur pemerintahan desa. Dari sisi fisik, pada tataran makro, tatanan ruang tradisi masih terlihat walau telah terjadi penyesuaian. Perubahan cepat justru terjadi pada bangunan rumah tinggal yang ditandai dengan semakin berkurangnya karang paumahan yang di dalamnya terdapat bangunan bali/bale adat yang ketika dilakukan renovasi dapat dipastikan dirubah menjadi bangunan dengan style modern atas nama tuntutan kebutuhan ruang, kenyamanan dan fleksibilitas pemanfaatan ruang bagi ritual keagamaan pada tingkatan rumah tinggal. Eksistensi tradisi bali aga pada arsitektur rumah tinggal di Desa Timbrah masih nampak pada karakteristik bangunan sanggah dan adanya lelompong/pemedal taksu yang keduanya berkaitan erat dengan peran salah satu anggota keluarga sebagai (seorang) taksu desa yang merupakan salah satu bagian penting dari pelaksanaan tradisi ritual bali aga.

Kata kunci: bali aga, tradisi, taksu, Desa Timbrah

1


Pendahuluan

Sebelum pengaruh Hindu, di Bali telah berkembang arsitektur yang jika dilihat dari segi tata ruang, tata bentuk, bahan bangunan serta upacaranya berbeda dengan keadaan setelah pengaruh Hindu yang dapat kita saksikan pada desa-desa yang dikategorikan sebagai ‘Bali Aga’. Masyarakat Bali Aga secara umum memiliki tradisi-tradisi yang mengandung keunikan baik yang terkait dengan budaya maupun tempat tinggalnya (Suada, 2003 : 1) atau dalam istilah yang lain perbedaan/keunikan dalam hal pola menetapnya maupun dalam struktur pemerintahannya (Astika, 2011). Beberapa desa yang dalam berbagai tulisan dikategorikan sebagai desa Bali Aga diantaranya : Desa Tigawasa, Desa Sidatapa, Desa Julah, Desa Sembiran, Desa Bulihan di Kabupaten Buleleng; Desa Tenganan, Desa Bugbug, Desa Perasi, Desa Timbrah, Desa Asak, Desa Bungaya di Kabupaten Karangasem; Desa Trunyan, Desa Bayung Gede, Desa Sukawana, Desa Pengotan di Kabupaten Bangli.

Hauser-Schäublin (2008 : 2) mengkategorikan bali aga atau bali kuno sebagai hal-hal terkait yang berasal dari era pre-Hindu dan masih menampilkan unsur-unsur animisme. Secara mendasar dan implisit, prinsip yang mendasarinya adalah keharmonisan dengan alam, meniru alam semesta. Ketika membangun, pada dasarnya manusia membangun (arsitektur) meniru alam baik alam semesta (bhuana agung/ makrokosmos) maupun alam manusia (bhuana alit/mikrokosmos) dan berupaya untuk mencapai keseimbangannya. Ketika telah ada pengaruh Hindu, prinsip dasar tersebut berkembang menjadi berbagai konsepsi, yaitu konsepsi keseimbangan kosmos, konsepsi rwa bhineda (hulu-teban, purusa-pradhana/akasa-pertiwi), konsepsi tribhuana-triangga (swahloka-bwahloka-bhurloka/kepala-badan-kaki), konsepsi keharmonisan dengan lingkungan (pemanfaatan potensi setempat : sumber daya alam, manusia, pola fisik arsitektur).

Keunikan-keunikan yang yang dimiliki oleh desa-desa Bali Aga meliputi hampir setiap aspek kehidupan dari sistem kepercayaan, sistem budaya sampai pada perwujudan fisik rumah dan lingkungannnya termasuk pola spasial walau dengan derajat keragaman dan kedalaman yang berbeda antara satu desa dengan lainnya. Desa Pakraman Timbrah/Timrah, selanjutnya akan disebut dengan Desa Timbrah, yang masuk dalam lingkup wilayah di Desa Pertima, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, merupakan salah satu desa yang dikategorikan sebagai desa Bali Aga yang masih eksis dengan keunikan tradisi adat istiadatnya serta struktur pemerintahan desa, namun mengalami perubahan yang signifikan dari sisi fisik bangunan rumah tinggalnya. Dari sisi tradisi, desa ini sangat terkenal dengan beberapa tradisi uniknya, yaitu : 1) tradisi ngusaba sumbu yang dilaksanakan setiap sasih kasa yang didalamnya terdapat beberapa ritual unik seperti ‘perang jempana’; 2) tradisi ngusaba dalem (dikenal juga dengan ngusaba guling) dimana pada upacara ini akan dihaturkan ratusan bahkan mendekati seribu ekor babi guling karena hampir setiap KK menghaturkan babi guling; 3) upacara ngaben tanpa pembakaran mayat.

Hal yang sebaliknya terjadi pada sisi fisiknya. Dalam tataran desa (makro), desa Bali Aga ini masih nampak menonjol dengan pola linier dimana bale agung menjadi pusat desa dan juga ruang komunal masyarakat serta gang-gang sempit yang menjadi akses ke rumah-rumah warga. Pada tingkatan yang lebih kecil yaitu pekarangan, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan ditandai dengan semakin berkurangnya pekarangan yang masih memiliki bangunan bali / bale adat misalnya ataupun memenuhi tatanan ruang yang sesuai. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian tentang bentuk arsitektur rumah tinggal

masyarakat Bali Aga di Desa Timbrah yang menunjukkan bahwa eksistensi rumah tinggal yang di dalamnya masih terdapat bangunan (tradisional) bali – bangunan bali diindikasikan dengan bale gede dan atau bale sakenem dan atau meten sakakutus dengan tatanan tradisional - semakin sulit untuk ditemui. Dari setiap gang yang ada – yang umumnya terdiri dari 6 sampai 10 pekarangan/rumah - belum tentu dapat ditemui pekarangan/rumah yang di dalamnya terdapat bangunan bali tersebut. Kondisi eksisting dan penelusuran lanjut yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan bali ini justru masih bertahan karena pemiliknya tidak mampu untuk melakukan perbaikan/renovasi. Penelitian ini berhasil menemukenali bentuk-bentuk asli dari arsitektur setempat yang cenderung tampil ‘sederhana’ tanpa ukiran dan beberapa keunikan yang dipengaruhi oleh kegiatan sosial budaya masyarakatnya.

Salah satu keunikan yang ditemui pada (arsitektur) rumah tinggal di Desa Timbrah adalah adanya jalan masuk khusus bagi anggota keluarga yang berperan/diangkat sebagai taksu desa. Tidak ada sebutan khusus bagi jalan masuk ini, masyarakat menyebutnya pintu taksu, pemedal taksu dan atas pertimbangan keberadaannya yang bersifat sementara, penulis cenderung menyebutkannya sebagai lelompong taksu. Kondisi ini adalah khas bagi Desa Timbrah, mengingat hal seperti ini tidak dijumpai pada desa bali aga lainnya seperti Desa Asak maupun Desa Bungaya yang tidak hanya secara geografis terletak bersebelahan, namun juga memiliki tradisi adat yang mirip. Karenanya penting untuk mengetahui lebih detail tentang lelompong atau pemedal taksu ini sebagai (salah satu) wujud eksistensi tradisi bali aga pada arsitektur rumah tinggal di Desa Timbrah yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan Arsitektur Tradisional Bali (ATB).

Gambaran Umum Desa Pakraman Timbrah

Desa Pakraman Timbrah merupakan bagian dari Desa Pertima, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Desa Pertima terletak + 7 km dari ibukota kecamatan dan kabupaten serta + 85 km dari ibukota propinsi serta berada pada ketinggian + 500 dpl dengan luas wilayah 872,599 Ha (Desa Pertima, 2011). Nama Desa Pertima sendiri sebenarnya merupakan akronim dari tiga desa yang berada di dalamnya yaitu Desa Perasi, Desa Timbrah dan Desa Asak.

Berdasarkan cerita-cerita yang turun temurun, secara singkat disebutkan bahwa pada jaman dahulu Desa Timbrah disebut sebagai Desa Pertimah Sari dan dihuni oleh beberapa kelompok warga yang disebut dengan pauman. Pauman Desa merupakan penduduk yang berdomisili pertama, diikuti oleh Pauman Lambuan (diakui sebagai warga dari Apuan Bangli) serta Pauman Manak Yeh dan Pauman Beji (berasal dari keturunan Arya Wang Bang dari Gelgel). Keempat warga pauman inilah yang membentuk satu desa yaitu Desa Timbrah (Dinas Pekerjaan Umum Dati I Bali, 1989 : 29). Dikutip dari Widanti (2010: 4244) bahwa Desa Pakraman Timbrah adalah desa tua atau dikenal dengan desa Bali Aga. Menurut sejarah, desa ini sudah dikenal sejak saka 1118 dengan nama Desa Patimah yang berada di Lebak Apin Geger atau perbukitan yang dihuni oleh penduduk Bali Aga. Pada saat terjadi bencana Gunung Toh Langkir atau Gunung Agung yang meletus beberapa kali sejak tahun saka 1118, banyak penduduk yang berpindah ke lokasi lain. Setelah itu, penduduk dari wilayah lain berdatangan. Pada tahun 1660, datang I Gusti Ngurah Bija dari Gelgel bersama 30 orang dan membeli tanah sawah di Uma Sampyang di sebelah timur Desa Patimah. Selanjutnya pada tahun 1680 I Gusti Anakan Toya juga dari Gelgel membeli sawah di Uma Biyu. Setelah itu, datang I Gusti Ngurah Teja dari Subagan

(yang merupakan anak dari I Gusti Ngurah Dangin dari Abian Susut Bangli) dengan anggota 18 orang. Selanjutnya, Ki Tuhung yang merupakan anak dari I Gusti Ngurah Teja datang ke Desa Patimah dengan anggota 36 orang dan membeli sawah di Uma Beten Nyuh dan Uma Lambuan. Kehadiran penduduk pendatang membawa perubahan. Penduduk Desa Patimah yang berjumlah 75 orang yang disebut sebagai bali mula kemudian membentuk/membangun Pauman Desa, I Gusti Ngurah Bija membangun Pauman Beji, I Gusti Anakan Toya membangun Pauman Manak Yeh dan Ki Tuhung membangun Pauman Lambuan. Pada tahun 1683 diadakan paruman/pertemun untuk membicarakan perencanaan pembangunan dan aci-aci upakara. Sejalan dengan kepentingan pembangunan dan upakara, pada saat itulah kemudian dibentuk banjar dan juga pemaksan seperti yang dikenal sekarang serta Desa Patimah diganti menjadi Desa Timbrah.

Mengacu pada awig-awig desa (Desat Adat Timbrah, 1989 :1), batas-batas wilayah dari Desa Pakraman Timbrah adalah :

  • -  Sebelah Utara

  • -  Sebelah Timur

  • -  Sebelah Selatan

  • -  Sebelah Barat


: Desa Pakraman Asak dan Desa Pakraman Subagan

: Desa Pakraman Jasri/Jasi

: Desa Pakraman Perasi

: Desa Pakraman Bugbud dan Desa Pakraman Tenganan

Gambar 1. Gambaran dan batas wilayah Desa Pakraman Timbrah


Dari sisi wilayah, desa seluas 375.250 Ha ini secara umum merupakan karang ayahan desa. Dari sisi struktur sosial, Desa Pakraman Timbrah terdiri dari tiga pauman, enam banjar dan tiga pemaksan, dengan rincian sebagai berikut :

  • a.    Pauman, terdiri dari : Pauman Timbrah Desa, Pauman Timbrah Beji, Pauman Timbrah Manak Yeh dan Pauman Timbrah Lambuan.

  • b.    Banjar, terdiri dari : Banjar Kaja Kauh, Banjar Kaja Kangin, Banjar Kelod Kangin, Banjar Tengah, Banjar Sesabu Desa dan Banjar Sesabu Tamiu (Banjar Taman Sari; untuk warga pendatang)

  • c.    Pemaksan, terdiri dari : Pemaksan Kaler, Pemaksan Tengah dan Pemaksan Kelod Kangin

Krama atau anggota dari pauman, banjar dan maksan/pemaksan ini terkadang saling bersilangan, namun secara umum keterkaitan diantara ketiganya adalah sebagai berikut (wawancara : Wija, 2015) :

  • -    Krama atau warga Pauman Desa umumnya berdomisili di Banjar Kaja Kauh dan merupakan krama dari Pemaksan Kaler

  • -    Krama atau warga Pauman Beji umumnya berdomisili di Banjar Tengah dan merupakan krama dari Pemaksan Tengah (bersama-sama dengan krama Pauman Manak Yeh)

  • -    Krama atau warga Manak Yeh umumnya berdomisili di Banjar Kaja Kangin dan merupakan krama dari Pemaksan Tengah (bersama-sama dengan krama Pauman Beji)

  • -    Krama atau warga Pauman Lambuan umumnya berdomisili di Banjar Kelod Kangin dan merupakan krama dari Pemaksan Kelod Kangin

Selain mengacu pada aturan-aturan dari pemerintah, tata kehidupan masyarakat Desa Timbrah diatur oleh awig-awig desa yang telah disahkan dan dipasupati pada tahun 1989. Dalam awig-awig tersebut, pada pasal 4 ayat 27 terdapat aturan yang berkaitan dengan bangunan, sebagai berikut (Desa Adat Timbrah, 1989 : 15) :

  • -    Bangunan pada karang perumahan tidak boleh melewati penyengker pura atau banjar

  • -    Bangunan (rumah) dari masing-masing warga desa yang dari arah tebenan diperbolehkan untuk ngungkulin (lewat) ke arah hulu sesuai dengan dresta (tata cara yang berlaku). Menurut bendesa, aturan ini diperkenankan karena secara mayoritas luas karang dari masing-masing paumahan terbatas (wawancara : Wija, 2015), serta melihat dari kondisi di lapangan dimana hampir semua pekarangan mempunyai jebag/pintu masuk pekarangan yang terletak pada arah kelod kauh dan sanggah pada arah kaja kangin, sehingga bagian rumah dari pekarangan yang berada di sebelah barat akan ngungkul/lewat ke arah pekarangan yang ada di sebelah timurnya. Dengan demikian kemungkinan bangunan yang akan ngungkul ke tetangga adalah bangunan sanggah dan atau meten dan atau bale dangin yang akan ngungkul pada bagian barat dari pekarangan tetangganya yang umumnya berupa area kosong atau lumbung atau gudang atau meten, dan bukan pada arah sebaliknya.

  • -    Warga tidak diperkenankan untuk membangun tempat berjualan di area Ielcjakan pura, telajakan banjar ataupun telajakan karang paumahan

Namun demikian, tidak ada bagian dari awig-awig yang menyebutkan atau mengatur secara detil mengenai bagian-bagian dari rumah dalam satu pekarangan ataupun bagian rumah tertentu sebagai tempat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan upacara adat dan keagamaan yang dilangsungkan di dalam karang paumahan.

Taksu dalam Tradisi Bali Aga di Desa Timbrah

Kata taksu dalam konteks budaya dan adat istiadat di Bali secara umum diartikan dan dimaknai sebagai kekuatan atau karisma atau wisesa ataupun pencapaian kualitas yang sempurna terutama jika dikaitkan dengan suatu karya hasil dari aktivitas tertentu. Walau

tidak bergeser jauh dari pengertian kekuatan, kata taksu mempunyai nuansa yang sedikit berbeda dalam konteks pelaksanaan tradisi (upacara keagamaan dan adat istiadat) di Desa Timbrah, Karangasem. Taksu di Desa Timbrah merujuk pada sosok anak perempuan belum akil balik yang diamanatkan tugas suci sebagai salah satu pemuput dan kelengkapan dalam pelaksanaan berbagai aci (upacara dan ritual adat) di Desa Timbrah seperti ngastawaang banten di Pura Piit bersama dengan jero buyut dan jero mangku dan lain sebagainya termasuk dalam aci ngusaba sumbu sebagai salah satu upacara besar yang rutin berlangsung setiap tahun. Keberadaan taksu ini berjumlah dua orang dan ditetapkan oleh prajuru desa melalui pendekatan dan penunjukkan oleh prajuru ataupun pengajuan dari keluarga ataupun pauman. Secara umum, syarat dari seorang taksu adalah anak perempuan yang belum akil balik, usia minimal 8 atau 9 tahun, bersedia mengemban tugas sebagai taksu sampai yang bersangkutan akil balik dan atau menginjak sekolah SMP (wawancara : Wija, 2015). Persyaratan masa tugas sampai yang bersangkutan maksimal menginjak SMP ditambahkan lima tahun belakangan sebagai bentuk kompromi agar kegiatan sekolah SMP yang umumnya berlokasi di luar Desa Pertima tidak terganggu akibat yang bersangkutan sering tidak hadir di kelas/ijin akibat bertugas sebagai taksu.

Gambar 3. Sosok taksu di diapit oleh klian deha, bersama dengan prabagus dan para jero buyut, berada di barisan depan (pemucuk) dari kegiatan mepeed dalam rangkaian aci ngusaba sumbu

Selama masa tugas sebagai seorang taksu, anak perempuan yang ditugaskan tersebut akan mengalami perubahan terkait pengaturan tempat tidur dan akses di rumah yang bersangkutan. Seorang yang telah ditetapkan sebagai taksu diberi keistimewaan sekaligus kewajiban untuk keluar masuk ke dalam kamar tidurnya melalui natar/natah sanggah. Secara tradisi, seorang taksu akan menempati bale dangin atau bale meten yang berada di bagian timur pekarangan sebagai kamar tidurnya mengingat bangunan ini yang mempunyai jarak paling dekat dengan sanggah. Tradisi bali aga ini membawa konsekuensi tidak adanya penyengker/pagar antara sanggah pada keempat sisinya dan terutama sisi selatan serta adanya pemedal taksu atau lelompong (karena sifatnya sementara) yang dibuat pada dinding sisi utara dari bale gede/bale dangin atau meten yang di timur. Ketiadaan penyengker sanggah ini ditemui tidak hanya pada karang yang anggota keluarganya pernah mengemban tugas sebagai taksu saja namun di hampir setiap pekarangan mengingat kemungkinan adanya anggota keluarga yang mengamban tugas sebagai taksu cukup besar merujuk pada masa tugas taksu yang relatif pendek 2-4 tahun.

Arsitektur Rumah Tinggal Desa Pakraman Timbrah

Secara harfiah rumah diartikan sebagai suatu bangunan untuk tempat tinggal (Poerwadarminta, 1982 : 836), serta sebagai suatu bangunan yang berlantai, berdinding

dan beratap, berpintu dan berjendela, tempat diam orang, bermacam-macam bentuk dan ukurannya serta bahan pembuatnya (Badudu, 1996 : 1183). Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta aset bagi pemiliknya (Pemerintah RI, 2011:4). Dari pemahaman rumah secara harfiah saja telah tercermin bahwa rumah akan terkait tidak hanya dengan letak, ruang, bentuk atau hal-hal yang menyangkut fisiknya semata, namun juga dalam non fisik yang umumnya merupakan hal yang lebih kompleks seperti : status sosial, ekspresi dari eksistensi penghuninya, perkembangan kehidupan penghuninya, faktor ekonomis dan sebagainya. Dari sisi fisiknya sendiri, rumah bukanlah sesuatu yang sekali jadi, rumah akan senantiasa berkembang mengikuti dinamika penghuninya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Patra (1992 : 23-26) yang menyatakan bahwa rumah tradisional Bali berlatar belakang penyelarasan hubungan antara manusia dan alamnya yang didalamnya akan terkandung aspek nilai budaya, aspek kepercayaan serta aspek status sosial.

Dalam tingkatan yang lebih luas, Irwin Altman (1989) menyebutkan bahwa rumah adalah refleksi dari hubungan antara kebudyaan dan lingkungan. Rumah merupakan sebuah refleksi dari berbagai segi kebudayaan dan rumah adalah suatu tempat di mana kita bisa melihat bagaimana sebuah kebudayaan terhubungkan dengan lingkungannnya. Desain rumah akan mengindikasikan : 1) iklim dan faktor lingkungan; 2) tingkatan sumber-sumber teknologi yang tersedia; 3) struktur keluarga dan sistem kekerabatan; 4) agama, kosmologi dan pandangan hidup yang dianut. Dengan demikian peran kebudayaan dalam bentuk rumah akan tampak jelas dari keterlibatan segi-segi budaya yaitu kosmologi, agama serta struktur keluarga dan struktur sosial; dan sebaliknya rumah akan merefleksikan berbagai segi atau nilai-nilai dari kebudayaan ini.

Desa Pakraman Timbrah sebagai salah desa tua yang ada di wilayah Kabupaten Karangasem mempunyai lalan utama desa yang membelah desa dengan arah utara selatan, sementara jalan-jalan menuju karang paumahan (gang) berada pada posisi tegak lurus terhadap jalan utama atau melintang dengan arah timur barat. Gang-gang ini umumnya mempunyai lebar yang sempit berkisar antara 80 – 100 cm. Gang-gang tersebut menjadi akses bagi karang paumahan pada satu sisi saja yaitu karang paumahan yang berada pada sisi utara gang, dengan demikian hampir semua rumah/karang paumahan yang aksesnya dari gang orientasinya menghadap ke arah selatan.

b. Lebar gang menuju karang paumahan yang umumnya relatif sempit




  • c. Gang yg terlihat pd gambar merupakan akses bagi karang yang ada di sebelah kanan, sementara karang yg di sebelah kiri akan menggunakan akses dari gang yang ada di sebelah selatan/kiri lagi, jadi tidak ada akses menuju

  • a. Posisi gang terhadap jalan utama                          karang yg saling berhadapan

Gambar 2. Posisi dan situasi gang yang menjadi akses menuju masing-masing karang paumahan

Secara umum, bangunan-banguan yang ada dalam karang paumahan telah mengalami perubahan total menjadi bangunan dengan style rumah-rumah yang ada di daerah perkotaanan atau rumah dengan style kantoran (mengacu pada istilah yang berkembang tahun 1980-an), terutama dari sisi tata ruang dan tampilan bangunannya. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya rumah/karang paumahan yang di dalamnya masih terdapat bangunan bali/bale bali (sebutan masyarakat lokal) seperti meten, bale dangin atau bale gede, paon, lumbung sesuai dengan tradisi sebelumnya ketika peneliti melakukan pengamatan sepanjang jalan utama dan ketika secara acak memasuki bebarapa rumah pada lima gang yang berbeda. Dugaan ini diperkuat dengan informasi dari bendesa bahwa sebagian besar memang rumah warga telah berubah, bale meten dan bale dangin atau bale gede telah berganti menjadi unit hunian dengan style kantoran, paon telah berganti menjadi dapur modern sementara lumbung berubah menjadi unit hunian atau bangunan lainnya.

Dari sisi tata letak, secara tradisional rumah-rumah/karang paumahan yang ada di Desa Timbrah diakses dari arah selatan, jadi gang yang melintang timur barat hanya melayani satu sisi saja. Dengan demikain, pintu masuk pekarangan/kori akan terletak pada kelod kauh/barat daya dan tidak ada rumah dalam satu gang yang berhadap-hadapan. Kondisi ini juga dapat menjadi salah satu justifikasi kenapa lebar gang-gang yang ada di seputaran desa mempunyai lebar yang minimal.

Di dalam pekarangan, tata nilai yang dianut sama dengan tata nilai ruang yang dianut oleh daerah atau desa-desa di Bali pada umumnya. Arah kaja kangin menjadi area yang paling utama dan bangunan sanggah sebagai area pemujaan ditempatkan pada bagian ini.

Gambar 3. Bangunan sanggah menempati arah kaja kangin baik pada rumah yang telah berubah total (kiri) maupun yang masi mempertahanlan bale bali (kanan)

Bagian timur dari pekarangan menjadi tempat dari bale dangin yang dari sisi bentuknya dapat bervariasi mulai dari bale gede (bale sakeroras), bale sakenem maupun meten. Pilihan ini ditentukan atas besar kecilnya sikut pekarangan dan juga kondisi ekonomi dari pemilik rumah. Umumnya yang memiliki bale gede adalah orang-orang menempati pekarangan dengan sikut yang lebih luas serta memiliki kemampuan ekonomi yang lebih dari cukup pada saat itu. Pada bagian utara pekarangan akan ditempatkan meten atau sakenem sebagai area untuk tidur dari penghui rumah. Sementara pada sisi selatan dari arah timur ke barat berjajar kandang, paon dan kamar mandi. Jika area masih memungkinkan, pada bagian barat akan ditempatkan lumbung atau bale sakepat sebagai area serbaguna.

a. Tampak bale dangin/bale gede


b. Parba berfungsi u/ memisahkan         c. selain pintu 2 daun di bagian

antara bale sebelah luar dgn dalam     tengah, pd bag. kiri kanan terdpt pintu

1 daun


d. Bale Sakenem dgn pintu di sisi kiri dan kanan, antara bale luar dan dlm disekat oleh parba


e. Bale gede, bale sebelah selatan telah dihilangkan

f. Tampak Depan Paon


Gambar 4. Bebagai variasi tampilan bale bali yang masih dapat ditemui di Desa Timbrah

Lelompong/Pemedal Taksu sebagai Wujud Eksistensi Tradisi Bali Aga

Kesetiaan dan konsistensi masyarakat Desa Pakraman Timbrah dalam mejalankan tradisi bali aga dari sisi upacara dan adat istiadat terasa berbanding terbalik dengan derasnya perubahan yang terjadi pada arsitektur rumah tinggal warganya. Kondisi fisik yang nampak paling menonjol adalah semakin berkurangnya pekarangan yang masih memiliki bangunan bali / bale adat misalnya ataupun memenuhi tatanan ruang yang sesuai. Dari kegiatan penelusuran yang dilakukan justru terungkap fakta bahwa sebagian besar bangunan bali yang masih bertahan justru karena pemiliknya belum mampu untuk melakukan perbaikan/renovasi dan terbaca kuat kesan bahwa jika perbaikan dilakukan bangunan tersebut akan berubah menjadi bangunan dengan style modern seperti yang dijumpai pada sebagian besar karang paumahan yang lainnya.

Kondisi ini tidaklah mengherankan mengingat adanya peningkatan kebutuhan akan jumlah ruang, tuntutan kebutuhan gaya hidup dan kenyamanan serta jika ditelusuri lebih jauh, berbagai tradisi bali aga yang dilaksanakan dengan ‘ketat’ (dengan tingkat kesetiaan dan konsistensi tinggi terhadap tradisi yang berjalan sebelumnya) serta menjadi ciri khas desa ini dilangsungkan di tingkat/tataran desa dan menggunakan ruang komunal desa yang terletak di pusat desa dan terlihat ajeg. Upacara yang dilangsungkan di masing-masing rumah dapat dikatakan sama dengan rumah tangga lainnya di Bali meliputi upacara otonan, pernikahan, kematian dan lainnya yang secara tradisi dari sisi keruangan cenderung bersifat fleksibel dan tidak mensyaratkan suatu tempat yang khusus. Dengan kata lain, keterikatan kegiatan upacara dan adat istiadat pada level rumah tangga terhadap ruang-ruang atau tempat tertentu di dalam karang paumahan sangat lemah kecuali berkaitan dengan keberadaan sanggah. Pengaruh tradisi bali aga pada bangunan rumah tinggal hanya dapat dilihat secara fisik pada bangunan sanggah yang umumnya tanpa penyengker terutama pada sisi selatan, serta adanya pemedal atau lelompong taksu pada tembok utara bangunan bale dangin (bale gede atau meten) yang berlokasi di timur.

Gambar 5. Ketiadaan tembok penyengker antara bale/meten dangin dengan sanggah

Di Desa Timbrah sanggah tidak hanya menjadi tempat untuk melakukan pemujaan tapi juga dapat menjadi akses bagi orang yang diamanatkan tugas suci sebagai taksu. Seorang anak perempuan yang belum akil balik, jika ditunjuk atau mengemban tugas sebagai taksu, wajib ketika masuk dan keluar dari kamar tidurnya melalui natar sanggah. Hal tersebut mempunyai makna penghargaan yang sangat tinggi bagi sang taksu yaitu diberikan keistimewaan untuk memakai natar sanggah sebagai jalan keluar masuknya. Selain sebagai bentuk penghargaan, keistimewaan ini juga dapat dibaca sebagai suatu kearifan lokal penegakan aturan bagi seorang taksu sebagai berikut : pertama, secara tidak langsung memberikan pesan dan tuntutan agar sang taksu senantiasa bertindak dan bertingkah laku yang benar agar tidak mencemari sanggah sebagai bagian yang paling suci dari sebuah rumah; kedua, aturan ini sebenarnya merupakan salah satu mekanisme yang ampuh untuk menegakkan aturan bahwa seorang taksu hanya bertugas sampai yang bersangkutan akil balik (mendapatkan menstruasi pertama kali), karena secara otomatis jika hal tersebut terjadi yang bersangkutan tidak akan melalui natar sanggah menjadi tanda yang sangat jelas bahwa yang bersangkutan harus segera meletakkan statusnya dan dicarikan pengganti. Di setiap waktu akan terdapat dua orang taksu yang akan bertugas sampai yang bersangkutan mendapatkan menstruasi pertama untuk kemudian digantikan oleh anak perempun lainnya.

Tradisi ini membawa konsekuensi ketika dalam suatu keluarga ada anggota keluarga yang bertugas sebagai taksu, bagian utara dari bangunan yang berhubungan dengan sanggah (bale dangin baik berupa bale gede ataupun meten atau kamar yang posisinya di timur; merupakan bangunan yang terdekat dengan sanggah dan memungkinkan sirkulasi yang baik) akan dibuka seukuran pintu sebagai akses keluar masuk sang taksu. Walau berkaitan erat dengan tradisi bali aga yang dijalani, tidak ada sebutan baku bagi akses ini, sebagian menyebut pintu, pintu taksu, pemedal taksu (walau dirasa kurang tepat karena umunya untuk bangunan pura). Bertolak pada sifatnya sebagai bukaan sementara, sebenarnya ada istilah setempat yang dirasa pas untuk digunakan yaitu lelompong (Kata lelompong umum digunakan di daerah Karangasem untuk menyebutkan tembok atau pagar solid yang dilobangi untuk akses sementara). area sanggahpun jarang yang diberikan penyengker dengan maksud agar tidak melakukan pembongkaran penyengker.

Adalah jamak jika pada dinding bagian utara dari bale gede atau meten atau kamar timur yang berada di selatan sanggah nampak bekas lubang (biasanya di tembok kembali tanpa finishing atau ditutup sementara dengan panel/papan) yang menandakan bahwa di rumah tersebut ada anggota keluarga yang pernah mengemban tugas sebagai taksu desa.

Gambar 6. Pintu / Lelompong Taksu pada tembok utara bale gede/ bale dangin

Kesimpulan

Karakteristik rumah tinggal dari suatu karang paumahan di Desa Timbrah adalah sebuah pekarangan/persil yang dikelilingi oleh tembok dan di dalamnya terdapat beberapa unit bangunan. Di bagian kaja kangin dari pekarangan terdapat sanggah yang umumnya tidak mempunyai penyengker dan menempel dengan bangunan yang ada di sebelah selatannya, pada bagian kangin dari pekarangan (dapat) terdapat bale gede/bale sakeroras atau bale sakenem atau meten, pada bagian kaja dari pekarangan (dapat) terdapat bale sakenem atau meten, pada bagian kauh dari pekarangan (dapat) terdapat lumbung atau bale lainnya (multi fungsi), serta pada bagian kelod dari pekarangan (dapat) terdapat lumbung dan atau kandang dan paon/dapur.

Ketika melakukan renovasi atau perbaikan, masyarakat cenderung meninggalkan bentuk-bentuk tradisi. Kebutuhan akan ruangan yang lebih kompak, mahalnya biaya pembuatan dan perawatan, kurangnya pemahaman serta pengetahuan akan bangunan bali serta fleksibilitas pemanfaatan ruang pada ritual keagamaan yang berlangsung di dalam karang paumahan menjadi katalisnya.

Eksistensi tradisi bali aga pada arsitektur rumah tinggal di Desa Timbrah hanya nampak pada bangunan sanggah yang tidak mempunyai penyengker terutama pada sisi selatan serta adanya lelompong taksu yang berada pada tembok sisi utara dari bangunan bale dangin baik berupa bale gede atau meten yang posisinya di timur. Lelompong taksu ini merupakan akses menuju dan keluar kamar tidur dari taksu dengan melewati natar sanggah. Lelompong ini bersifat sementara dan hanya difungsikan selama salah satu anggota keluarga pada karang paumahan tersebut mengemban tugas sebagai taksu.

Daftar Pustaka

Altman, I (1989) Culture and Environment, Cambridge Uniersity Press

Astika, I W (20110 Kelembagaan Budaya di Kabupaten Karangasem (Artikel), <http://ianastika.blogspot.com/2011/01/normal-0-false-false-false.html>

diakses 10 Pebruari 2015

Badudu, J S (1996) Kamus Umum Bahasa Indnesia

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985) Arsitektur Tradisional Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali

Desa Adat Timbrah (1989) Awig-awig Desa Adat Timbrah Kecamatan Karangasem Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem

Dinas Pekerjaan Umum Dati I Bali (1989) Inventarisasi Desa-desa Tradisional di Bali – Buku 1, Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali

Hauser-Schäublin, B dan Ardika, I W (Eds) (2008) Burials, Texts and Rituals : Ethnoarchaeological Investigations in North Bali, Indonesia, Universitätsverlag Göttingen

Parimin, A P (1986) Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village : Environmental Hierarchy of Sacred-Profane Concept in Bali, Disertasi Doktoral pada University of Osaka, Japan (tidak diterbitkan)

Patra, M S (1992) Hubungan Seni Bangunan dengan Hiasan dalam Rumah Tinggal Adati Bali, Jakarta : Balai Pustaka

Pemerintah RI (2011) Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawsan Permukiman

Poerwadarminta, W J S (1982) Kamus Uum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai pustaka

Rapoport, A (1969) House Form and Culture, Prentice-Hall Inc.

Rapoport, A (1982) The Meaning of The Built Environment, California : Sage Publication Inc

Reuter, T A (2002) Custodians of the Sacred Mountains : Culture and Society in the Highlands of Bali, USA : University of Hawaii Press

Schaaremann, r (1986) Tatulingga : Tradition and Continuity, An Investigation in Ritual and Social Organization in Bali, Basel : Kommision bei Wepf & Co. AG Verlag

Suada, I N (2003) Beberapa Desa Unik di Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali

Swanendri, N M dan Manik, I W Y (2014) Sistem Pertahanan Masyarakat Bali Aga Ditinjau dari Konsep Keruangan dan Arsitektur, Laporan Akhir Penelitian Hibah Penelitian Jurusan Tahun 2014 (tidak diterbitkan)

Widanti, N W (2010) Tari Gebug Prawayah pada Rangkaian Hari Suci Galungan Ditinjau dari Nilai Pendidikan Agama Hindu di Desa Pakraman Timbrah Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangsem, Skripsi STKIP Agama Hindu Amlapura (tidak diterbitkan)

156

SPACE - VOLUME 3, NO. 2, AUGUST 2016