MAKNA DAN PERAN KOSMOLOGI

RUANG


SPACE


DALAM PEMBENTUKAN POLA

PERKAMPUNGAN TRADISIONAL SASAK

Oleh: Ni Ketut Agusinta Dewi1

Abstract

Traditional settlement evolves through a long socio-cultural process. It commences with system of thoughts which then lead to the establishment of behavioural norms and codes. When the entire process is disseminated and handed down from generation to generation, it constructs a distinctive identity specific to particular communal entity. As part of a diverse society of the Nusantara (a name after the Indonesian Archipelago), Sasak Communities demonstrate a unique characteristic by their methods in embracing nature into their spatial organization. Socio-spatial forms of these societies are clear representations of their long spatial traditions, unique blend of native belief sistem of Sasak Boda, Hinduism, flourished in their neighbouring Island of Bali, and Islamic (or Islam Watu Telu) influence thrived in Lombok. Similar to the Balinese-Hinduism principles, Sasak Communities crucially take micro and macro-cosmos into consideration in organizing the layout and orientation of their settlement. This directs an arrangement of a well-lined and symmetrical spatial pattern. Founded by these conditions, this study seeks to explore the determining factors that guide the unique spatial structure of Sasak settlements. It summarizes that cosmological principles, the astronomical lining of the sun and the geographical direction of the mountain (Rinjani) are the three determinants, fundamental to the spatial organization of the Sasak Communities.

Keywords: cosmology; spatial formation of a traditional settlement; Sasak community

Abstrak

Hunian dan permukiman tradisional lahir dari sebuah proses sosial budaya yang panjang. Proses tersebut merupakan gagasan pola pikir lalu berkembang menjadi norma-norma perilaku dari masyarakatnya. Ketika proses tersebut diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi, hingga akhirnya membentuk sebuah identitas. Sebagai bagian dari masyarakat tradisional Nusantara, Suku Sasak merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki kekhasan di dalam membaca alam dan mengatur permukimannya. Perwujudan budaya huniannya sangat bertalian erat dengan norma-norma tradisi, percampuran budaya antara sistem kepercayaan Sasak Boda, arsitektur Hindu di Bali dan arsitektur Islam (Islam Watu Telu). Masyarakat tradisional Sasak di Lombok masih berorientasi terhadap kepercayaan makro dan mikro kosmos dalam mengatur tata letak dan arah hadap rumah. Ini membuat masyarakat tradisional ini memiliki pola ruang permukiman yang teratur dan simetris. Berdasarkan fenomena tersebut, studi ini bertujuan untuk memaparkan peran kosmologi pada pembentukan pola permukiman di dusun-dusun tradisional Sasak. Hasil studi menunjukkan bahwa konsep ruang makro masyarakat tradisional Sasak terbentuk berdasarkan konsep filosofi kosmologi dari lintasan matahari dan kesakralan gunung Rinjani.

Kata kunci: kosmologi; pola perkampungan tradisional; Suku Sasak

Pendahuluan

Hunian atau permukiman merupakan salah satu produk budaya yang fenomenal (Rapoport 1969). Rapoport juga meyakini bahwa bentukan fisik dan tata organisasi hunian tersebut juga bertalian erat dengan nilai-nilai sosial budaya yang dijalankan oleh masyarakat penghuninya dan diwujudkan dalam norma-norma tradisi. Dalam

1


pandangannya, selain lingkungan alam, kehidupan sosial budaya merupakan faktor yang lebih dominan dalam menentukan bentuk dan tampilan arsitektur tersebut. Faktor sosial budaya terdiri atas: aspek religi, struktur keluarga, dan sistem kekerabatan serta struktur sosial masyarakat. Religi memiliki aspek simbolik dan kosmologi serta dapat mempengaruhi bentuk, geometri denah, pengaturan ruang, orientasi hunian, dan pada hal-hal tertentu dapat juga mempengaruhi keadaan di sekitar hunian. Keseluruhan aspek ini akan merefleksikan wujud budaya fisik hunian.

Pemahaman secara literasi pada kata tradisional dalam istilah arsitektur tradisional menimbulkan beragam interpretasi. Secara mendasar pengertian tradisi dapat dibedakan menjadi dua konsepsi:

  • 1.    Sebagai sesuatu yang terbatas (bounded object) seperti yang diungkapkan oleh Shils (dalam Kartono, 1998): “It is to last over at least three generations-however long or short- to be a tradition". Jadi, tradisi adalah sesuatu yang dilakukan oleh suatu masyarakat secara terus menerus setelah mengalami seleksi secara alami, minimal tiga generasi;

  • 2.    Tidak mempersoalkan masalah waktu, tetapi lebih menekankan kepada proses yang terjadi, apa yang tetap dan apa yang berubah (meaningfull processes) seperti yang diungkapkan oleh Handler dan Linnekin (1984).

Suatu tradisi kemudian berkembang dan berproses melalui kurun waktu yang panjang, antar generasi. Namun demikian, untuk menelusuri keaslian tradisi masyarakat tradisional Nusantara tidaklah mudah. Masyarakat tradisional Nusantara adalah masyarakat lisan tanpa tulisan (Prijotomo 2006), sehingga pada masa lalu yang berlaku adalah tradisi tutur (oral tradition). Pada proses penurunan cerita, setiap generasi melakukan penyimpangan informasi, baik berupa penambahan maupun pengurangan informasi. Selain itu, dokumentasi tertulis seperti lontar juga memungkinkan timbulnya banyak persepsi. Akhirnya setiap daerah mempunyai cara tersendiri dalam membaca alam, mengatur tempat tinggal, dan membangun permukimannya.

Dengan demikian, untuk mengerti konsep-konsep pola pikir yang abstrak, kepercayaan, budaya, adat istiadat, iklim, dan lingkungan harus dicermati dengan sangat teliti. Jadi, agar terjadi kesamaan persepsi dalam tulisan ini, maka konsep tradisional yang dipakai mengacu pada konsepsi Handler dan Linnekin (1984), sebagaimana juga ditegaskan oleh Dewi (2003:30): “sesuatu yang telah dilakukan secara terus menerus oleh suatu masyarakat pada masa lalu hingga kini tanpa melihat dimensi waktunya serta melihat apa yang bernilai dan masih dilakukan serta apa yang sudah tidak dilakukan lagi.”

Beberapa peneliti asing cenderung menamakan arsitektur tradisional sebagai Arsitektur Primitif untuk membedakan dengan yang modern (Guidoni 1975):“Who have only relatively recently begun to realize that architecture plays a central role in the economic, social, and cultural life population we think of as primitive”. Atau Arsitektur Vernakular, dimana kata vernakular sebenarnya lebih mengacu kepada konsep struktur sosial dan ekonomi seperti yang dikatakan oleh Colquhoun (dalam Kartono 1998): “The word vernacular is equally derived from social and economic concepts. Verna meant slave, and vernacular signified a person residing in the house of his master”. Sebagian lagi ada yang menyebutnya dengan Arsitektur Etnik yang sebenarnya penekanannya pada kesukuan atau suku bangsa tertentu.

Sebagai bagian dari masyarakat tradisional Nusantara, Suku Sasak merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki kekhasan di dalam membaca alam dan mengatur permukimannya. Perwujudan budaya fisik huniannya sangat bertalian erat dengan norma-norma tradisi, percampuran dari akulturasi antara arsitektur Hindu di Bali dan Islam. Masyarakat tradisional Sasak di Lombok masih berorientasi terhadap kepercayaan makro dan mikrokosmos dalam mengatur tata letak dan arah hadap rumah. Ini membuat masyarakat tradisional ini memiliki pola ruang permukiman yang teratur dan simetris. Arah orientasi permukiman dan tata huniannya selalu berorientasi pada posisi Gunung Rinjani yang dipercaya sebagai alam atas dan memiliki hierarki ruang tertinggi. Tata letak ini mempertimbangkan konsep kosmologi dengan menjaga keseimbangan antara lintasan matahari dan posisi Gunung Rinjani yang dipercaya sebagai tempat asal-usul nenek moyang Suku Sasak. Dengan adanya pengaturan pola permukiman berdasarkan sistem kepercayaan ini, maka perkampungan tradisional Sasak memiliki pola yang sangat khas, teratur dan, bahkan simetris, dan pola tersebut masih dipertahankan hingga saat ini. Hal ini dapat dipahami bahwa masyarakat tradisional yang terbentuk dari suatu hunian memiliki pola penataan yang merujuk pada hal-hal yang suci. Tanpa mengabaikan peran faktor-faktor lainnya, religi dan ritual menjadi pusat pertimbangan, sehingga hunian maupun permukiman yang terbentuk menjadi bermakna (Snyder dan Catanese 1984).

Memahami hunian dan permukiman tradisional di Indonesia tentunya berbeda dengan arsitektur rumah tinggal di Barat. Bentuk yang hadir pada arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia selalu dipertalikan dengan makna yang lebih dalam, yang berada dibalik bentukan yang terjadi, tidak berhenti hanya pada yang tersurat atau kasat mata. Penggunaan ruang yang terjadi tidak hanya untuk menampung aktivitas fisik sehari-hari, tetapi juga spritual untuk memperoleh ketenangan batin/jiwa. Apalagi kalau kita memahami makna tersebut dengan pendekatan Emik yaitu melihat suatu gejala dari sudut pandang para pelaku sosialnya, bukan dari para penelitinya (Kartono 1998). Akan banyak aspek yang dapat diungkap dibalik bentukan arsitektur yang terjadi. Konsep permukiman tradisional di Indonesia tidak lepas dari perikehidupan masyarakatnya, sementara dalam tatanan kehidupan mereka masih mengikuti tatanan hidup yang rumit, segala sesuatu serba tersirat, penuh dengan pemaknaan (Mangunwijaya 2009).

Keunikan pada pola perkampungan tradisional ini menjadi menarik untuk diungkap lebih jauh lagi. Bagaimana pemaknaan kosmologi dalam perspektif Suku Sasak? Bagaimana peran kosmologi dalam pembentukan pola hunian dan permukiman suku ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahan ulasan dalam tulisan ini.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, analisis yang digunakan bersifat kualitatif untuk menjelaskan hubungan antara filosofi nilai-nilai spiritual dengan keterkaitannya pada arsitektur, khususnya pola permukiman dan tata letak hunian. Dua dusun tradisional dianalisa berdasarkan letak geografis dan pola perkampungannya sebagai wadah kehidupan masyarakat tradisional Sasak yang masih mempercayai kosmologi sebagai salah satu sistem kepercayaannya. Fenomena ini direpresentasikan oleh dua dusun tradisional yaitu Dusun Sade di Lombok Selatan dan Dusun Segenter di Lombok Utara. Pandangan masyarakat Sasak terhadap hunian dan permukimannya dipelajari dengan studi pustaka sebagai sumber sekunder dikaitkan dengan wawancara dengan para pemuka adat dan warga masyarakat dan nara sumber lainnya.

Makna Kosmologi dalam Perspektif Suku Sasak

Menurut kepercayaan Sasak di jaman kuno, antara zat Yang Maha Kuasa dengan arwah dan alam semesta beserta isinya tidak terpisah. Sebagai bagian dari alam semesta, perubahan yang terjadi di alam semesta juga akan mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia. Maka, manusia berusaha untuk memelihara keselarasan dan keserasian dengan alam semesta agar terjamin ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan di dunia, juga di alam gaib. Pandangan hidupnya bersifat kosmis. Untuk mencapai keselarasan dengan alam, manusia berusaha untuk tidak menguasai alam. Apabila perlu, sebelum melakukan sesuatu, mereka memohon ijin dengan mengadakan upacara persembahan sajen (Sasak: bangaran) yang dipimpin oleh seorang pemangku. Nilai religiusitas ini diwujudkan dalam skala ruang permukimannya. Nilai religiusitas yang berada di antara kehidupan kultural masyarakat kemudian membentuk sebuah struktur pola permukiman (Dewi 2015).

Dahulu Orang Sasak juga percaya bahwa benda-benda yang aneh bentuknya memiliki kesaktian. Awal mula kepercayaan ini dapat dilihat dari sejarah akulturasi religi yang terjadi di dusun-dusun tradisional tersebut. Dusun Segenter misalnya, dahulunya beragama Sasak Boda. Konsep ketuhanan Sasak Boda hanya percaya pada kesakralan benda yang terdapat di alam. Kedudukan manusia dan alam terletak pada satu garis sejajar, namun masyarakat percaya alam memiliki kekuatan yang lebih besar dan manusia harus berlindung serta terus beradaptasi untuk bisa mempertahankan diri (Rayson, dkk 2014).

Selain itu, kesaktian juga dapat menjelma dalam diri orang yang kebal atau dapat meramal, sedang malapetaka menurut kepercayaan mereka dapat disebabkan antara lain oleh orang bero (melakukan incest), yang wujud malapetakanya bisa berupa musim kering yang terlalu lama, tidak ada hujan sama sekali, penyakit menular, dan lain-lain. Adanya pengaruh jelek terhadap manusia akan menimbulkan kepercayaan tentang tabu/terlarang (maliq), bisa berupa binatang, manusia, tanaman, tempat-tempat tertentu (seperti kuburan, mesjid, pesantren, dan lain-lain).

Masuknya pengaruh Hindu Majapahit dengan membawa sistem kasta menyebabkan adanya kepercayaan bahwa alam mendapat kedudukan yang lebih istimewa. Dewa dan roh mulai berperan penting dalam kehidupan manusia. Ketika pengaruh Islam datang, konsep Tuhan Yang Maha Kuasa mulai diperkenalkan. Tuhan menjadi pemimpin, baik itu untuk manusia maupun alam, dan diwujudkan dalam semua panca indra manusia. Ini menyebabkan posisi manusia menjadi istimewa dari sebelumnya, sehingga kedudukan alam dan manusia kembali menjadi sejajar tanpa adanya perbedaan, lihat Gambar 1.

Menariknya, proses akulturasi budaya dengan pengaruh Islam tidak membuat masyarakat tradisional Sasak meninggalkan sistem kepercayaan sebelumnya, Sasak Boda. Masyarakat Islam Watu Telu tetap mempertahankan praktek-praktek dinamisme, animisme, pantheisme, dan antropomorfisme dalam kehidupan sehari-hari. Satu sisi mereka mengakui keberadaan Tuhan dengan segala kekuasaannya. Namun di sisi yang lain, mereka juga mengakui keberadaan beberapa kekuatan dan roh yang mendiami tempat-tempat tertentu dan juga mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.

UbWiVHOH                  TUKAN

Konsep Ketuhanan               Akulturasi Budaya Hindu            Akulturasi Budaya Islam

Sasak Boda

Gambar 1. Konsep keselarasan Manusia-Alam-Tuhan dalam perspektif Masyarakat Tradisional Sasak (Sumber: Rayson dkk 2014:5)

Perwujudan Kosmologi pada Pola Perkampungan Tradisional Sasak

Arsitektur tradisional Lombok banyak kesamaannya dengan arsitektur Bali. Ini terlihat pada pola penataan pekarangan, tata ruang, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, bahkan pada garis besar karakter dan orientasi bangunannya. Karakter Hindu sangat terlihat dengan kuat karena pada masa lalu Lombok pernah menjadi pusat kerajaan Hindu yang sangat berpengaruh. Bangunan yang mempunyai nilai tinggi pada dasarnya mempunyai orientasi Gunung Rinjani dan arah laut. Untuk bangunan masjid mempunyai arah orientasi ke arah kiblat. Arah orientasi ke gunung-laut ini dipengaruhi oleh arsitektur Hindu, yaitu semakin tinggi suatu tempat semakin tinggi nilai kesuciannya (Dewi, 2015).

Berangkat dari filosofi bahwa manusia sebagai makhluk dari alam bawah dalam menciptakan ruang kehidupannya harus menyelaraskan diri dengan alam atas dengan cara berdialog, maka dibutuhkan tempat untuk berdialog tersebut. Tempat tersebut diletakkan di tengah-tengah, merupakan ruang tersendiri. Pola ruang tengah ini diterapkan pada penataan pekarangan kelompok hunian. Ruang tengah (halaman tengah) pada permukiman ini berfungsi untuk komunikasi sosial, disebut natar.

Perkampungan tradisional selalu memilih lokasi dan berkelompok pada daerah yang lebih tinggi dari sekitarnya, biasanya di bukit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan spiritual, permukiman merupakan gambaran dunia kecil (mikrokosmos), cenderung berorientasi ke alam besar (makrokosmos) yang terletak di alam atas. Dengan demikian puncak bukit adalah tempat menghubungkan kedua dunia lebih dekat. Dari segi keamanan fisik, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan. Dari segi kesehatan, relatif lebih baik, lahan lebih cepat kering, drainase lebih lancar, dan aliran udara dapat bersirkulasi. Sebagai penghubung permukiman dibuat jalan setapak dari batu pecah.

Pola perletakan massa bangunan Suku Sasak di Dusun Sade hampir sama dengan di Bali. Perbedaan yang utama terletak pada tempat untuk beribadah. Pola permukimannya dilengkapi dengan masjid karena mereka beragama Islam. Dusun ini awalnya terbentuk dari dusun kecil yang tumbuh semakin sempurna. Mula-mula sebagian kecil keluarga datang dan menetap di sana. Rumah mereka merupakan tempat tinggal darurat yang disebut repoq, dan repoq ini kemudian berkembang menjadi dasan (dusun atau kampung). Satu dasan terdiri atas sejumlah deretan rumah yang disebut suteran. Antara beberapa suteran terdapat pengorong (lorong atau koridor). Kumpulan suteran disebut gubuk, dan di dalam gubuk ada keliang. Tiap suteran diketuai oleh seorang kuteran.

Gambar 2. Pola perkampungan Dusun Tradisional Sasak Sade (Sumber: Dirjen Perkim, 2007:67)

Karena terletak di lereng perbukitan, pola perkampungan Dusun Sade mengikuti garis kontur tanah. Gunung Rinjani yang terletak di sisi utara perkampungan ini diyakini memiliki kekuatan supranatural terbesar di Lombok, tempat bermukimnya Dewi Anjani yang dihormati oleh seluruh masyarakat Suku Sasak. Mereka meyakini bahwa semakin tinggi suatu tempat maka semakin dekatlah manusia dengan langit, Tuhan, dan alam. Oleh karena itu, arah utara yang berorientasi ke arah gunung memiliki hierarki ruang tertinggi dan paling suci, sedangkan sisi selatan yang berorientasi ke laut dipercaya

sebagai tempat yang nilainya kurang suci. Maka, masjid diletakkan pada posisi tertinggi di sisi utara perkampungan sebagai zona yang paling sakral. Sedangkan areal kuburan diletakkan di sisi selatan dan cukup jauh dari perkampungan sebagai area profan yang memiliki nilai ruang lebih rendah. Pola ini sebagai konsekuensi logis dari konsep hierarki Gunung-Laut, dimana posisi Gunung Rinjani di sisi utara dan Pantai Kute terletak di selatan perkampungan.

Pada rumah tinggal masyarakat Dusun Sade, konsep kosmologi ini juga terlihat jelas pada penataan ruang. Bale gunung rate atau bale tani memiliki terbagi atas dua bagian utama: serambi (sesangkok atau sasando) dan dalem bale. Dalem bale terdiri atas dapur sebagai tempat jangkih (tungku) berfungsi untuk memasak dan menyimpan alat dapur (geguluk), dan tempat menumbuk padi, menyimpan tikar (sempare). Dalem bale dan bale dalem adalah bagian yang utama dari rumah tinggal Suku Sasak. Bagian ini memiliki lantai yang ditinggikan karena mempunyai nilai utama, lihat Gambar 3. Tangga (undag) menghubungkan antara serambi dengan dalem bale dengan ketinggian anak tangga sekitar 20cm dan memiliki pintu yang sempit dan rendah. Hal ini dimaksudkan agar untuk memasuki ruang utama penghuni atau tamu harus menghormat dulu karena ruang ini memiliki nilai yang paling utama.

Gambar 3. Ilustrasi bale tani atau bale gunung rate (arah jarum jam)

(1) Gambar potongan bale memperlihatkan bagian lantai yang ditinggikan memiliki nilai utama.

(2) Ilustrasi tampak depan bale yang didominasi dengan bentuk atap yang tinggi.

(3) Ilustrasi denah bale menunjukkan pembagian ruang dengan fungsi-fungsi tertentu.

(Sumber: Miksic and Tjahjono, 2003:124)

Serupa dengan kepercayaan masyarakat Dusun Sade, masyarakat Dusun Segenter yang bermukim di Lombok Utara juga mempercayai Gunung Rinjani yang terletak di sisi selatan perkampungan sebagai suatu hal yang agung, misterius, dan dapat mendatangkan

ancaman jika manusia tidak menjaganya dengan baik. Penataan ruang bermukimnya mengikuti orientasi simbolik dualistik Gunung-Laut, sehingga dusun dibagi menjadi dua zona utama. Zona pertama, yaitu arah selatan dianggap sebagai hulu dan digunakan untuk peletakan tempat tinggal. Sedangkan zona kedua di arah utara dianggap sebagai hilir dan digunakan untuk perletakan area kuburan. Adanya kedua zona tersebut diatas berfungsi sebagai suatu batas terhadap nilai keruangan dimana makin ke selatan, makin memiliki nilai kesakralan yang lebih tinggi.

Dalam pola kepemilikan rumah, konsepsi kesakralan gunung juga terlihat pada tempat tinggal orang tua yang selalu terletak di sebelah selatan jika dibandingkan dengan tempat tinggal anak-anaknya. Begitu pun juga untuk anak yang lebih tua, maka peletakan posisi rumahnya berada pada bagian yang lebih selatan dibandingkan dengan adik-adiknya. Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu orang tua harus menurunkan atau memberikan panutan sifat-sifat luhur pada anaknya.

Sebagaimana umumnya sistem kepercayaan masyarakat tradisional Sasak, orientasi simbolik Gunung-Laut pada tatanan makro diterjemahkan pada tatanan mikro menjadi orientasi arah hadap rumah. Rumah tidak dianjurkan membelakangi gunung atau menghadap gunung. Membelakangi gunung dianggap tidak mempunyai nilai-nilai kesopanan, sedangkan menghadap gunung dianggap menentang atau dalam istilahnya menusuk gunung. Oleh karena itu, hunian mereka memiliki arah hadap barat dan timur. Hal ini memiliki korelasi yang selaras dengan konsep arah hadap matahari.

Dusun Segenter juga mengenal konsep penataan kawasan pemukiman berdasarkan orientasi terhadap lintasan matahari terbit dan terbenam, yaitu arah hadap Timur-Barat. Rumah yang memiliki orientasi hadap pada arah terbit matahari mempunyai nilai yang tinggi dan baik. Demikian sebaliknya, hunian yang berorientasi ke arah matahari terbenam bernilai lebih rendah. Zona tengah merupakan penghubung antara zona tinggi dan zona rendah, sehingga zona ini merupakan zona campuran yang berada pada bagian tengah pekarangan antara dua rumah. Penataan ini diaplikasikan pada letak rumah orang yang lebih tua berada di sebelah timur, dan orang yang lebih muda terletak di bagian barat. Di tengahnya terdapat berugag sebagai wilayah campuran antara yang tua dan muda. Konsep ini juga memiliki filosofi penghormatan kepada yang lebih tua dengan membiarkan sinar matahari pagi lebih dahulu menyinari rumah yang lebih tua, lihat Gambar 4.

Gambar 4. Orientasi arah hadap rumah terhadap matahari (Sumber: Rayson, dkk 2014:7)

Dalam konsep kosmologi, masyarakat Dusun Segenter juga mempercayai adanya kekuatan pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat. Ini adalah bentuk akulturasi religi antara Sasak Boda yang masih mempercayai animisme, konsep Hindu Majapahit yang mengajarkan politheisme dan konsep Islam yang mengajarkan monotheisme, semuanya dilebur menjadi satu di ajaran Islam Wetu Telu.

Konsekuensi logis dari pencampuran kepercayaan ini terlihat dari keyakinan mereka terhadap keberadaan makhluk-makhluk gaib seperti adanya arwah para leluhur dan berbagai makhluk penunggu. Arwah para leluhur yang diyakini adalah arwah dari setiap orang yang telah meninggal, mulai dari zaman Nabi Adam hingga sekarang. Sekalipun arwah para leluhur tunduk kepada Tuhan, masyarakat Dusun Segenter percaya mereka masih memegang peran sebagai penghubung yang mampu menjadi perantara antara yang masih hidup dengan Tuhan. Selain arwah leluhur, masyarakat Segenter percaya akan adanya makhluk penunggu yang diyakini hidup di lingkungan rumah (epen bale) dan lingkungan tempat tinggal (epen gubug), bahkan di setiap tempat seperti sungai, hutan, laut, lahan yang dijadikan tempat bercocok tanam dan pendirian rumah.

Dalam skala mikro yaitu rumah tinggal, mereka memiliki ruang khusus yang digunakan untuk melakukan persembahan dan meletakkan sesajen. Ruangan itu adalah inan bale yang terdapat di tengah rumah, lihat Gambar 5. Di dalam inan bale, masyarakat Segenter membakar dupa dengan harapan dapat berdamai dengan makhluk penunggu rumah hingga bisa terbebas dari segala macam malapetaka. Dalam skala makro, mereka percaya akan adanya makhluk penunggu yang hidup di dalam hutan sehingga dalam radius tertentu di sekeliling hutan tidak boleh dipergunakan untuk kegiatan terbangun.


≡M∞BβJ≡∙ ©2OM®0®u^

RUANG YANG BERSIFAT PROFAN BERKAITAN DENGAN SOSIAE .MASYARAKAT

RUANG YANG BSRSIFAt SAKRAL

RUANG KHUSUS YANCi DICiUNAKAN UNTUK MELAKUKAN PERSEMBAHAN DAN

MELETAKKAN SESAJEN UNTuK MENGHORMATI MAKHLUK PENUNGGU RUMAH

Gambar 5. Inan Bale sebagai ruang sakral dalam hunian tradisional Dusun Segenter (Sumber: Rayson, dkk 2014:7)

Simpulan

Kosmologi berperan sangat besar dalam pembentukan pola perkampungan di dusun-dusun tradisional Sasak. Pembentukan pola perkampungan ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat Sasak yang telah mengalami akulturasi antara sistem kepercayaan sebelumnya (Sasak Boda) dengan pengaruh budaya Hindu dan budaya Islam, atau dikenal dengan Islam Watu Telu. Orientasi hunian masyarakat tradisional Sasak berkaitan erat dengan aspek etika. Masyarakat tradisional ini sangat menghargai

dan menempatkan orang yang lebih tua dan menempatkan mereka di tempat yang lebih baik.

Dalam perwujudan pola perkampungan, penentuan orientasi dan tata letak hunian merujuk pada sistem kosmologi: konsepsi orientasi Gunung-Laut dan orientasi lintasan matahari. Nilai ruang utama pada sumbu Orientasi Gunung-Laut terletak pada daerah gunung (selatan), sedangkan nilai ruang utama matahari berada pada daerah matahari terbit (timur). Sebagai akibat dari penerapan dua konsepsi ini, pola perkampungan kedua dusun ini menjadi teratur. Dusun Sade yang terletak di Lombok Selatan dimana Gunung Rinjani berada di posisi utara perkampungan memiliki pola perkampungan yang linier mengikuti garis kontur tanah perbukitan. Masjid diletakkan di puncak bukit yang berada di sisi utara perkampungan, sesuai dengan posisi Gunung Rinjani yang memiliki nilai ruang tertinggi. Sementara itu, dua arah orientasi ini menyebabkan pola perkampungan Dusun Segenter di Lombok Utara membentuk pola grid dan simetris, dengan bagian paling selatan dianggap sebagai titik keseimbangan dusun.

Daftar Pustaka

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah RI (2007) Perencanaan Rencana Tindak Revitalisasi Permukiman (RTRP) Kabupaten Lombok Tengah. Jakarta: Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman.

Dewi, N K A (2003) ‘Wantah Geometri, Simetri, dan Religiusitas pada Rumah Tinggal Tradisional di Indonesia’ Jurnal Permukiman Natah Vol. 1 No. 1 p: 29-43.

Dewi, N K A (2015) ‘Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah’ Proseding Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun. 22 Desember 2015, Denpasar: Universitas Udayana.

Guidoni, E (1975) Primitive Architecture New York: Abrams, Harry N. Inc.

Handler, R dan Linnekin, J (1984) ‘Tradition, Genuine, or Spurious’ The Journal of American Folklore, Vol. 97, No. 385 (Jul.-Sep., 1984), p: 273-290

Kartono, J L (1998) ‘Pengaruh Kosmologi, Mitologi, dan Genealogi pada Wujud Arsitektur Rumah Tinggal Arsitektur Tradisional di Indonesia’Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 25 Agustus 1998. Surabaya: Universitas Kristen Petra Surabaya.

Mangunwijaya, Y B (2009) Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya beserta Contoh-contoh Praktis Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Miksic, J. and Tjahjono, G. (Eds). (2003) Architecture (Indonesian Heritage, Vol. 6). Singapore: Archipelago Press.

Prijotomo, Y (2006) (re-) Konstruksi Arsitektur Jawa Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Rapoport, A (1969) House Form and Cultures Wilwaukee: University of Wisconsin.

Rayson, Y; A.M. Ridjal; dan Noviani S. Peran Kosmologi terhadap Pembentukan Pola Ruang Permukiman Dusun Segenter,  paper tidak terpublikasi. Malang:

Universitas Brawijaya

Snyder, J C dan Catanese A J (1984) Pengantar Arsitektur Jakarta: Erlangga.

144

SPACE - VOLUME 3, NO. 2, AUGUST 2016