IMPLEMENTASI PERATURAN

RUANG


SPACE


TENTANG TATA BANGUNAN

DI JALAN TEUKU UMAR DENPASAR

Oleh: Putu Tony Marthana Wijaya1

Abstract

Kota Denpasar Local Government has instigated a set of guidelines to regulate urban development. These focus on both space and building design. The objective is to create harmony within its projected cultural environment. The implementation of these regulations however raise serious concerns since current inconsistencies appear to suggest that few prevailing regulations are currently in force. This study has three goals: first to investigate developments that violate existing spatial planning and building design guidelines; second, to research factors that support underlines such violations; and third to suggest such actions as will promote compliance and enforcement of all regulatory practices, both current and future in order to promote the government’s own intention of creating a ‘cultural city in Denpasar. This study uses a qualitative research approach that focuses on hegemonic control and the commodification of space. These factors come into play when there is a clear difference between the issuance of a building permit and the final construct. Inconsistencies frequently appear in regard to the commodification of public space and building facades in general. This is encouraged by two dominant factors. First there is the lack of appropriate control and monitoring by relevant government agencies, and secondly, the absence of sanctions when violation takes place. Here the government can be seen to defeat its own objective of Denpasar as ‘a cultural city.’ This study suggests community participation and sanction constitute a necessary force in removing this contradiction currently prevailing in government policy.

Keywords: regulation, violations, spatial plan, building design guidelines.

Abstrak

Pemerintah Kota Denpasar memandang sebagai keharusan untuk mengatur dan mengendalikan lajunya pembangunan yang berfokus pada keruangan dan desain bangunan. Tujuannya adalah menjaga keharmonisan serta keserasian wajah kota yang berwawasan budaya. Implementasi dari peraturan-peraturan tersebut menjadi pertanyaan dikarenakan adanya perbedaan antara harapan dengan kenyataan terhadap tata bangunan. Analisis ini akan diarahkan pada uraian deskriptif mengenai realita penyimpangan yang terjadi di lokasi, faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan itu tetap terjadi. Permasalahan tersebut dianalisis dengan teori hegemoni dan komodifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan antara dokumen IMB yang dimiliki dengan realita di lapangan. Adanya komodifikasi terhadap ruang terbuka/ sempadan dan tampak bangunan. Peraturan yang ada tidak dapat terimplementasi dengan baik di lapangan. Kurang konsistennya pengawasan dan penertiban yang dilakukan oleh instansi terkait dan rendahnya sanksi sebagai penyebabnya. Kesimpulan yang diperoleh perlu adanya peran serta masyarakat bersama pemerintah untuk konsisten terhadap penegakkan peraturan tata bangunan agar terciptanya wajah kota yang berwawasan budaya.

Kata kunci: peraturan, penyimpangan, rencana tata ruang, tata bangunan.

1


Pendahuluan

Visi dari Pemerintah Kota Denpasar yaitu, Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya Dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan. Dalam upaya mewujudkan visi tersebut Pemerintah Kota Denpasar memandang sebagai keharusan untuk mengatur dan mengendalikan lajunya pembangunan serta wajah kota agar terjadi keseimbangan yang harmonis antara ruang terbuka dengan ruang terbangun serta keserasian wajah kota yang berwawasan budaya. Untuk mewujudkan hal tersebut diterapkanlah peraturan yang mengatur tata ruang dan tata bangunan yang secara hirarki dari yang lebih tinggi sampai yang lebih rendah. Peraturan yang berlaku nasional yaitu Undang-undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung, Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2001 tentang Ijin Bangun–bangunan, Perda Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-2031, Peraturan Walikota Nomor 25 tahun 2010 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar, Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Denpasar Nomor 41 Tahun 1995 tentang Garis Sempadan Bangunan di Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar.

Pemerintah Kota Denpasar dalam mengatur tata bangunan dipersyaratkan kepada masyarakatnya dalam mendirikan bangunan untuk mentaati semua peraturan yang berlaku. Salah satunya yaitu sebelum mendirikan bangunan agar memiliki IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Dalam proses penerbitan IMB terdapat kajian–kajian khusus yang sudah dipersyaratkan untuk menjaga keharmonisan bangunan dengan lingkungannya yang tertuang dalam pasal–pasal peraturan–peraturan hukum yang mengikat. Ketentuan aturan berupa tata guna lahan, fungsi bangunan, penataan sempadan bangunan terhadap jalan dan tetangga, lebar telajakan, luas lahan yang bisa dibangun, tampak/tampilan bangunan, tinggi maksimal bangunan, dan lain-lain sudah tercantum dalam peraturan–peraturan yang mendasari penerbitan IMB tersebut. Jadi idealnya jika bangunan–bangunan tersebut telah memiliki IMB, tata bangunannya sudah sesuai, harmoni dan terintegrasi baik dengan budaya dan lingkungannya.

Kenyataannya di Jalan Teuku Umar Denpasar sebagai kasus sangatlah jauh dari apa yang diharapkan dalam peraturan–peraturan tersebut. Implementasi dari peraturan-peraturan tata bangunan menjadi pertanyaan dikarenakan kenyataan bangunan-bangunannya menyimpang dari apa yang dipersyaratkan dalam dokumen IMB.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di sepanjang Jalan Teuku Umar, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Jalan ini sebagai jalan arteri primer yang statusnya merupakan jalan Provinsi dibangun pada tahun 1985. Jalan dengan lalu lintas dua arah ini memiliki lebar 16 meter dan panjang 2.664 meter. Batasan lokasi penelitian yaitu bangunan yang hanya sebatas blok bangunan terluar sepanjang jalan yang diawali dari simpang empat Jalan Diponegoro –

Jalan Dewi Sartika – Jalan Teuku Umar dan berakhir sampai simpang empat Jalan Teuku Umar – Jalan Imam Bonjol – Jalan Teuku Umar Barat.

Fungsi dan Aktifitas pada Bangunan-bangunan di lokasi

Sebagai kawasan perdagangan dan jasa di sepanjang jalan tersebut terdapat beraneka ragam fungsi bangunan yang tentunya beragam pula aktifitas didalamnya. Jumlah bangunan berdasarkan fungsinya ditampilkan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Tabulasi jumlah fungsi bangunan di Jalan Teuku Umar

Sumber: Pengamatan di lokasi Tahun 2014

Ada 276 bangunan yang terdiri dari sebuah rumah sakit swasta, delapan buah hotel melati dan berbintang, dua buah pusat perbelanjaan, empat buah mini market. Ada 57 tempat makan dan minum dengan beragam jumlah tempat duduk serta aneka masakan baik daerah, nusantara maupun internasional, 47 buah toko handphone, komputer dan elektronik dengan beragam luas bangunannya, sembilan rumah tinggal dan beraneka

ragam fungsi bangunan lainnya. Masih ada tujuh lahan kosong yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya.

Kegiatan ekonomi sangatlah tinggi dikarenakan 264 atau 96% bangunan merupakan tempat usaha/komersil dan banyaknya jumlah pembeli/pengunjung. Kegiatan ekonomi berkembang berbanding lurus dengan penambahan jumlah dan jenis usaha. Semakin berkembang kegiatan ekonomi semakin banyak tempat usaha baru yang tumbuh dengan berbagai jenis usahanya yang diikuti oleh meningkatnya jumlah pembeli/pengunjung.

Realita Tata Ruang dan Tata Bangunan di Lokasi

Melihat Perda Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-2031, kawasan ini menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Pada kawasan tersebut dapat dibangun bangunan yang terdiri atas fasilitas perniagaan dan fasilitas umum dengan tingkatan melebihi fasilitas penunjang lingkungan baik fasilitas perniagaan (pertokoan, mall, kegiatan jasa), perkantoran, pendidikan, kesehatan (rumah sakit), bangunan akomodasi dan lainnya.

Dari survei yang dilakukan terhadap keseluruhan bangunan di lokasi yaitu 276 bangunan yang ada di sepanjang Jalan Teuku Umar Denpasar diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 74% bangunan memiliki IMB, 2% tidak memiliki IMB dan 24% tidak jelas antara memiliki IMB ataupun tidak. Dari 206 bangunan yang memiliki IMB, 21% (59 bangunan) sesuai dengan tata bangunan dan sisanya menyimpang. Bangunan yang paling banyak menyimpang dari tata bangunan adalah bangunan dengan fungsi toko elektronik, telopon seluler dan komputer. Dari 47 bangunan tersebut 96% tidak sesuai dengan tata bangunan antara lain tampak, KDB dan sempadan bangunan. Persentase penyimpangan masing-masing bangunan dapat dilihat pada Tabel 1.

Dilihat dari jumlah IMB yang terbit pada Tabel 2 terjadi puncak-puncak pembangunan yang pesat pada tahun-tahun tertentu. Pembangunan yang pesat di lokasi yaitu pada rentang Tahun 2000 sampai 2003 dengan rata-rata 12 bangunan tiap tahunnya, berikut Tahun 2005 dan 2006. Kemudian terjadi pembangunan yang pesat pada rentang Tahun 2009 sampai 2011 dengan rata-rata 13 bangunan setiap tahunnya. Setelah tahun itu terjadi penurunan jumlah IMB yang terbit. Hal tersebut kemungkinan karena lahan yang ada sudah sangat terbatas.

Tabel 2. Tabulasi jumlah IMB yang terbit di Jalan Teuku Umar

Tahun

co

O

σ>

O

O O O CN

O O ON

ON O O ON

CO O O ON

O O ON

LO O O ON

CO O O ON

O O ON

CO O O ON

σ> O O ON

O

O ON

O ON

ON

O ON

CO

O ON

O ON

05 E

"O

IMB

7

7

1

0

1

8

1

4

1

1

4

1

3

1

1

6

8

1

0

1

8

1

1

4

4

5

161

Sumber:  Hasil inventaris penulis dari data di Dinas Tata Ruang dan Perumahan serta

Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar.

Temuan di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan tampilan bangunan (Gambar 1 dan Gambar 2). Bangunan yang sudah mencerminkan tampilan bangunan Bali ditutupi oleh iklan/reklame ataupun trade mark/ciri khas dari suatu perusahaan/badan usaha (Gambar 2). Selain itu ada juga yang melakukan perubahan fasad dari yang telah disetujui

dalam IMB hanya untuk mengikuti keinginan/ego pemilik/penyewa ataupun mungkin arsiteknya.

Gambar A. Sebelum fasad ditutupi

Gambar B. Setelah fasad ditutupi

Gambar 1. Foto salah satu bangunan sebelum ditutupi iklan dan sesudah ditutupi iklan.

Pada  saat penelitian ini  dilakukan,  obyek  sedang dalam proses konstruksi

pemasangan reklame tersebut.

Sumber:   Hasil pengamatan 2012 dan 2014.

Gambar 2. Foto bangunan yang menutupi fasadnya lebih dari 30% untuk menunjukkan trade mark perusahaannya.

Sumber:   Hasil pengamatan 2014.

Alih fungsi sempadan juga terjadi di lokasi penelitian (Gambar 3). Sempadan yang sejatinya harus difungsikan sebagai pertamanan, parkir, dan daerah resapan dialihfungsikan sebagai perluasan ruang usaha. Akibatnya sudah tentu pada lokasi bangunan tersebut tidak mampu menyediakan tempat parkir bagi pengunjungnya yang pada akhirnya terpaksa parkir di badan jalan. Berdasar pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 43 dijelaskan bahwa pada jalan nasional dan provinsi (Jalan Teuku Umar) tidak diperkenankan adanya parkir di badan jalan.

Gambar 3. Foto bangunan yang melakukan alih fungsi sempadan sebagai perluasan usaha. Sumber:   Hasil pengamatan 2014.

Temuan dilokasi juga menunjukkan bahwa 26% bangunan yang tidak jelas memiliki IMB ataupun tidak (Tabel 1). Alasan dari pemilik/penyewa bangunan tidak memiliki IMB karena dilatarbelakangi oleh beberapa hal:

  • 1.    Bangunan yang didirikan telanjur berdiri/terbangun dan permohonan IMBnya ditolak oleh dinas terkait karena tidak sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan IMB. Mereka dengan sengaja membangun terlebih dahulu dengan harapan IMB bisa diurus belakangan dan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Selain itu adapula yang membangun dengan mencontoh sempadan dari bangunan tetangganya. Mencontoh bangunan tetangga yang sudah memiliki IMB belum tentu benar dalam menentukan jarak sempadan. Sempadan berbeda jaraknya antara fungsi rumah tinggal dengan fungsi komersial. Selain itu ada juga bangunan yang mendapatkan dispensasi sempadan (pemutihan) karena bangunannya dibangun sebelum Tahun 2001. Hal-hal tersebut yang tidak dipahami oleh masyarakat. Temuan di lokasi yang paling mengejutkan yaitu membangun dengan mencontoh bangunan tetangga yang telanjur melanggar juga. Alasannya sangatlah masuk akal, tetangganya yang ditiru tidak dilakukan pembongkaran oleh pemerintah yang berarti anggapannya bahwa bangunan yang dibangun tidak akan dibongkar juga.

  • 2.    Tidak mengurus/mengajukan IMB karena merasa tidak perlu, proses yang dianggap rumit dan persyaratan yang dianggap memberatkan. Dianggap bangunannya tidak memerlukan IMB karena tidak mengajukan kredit di bank. Syarat permohonan kredit pemilikan rumah/properti maupun usaha adalah bangunan harus memiliki IMB. Jadi karena membangun tanpa mengajukan kredit, dianggap tidak perlu mengurus IMB. Selain itu ada pula yang beralasan bahwa proses permohonan IMB sangatlah rumit dan memberatkan. Harus menyertakan gambar bangunan secara teknis dengan lengkap, disertai tanda tangan penyanding dan kelengkapan administrasi lainnya yang pada akhirnya belum tentu diijinkan (diterbitkan IMB).

  • 3.    Penertiban yang dilakukan pihak terkait tidak berlanjut, hanya sebatas surat teguran /peringatan dan tidak pernah dilanjutkan dengan tindakan pembongkaran.

  • 4.    Ada pihak-pihak lain sebagai oknum dan organisasi masyarakat (ormas) yang menjamin keberlangsungan usaha tanpa dilengkapi dengan perijinan.

Kebijakan-kebijakan Terkait Tata Ruang dan Tata Bangunan

Dalam mengatur penataan ruang di Kota Denpasar, Pemerintah Kota Denpasar telah memiliki peraturan daerah yang pertama yaitu Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang

RTRW Kota Denpasar yang kemudian diperbarui dengan Perda Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031. Terkait dengan tata bangunan dikeluarkan peraturan antara lain: Perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Ijin Bangun-Bangunan; Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2010 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar; Peraturan Walikota Denpasar Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame di Kota Denpasar. Digunakan pula peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.

Saat ini Pemerintah Kota Denpasar sedang menyusun perda-perda yang lebih rinci terkait penataan bangunan. Perda Bangunan Gedung di Kota Denpasar yang merupakan perangkat hukum tentang bangunan yang harus dimiliki oleh setiap kabupaten/kota sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sedang tahap pengesahan. Selain itu akan dilanjutkan juga dengan menyusun perda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Mengantisipasi pelanggaran terhadap perkembangan pembangunan di lapangan yang sangat pesat yang harus diimbangi dengan peraturan yang lebih rinci, maka antisipasi belum adanya RDTR Pemerintah Kota Denpasar mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor: 12, 13, 14 dan 15 tahun 2014 tentang Peraturan Zonasi: Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Denpasar Utara dan Denpasar Timur.

Penyimpangan Terhadap Tata Bangunan

Data IMB yang diperoleh pada Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar yang kemudian dilakukan cross chek di lokasi terdapat perbedaan yang signifikan antara kenyataan di lapangan dengan dokumen IMBnya. Penyimpangan KDB dapat dilihat pada bangunan dengan nomor IMB 790/2003 atas nama Teddy Kalyono Wong dengan fungsi arena billyard yang dapat dilihat pada Gambar 4. Dalam ijin yang dimiliki KDB didapat 51,4%, sisanya merupakan ruang terbuka yang digunakan untuk parkir di depan bangunan dan pertamanan dibelakang bangunan.

Realitanya, areal pertamanan (ruang terbuka) di belakang bangunan sudah seluruhnya berubah menjadi perluasan bangunan sehingga KDBnya berubah menjadi 75%. Ada penambahan/pelanggaran 24,6% dari total luas tanahnya. Terjadi pemanfaatan ruang terbuka untuk perluasan tempat usaha. Komodifikasi ruang ini luput dari pantauan petugas dari tim pengawasan dan penertiban bangun-bangunan Kota Denpasar.

Pada bagian tampak bangunan juga mengalami perubahan antara gambar yang sudah disahkan dalam IMB dengan kenyataannya di lapangan. Bahkan pada tahun ini berubah lagi tampilannya seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5 tanpa merevisi IMBnya.

Gambar 4. Foto lampiran dokumen IMB No. 790/2003.

Sumber:   Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar.

Gambar 5. Foto tampak bangunan pada lampiran dokumen IMB No. 790/2003 (kiri), realita tampak bangunan sampai tahun 2014 (tengah) dan perubahan lagi ditahun 2015 (kanan).

Sumber:   Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar dan hasil pengamatan 2014-2015.

Kasus lainnya yang ditemukan terhadap penyimpangan pada tampilan bangunan yaitu bangunan ruko yang menjual alat-alat kelistrikan dengan alamat Jalan Teuku Umar Nomor 62. Pada dokumen IMB dengan Nomor 1936/2011, atas nama I Made Bukti Yasa dengan fungsi toko dan kantor, sangat jelas terlihat pada Gambar 6 bahwa tampak depan bangunannya mengadopsi arsitektur Bali dengan penggunaan bahan-bahan lokal alami, pilar dengan pepalihannya dan beberapa langgam ukiran. Namun dalam realisasinya di lokasi sangatlah berbeda dimana tampilan bangunannya yang dominan modern dengan menonjolkan dominan kaca sebagai fasadenya. Benar-benar jauh perbedaan antara dokumen IMB yang dimiliki dengan kenyataan di lapangan.

Gambar 6. Foto tampilan bangunan Graha Multi Daya Elektronik yang disetujui dalam dokumen IMB No. 1936/2011 (kiri) dan realita di lapangan (kanan).

Sumber:   Badan Pelayanan Perijinan Satu Pintu & Penanaman Modal dan hasil pengamatan

2014.

Penyimpangan pada tampilan bangunan berikut yaitu bangunan Toko SAS yang menjual kain/tekstil di Jalan Teuku Umar Nomor 18. Pada dokumen IMB Nomor 721/2007 atas nama Agil Muhamad Balbed dengan fungsi toko. Gambar 7 terlampir bahwa tampak depan bangunannya mengadopsi arsitektur Bali dengan penggunaan atap sebagai kepalanya, pilar dengan pepalihannya sebagai badannya, dan bebaturan sebagai kakinya.

Gambar 7. Foto tampilan bangunan Toko kain SAS yang disetujui dalam dokumen IMB No. 721/2007 (kiri) dan realita di lapangan (kanan).

Sumber:   Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar dan hasil pengamatan 2014.

Namun dalam realisasinya di lokasi sangatlah berbeda (Gambar 7) dimana tampilan bangunannya yang dominan modern dengan menonjolkan dominan kaca dan baja ekspose sebagai fasadenya dan dua buah atap yang terdapat dalam file IMBnya dihilangkan.

Pada dokumen IMB point 11 menyatakan bahwa IMB menjadi tidak berlaku lagi/dicabut apabila bangunan yang terbangun di lapangan berbeda dengan gambar yang terdapat dalam dokumen IMB. Berdasar hal tersebut sejatinya IMB bangunan yang melanggar otomatis IMBnya menjadi tidak berlaku. Namun pencabutan IMB belum pernah dilaksanakan oleh instansi terkait. Hal tersebut menyebabkan masyarakat yang semestinya terhegemoni oleh pemerintah berikut perangkat peraturannya, merasa lebih berwenang dalam menentukan desain bangunan dan pemanfaatan ruangnya.

Selain kasus diatas masih ada sekitar 60% bangunan yang melanggar dari peraturan tampilan bangunan. Beberapa contoh yang ditampilkan yang melanggar dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 8. Foto tampilan bangunan yang tidak sesuai dengan peraturan, tanpa atap limasan (kepala) dan tanpa mencirikan bangunan khas Bali.

Sumber:   Hasil pengamatan 2014

Keterbatasan dalam memperoleh dokumen IMB bangunan-bangunan tersebut sangat menyulitkan dalam membandingkan antara tampilan bangunan pada dokumen IMB dengan kenyataannya di lokasi. Walaupun demikian dapat dipastikan berbeda antara IMB yang dimiliki dengan kenyataannya karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah/regulasi yang harus diikuti dalam peraturan tata bangunan. Bukti yang paling mudah untuk mengetahui pelanggaran yaitu bangunan tanpa atap limasan/pelana, sudah pasti berbeda dengan dokumen IMBnya (Gambar 8). Selain itu bangunan yang menutupi lebih dari 30% dari tampak bangunannya oleh reklame sudah pasti berbeda dengan dokumen IMB yang dimiliki.

Faktor–faktor Penyebab Penyimpangan Terhadap Tata Bangunan

1.    Keterbatasan Lahan

Saat ini di sepanjang jalan Teuku Umar hanya terdapat tujuh lahan kosong. Bagi pelaku usaha yang usahanya berkembang sangat sulit untuk memperluas tempat usahanya di lokasi semula. Diperluas secara horisontal tidak memungkinkan, diperluas secara vertikal terbatas oleh peraturan ketinggian bangunan. Setiap ruang yang kosong dimanfaatkan agar bisa melakukan kegiatan usaha untuk menghasilkan uang.

Ruang yang awalnya sebagai ruang terbuka/sempadan yang semestinya difungsikan parkir dikomodifikasi untuk ruang promosi atau pameran bagi toko-toko komputer, digunakan sebagai meja-meja makan bagi pengusaha rumah makan, maupun disewakan kepada pengusaha lain. Pada akhirnya sama sekali tidak menyisakan ruang terbuka (Gambar 9). Sejatinya hal ini merupakan kerugian besar bagi pelaku usaha di kemudian hari. Dengan sulitnya mencari tempat parkir, kondisi lalu lintas yang sangat padat, tingginya polusi asap kendaraan, dan tidak nyamannya pejalan kaki yang pada akhirnya nanti akan ditinggalkan oleh konsumen.

  • 2.    Ekonomi

Dengan menyandang status kawasan perdagangan dan jasa menjadi daya tarik bagi pengusaha untuk menanamkan modalnya dengan membuka berbagai macam usaha di lokasi ini. Potensi ini dijadikan komoditi bagi investor untuk mengeruk keuntungan. Dengan meningkatnya jumlah fasilitas untuk berbelanja maka semakin ramai masyarakat

mengunjungi lokasi ini untuk berbelanja beraneka ragam kebutuhannya dari yang primer, sekunder hingga tersier. Demikian pula sebaliknya dengan meningkatnya jumlah pebelanja di kawasan ini dibangun pula fasilitas baru untuk memenuhi dinamika berbelanja bagi konsumen. Hal ini berarti ada tambahan komodifikasi ruang pada kawasan ini.

Gambar 9. Foto bangunan tempat usaha tanpa sempadan dan parkir.

Sumber:   Hasil pengamatan 2014

Potensi lain yang dijadikan komoditi bagi investor untuk mengeruk keuntungan tambahan adalah pemanfaatan ruang untuk dikomersilkan dalam bentuk papan reklame pada tampak bangunannya (Gambar 10). Tampak bangunan ditempeli dengan berbagai reklame yang disewakan dengan sistem kontrak tahunan. Dimensi reklame sangat besar yang hampir memenuhi seluruh tampak bangunan, melampaui dari batas maksimal sebesar 30% dari keseluruhan tampak bangunan yang ditempeli. Menurut penuturan dari saudara Abdul Malik, salah satu pelaku bisnis reklame/baliho di Jalan Teuku Umar, harga sewa reklame/baliho per satu sisi (32 meter persegi) dengan pencahayaan di kawasan ini berada pada kisaran 300-350 juta per tahun. Ini merupakan bukti pemanfaatan terbatasnya ruang yang bisa diperdagangkan untuk memperoleh hasil yang sangat besar selain usaha inti yang dilakukan dalam bangunannya.

Gambar 10. Foto beberapa contoh komodifikasi tampak bangunan dalam bentuk reklame. Sumber:     Hasil pengamatan 2014

  • 3.    Lemahnya Pengawasan dan Penertiban

Lemahnya pengawasan dapat dilihat dari data yang didapat dari Bidang Pengendalian Penataan Kota pada Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar mengenai realisasi penertiban bangun-bangunan dari bulan Januari sampai Desember 2013 secara umum di seluruh wilayah Kota Denpasar (Gambar 11). Pada data tersebut temuan penertiban sebanyak 937 buah, yang melakukan tindak lanjut oleh pemilik bangunan sebanyak 445 buah, sisanya sebanyak 469 tidak menghiraukan Surat Peringatan I (SP I) yang telah

dilayangkan kepada pelanggar. Seharusnya yang tidak menghiraukan tersebut dilanjutkan dengan pemberian SP II, tetapi yang mendapatkan SP II hanyalah 271 buah. Berarti ada pembiaran pelanggaran sebanyak 198 buah di tahun 2013 di seluruh Kota Denpasar.

Padahal proses pembangunan sebuah bangunan minimal memakan waktu selama tiga bulan. Waktu yang sekian lama untuk melakukan pengendalian/penertiban sangatlah cukup apalagi membangun di kawasan yang sering dilalui aparat. Seharusnya semua pelanggaran bisa dihentikan jika hegemoni dari pemerintah berjalan dengan baik. Sebaliknya, hegemoni pemerintah dapat dikalahkan oleh segelintir masyarakat dengan alibi bahwa tanah tersebut adalah miliknya dan bangunan terlanjur dibangun.

Gambar 11. Foto data realisasi penertiban bangun-bangunan dari bulan Januari sampai Desember 2013 pada Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar.

Sumber:     Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar.

Menurut Ir. I Gusti Made Budi Utama, koordinator pengendalian dan penataan bangun-bangunan di Kota Denpasar, jumlah personil yang ditugaskan dibandingkan dengan luas wilayah yang diawasinya setiap hari kerja belum dapat melakukan pengawasan dengan efektif. Menurut I Ketut Retnadi, SKom ketua regu Denpasar Timur dan Utara, jumlah personil tiap regu yang ideal empat-lima orang sesuai dengan tugasnya masing-masing. Pendapat lain disampaikan oleh I Wayan Sukanis ketua Regu Denpasar Selatan, jumlah personil yang banyak membuat lebih percaya diri dalam menindak pelanggaran di lapangan. Hal tersebut sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan keberanian/kemampuan dalam memberikan tekanan terhadap pelaku pelanggaran di lapangan. Hegemoni terhadap pelaku pelanggaran memerlukan aparat dalam jumlah yang lebih besar. Pengawasan dan penertiban secara konsisten, hegemoni dari pemerintah seharusnya dapat menyadarkan

masyarakat akan pentingnya penataan kota dan tertib terhadap tata ruang dan tata bangunan.

Untuk menertibkan bangunan yang sudah berIMB dalam pelaksanaannya di lapangan terkendala pemahaman aparat penertiban dalam membaca gambar yang tertera dalam dokumen IMB. Untuk mengecek kebenaran antara gambar yang disahkan dalam IMB dengan realita dalam pelaksanaan pembangunannya, sebaiknya instansi yang menerbitkan IMB melakukan pula pengawasan yang kontinyu terhadap pelaksanaan pembangunan di lapangan.

  • 4.    Rendahnya Sanksi

Dalam perda-perda yang terbit terdahulu (Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RTRW Kota Denpasar dan Perda Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Ijin Bangun – Bangunan) tidak mencantumkan adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggar perda tersebut. Baik masyarakat yang melanggar maupun aparat pemberi ijin yang menyimpang. Hal tersebut menimbulkan banyaknya pelanggaran karena ketidaktegasan sanksi. Aparat penegak hukum juga sulit mengenakan hukuman tanpa adanya sanksi pidana yang jelas.

Pemerintah Kota Denpasar belum pernah melakukan pembongkaran bangunan yang melanggar sebagai efek kejut bagi masyarakat. Cara-cara persuasif masih diutamakan hanya dengan memberikan surat peringatan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Namun hal tersebut tentunya tidak berpengaruh terhadap tindakan pelanggaran. Kenyataan di lokasi menunjukkan bukti bahwa pemerintah dengan berbagai perangkat hukum dan aparat penegak hukumnya belum mampu memberikan tekanan kepada masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran tata bangunan. Dengan kata lain pemerintah belum mampu melakukan hegemoni terhadap masyarakat agar mentaati peraturan tata bangunan.

Sejak terbitnya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengenaan sanksi berupa denda dan penjara baru diberlakukan dan harus diikuti oleh peraturan daerah tentang rencana tata ruang di wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Pada pasal 69 menyatakan bahwa setiap orang yang tidak mentaati rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 500 juta rupiah. Selain itu pada pasal 73 menyebutkan bahwa pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan ijin tidak sesuai dengan rencana tata ruang dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak 500 juta rupiah, serta dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya.

Merujuk UU Nomor 26 Tahun 2007, Pemerintah Provinsi Bali dan Kota Denpasar dalam menyusun perda tentang RTRW yang baru sudah mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggar. Namun besaran sanksi yang dijatuhkan tidak sebesar UU No. 26 Tahun 2007. Perda Nomor 27 Tahun 2011tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031 sudah mencantumkan sanksi terhadap pelanggar. Pada pasal 114 dijelaskan bahwa setiap orang yang tidak mentaati ketentuan pemanfaatan ruang dipidana kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak 50 juta rupiah. Untuk pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan ijin tidak sesuai dengan rencana tata ruang dipidana dengan pidana penjara sesuai dengan perundang-undangan.

Dengan diberlakukannya peraturan-peraturan yang baru ini yang memberikan sanksi terhadap pelanggaran dalam ketentuan mendirikan bangunan, sebenarnya aparat Pemerintah Kota Denpasar mampu melakukan hegemoni terhadap masyarakat. Sanksi ini

harus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Kota Denpasar. Diberikan penjelasan bahwa jika melakukan pelanggaran dalam mendirikan bangunan sudah ada sanksi hukum yang akan diterimanya. Dengan konsisten terhadap peraturan dan sinergi yang baik antara aparat pemerintah dan masyarakat diharapkan akan ada perubahan kearah yang baik di kemudian hari demi terciptanya citra kota yang lebih baik.

Kesimpulan

1.    Realita Penyimpangan

  • a)    Hasil pengamatan ditemukan adanya penyimpangan terhadap pemanfaatan ruang yang berbeda antara dokumen IMB yang dimiliki dengan realita di lapangan. Pelanggaran tata bangunan tersebut menyebabkan koefisien dasar bangunan berubah. Melebihi dari ketentuan yang telah diijinkan dalam perijinannya yaitu maksimal 50%. Keseimbangan antara ruang terbuka dengan ruang terbangun tidak sesuai dengan peraturan tata bangunan yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

  • b)    Membandingkan antara kondisi di lapangan dengan dokumen IMB yang dimiliki ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan pada tata bangunannya. Tampak bangunan yang diijinkan dalam dokumen IMB berbeda dengan tampak bangunan pada kenyataannya. Hal tersebut menyebabkan hilangnya ciri khas bangunan Bali yang sudah dipersyaratkan dalam IMB di Kota Denpasar.

  • c)    Terjadinya komodifikasi terhadap tampak bangunan dan pemanfaatan ruang sempadan. Tampak bangunan tertutupi oleh reklame yang melebihi batas maksimal yang diijinkan. Penyimpangan tata bangunan ini menyebabkan wajah Kota Denpasar menjadi kehilangan identitasnya. Arsitektur Bali sebagai budaya unggulan menjadi terhegemoni oleh kesemrawutan tampilan bangunan di kawasan ini.

  • 2.    Faktor-faktor Penyebab Penyimpangan

  • a)    Lokasi yang sangat strategis untuk tempat berusaha ini menjadi incaran para pelaku usaha untuk mengembangkan usaha dan membuka usaha baru disini sehingga semakin sulit untuk mendapatkannya. Bagi pelaku usaha yang usahanya berkembang terkendala untuk memperluas tempat usahanya di lokasi semula. Diperluas secara horisontal tidak memungkinkan, diperluas secara vertikal terbatas oleh peraturan ketinggian bangunan. Sehingga alternatif yang dilakukan yaitu dengan mengkomodifikasikan ruang terbuka yang bukan semestinya digunakan sebagai tempat untuk berusaha/berdagang.

  • b)    Status kawasan perdagangan dan jasa menjadi daya tarik bagi pengusaha untuk berlomba-lomba mendirikan berbagai jenis usaha. Dengan meningkatnya fasilitas untuk berbelanja maka semakin ramai masyarakat mengunjungi lokasi ini. Potensi ini dijadikan komoditi bagi investor untuk memasang reklame pada tampak bangunannya. Terjadi perusakan wajah kota dengan memaksimalkan ruang yang bukan peruntukannya digunakan sebagai tempat untuk meraup keuntungan sehingga terjadi pelanggaran tata bangunan.

  • c)    Pengawasan yang lemah terhadap pelaksanaan pembangunan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya sarana dan prasarana penunjang pengawasan serta jumlah personil yang tidak sebanding dengan luas wilayah yang diawasi. Kekurangan tersebut menimbulkan adanya beberapa pembiaran pelanggaran pembangunan di Kota Denpasar.

  • d)    Dalam peraturan-peraturan terdahulu tidak mencantumkan adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggar. Baik masyarakat yang melanggar maupun aparat pemberi ijin yang menyimpang. Hal tersebut membuat adanya beberapa pelanggaran di lapangan karena ketidaktegasan sanksi.

Daftar Pustaka

Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Denpasar Nomor 41 Tahun 1995 tentang Garis Sempadan Bangunan di Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar.

Patria, N dan Arief, A (1999) Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 1999 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar.

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Ijin Bangun – Bangunan.

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 29/PRT/M/2006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 06/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 24/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang–undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Peraturan Walikota Denpasar Nomor 25 Tahun 2010 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar.

Peraturan Walikota Denpasar Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame di Kota Denpasar.

Peraturan Walikota Denpasar Nomor 13 Tahun 2014 tentang Peraturan Zonasi di Kecamatan Denpasar Barat.

Tarigan, R. (2010) Perencanaan Pembangunan Wilayah, Edisi revisi Jakarta: Bumi Aksara.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Wahab, S.A. (1991) Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara Jakarta: Bumi Aksara.

Yunus, H.S. (2004) Struktur Tata Ruang Kota Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yunus, H.S.(2006) Megapolitan. Konsep, Problematika dan Prospek Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ucapan Terimakasih

Dalam kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD selaku Ketua Program Studi Magister Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Putu Rumawan Salain, MSi dan Dr. Ir. I Made Adhika, MSP yang telah memberi arahan dalam penyelesaian jurnal ini.

98

SPACE - VOLUME 3, NO. 1, APRIL 2016