PERKEMBANGAN PERMUKIMAN PASCA KONSOLIDASI TANAH DI DESA SUMERTA KELOD, KOTA DENPASAR
on
PERKEMBANGAN PERMUKIMAN
RUANG
SPACE
PASCA KONSOLIDASI TANAH
DI DESA SUMERTA KELOD, KOTA DENPASAR
Oleh: Ifti Suhesti1, Syamsul Alam Paturusi2, Ida Ayu Armeli3
Abstract
Sumerta Kelod of Kota Denpasar was one of the first designated locations for land consolidation (LC) in Indonesia. This LC was established to create a well-organized settlement. The targeted location was originally fertile paddy fields, which have been turned into residential areas, both well-established communities as well as slums. The objective of this research is therefore to determine the pattern of settlement that occurred in Sumerta Kelod in the aftermath of LC related activities. This study requires both primary and secondary datathat have been collected using combined qualitative and quantitative research methods. A basic fact is that 89.09 percent of paddy fields have been converted into the built up areas required to accommodate residential activities and supporting facilities including commerce and services such as medical, religious, education and infrastructural development. The rest of 10.91 percent of the area is used for paddy fields, open space and undeveloped land. While the objective of creating a well- organized settlement has been achieved, the LC program has also generated unplanned slums that detract from a positive image of the city. This study determines that several groups of informal housing units are in place, such as Jalan Badak Agung VII, VIII and Jalan Merdeka X. In total, they are about 12,491 m2 in scale. Data also suggests inconsistencies between actual land use, spatial planning and regulation, since for example it is common to see educational and commercial facilities built on areas zoned for housing. As people prefer to access their premises directly from the road, all of these developments are determined by the infrastructure network.
Keywords: development, settlement, land consolidation, Denpasar City
Abstrak
Desa Sumerta Kelod merupakan salah satu lokasi konsolidasi tanah (LC) yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Kegiatan LC bertujuan untuk menciptakan kawasan permukiman tempat tinggal yang teratur, rapi dan sehat. Semula lokasi tersebut merupakan kawasan persawahan yang sangat subur, sedangkan saat ini lokasi tersebut sebagian besar telah berkembang menjadi kawasan permukiman teratur yang di dalamnya terdapat pula beberapa titik kumuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan permukiman dan pola permukiman pasca pelaksanaan kegiatan LC di desa tersebut. Data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder dengan metode penelitian berupa pendekatan gabungan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga saat ini di lokasi LC Desa Sumerta Kelod telah terjadi perubahan penggunaan tanah sawah menjadi areal terbangun sebanyak 89,09% yang dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, perdagangan dan jasa, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan maupun fasilitas pendidikan dan jalan. Areal tidak terbangun sebanyak 10,91% yang digunakan untuk sawah, kebun campuran dan tanah kosong. Permukiman yang terbentuk pasca LC di desa tersebut didominasi oleh permukiman yang teratur, rapi dan sehat serta dimanfaatkan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah setempat. Akan tetapi di dalam permukiman tersebut
telah tumbuh titik-titik kumuh yang merusak citra kota, yaitu di Jalan Badak Agung VII, VIII dan Jalan Merdeka X seluas ±12.491 m2. Di samping itu terdapat beberapa penyimpangan pemanfaatan ruang seperti pemanfaatan fasilitas pendidikan dan hotel di kawasan permukiman, sedangkan pola permukiman yang terbentuk di lokasi tersebut cenderung mengikuti pola jaringan jalan.
Kata kunci: pembangunan, permukiman, konsolidasi tanah, Kota Denpasar
Pendahuluan
Kawasan permukiman perkotaan yang tata ruangnya tidak direncanakan terlebih dahulu menyebabkan munculnya permukiman perkotaan yang cenderung semrawut. Guna mencegah munculnya permukiman yang tidak teratur di wilayah perkotaan, diperlukan usaha untuk melakukan penataan ulang bidang-bidang tanah dengan melibatkan partisipasi masyarakat agar tidak terjadi konflik-konflik pertanahan. Kawasan permukiman akan berkembang dengan baik dan teratur apabila pada awal perkembangannya telah dilakukan suatu perencanaan penggunaan dan pemanfaatan ruang yang tepat. Untuk itulah pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melakukan strategi penataan pertanahan melalui kegiatan kosolidasi tanah atau land consolidation (LC) sebagai implementasi dari Rencana Teknik Ruang Kota. LC tersebut menganut filosofi pembangunan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat berdasarkan slogan “membangun tanpa menggusur”. Hal itu sesuai dengan pendapat Sumardjono (2009) bahwa LC perkotaan merupakan alternatif sederhana untuk menata permukiman dengan prinsip membangun tanpa menggusur.
Pada prinsipnya LC merupakan suatu kebijakan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang wilayah dalam usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Sasaran LC tersebut adalah terwujudnya penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tertib dan teratur sesuai dengan kemampuan dan fungsinya dalam rangka tertib pertanahan (Pusdiklat BPN RI, 2014).
Menurut keterangan dari pihak Kantor Pertanahan Kota Denpasar, kegiatan LC di Indonesia pertama kali dilaksanakan di Desa Sumerta Kelod, Kelurahan Panjer dan Kelurahan Renon, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Kegiatan tersebut dimulai pada tahun 1982 sebagai implementasi pengembangan kawasan permukiman di sekitar civic centre Renon. Menurut Setiawan (2009) LC yang diterapkan di Indonesia tersebut mengadopsi kegiatan LC yang dilaksanakan di Negara Taiwan. Namun, peraturan pelaksanaan LC di Indonesia baru diterbitkan pada tahun 1991 melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.
Sampai dengan tahun 1993 telah dilaksanakan kegiatan LC perkotaan/non pertanian di sebagian wilayah Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur yang terbagi dalam empat tahap. Hasil dari kegiatan LC tersebut terlihat jelas dengan semakin tingginya kualitas lingkungan, akses jalan dan drainase terpenuhi dengan baik, serta tersedianya fasilitas umum dan sosial lainnya seperti penyediaan tanah untuk bale banjar. Namun di kawasan permukiman tersebut muncul permukiman kumuh yang kurang layak huni, baik itu ditinjau dari segi luasan rumahnya, kepadatan huniannya, maupun dari segi estetika. Di samping itu telah terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang dari permukiman tempat tinggal menjadi pertokoan, indekos, homestay, hotel, restauran, salon, sekolah, kantor dan berbagai jenis usaha lainnya.
Fenomena-fenomena tersebut bertolak belakang dengan sasaran LC yang bertujuan agar dapat terwujudnya suatu tatanan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tertib dan teratur sesuai dengan kemampuan dan fungsinya dalam rangka tertib pertanahan. Apabila kondisi tersebut dibiarkan tanpa ada penanganan yang serius dikhawatirkan akan semakin banyak terjadi penyimpangan terkait pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukannya serta dapat memicu munculnya kesemrawutan tata ruang kota.
Dengan demikian, perlu dilakukan suatu penelitian yang mengkaji perkembangan permukiman dan pola permukiman pasca kegiatan LC di Desa Sumerta Kelod, Kota Denpasar. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi perkembangan fisik permukiman pasca pelaksanaan program LC di wilayah tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian gabungan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif (mix method). Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa teknik analisis geografi spasial dengan teknik overlay (tumpang susun) peta secara time series menggunakan program ArcGis 10.4. Teknik tersebut digunakan untuk melihat perkembangan permukiman pasca pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod. Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder dengan teknik pengambilan data melalui survei lapangan, observasi, wawancara dan survei instansional.
Konsolidasi Tanah (LC)
Pengertian konsolidasi tanah (LC) sesuai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah Pasal 1 butir 1 adalah suatu kebijakan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, LC merupakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dalam usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan partisipasi aktif masyarakat.
LC perkotaan/non pertanian adalah menata persil-persil yang tidak teratur dalam lingkungan permukiman atau direncanakan untuk permukiman sehingga menjadi persil-persil yang teratur dan tertib, semuanya menghadap jalan. Rencana jalan dilengkapi dengan penyelesaian tanah untuk sarana umum yang diperlukan sesuai dengan rencana umum tata ruang kota/rencana teknik tata ruang kota yang bersangkutan (Hasni, 2008). Berikut disajikan Gambar 1. mengenai ilustrasi proses penataan bidang tanah dalam LC.
Menurut Jayadinata (1999), tujuan dari pelaksanaan LC adalah untuk menggabungkan secara sistematis lokasi tanah yang tidak beraturan dan terpencar-pencar menurut rencana tata ruang yang ada; mendistribusikan tanah yang telah dikonsolidasikan kepada pemilik asal secara proporsional; mengatur bentuk dan kepemilikan tanah; dan meningkatkan nilai ekonomi tanah melalui pembangunan infrastuktur. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari penyelenggaraan LC dalam bidang sosial adalah: 1) Pemilik tanah akan memperoleh kembali tanah berupa petak tanah yang bentuknya teratur dan dekat dengan prasarana lingkungan; 2) Konflik dalam penggunaan tanah dapat dihindari; 3) Taraf
kehidupan penduduk dapat ditingkatkan dengan mengatur pemukiman sehingga menjadi sehat, tertib dan masalah tunawisma dapat diatasi; 4) Beban pusat kota yang berlebihan dapat dikurangi karena tersedianya prasarana sosial ekonomi yang memadai di sekitar pemukiman; 5) Pengendalian pengembangan tanah lebih mudah; dan 6) Perkembangan perumahan liar dapat dicegah.
Gambar 1. Ilustrasi proses penataan bidang tanah dalam kegiatan LC Sumber: Pusdiklat BPN RI (2014)
Perkembangan Permukiman
Budihardjo (2004) mengemukakan bahwa permukiman merupakan suatu wadah kehidupan manusia bukan hanya menyangkut aspek teknis dan fisik saja tetapi juga menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan budaya dari penghuninya. Tidak hanya menyangkut kuantitas melainkan juga kualitas, serta tidak hanya menyangkut tempat hunian/rumah, tetapi juga tempat kerja, berbelanja, bersantai dan wahana untuk bepergian. Karena keterbatasan data yang ada dan sumber datanya berbeda-beda, maka dalam penelitian ini diberikan batasan permukiman yang dimaksud adalah penggunaan tanah yang berbentuk kelompok bangunan rumah yang dimanfaatkan untuk tempat tinggal, perdagangan, jasa, perkantoran, industri, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan.
Yunus (2012) menyebutkan bahwa perkembangan permukiman menyangkut berbagai aspek seperti fisik dan non fisik. Lebih jauh dikemukakan bahwa perkembangan merupakan suatu proses perubahan dari waktu ke waktu. Sedangkan Gallion dan Eisner (1994) berpendapat bahwa perkembangan permukiman dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Hal tersebut secara fisik diwujudkan dengan perkembangan luas areal terbangun untuk permukiman.
Perkembangan permukiman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses perubahan areal terbangun yang terjadi dari waktu ke waktu di dalam lokasi LC yang dipergunakan untuk permukiman tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Perkembangan permukiman pada lokasi LC di Desa Sumerta Kelod ini
bersifat intensif, artinya hanya mencakup perkembangan permukiman di dalam kawasan LC di desa tersebut.
Pelaksanaan Kegiatan LC di Lokasi Penelitian
Desa Sumerta Kelod berada pada wilayah administratif Kecamatan Denpasar Timur dengan luas wilayah 2,71 km2 yang terbagi menjadi 10 banjar dinas, yaitu Banjar Kedaton, Bengkel, Kepisah, Sebudi, Tanjung Bungkak Kaja, Tanjung Bungkak Kelod, Sungiang Sari, Sembung Sari, Babakan Sari dan Badak Sari. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Tahun 2014, jumlah penduduk desa ini sebanyak 20.254 jiwa, sedangkan kepadatan penduduknya adalah 7.557 jiwa/km2.
Pada tanggal 15 Agustus 1979 telah diterbitkan Surat Keputusan Bupati Badung No. 125/Pem.8/459/79 tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah (land consolidation) di Subak Kedaton dan Subak Panjer. Pada saat itu Kota Denpasar termasuk juga Desa Sumerta Kelod masih masuk wilayah Kabupaten Badung. Pembentukan Kota Denpasar baru terjadi pada tanggal 27 Februari 1992. Berdasarkan keterangan dari pihak Kantor Pertanahan Kota Denpasar, pada tahun 1982 dilaksanakan kegiatan LC pertama kali di Indonesia dengan dana dari APBN yang mencakup wilayah Kelurahan Renon, Kelurahan Panjer dan Desa Sumerta Kelod. Lokasi LC di Desa Sumerta Kelod seluas ±124,23 ha atau 45,84% dari luas seluruh wilayah desa tersebut. Lokasi LC tersebut termasuk dalam wilayah Banjar Dinas Badak Sari, Sungiang Sari, Sebudi, Babakan Sari dan Sembung Sari. Adapun wilayah tersebut sebelumnya merupakan areal persawahan irigasi yang sangat subur, namun oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Badung telah dirubah peruntukannya menjadi kawasan permukiman tempat tinggal. Berikut disajikan Gambar 3 peta lokasi pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Tahap pertama pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod yang berlangsung tahun 1982 telah menghasilkan jalan lingkungan berupa Jalan Ciung Wanara I dan II serta Jalan Pemuda I dan II. Selanjutnya tahap kedua pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod berlangsung tahun 1987-1989 yang berada di timur civic centre Renon. Jalan yang dihasilkan pada tahap kedua itu meliputi Jalan Moch Yamin I-XI dan Jalan Laksamana III-XVI. Tahap ketiga dilaksanakan pada tahun 1989/1990 yang berlokasi di selatan civic centre Renon yaitu di Jalan Tukad Unda I-III serta Jalan Tukad Musi I-III. Pelaksanaan LC tahap ke empat di Desa Sumerta Kelod berlangsung pada tahun 1992/1993 yang berlokasi di utara civic centre Renon yaitu di Jalan Badak Agung I-XXII, Jalan Drupadi IXVII, Jalan Dewi Madri I-X dan Jalan Merdeka I-X.
Perkembangan Permukiman Pasca Pelaksanaan LC di Lokasi Penelitian
Setelah dilaksanakan kegiatan LC di Desa Sumerta Kelod, kondisi bidang-bidang tanah pada lokasi kegiatan tersebut menjadi tertata rapi dan saling menghadap ke jalan dengan disertai fasilitas jalan dan drainase yang baik. Fasilitas jalan dibangun untuk memberikan akses jalan bagi tiap bidang tanah, berupa jalan lingkungan yang menghubungkan antar wilayah di dalam maupun luar lokasi LC. Di samping jalan, juga dibangun beberapa fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya seperti pembangunan drainase dan penyediaan tanah untuk bale banjar (tempat pertemuan warga banjar/dusun).
Pembangunan jalan beraspal serta berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial di Desa Sumerta Kelod telah menjadikan nilai tanah di kawasan ini meningkat pesat. Tanah untuk pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut berasal dari hasil sumbangan tanah untuk pembangunan (STUP) sebesar 14%-20% dari luas tanah semula milik para peserta LC. Menurut pengakuan beberapa warga di lokasi tersebut, harga tanah setelah pelaksanaan LC meningkat 4-8 kali lipat dari harga sebelum pelaksanaan LC. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nurlambang (2012) bahwa manfaat LC antara lain membuat lingkungan menjadi tertata, rapi, sehat dan semua kaveling menghadap jalan dengan dilengkapi prasarana lingkungan yang ideal, sehingga akan mendongkrak peningkatan nilai tanah.
Untuk mengetahui perkembangan permukiman yang terjadi pasca pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod menggunakan data berupa peta penggunaan tanah tahun 1981, foto udara tahun 1985, peta penutup tanah tahun 2002 (berdasarkan foto udara tahun 1993/1994), citra ikonos tahun 2005 dan peta google earth tahun 2015. Data-data tersebut digunakan sebagai alat untuk interpretasi penggunaan tanah di lokasi LC Desa Sumerta Kelod. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: pemasukan data (peta penggunaan tanah, foto udara dan citra) ke dalam sistem komputer dengan menggunakan program ArcGis 10.4; pengkoreksian geometri agar posisi geografis data penginderaan jauh bisa disesuaikan; pengaturan band citra (gelombang saluran citra) dan penajaman citra penginderaan jauh; penginterpretasian peta (pengidentifikasian obyek berdasarkan unsur-unsur interpretasi citra); digitasi obyek hasil identifikasi dan klasifikasi; penyajian hasil interpretasi ke dalam peta perkembangan permukiman/areal terbangun serta tabel penggunaan tanah di lokasi LC Desa Sumerta Kelod. Berikut disajikan peta-peta perkembangan permukiman/areal terbangun serta tabel-tabel penggunaan tanah sebelum dan sesudah pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar.
Tabel 1. Jenis penggunaan tanah sebelum pelaksanaan LC di lokasi penelitian tahun 1981
No. |
Jenis Penggunaan Tanah |
Luas (ha) |
Persentase (%) |
1 |
Areal tidak terbangun |
123,67 |
99,56 |
2 |
Areal terbangun |
0,55 |
0,44 |
Jumlah |
124,23 |
100 |
Gambar 3. Peta areal terbangun pasca pelaksanaan LC di lokasi penelitian tahun 1981
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 3 diketahui bahwa sebagian besar lokasi tersebut masih digunakan untuk areal tidak terbangun seluas ± 123,67 ha atau 99,56%. Areal tidak terbangun tersebut berupa sawah irigasi seluas ±123 ha dan tanah kosong seluas 0,67 ha. Jalan yang sudah terbentuk hanya jalan yang melingkari civic centre Renon yaitu Jalan Raya Niti Mandala Renon, Jalan Cok Agung Tresna dan Jalan Moch. Yamin, yang dibangun sebagai bagian proyek pembangunan civic centre Renon, bukan dari hasil pelaksanaan LC.
Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, bahwa lokasi tersebut merupakan areal pertanian lahan basah yang sangat subur sebagai penghasil beras kualitas unggul di wilayah Bali. Menurut keterangan Ketua Subak Kedaton (organisasi kemasyarakatan yang mengatur sistem pengairan sawah di wilayah Desa Sumerta Kelod) para pemilik tanah tersebut sebagian besar bermukim di desa sebelahnya seperti Kelurahan Sumerta dan Desa Dangin Puri. Pada saat itu mata pencaharian utama para pemilik sawah di lokasi penelitian adalah sebagai petani.
Tabel 2. Jenis penggunaan tanah pasca LC di lokasi penelitian tahun 1985
No. |
Jenis Penggunaan Tanah |
Luas (ha) |
Persentase (%) |
1 |
Areal tidak terbangun |
110,12 |
88,64 |
2 |
Areal terbangun |
7,33 |
5,90 |
3 |
Jalan |
6,78 |
5,46 |
Jumlah |
124,23 |
100 |
Gambar 4. Peta areal terbangun pasca pelaksanaan LC di lokasi penelitian tahun 1985
Sesuai dengan Tabel 2 dan Gambar 4 terlihat bahwa pada tahun 1985 penggunaan tanah di lokasi LC Desa Sumerta Kelod masih didominasi areal tidak terbangun (digunakan untuk sawah irigasi, kebun campuran dan tanah kosong). Jalan yang telah terbangun pada tahun 1985 seluas ± 6,78 ha atau 5,46 %. Jalan hasil pelaksanaan LC meliputi Jalan Ciung Wanara I-II dan Jalan Pemuda I-II. Dalam tabel tersebut fasilitas umum berupa jalan tidak dimasukkan ke dalam penggunaan areal terbangun karena untuk menunjukkan bahwa pembangunan jalan merupakan hasil utama pelaksanaan LC.
Dari Tabel 2 dan Gambar 4 tersebut terlihat bahwa pada tahun 1985 di lokasi penelitian telah semakin banyak terbangun areal permukiman. Jika dibandingkan dengan luas areal terbangun tahun 1981 (sebelum pelaksanaan LC), maka telah mengalami penambahan seluas 6,78 ha atau 5,46%. Areal terbangun tersebut menyebar, baik di lokasi penelitian yang telah dilaksanakan LC (selatan civic centre Renon) maupun di lokasi penelitian yang belum dilaksanakan LC. Penetapan wilayah penelitian ini sebagai kawasan permukiman tempat tinggal dan adanya akses jalan dari hasil pelaksanaan LC menyebabkan banyak masyarakat luar wilayah Desa Sumerta Kelod yang tertarik untuk membangun permukiman di lokasi tersebut. Hal itu juga ditunjang oleh letak lokasi yang sangat dekat dengan civic centre Renon sebagai pusat pemerintahan Provinsi Bali.
Tabel 3. Jenis penggunaan tanah pasca LC di lokasi penelitian tahun 1994
No. |
Jenis Penggunaan Tanah |
Luas (ha) |
Persentase (%) |
1 |
Areal tidak terbangun |
68,57 |
55,20 |
2 |
Areal terbangun |
37,28 |
30,00 |
3 |
Jalan |
18,38 |
14,80 |
Jumlah |
124,23 |
100 |
Gambar 5. Peta areal terbangun pasca pelaksanaan LC di lokasi penelitian tahun 1994
Pada tahun 1993 pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod telah selesai dengan melalui empat tahap, sehingga jalan-jalan lingkungan sudah terbangun rapi. Terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 6, di lokasi penelitian telah terbangun jalan-jalan lingkungan yang teratur dan rapi seluas ± 18,38 ha atau telah mengalami penambahan luas sebesar 11,60 ha atau 9,34% dari luas jalan pada tahun 1985. Lebar jalan lingkungan hasil pelaksanaan LC tersebut antara 3 m hingga 12 m. Pasca pelaksanaan LC, setiap bidang tanah di lokasi tersebut selalu menghadap ke jalan.
Pada Gambar 6 terlihat bahwa areal terbangun telah banyak bermunculan dan menyebar di semua lokasi penelitian. Jika dibandingkan dengan tahun 1985, luas areal terbangun tersebut bertambah sebanyak 29,95 ha atau 24,10%. Lokasi areal terbangun tersebut paling banyak berada di selatan dan timur civic centre Renon, sedangkan di utara civic centre Renon masih belum banyak terbangun areal permukiman. Hal itu disebabkan pelaksanaan LC di utara civic centre Renon baru saja selesai yaitu tahun 1993. Terbangunnya infrastruktur jalan yang rapi, teratur dan lebarnya memadai di lokasi tersebut menarik masyarakat untuk bermukim di wilayah ini, sehingga areal terbangun semakin bertambah luas. Hal itu sesuai dengan pendapat Sjafrizal (2012) yang menyebutkan bahwa sistem jaringan jalan yang baik merupakan persyaratan dasar yang harus dipenuhi untuk mendukung pertumbuhan suatu daerah perkotaan. Semakin lancar arus mobilitas barang dan penumpang dalam suatu wilayah, maka semakin cepat wilayah
tersebut tumbuh dan berkembang serta semakin merata tingkat pembangunan di wilayah tersebut dan wilayah sekitarnya.
Tabel 4. Jenis penggunaan tanah pasca LC di lokasi penelitian tahun 2005
No. |
Jenis Penggunaan Tanah |
Luas (ha) |
Persentase (%) |
1 |
Areal tidak terbangun |
33,20 |
26,72 |
2 |
Areal terbangun |
72,65 |
58,48 |
3 |
Jalan |
18,38 |
14,80 |
Jumlah |
124,23 |
100 |
Gambar 6. Peta areal terbangun pasca pelaksanaan LC di lokasi penelitian tahun 2005
Terlihat dari Tabel 4, luas areal terbangun di lokasi LC Desa Sumerta Kelod telah mencapai 72,65 ha. Jika dibandingkan dengan luas areal terbangun tahun 1994, dalam kurun waktu 11 tahun telah terjadi penambahan luas areal terbangun sebanyak 35,37 ha atau 28,48%. Pertambahan luas areal terbangun periode 1994-2005 ini lebih banyak bila dibandingkan dengan periode 1985-1994 yang hanya 29,95 ha. Berdasarkan Gambar 6, areal terbangun di lokasi LC Desa Sumerta Kelod tersebut sudah menyebar rata. Pembangunan permukiman di lokasi tersebut cukup pesat, untuk memenuhi kebutuhan hunian akibat meningkatnya jumlah penduduk di wilayah tersebut. Menurut data dari Kantor Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, pada tahun 2005 jumlah penduduk di desa ini mencapai 12.966 jiwa yang menyebar di lokasi penelitian. Pada tahun 1994 jumlah penduduk Desa Sumerta Kelod baru mencapai 7.962 jiwa, sehingga selama kurun waktu 11 tahun tersebut telah mengalami pertambahan penduduk sebesar 5.004 jiwa. Kondisi lingkungan lokasi penelitian yang nyaman, rapi, sehat dan teratur dengan akses jalan memadai serta seluruh bidang tanahnya menghadap ke jalan menyebabkan warga masyarakat di luar lokasi LC tertarik untuk membeli tanah di lokasi tersebut.
Pada kasus yang ada di lokasi LC Desa Sumerta Kelod tersebut sesuai data dari Badan Pusat Statistik tampak bahwa dalam rentang waktu 11 tahun yaitu dari tahun 1994-2005 telah terjadi pertambahan penduduk yang signifikan sebanyak ± 5.004 jiwa, baik berasal
dari kelahiran maupun migrasi masuk. Kemudian jumlah persentase penduduk yang bermata pencaharian di sektor non pertanian (perdagangan, pemerintahan, industri dan jasa) juga lebih dari 90%. Fakta-fakta tersebut menguatkan pendapat Gallion dan Eisner (1994) yang menyebutkan bahwa perkembangan permukiman dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Hal tersebut secara fisik diwujudkan dengan perkembangan luas areal terbangun untuk permukiman.
Tabel 5. Jenis penggunaan tanah pasca LC di lokasi penelitian tahun 2015
No. |
Jenis Penggunaan Tanah |
Luas (ha) |
Persentase (%) |
1 |
Areal tidak terbangun |
13,55 |
10,90 |
2 |
Areal terbangun |
92,30 |
74,30 |
3 |
Jalan |
18,38 |
14,80 |
Jumlah |
124,23 |
100 |
Gambar 7. Peta areal terbangun pasca pelaksanaan LC di lokasi penelitian tahun 2015
Berdasarkan Tabel 5 dan Gambar 7 terlihat bahwa pada tahun 2015 luas areal terbangun di lokasi penelitian telah bertambah sebanyak 19,65 ha atau 15,82% dari luas areal terbangun pada sepuluh tahun sebelumnya. Saat ini areal terbangun telah mendominasi penggunaan tanah di lokasi tersebut. Areal tidak terbangun yang terdiri dari penggunaan sawah seluas 0,52 ha atau 0,42% dan penggunaan kebun campuran dan tanah kosong hanya tinggal seluas 13,03 ha atau 10,49%. Fakta tersebut kontradiktif dengan kondisi di lokasi penelitian pada tahun 1981, atau satu tahun sebelum pelaksanaan LC. Pada saat itu luas areal terbangun baru mencapai 0,55 ha atau 0,44%, sedangkan pada saat ini luas areal permukiman termasuk jalan sudah mencapai 110,68 ha atau 89,10%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa untuk membentuk suatu permukiman dengan tingkat kepadatan rata-rata seperti yang ada di lokasi LC Desa Sumerta Kelod sekarang ini, membutuhkan waktu sekitar 33 tahun. Hal itu kemungkinan berbeda pula pada tiap lokasi
LC, karena tergantung kebijakan pemerintah, kondisi geografis, ekonomi, sosial dan budaya wilayah setempat.
Perkembangan permukiman di lokasi LC Desa Sumerta Kelod yang termasuk teratur, rapi dan sehat serta relatif cepat yaitu sekitar 33 tahun. Hal ini senada dengan pendapat Sujarto (2004) yang menyatakan bahwa dengan adanya kegiatan LC diharapkan dapat mengembangkan penggunaan tanah secara optimal dengan menyertakan hakekat swadaya masyarakat pemilik tanah. Hal itu akan menyebabkan diperoleh esensi dan manfaat LC perkotaan/non pertanian antara lain sebagai berikut: sebagai suatu model pembangunan kota yang dapat mempercepat penyelesaian pembangunan prasarana dan pembangunan fasilitas kota sesuai rencana kota; dan meningkatkan efisiensi lahan dengan cara mengatur bentuk persil dan mengatur jaringan jalan serta prasarana utilitas umum.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di Desa Sumerta Kelod pada tahun 2014 telah mencapai 20.254 jiwa atau bertambah sekitar 7.288 jiwa dari tahun 2005. Pertambahan penduduk tersebut juga berlaku di lokasi penelitian, sehingga kebutuhan akan permukiman di lokasi ini pun juga meningkat. Berdasarkan hasil survey di lapangan terlihat bahwa banyak terdapat pembangunan rumah baru untuk disewakan atau dijadikan indekos. Alih fungsi rumah tinggal menjadi tempat usaha perdagangan dan jasa juga cukup banyak terjadi di lokasi penelitian ini. Hal itu terjadi karena kebutuhan akan berbagai fasilitas permukiman seperti fasilitas perdagangan dan jasa cukup tinggi, sehingga menyebabkan semakin beragamnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.
Aktivitas sosial dan perekonomian yang tinggi di wilayah tersebut terjadi karena letaknya sangat berdekatan dengan civic centre Renon sebagai pusat perkantoran pemerintah pusat maupun Daerah Provinsi Bali, serta dekat pula dengan berbagai pusat pelayanan kota lainnya seperti rumah sakit, pusat perbelanjaan dan kampus. Menurut keterangan dari beberapa warga, harga tanah di lokasi tersebut mengalami kenaikan yang tinggi dari tahun ke tahun. Hal tersebut menyebabkan terjadi persaingan penggunaan, pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan tanah di lokasi tersebut yang memicu penyimpangan dalam pemanfaatan ruang. Contohnya di bagian wilayah Banjar Sungiang Sari dan Sembung Sari yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman maupun kawasan perdagangan dan jasa, namun faktanya ada yang digunakan sebagai sarana akomodasi/hotel dan fasilitas pendidikan (SD dan akademi). Hal itu tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar.
Fenomena tersebut sesuai dengan pendapat Budihardjo (1998), bahwa dampak pengelompokan kegiatan di suatu kota besar akan menyebabkan terpusatnya berbagai pusat kegiatan seperti pusat perkantoran, pusat perdagangan, kampus dan lain-lain. Hal itu menyebabkan terjadinya gejala persaingan untuk memperebutkan lokasi-lokasi strategis di sekitar pusat kegiatan/paling dekat dengan pusat-pusat kegiatan tersebut. Gejala tersebut menunjukkan bahwa masalah permukiman juga menyangkut adanya persaingan yang makin lama makin intensif dalam memperoleh lokasi yang terdekat dengan pusat-pusat kegiatan, sehingga berpengaruh terhadap kenaikan harga tanah yang signifikan dan dapat memicu penyimpangan pemanfaatan ruang.
Berdasarkan hasil observasi di lokasi penelitian, sebagian besar telah berkembang menjadi kawasan permukiman yang teratur, rapi dan indah bangunannya serta saling menghadap ke jalan. Lima tahun terakhir ini pembangunan permukiman di wilayah
tersebut semakin marak terjadi. Nampak terlihat pula pengkavelingan terhadap bidang tanah yang luasnya lebih dari lima are menjadi beberapa kaveling rumah dengan dilengkapi pelepasan jalan baru pada komplek perumahan tersebut.
Di samping itu berdasarkan hasil penelitian dan data dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Denpasar, kira-kira sejak tahun 2005 di lokasi penelitian ini telah muncul titik-titik kumuh antara lain di Jalan Badak Agung VII dan VIII seluas ±8.370 m2 serta Jalan Merdeka X seluas ±4.121 m2. Jumlah luas titik-titik kumuh tersebut adalah 1.491 m2 atau 1,01% dari luas keseluruhan lokasi LC Desa Sumerta Kelod. Seluruh titik kumuh tersebut merupakan permukiman yang berdiri di atas tanah sewa. Rumah-rumah semi permanen yang dibangun di permukiman tersebut terlihat tidak beraturan dari segi bentuk maupun letaknya, sehingga terlihat semrawut. Jumlah penghuni rumah di komplek tersebut juga melebihi kapasitas yang seharusnya.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan terlihat bahwa masing-masing bidang tanah yang disewa rata-rata seluas satu are dan dibangun rata-rata sebanyak tiga kamar. Kamar-kamar tersebut banyak yang disewakan lagi ke orang lain, rata-rata penghuni kamar tersebut adalah tiga orang. Jadi rata-rata kepadatan hunian di lokasi titik kumuh tersebut adalah 9 orang/are. Padahal menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004 tentang Perencanaan Lingkungan Perumahan dan Perkotaan, standar kepadatan hunian rata-rata untuk luas kaveling minimal satu are adalah 5 orang. Dengan demikian terlihat bahwa rata-rata tingkat kepadatan hunian rumah di lokasi kumuh tersebut jauh lebih tinggi dari standard nasional.
Pada permukiman kumuh tersebut antara bangunan rumah satu dengan bangunan rumah lainnya hanya dibatasi lorong-lorong sempit, sehingga akses jalan yang menghubungkan bangunan rumah yang terletak di bagian dalam dengan jalan lingkungan menjadi terbatas. Berikut disajikan Gambar 8 berupa foto permukiman kumuh di lokasi penelitian.
Gambar 8. Permukiman kumuh di lokasi penelitian
Fenomena titik kumuh pada lokasi LC di Desa Sumerta Kelod tersebut sangat bertolak belakang dengan tujuan awal pelaksanaan program LC yaitu terciptanya lingkungan yang teratur, bersih, sehat, asri dan nyaman. Padahal salah satu manfaat konsolidasi tanah adalah untuk mencegah terjadinya kawasan permukiman liar dan kumuh. Jika kondisi tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan terjadi perluasan areal titik kumuh pada lokasi LC di Desa Sumerta Kelod. Hal itu akan menyimpang dari tujuan awal program LC tersebut, yaitu untuk menciptakan lingkungan permukiman yang teratur, rapi dan sehat. Lain halnya menurut Komarudin (1997), jika pertumbuhan lingkungan kumuh dibiarkan maka tingkat kesehatan masyarakat akan tetap rendah, mudah menyebabkan kebakaran, memberi peluang kriminalitas, terganggunya norma tata susila, tidak teraturnya tata guna tanah serta sering menimbulkan banjir.
Kondisi tersebut sangat merugikan masyarakat peserta LC maupun pemerintah yang telah bersusah payah mengeluarkan dana untuk menciptakan kawasan permukiman yang teratur dengan kualitas lingkungan yang baik melalui program LC perkotaan/non pertanian. Kondisi tersebut juga bertentangan pula dengan pendapat yang dikemukakan oleh Jayadinata (1999) bahwa keuntungan pelaksanaan konsolidasi tanah antara lain pengendalian pengembangan tanah lebih mudah dilakukan dan perkembangan perumahan liar dapat dicegah.
Menurut salah satu pejabat dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Denpasar, bahwa pengendalian perkembangan permukiman seharusnya menjadi kewenangan dari pemerintah daerah, khususnya pada level RT, RW, dusun/banjar, maupun desa/kelurahan. Di satu sisi aparat pemerintah setempat juga tidak bisa melarang para penyewa mendirikan bangunan rumah tinggal yang kurang layak huni tersebut, sebab belum ada peraturan khusus yang mengaturnya.
Pola perkembangan permukiman di Lokasi Penelitian
Hasil penataan bidang-bidang tanah dari kegiatan LC di wilayah Desa Sumerta Kelod telah menghasilkan pembangunan jalan-jalan lingkungan yang membagi wilayah LC tersebut menyerupai kotak/grid-grid (pararel longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku) yang ukurannya kurang simetris satu sama lain. Tiap-tiap bidang tanah hasil penataan LC tertata sedemikian rupa sehingga bisa saling menghadap ke jalan-jalan tersebut. Berdasarkan hasil olah peta time series lokasi penelitian dari tahun 1981, 1985, 1994, 2005 dan 2015 terlihat bahwa pola perkembangan permukiman yang terjadi di lokasi LC Desa Sumerta Kelod Kota Denpasar cenderung selalu mengikuti pola jaringan jalan yang terbangun di wilayah tersebut.
Secara spasial, keberadaan jalan lingkungan hasil LC di Desa Sumerta Kelod yang membentuk grid-grid tersebut menyebabkan pembangunan permukiman di wilayah itu menjadi terlihat rapi dan teratur. Bangunan-bangunan tersebut sebagian besar saling menghadap ke jalan hasil LC. Seiring pesatnya pembangunan permukiman di lokasi tersebut muncul jalan-jalan baru yang menghubungkan kavling-kavling tanah baru dengan jalan lingkungan hasil LC. Bangunan rumah yang terbentuk di atas tanah kavling baru tersebut juga saling menghadap ke jalan komplek tersebut. Hal itu sesuai dengan pendapat Northam dalam Yunus (2012) bahwa sistem pola jalan bersudut siku atau grid (the rectangular or grid system) tersebut memudahkan dalam pengembangan kota sehingga kota akan nampak teratur dengan mengikuti pola yang telah terbentuk dan membagi wilayah kota menjadi blok-blok empat persegi panjang.
Kesimpulan
Pasca pelaksanaan LC di Desa Sumerta Kelod, telah terjadi perubahan penggunaan tanah sawah irigasi menjadi areal permukiman yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Sampai dengan saat ini, dalam kurun waktu 33 tahun telah berkembang permukiman (termasuk jalan) sebanyak 89,09% dari wilayah yang pernah dijadikan lokasi LC tersebut menjadi areal permukiman yang mayoritas teratur, rapi, asri dan sehat lingkungannya. Sebagian besar kawasan tersebut dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan yang ada dalam RTRW ataupun rencana zonasi setempat. Namun di kawasan permukiman tersebut terdapat perumahan yang letaknya kurang teratur atau bahkan cenderung kumuh, yaitu di Jalan Badak Agung VII, VIII dan Jalan Merdeka X. Total luas titik kumuh tersebut adalah ± 12.491 m2 atau 1,01% dari luas seluruh lokasi LC di Desa Sumerta Kelod. Disamping itu pada lokasi permukiman LC tersebut terdapat pula penyimpangan pemanfaatan ruang.
Pola perkembangan permukiman yang terjadi di lokasi LC Desa Sumerta Kelod adalah cenderung mengikuti pola jaringan jalan yang terbangun di wilayah tersebut. Hal itu menyebabkan permukiman yang terbentuk cenderung rapi dan teratur.
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan masukan agar sekiranya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional membuat peraturan mengenai rencana zonasi di lokasi LC yang disesuaikan dengan peraturan rencana zonasi daerah setempat guna mencegah terjadinya kesemrawutan/penyimpangan penggunaan dan pemanfaatan ruang pada lokasi LC tersebut di kemudian hari. Hendaknya Pemerintah Kota Denpasar juga berupaya untuk terus melakukan monitoring serta pengendalian yang terpadu dan terencana terhadap perkembangan permukiman beserta pemanfaatan ruang perkotaan khususnya di kawasan yang pernah dijadikan sebagai obyek LC. Hal itu bertujuan agar kawasan tersebut tetap terjaga kualitas lingkungannya yang sehat, rapi, teratur dan serasi sesuai rencana tata ruang setempat dan tujuan awal pelaksanaan LC.
Daftar Pustaka
Budihardjo, E (1998) Sejumlah Masalah Pemukiman Kota Bandung: PT. Alumni.
Budihardjo, E (2004) Arsitektur dan Kota di Indonesia Bandung: PT. Alumni.
Gallion, A.B. dan Eisner, S (1994) Pengantar Perancangan Kota: Desain dan Perancangan Kota Jakarta: Airlangga.
Hasni (2008) Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jayadinata, J.T. (1999) Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan Perkotaan dan Wilayah Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Komarudin (1997) Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman Jakarta: Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo.
Nurlambang, T. (2012) Materi Pengembangan Teknik KT: Kunci Konsep Aplikasi Konsolidasi Tanah Jakarta: BPN RI.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1991, tentang Konsolidasi Tanah.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (2014) Bahan Ajar Diklat Dasar-Dasar Pertanahan: Bab Konsolidasi Tanah Jakarta: BPN RI.
Setiawan, Y. (2009) Instrumen Hukum Campuran (gemeenschapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sjafrizal (2012) Ekonomi Wilayah dan Perkotaan Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Standar Nasional Indonesia Badan Standardisasi Nasional Nomor 03-1733-2014, tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan dan Perkotaan
Sujarto, D. (1985) Konsolidasi Lahan Perkotaan Sebagai Suatu Model Pengelolaan Lahan Bandung: ITB.
Sumardjono, M.S.W. (2009) Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi Jakarta: Buku Kompas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Yunus, H.Ss (2012) Struktur Tata Ruang Kota Jakarta: Pustaka Pelajar.
82
SPACE - VOLUME 3, NO. 1, APRIL 2016
Discussion and feedback