ANALISIS KARAKTER VISUAL ARSITEKTURAL

DAN PENILAIAN MAKNA KULTURAL

SEBAGAI PENDEKATAN PELESTARIAN BANGUNAN

KOLONIAL INNA BALI HOTEL DI DENPASAR

Oleh: Yunanistya Rahmadhiani1

Abstract

Indis (Indische) describes a building typology found across Indonesia. This is an historical legacy of Dutch colonization. Architecturally, buildings with this style have their own characteristics and embody specific functions that reflect historical change. Conservation in this context is understood to mean the maintenance of the original appearance, while allowing changes of use and function. In addition, the cultural significance of the original building should be conserved. This study identifies and analyses the visual character of buildings that compose the Inna Bali Hotel of Kota Denpasar – an example of Indis architectural style. It covers an analysis of architectural elements exhibited in the facade and indoor spatial formation of each building. This step is critical, prior to determining an appropriate conservation strategy which is dependent upon the cultural significance represented in each architectural element. A qualitative research approach has followed. The analysis of data sought to support fundamental. In doing so, the driving assumption adheres to the view that not all buildings are equal in their bid for conservation status, with potential divided between high, medium, and low potential. Inna Bali Hotel in this case falls in the median band.

Keywords: architectural visual character, cultural significance assessment, Indis architecture, conservation

Abstrak

Langgam Indis (Indische Empire) merupakan peninggalan penjajahan Belanda di Indonesia. Jika dilihat dari sudut pandang arsitektural, bangunan-bangunan tersebut memiliki karakteristik tersendiri dan secara fungsional bangunan-bangunan tersebut mempunyai peran dalam sejarah bangsa Indonesia karena mewadahi fungsi tertentu. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakter visual arsitektural bangunan kolonial Hotel Inna Bali Denpasar yaitu elemen fasad bangunan dan elemen ruang dalam bangunan dan menentukan pendekatan pelestariannya dengan kriteria penilaian makna kultural . Metode penelitian yang digunakan pada studi ini yaitu metode kualitatif, dengan analisis data berupa deskriptif dan metode evaluatif (pembobotan) dalam menentukan tindakan pelestarian. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa karakter visual arsitektural bangunan Inna Bali Hotel memang merupakan langgam arsitektur Indis. Hal tersebut dapat diketahui dari elemen-elemen yang melekat pada karakter visual bangunan yaitu elemen fasad bangunan maupun elemen ruang. Penentuan arahan pelestarian berdasarkan penilaian makna kultural bangunan dan hasilnya diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan potensial pelestarian yaitu potensial tinggi, potensial sedang dan potensial rendah. Hasil penetapan klasifikasi menyimpulkan bahwa Inna Bali Hotel diklasifikasikan sebagai bangunan dengan potensial pelestarian sedang. Strategi pelestariannya adalah konservasi yaitu kegiatan memelihara dan melindungi tempat-tempat yang indah dan berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar dengan tetap mempertahankan nilai kulturnya baik berada dalam lingkungan statis maupun lingkungan dinamis.

Kata kunci: karakter visual arsitektural, penilaian makna kultural, arsitektur Indis, pelestarian bangunan

Arsitek profesional. Email: yunanistya@gmail.com

Pendahuluan

Bangunan-bangunan kolonial banyak ditemukan di Indonesia terutama ibukota provinsi maupun kabupaten/kota yang dijadikan pusat pemerintahan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam catatan sejarah, orang-orang Belanda mengembangkan kekuasaan dengan menanamkan dan mengembangkan pengaruhnya. Adapun caranya adalah membangun perkampungan-perkampungan pendatang, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan, infrastruktur kota berupa jalan-jalan dan jembatan dan lain-lainnya. Bangunan kolonial tersebut dibangun dengan menerapkan konsep arsitektur modern selain tetap mempertahankan arsitektur tradisional (Bappeda Kota Denpasar, 2009:51).

Pada masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia, banyak bangunan karya arsitek Belanda yang berukuran besar dan terletak di tepi jalan raya. Arsitektur kolonial saat itu merupakan langgam yang digunakan dalam merancang bangunan pemerintahan atau rumah tinggal pejabat dan kaum berada, serta fungsi publik. Tapak bangunan biasanya terletak di tepi jalan raya yang secara hirarki lebih tinggi daripada di kawasan perkampungan yang saat itu dihuni oleh warga pribumi. Konsep hirarki merupakan konsep langgam Indische Empire yang masih dianut oleh arsitektur peralihan pada tahun 1890 sampai tahun 1915 (Fauzy, dkk. 2013). Bangunan yang dibuat sudah dapat menyesuaikan iklim tropis di Indonesia dan memadupadankan dengan bangunan tradisional di Indonesia.

Dilihat dari perkembangan bangunan Belanda yang ada di Denpasar, banyak ditemui bangunan warisan kolonial yang sudah menyesuaikan iklim tropis di Indonesia dan diindikasikan sebagai bangunan Indis. Salah satunya adalah Inna Bali Hotel (dahulu bernama Bali Hotel) yang terletak di Jalan Veteran Nomer 3 Denpasar yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 22 Agustus 1927. Sebagian besar area hotel merupakan Puri Denpasar milik Kerajaan Badung yang merupakan hasil rampasan perang akibat kekalahan kerajaan Badung pada perang Belanda pada tahun 1906. Sejak saat itu Belanda membentuk pemerintahan baru dengan mengambil tempat di bekas Puri Denpasar dan menjadikan area Puri sebagai pemukiman orang Belanda. Akhirnya tahun 1927 gedung ini secara resmi oleh Pemerintah Belanda dijadikan sebagai hotel dengan nama Bali Hotel. Pada tahun 1928 bangunan ini diserahkan kepada KPM (Koninkelijke paketvaar Matschappij) yaitu sebuah perusahaan pelayaran milik Pemerintah Belanda untuk dikelola sebagai tempat singgah para tamu Pemerintah Belanda dan pegawai perusahaan KPM (Bappeda Kota Denpasar 2009). Saat ini Inna Bali Hotel dikelola oleh PT Hotel Indonesia Natour yang merupakan hotel bintang tiga terdiri dari 71 kamar tidur.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakter visual arsitektural pada bangunan Inna Bali Hotel meliputi elemen fasad bangunan dan elemen ruang dalam bangunan, selanjutnya menentukan strategi pelestarian terhadapnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisis data berupa deskriptif dan metode evaluatif (pembobotan) dalam menentukan tindakan pelestarian yaitu: a) Nilai tinggi dengan angka 3; b) Nilai sedang dengan angka 2; c) Nilai rendah dengan angka 1. Dari hasil perhitungan pembobotan akan didapatkan total angka yang merupakan nilai jarak interval dari masing-masing potensial. Nilai ini akan menentukan tindakan pelestarian yang akan diambil apakah berupa preservasi, adaptasi, konservasi, restorasi, rekonstruksi, rehabilitasi, retrofit atau infill. Untuk total nilai dengan interval 6-10 diklasifikasikan sebagai nilai potensial rendah. Kelompok elemen perubahan ini

memerlukan intervensi fisik yang besar dengan tetap menjaga makna kultural yaitu retrofit, infill, rekonstruksi dan restorasi. Total nilai dengan interval 11-15 diklasifikasikan sebagai nilai potensial sedang, merupakan elemen bangunan yang diarahkan dengan tindakan pelestarian berupa konservasi dengan intervensi kecil hingga sedang. Total nilai dengan interval 16-18 diklasifikasikan sebagai nilai potensial tinggi, dengan arahan pelestarian revitalisasi.

Gambar 1. Tampak depan Inna Bali Hotel Denpasar

Pelestarian Bangunan Kolonial

Burra Carter (1999) memaparkan tentang makna pelestarian sebagai suatu proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang ada tetap terpelihara dengan baik sesuai situasi dan kondisi setempat. Sedangkan menurut Indonesia Charter For Heritage Conservation (2003) pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas. Makna pelestarian menurut Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Pelestarian cagar budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif serta mengembangkan dan memanfaatkannya. Pelestarian merupakan upaya penyelamatan dan pembangunan berbagai komponen budaya baik berada dalam lingkungan statis misalnya bangunan tunggal maupun lingkungan dinamis, misalnya kelompok bangunan, kawasan, desa, kota serta merupakan upaya untuk menciptakan warisan budaya masa mendatang (Jogja Heritage Society, 2009:17).

Beberapa strategi upaya pelestarian yang dilakukan pada bangunan maupun kawasan bersejarah antara lain: 1) Preservasi, tindakan atau proses penerapan langkah-langkah dalam mendukung keberadaan bentuk asli, keutuhan material bangunan/struktur, serta bentuk tanaman yang ada dalam kawasan; 2) Rehabilitasi/Renovasi, sebuah proses mengembalikan obyek agar berfungsi kembali seperti semula, dengan tetap melestarikan kesan bangunan yang khas. Bangunan tersebut tidak dibongkar seluruhnya karena pekerjaan rehabilitasi umumnya melibatkan tingkat prosentase kerusakan yang rendah; 3)

Konservasi, kegiatan memelihara dan melindungi tempat-tempat yang indah dan berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar dengan tetap mempertahankan nilai kulturnya; 4) Rekonstruksi, suatu kegiatan mengembalikan kembali struktur bangunan yang rusak semirip mungkin dengan keadaan aslinya. Dalam hal ini kita dapat menggunakan bahan-bahan bangunan yang baru melalui suatu penelitian; 5) Adaptasi Fungsi (Adaptive reuse), memodifikasi sebuah tempat untuk disesuaikan dengan fungsi eksisting atau fungsi yang diusulkan; 6) Restorasi, upaya untuk mengembalikan kondisi suatu tempat pada asalnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan yang timbul kemudian atau mengembalikan unsur-unsur semula yang telah hilang tanpa menambah unsur baru pada obyek; 7) Infill, pembangunan baru dengan fungsi lain sebagai penunjang pada lingkungan atau kawasan yangmasih kontekstual dengan bangunan dan lingkungan eksisting sehingga tercipta citra/image lingkungan; 8) Penguatan (Retrofit), meningkatkan lebih tinggi standar bangunan melalui efisiensi enerji, keamanan, proteksi kebakaran dan fasilitas kenyamanan modern.

Tindakan pelestarian hanya boleh dilakukan sedikit perubahan hingga tidak berubah yaitu tindakan adaptasi, rehabilitasi maupun preservasi.

Wujud arsitektur kolonial yang patut dilestarikan dapat dilihat dari karakter visualnya yaitu dari penyangga dinding dan tiang, pintu jendela, dan atap (bentuk dan elemen atap). Teknologi konstruksi arsitektur kolonial tersebut dapat dikenali dari ciri-ciri berikut ini, yaitu: a) Dinding tembok pasangan batu bata tebal dua bata (60 cm) dan tiang pada serambi dengan grid struktur. Grid struktur yang teratur ini menunjukkan penerapan gaya arsitektur Indische Empire pada desain bangunan; b) Pintu dan jendela dalam desain arsitektur Indische Empire biasanya pintu digabung dengan jendela atau panel, dengan material kombinasi kayu, logam dan kaca. Konstruksi pintu umumnya kayu panel solid dengan pola geometris, jenis kayu yang banyak digunakan yakni redwood dan oak. Unsur logam pada pintu umumnya merupakan elemen dekorasi dengan pola geometris, seperti lengkung dan lebar yang secara fisik member kesan kokoh dan wibawa; c) Atap berperan sebagai mahkota yang disandang oleh tubuh bangunan, sehingga secara visual, atap merupakan akhiran dari fasad dan titik akhir dari bangunan (Krier 1988:160). Rangka atap dengan sistem kuda-kuda dengan bahan dari besi baja. Penggunaan atap genting yang sesuai kebanyakan bangunan yang dibangun pada masa arsitektur peralihan berbentuk atap limasan, ada yang berbentuk pelana, maupun atap perisai dengan sudut kemiringan sekitar tiga puluh derajat atau lebih merupakan salah satu tipologi bangunan Indis. Sudut kemiringan yang besar ini di Indonesia berfungsi untuk mengkondisikan suhu ruang di dalam bangunan dan memberikan kesan lebih megah dan monumental.

Pada atap terdapat pula elemen gable, dormer, deltils dan menara (tower). Disebutkan oleh Gothfried (dalam Handinoto 2012) elemen gable akan tampak pada bagian depan bangunan. Penggunaan dormer pada sebagian jendela yang diletakkan pada sisi-sisi atap bangunan arsitektur kolonial dan penggunaan balustrade pada atap dan deltils yang merupakan penyangga atap tritisan sebagai upaya untuk mengatasi iklim tropis; d) Lantai pada masa transisi zaman kolonial Belanda yang dipakai yaitu lantai dengan bentuk geometris yang dipasang sejajar ataupun diagonal, dengan material batu alam, yaitu marmer atau granit.

Feilden (2003) menyampaikan, bangunan bersejarah (dalam hal ini adalah bangunan kolonial) merupakan sebuah bangunan yang memberikan pada kita rasa kekaguman dan membuat kita ingin tahu lebih banyak tentang pelaku dan kebudayaan yang membuatnya.

Terutama pada sisi arsitektural, estetika, sejarah, dokumentasi, arkeologi, ekonomi, sosial, bahkan politik dan spiritual atau nilai simbolis, tetapi juga kesan pertama yang membawa emosi pada simbol dari identitas budaya dan kesinambungan sebagai bagian dari warisan kita. Namun upaya pelestarian belum banyak dilakukan untuk menjaga agar bangunan-bangunan tersebut tetap lestari.

Karakter Visual Arsitektural dan Makna Kultural

Krier (1988) mengemukakan bahwa karakter visual arsitektural bangunan dapat dilihat pada elemen berikut yaitu: a) Elemen fasad bangunan; b) Elemen ruang dalam bangunan; c) Masa bangunan. Variabel dan indikator yang digunakan untuk kriteria pengamatan karakter visual arsitektural tersaji dalam tabel 1 berikut.

Tabel 1. Analisis terhadap karakter visual arsitektural bangunan

Analisis Karakter Visual Arsitektural Bangunan

Kriteria pengamatan

Variabel

Indikator

Elemen fasade bangunan

Atap

BalustradeDormer

Dinding eksterior

Pintu dan Jendela

Kolom

Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan, arah unit bukaan

Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan, tekstur

Elemen ruang dalam bangunan

Dinding interior

Pintu dan jendela

Lantai

Kolom dan Plafon

Bentuk, material, ornamen

Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan, arah unit bukaan

Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan, tekstur

Bentuk, material, warna, ornamen, perletakan, perubahan, tekstur

Sumber: Krier 1998

Untuk variabel dan indikator yang digunakan untuk kriteria penilaian makna kultural tersaji dalam tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kriteria penilaian makna kultural

Kriteria Penilaian Makna Kultural

Kriteria

Definisi

Tolok Ukur

Estetika

Terkait dengan perubahan estetis bangunan

Perubahan gaya bangunan, atap, fasad, ornamen serta struktur dan bahan

Kejamakan

Terkait dengan perwakilan ragam, bangunan

Seberapa jauh mewakili suatu ragam yang spesifik

Kelangkaan

Bentuk, gaya, serta elemen bangunan dan penggunaan ornamen yang berbeda dan tidak terdapat pada bangunan lain

Merupakan bangunan yang langka dan tidak terdapat di daerah lain

Peranan sejarah

Berkaitan dengan sejarah bangunan

Berkaitan dengan peristiwa sejarah sebagai hubungan peristiwa dahulu dan sekarang

Keluarbiasaan

Memiliki ciri khas

Peran kehadirannya dapat meningkatkan kualitas serta citra dan karakter bangunan

Memperkuat karakter bangunan

Memiliki peran penting dalam pembentukan karakter bangunan

Memiliki ciri khas seperti usia bangunan, ukuran, luas, bentuk bangunan dan sebagainya

Sumber: Krier 1998

Menurut Kerr (dalam Antariksa 2012), strategi pelestarian konservasi merupakan salah satu bagian dari suatu kegiatan pelestarian. Burra Charter (1999) menjelaskan mengenai langkah dalam melakukan konservasi yang disebut rencana konservasi (Conservation Plan), yang terdiri atas: a) Tahap 1, Stating Cultural Significance, merupakan usaha memahami dan menilai makna kultural dari bangunan beserta nilai tempatnya dengan kriteria penilaian tertentu sebagai contoh nilai keindahan, sejarah dan keilmuan, maupun nilai demonstratif, hubungan asosiasional, kualitas formal dan estetis; b) Tahap 2, Conservation Policy, merupakan pencarian cara–cara terbaik dalam mempertahankan nilai–nilai tersebut dalam penggunaannya dan pengembangan di masa yang akan datang.

Karakter Visual Arsitektural Inna Bali Hotel

Inna Bali Hotel terdiri dari bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai fasilitas sebuah hotel seperti ruang pertemuan, restoran, kamar-kamar hotel, ruang kantor maupun ruang-ruang penunjang aktivitas hotel. Bangunan yang ada di Inna Bali Hotel banyak yang masih menunjukkan ciri arsitektur kolonial terlihat dari karakter visual bangunannya. Identifikasi karakter visual bangunan kolonial dianalisa sebagai berikut:

  • 1.    Elemen fasad bangunan

  • a.    Atap

Bentuk atap pada restoran, menggunakan atap datar dengan ornamen elemen gable. Sedangkan pada bangunan yang terdiri dari kamar-kamar hotel, menggunakan atap perisai. Material penutup atap berupa genteng tanah liat dengan warna merah tanah liat. Atap bangunan merupakan bentuk atap khas bangunan era transisi yakni atap pelana yang digabung dengan atap perisai. Penggunaan perisai ini merupakan bentuk atap khas bangunan berlanggam arsitektur Indische Empire dan salah satu ciri langgam arsitektur kolonial. Bentuk atap miring bertujuan untuk membantu mengalirkan air hujan serta membentuk ruang atap yang berfungsi bagi pendinginan udara yang banyak digunakan bangunan peninggalan Belanda di Indonesia.

Gambar 2. Atap datar pada Restauran Inna Bali Hotel Denpasar dan elemen gable pada bagian atas atap

Gambar 3. Atap perisai pada bangunan kamar-kamar Inna Bali Hotel Denpasar sebagai salah satu ciri yang nampak pada fasad bangunan kolonial

Overstek bangunan membentang di sepanjang eksterior bangunan yakni di sepanjang selasar.

  • b.    Balustrade dan dormer

Balustrade adalah pagar pembatas pada bangunan yaitu berupa selasar/teras di samping bangunan dan di teras belakang. Kita bisa temui letak balustrade pada bangunan restoran maupun teras-teras kamar hotel sebagai bagian dari fungsinya sebagai pembatas halaman dan teras yang terkadang digunakan oleh tamu hotel sebagai tempat untuk duduk bersantai. Keberadaan balustrade ini merupakan ciri fisik bangunan arsitektur kolonial.

Gambar 4. Balustrade (a) pada restauran

Gambar 5. Balustrade (a) pada selasar kamar hotel

Gambar 6. Dormer (a) pada atap yang merupakan ciri bangunan kolonial

Penggunaan dormer pada Inna Bali Hotel yaitu sebagai jendela yang diletakkan pada sisi-sisi atap bangunan.

  • c.    Dinding eksterior

Dinding pada bangunan bergaya arsitektur Indis masa transisi biasanya memiliki dinding yang lebih tebal dengan adanya elemen-elemen dekoratif. Begitu juga dinding pada bangunan Inna Bali Hotel khususnya restoran dan kamar hotel merupakan dinding bata merah dan diplester dengan ketebalan dua pasangan bata 60 cm. Dominasi warna putih memberi kesan monumental yang merupakan gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada masa itu.

Gambar 7. Dinding Eksterior dengan penyangga dari besi tuang bulat yang menyerupai bentuk

kolom ionik

Dinding ini merupakan elemen badan bangunan yang menghubungkan kepala (atap) dengan kaki (lantai).

  • d.    Pintu dan jendela

Keberadaan pintu merupakan elemen yang menonjol pada fasad bangunan. Jenis pintu yang digunakan pada pintu kamar hotel adalah pintu jalusi dengan arah bukaan keluar.

(a)

(b)

(c)

Gambar 8. Jenis pintu kamar hotel yaitu: a) Pintu ganda; b) Pintu tunggal dengan tersambung pada jendela kaca transparan; c) Pintu tunggal terhubung dengan jendela kaca

Terdapat tiga jenis pintu pada kamar-kamar hotel yaitu: 1) Pintu ganda dengan ornamen geometri kaca transparan dengan bukaan keluar menuju teras; 2) Pintu tunggal dengan tersambung pada jendela kaca transparan dengan bukaan keluar teras; 3) Pintu tunggal dari kayu yang terhubung dengan jendela kaca.

Perletakan jendela tersusun sejajar karena fasad bangunan simetris. Unsur vertikalisme jendela sangat kuat karena sejajar dengan tinggi pintu yang mencapai 2,5 meter. Semua jendela bermaterial kaca dan kayu dengan arah bukaan jendela adalah keluar.

(a)                         (b)

Gambar 9. Jenis jendela kamar hotel yaitu jendela ganda dengan ornamen geometri (a) berjumlah 4 dan (b) berjumlah 6


Terdapat dua jenis jendela yaitu jendela ganda dengan ornamen geometri berjumlah 6 (enam) dari kaca dengan cat coklat, dengan arah bukaan keluar menuju teras. Jenis yang kedua adalah jendela ganda dengan ornamen geometri berjumlah 4 (empat) terbuat dari kaca dengan arah bukaan keluar menuju teras di bagian atas. Ciri-ciri pintu dan jendela di Inna Bali Hotel ini sesuai dengan arsitektur ‟Indische Empire‟ yaitu pintu digabung dengan jendela atau panel, dengan material kombinasi kayu, logam dan kaca.

  • e.    Kolom eksterior

Ada dua jenis kolom yaitu kolom-kolom besar (Tuscan) dan kolom persegi. Keberadaan kolom ini sebagai penopang atap datar maupun atap perisai pada

bangunan dengan finishing cat berwarna putih.



(a)                                                  (b)

Gambar 10. Jenis kolom besar (Tuscan) sebagai penyangga atap datar (a) Tuscan pada selasar hotel, (b) Tuscan pada teras kamar

Kolom besar maupun kolom persegi diletakkan dengan jarak yang sama dan bermaterial cor beton. Keberadaan grid dalam desain bangunan dapat dirasakan pada jejeran kolom yang jaraknya tetap di sepanjang sisi kiri dan kanan bangunan tersebut, sehingga pada area tengah sehingga tercipta kemegahan pada area jalur sirkulasi utama.

(a)

(b)

Gambar 11. Jenis kolom persegi sebagai penyangga atap perisai (a) Tampak depan; (b)

Tampak samping

Keteraturan grid struktur menjadi datum yang mengikat komposisi dalam bangunan Inna Bali Hotel. Grid struktur yang teratur ini menunjukkan penerapan gaya arsitektur Indische Empire pada desain bangunan.

  • 2.    Elemen ruang dalam bangunan

  • a.    Dinding interior

Dinding interior ruang didominasi dengan cat warna putih minim ornamen di dalamnya. Penempatan furnitur lama masih bertahan hingga saat ini.

(a)                             (b)

Gambar 12. Interior kamar hotel yang masih menggunakan lama (a) Kamar standart; (b) Kamar suite

  • b.    Pintu

Perletakan pintu di dalam ruangan menyesuaikan fungsi dari ruangan itu sendiri. Seperti pintu kamar mandi dengan bukaan ke dalam, pintu penghubung ruang tidur dengan ruang tamu pada kamar hotel dengan bukaan luar, maupun pintu penghubung ruang tamu dengan teras.

Gambar 13. Pintu penghubung kamar dengan ruang tamu di kamar hotel dengan bukaan ke dalam.

Jenis pintu jalusi terbuat dari kayu dengan arah bukaan keluar menuju ruang tamu. Berdasarkan analisa, bentuk pintu sesuai dengan karakteristik arsitektur Indis, yaitu pintu dengan ornamen, berbahan kayu. Pintu dengan jalusi merupakan desain yang tanggap dengan iklim tropis di Indonesia. Pintu sebagai elemen arsitektural pada bangunan mencerminkan penerapan gaya arsitektur Indis pada bangunan Inna Bali Hotel.

  • c.    Lantai

Ciri-ciri lantai masa arsitektur Indis yang dipakai yaitu lantai dengan bentuk geometris yang dipasang sejajar ataupun diagonal, dengan material batu alam, yaitu marmer atau granit.

Gambar 14. Tegel lantai lama dengan corak khas berwarna merah dengan pecahan keramik di dalamnya.

Gambar 15. Tegel lantai baru dari bahan keramik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lantai ruangan berupa tegel plin, yang sekarang ada perubahan dengan diganti keramik. Hal ini terjadi karena sulit mencari tegel lantai

yang sama seperti aslinya. Sehingga terlihat bahwa untuk eksisting lantai kurang diperhatikan dalam memelihara pelestarian bangunan cagar budaya karena dipakai material baru.

d. Kolom

Kolom di dalam ruangan merupakan kolom penyangga atap yang terlihat juga pada eksterior bangunan. Untuk kolom ruang dalam menggunakan kolom persegi dengan asumsi disesuaikan dengan fungsi ruangan agar maksimal pemanfaatannya.

Gambar 16. Kolom persegi terlihat di dalam ruangan sebagai penyangga dinding dari dalam

  • e. Plafon

Tinggi plafon dari lantai saat ini kurang lebih 3 meter. Kondisi plafonnya cenderung sederhana, bersih, dan tanpa ornamen. Ketinggian dan struktur plafon Inna Bali Hotel ini berbeda antara ruang luar (teras) dengan ruang dalam, perbedaan tipe konstruksi dan ketinggian plafon mencerminkan fungsi ruang dan memberikan pengalaman ruang yang berbeda-beda. Dapat dipastikan pada ruang dalam bangunan ini sudah mengalami renovasi, terlihat dari penggunaan plafon yang lebih baru dengan posisi terlihat lebih rendah dilihat dari ruang luar. Renovasi yang dilakukan Inna Bali Hotel dengan mengubah ketinggian plafon, hanya berdasarkan asumsi kenyamanan ruangan karena menurut pihak hotel tidak ada informasi maupun dokumentasi yang menunjukkan kondisi plafon sebelumnya.

Gambar 17. Kondisi plafon setelah renovasi dari sebuah kamar di Inna Bali Hotel

Penentuan Upaya Pelestarian Berdasarkan Analisa Makna Kultural

Penentuan upaya pelestarian Inna Bali Hotel dilakukan dengan penilaian makna kultural berdasarkan data lapangan yaitu: a) Nilai tinggi dengan angka 3; b) Nilai sedang dengan angka 2; c) Nilai rendah dengan angka 1 yang disajikan pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil analisa kriteria penilaian makna kultural

Kriteria Penilaian Makna Kultural

Variabel amatan

Makna kultural

Total

Estetika

Kejamakan

Kelangkaan

Peranan sejarah

Keluar

Biasaan

Karakter bangunan

Atap

1

1

2

1

1

1

7

Balustrade

2

2

2

2

2

2

12

Dinding

1

2

2

2

1

2

10

Pintu

3

2

2

2

1

2

12

Jendela

3

2

2

2

2

1

12

Kolom

3

2

2

1

1

2

11

Plafon

1

1

1

1

1

1

6

Dari hasil penilaian makna kultural masing-masing variabel diperoleh hasil akhir dengan dominasi angka 12 yang mengindikasikan bahwa makna kultural Inna Bali Hotel dapat dikategorikan memiliki nilai potensial sedang yaitu merupakan bangunan yang diarahkan dengan tindakan pelestarian berupa konservasi dengan intervensi kecil hingga sedang.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Inna Bali Hotel berdasarkan analisa karakter visual arsitektural, merupakan bangunan langgam Indis (Indische Empire). Hal tersebut dapat diketahui dari analisa elemen-elemen yang melekat pada karakter visual bangunan yaitu elemen fasad bangunan maupun elemen ruang dalam terutama penggunaan elemen-elemen bangunan seperti atap, jendela, pintu, lantai, plafon, maupun pilar berukuran besar yang didominasi oleh elemen-elemen bangunan bentuk simetri yang masih bertahan hingga saat ini. Selain penggunaan elemen atap seperti gable, dormer, deltils serta menara (tower) terdapat serambi tengah untuk menuju ruang berikutnya, atapnya berbentuk perisai, terdapat mahkota di atas serambi depan dan belakang. Bangunan utama Inna Bali Hotel dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya dengan hasil penilaian analisa makna kultural adalah bangunan dengan potensial sedang sehingga arahan pelestarian yang sesuai dengan hasil penilaian analisa makna kultural adalah konservasi yaitu kegiatan memelihara dan melindungi tempat-tempat yamg indah dan berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar dengan tetap mempertahankan nilai kulturnya baik berada dalam lingkungan statis maupun lingkungan dinamis.

Daftar Pustaka

Antariksa (2008) ‘Analisis Penilaian Bangunan Cagar Budaya’ dalam <http://saujana17.wordpress.com/2008/analisis   penilaian bangunan   cagar

budaya> diakses 10 Mei 2014.

Antariksa     (2012)     ‘Beberapa     Teori     dalam     Pelestarian’     dalam

<http://antariksaarticle.blogspot.com/2012/04/beberapa       teori       dalam

pelestarian.html> diakses 10 Mei 2014.

Bappeda Kota Denpasar (2009) Penelusuran Sejarah Kota Denpasar Denpasar: CV Cipta.

Fajarwati, Antariksa, Suryasari (2011) ‘Pelestarian Bangunan Utama eks Rumah Dinas Residen Kediri’ Arsitektur E-journal Vol. 4 No. 2 p: 85-103.

Fauzy, B, Salura, P, Kurnia, A (2013) Sintesis Langgam Arsitektur Kolonial Pada Gedung Restauran ‘Hallo Surabaya’ di Surabaya’ dalam <http://www.e-jurnal.com/2014/09/sintesis-langgam-arsitektur-kolonial.html> diakses 10 Mei 2014.

Feilden, BM (2003) Conservation of Historic Building New York: Architectural Press

Handinoto dan Santoso (2012) ‘Pemberian ciri lokal pada arsitektur kolonial lewat ornamen pada awal abad ke-20’ Dimensi (Journal of Architecture and Built Environment) Vol. 39, No. 1, p: 37-50.

Handinoto (2008) ‘Daendels Dan Perkembangan Arsitektur Di Hindia Belanda Abad 19’ Dimensi (Journal of Architecture and Built Environment) Vol. 36, No. 1, p: 43-54

International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites (1999) Burra Charter Australia.

International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites Indonesia (2003) Indonesia Charter For Heritage Conservation Indonesia.

Jogja Heritage Society (2009) Pedoman Pelestarian Pasca Bencana Kawasan Pusaka Kotagede Yogyakarta, Indonesia Yogyakarta: GONG Grafis

Krier, R (1988) Komposisi Arsitektur Jakarta: Jambatan.

Pemerintah (2010) Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya Jakarta: Percetakan Negara.

Samsudi (2000) ‘Aspek-aspek Arsitektur Kolonial Belanda pada Bangunan Puri Mangkunegaran’ Tesis Program Magister Teknik Arsitektur yang tidak dipublikasi. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Ucapan Terimakasih

Penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

  • 1.    Dr. Ir. Widiastuti, MT atas saran dan semangatnya.

  • 2.    Gusti Ayu Made Suartika, ST. MEngSc. Ph.D atas saran dan semangatnya.

  • 3.    Ni Made Swanendri, ST. MT atas masukan dan sarannya.

66

SPACE - VOLUME 3, NO. 1, APRIL 2016